Barongsai menjadi sebuah legenda berabad-abad bagi warga keturunan Tionghoa di berbagai belahan dunia. Sebuah wujud hewan rekaan yang selalu muncul di tengah keramaian dan keriuhan dengan suara tambur serta petasan yang diyakini sebagai pengusir hal-hal buruk yang akan terjadi, terutama saat Tahun Baru Imlek saat para dewa sedang menghadap Tuhan dan meninggalkan bumi.
Barongsai memang berasal dari China atau kebudayaan Tionghoa. Di negeri asalnya barongsai memiliki sejarah ribuan tahun, catatan pertama yang ditemukan berawal pada Dinasti Chin, sekitar tiga abad sebelum masehi.
Barongsai merupakan hewan rekaan kepercayaan etnis Tionghoa yang menggambarkan filosofi baik dari hewan singa, anjing, dan kijang, dalam setiap gerakannya. Selain itu juga barongsai adalah pengantar keberkahan dan keberuntungan bagi rumah-rumah yang didatanginya.
Dalam perjalanannya barongsai di Indonesia juga tak diketahui persis kedatangannya.
Ketua Persaudaraan Liong Barong Bogor, Guntur Santoso mengatakan catatan pertama yang ia dapatkan tentang kemunculan barongsai ialah tahun 1870-an, bahkan kemungkinan besar sebelumnya.
“Dahulu barongsai jadi satu kegiatan kepemudaan di Kelenteng, dalam mendidik mental, raga, dan moral. Meskipun keluarnya hanya di perayaan Imlek,” ujar Guntur.
Saat masa Orde Baru, beragam aktivitas etnis Tionghoa dibatasi karena stabilitas politik yang kala itu ramai peristiwa G30S. Barongsai pun mulai mati sejak sekitar tahun tahun 1967.
“Karena Partai Komunis Indonesia (PKI) dulu memang berafiliasi dengan di China, dari situ semua yang berkaitan dengan China diberantas,” ungkap Guntur Santoso kepada Kompas.com.
Dua tempat di Indonesia yang kala itu tetap bisa menampilkan barongsai adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong dan di sudut Kota Padang, Sumatera Barat.
Tahun 1999 perubahan situasi politik memberi celah pada barongsai untuk muncul kembali. Imlek tahun tersebut menjadi awal kemunculannya kembali. Selain di Kota Semarang, dan Padang, barongsai pun berhasil bangun dari tidur lamanya di Kota Bogor.
Namun, perjuangan untuk kemunculan kembali amat terjal, karena sudah terlewat hampir satu generasi, dari 1967 sampai 1999. Mantan-mantan pemain terdahulu pun usianya sudah tak muda lagi, menginjak 80-90an.
“Transfer teknologinya last minute, benar-benar sebelum mereka meninggal baru ditransfer ilmu-ilmunya, seperti tutorial gerakan. Salah satu yang menerimanya itu adalah Lily Hambali, seorang pembuat barongsai.” tutur Guntur Santoso.
Lily dulu mengikuti salah satu maestro barongsai, bernama Yopie. Ia merupakan pemain Sam Xi (jenis binatang rekaan seperti barongsai). Kemudian dalam perjalanannya, kini Lily menjadi pembuat barongsai yang tersohor dari Bogor.
Barongsai sebelum masa redupnya di Orde Baru sangat kental dengan ritual keagamaan. Hanya keluar saat perayaan etnis Tionghoa saja.
Saat itu satu barongsai bisa seberat 25 kilogram, terlebih bagian kepalanya dengan konstruksi kawat tembaga dan gypsum sebagai perekat. Berbeda dengan masa kini, barongsai di Indonesia menggunakan teknologi konstruksi rotan yang lebih ringan.
Cara bermainnya degan berkelahi, kepala barongsai diadu dengan menggunakan gerakan silat yang agresif.
“Karena dulu memang basis gerakan barongsai itu silat, jadi selain akif di kelenteng-kelenteng, yang melestarikan barongsai juga perguruan silat. Atau banyak yang berafiliasi, jadi perguruan silat bekerja sama dengan kelenteng saat berlatih barongsai,” tutur Guntur Santoso.
Di masa modern ini, barongsai sudah masuk ranah komersial. Dengan tampilnya berbagai grup barongsai di acara-acara seremonial, pernikahan, ulang tahun, dan peresmian toko.
Meski hilang kesakralannya, tetapi barongsai lebih diakui dengan masuk dalam cabang olahraga di berbagai olimpiade nasional maupun dunia. Barongsai di Indonesia memiliki struktur organisasi di bawah FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia).
FOBI terbentuk pada tanggal 9 Agustus 2012. Berawal dari 5 organisasi barongsai (PERSOBARIN, PLBB, PERNABI, ALBSI dan ALBA) yang menganggap olahraga barongsai merupakan olahraga yang sudah populer di tengah masyarakat Indonesia sehingga perlu dibentuk sebuah organisasi olahraga yang menyatukan semua atlit, penggiat dan masyarakat barongsai di Indonesia. (Dari web resmi FOBI http://www.fobi.or.id)
Di negeri asalnya sendiri, Barongsai merupakan hewan rekaan (berkaki empat, berbulu, perpaduan banyak karakter binatang), dan binatang rekaan itu punya amat banyak jenis.
Untuk menarikan Barongsai, agar terlihat indah dan menarik, pemain Barongsai harus menguasai kerjasama antar pemain, kerjasama pemain musik, dan kerjasama pemain musik dan pemain barongsai.
Berikut jenis Barongsai serta sebangsanya yang dikembangkan secara lokal dan dilestarikan di Indonesia.
Biasanya, perbedaan warna pada bulu Barongsai melambangkan umur dan karakter sang Barongsai.
Kini perajin barongsai di Indonesia tidak banyak, karena profesi tersebut butuh keahlian khusus. Perajin yang tersohor berada di Bogor, Padang, dan Semarang.
Salah satu yang tersohor ialah Lily Hambali (57), perajin dari Bogor sejak tahun 2000.
Meski bukan keturunan Tionghoa, melainkan Sunda, Lily salah satu orang yang turut mengawali kiprah kebangkitan barongsai di masa reformasi. Juga perajin barongsai yang belajar dari nol.
"Saya otodidak aja belajarnya, awalnya nyoba reparasi. Kalau dulu kita benerin hidungnya saja bisa sebulan, baru rampung," ujar Lily sembari tertawa kepada Kompas.com yang berkunjung ke bengkel barongsainya.
Untuk menjaga kualitas, kini ia masih menggunakan beberapa komponen yang diimpor langsung dari China. Yaitu bulu domba dari negara dingin yang halus, bulu kelinci, juga aksesoris barongsai.
Menurutnya bukan tak percaya produk dalam negeri, tetapi teknologi di Indonesia belum ditemui yang bisa membuat bulu berwarna yang sehalus itu.
Buah keterampilan tangannya kini bahkan telah mencapai berbagai negara. Mulai Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa, hingga Arab Saudi.
Salah satu momen keluarnya barongsai beserta teman-temannya ialah pada puncak perayaan Cap Go Meh. Perayaan Cap Go Meh yang terbesar di Indonesia ialah di Singkawang (Kalimantan Barat), dan Bogor (Jawa Barat) yang melibatkan ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Menurut budayawan Tionghoa Bogor, Mardi Liem, Cap Go Meh di Bogor sudah ada sejak tahun 1700-an. Dulu namanya Lampionen Fest, karena banyak lampion dan memang di Bogor uniknya Cap Go Meh dilaksanakan malam hari.
Perayaannya sempat terhenti mulai tahun 1965, sama seperti barongsai. Kemeriahannya mulai hadir kembali sejak tahun 2003, tetapi dengan sederhana dan apa adanya.
“Pada 2003 mulai diizinkan lagi sama Presiden Gus Dur. Tapi saat itu lucu lihat pawai Liong-Barong di Bogor, gerakan masih kaku apa adanya, kaya barongsai baru bangun tidur,” tutur Mardi Liem kepada Kompas.com.
Dari pertunjukan pertama itu mulai ada inisiatif membeli barongsai dari Singapura dan Malaysia, dengan harga mahal Rp 8-9 juta kala itu karena tidak ada perajin yang tersisa, terutama di Bogor.
Dari situlah terus bermunculan kelompok-kelompok barongsai di Bogor. Hingga hanya dalam waktu dua tahun Bogor sempat jadi pemilik kelompok barongsai terbanyak di Indonesia.
“Bogor itu kalau sudah Cap Go Meh nggak ada lagi sekat-sekat etnis. Contoh saja yang main liong dari 18 orang itu paling yang Tionghoa 2-3 orang. Sisanya Sunda, Batak, Jawa, Arab yang di Bogor.”
Copyright 2018. Kompas.com