Berebut Roh Soekarno

MENU
Scroll atau
Gunakan Keyboard
Untuk Memulai Cerita
Prev Next
Prev Next

Presiden Soekarno diapit sebelah kiri oleh Perdana Menteri Chou En Lai dan Kanan
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ketika menuju ke Istana Negara.

Soekarno dan Cita-cita Indonesia

Soekarno betul. Perjuangannya lebih mudah karena mengusir penjajah. Kala itu semua orang bersatu atas nama Indonesia. Perjuangan kita hari ini jauh lebih berat: melawan bangsa sendiri.

Hari-hari belakangan ini, jelang pemilihan umum presiden 9 Juli 2014, kita bahkan lupa tentang ke-Indonesia-an kita. Kita tidak sedang terpecah antara pendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Lebih dari itu, kita terpecah sebagai Indonesia.

Kita membenci mereka yang bukan Islam. Kita membenci anak-anak bangsa keturunan Tionghoa. Kita saling melempar fitnah.

Entitas suku, agama, ras, dan antar golongan bukannya menguatkan jatidiri kita sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, tapi menjadi peluru untuk saling menghancurkan.

Marilah berhenti sejenak dari hiruk pikuk kampanye hitam dan kampanye negatif yang riuh membombardir ruang-ruang kehidupan kita, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Marilah diam sejenak memikirkan satu hal yang paling substansial tentang masa depan bangsa ini, berpikir tentang Indonesia kita, tempat kita hidup merajut cita-cita tentang kehidupan kebangsaan yang adil dan berperikemanusiaan.

Indonesia seperti apakah yang kita perjuangkan?

Soekarno, saat pidato di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, berkata,

Pada bagian lain pidatonya saat itu, ia menegaskan lagi,

Setelah merdeka, Soekarno, mengingatkan lagi saat berpidato di Surabaya, 24 September 1955.

Tanggal 9 Juli 2014 bukan sekadar pertarungan memperebutkan kekuasaan kursi presiden, lebih dari itu, 9 Juli adalah penentuan tentang Indonesia lima tahun ke depan.

Orang yang paling layak memimpin Indonesia adalah dia yang berpikir utuh tentang Indonesia; orang yang mencintai keragaman; orang yang mencintai kemanusiaan.

Dia atau mereka yang menghancurkan keragaman Indonesia jelas bukan orang yang layak memimpin Indonesia. Pemimpin macam ini bukan saja tidak pantas, tapi juga mengkhianati Soekarno, mengkhianati manusia dan kemanusiaan.



Prev Next
Prev Next
Prev Next
Prev Next
Prev Next
Prev Next

Soekarno menyebut dirinya sebagai Putra Sang Fajar. Ibunya yang memberikan "gelar itu" saat Soekarno masih kecil. Soekarno dilahirkan dari rahim Idaju, seorang putri Bali dari kasta Brahmana. Raja terakhir Singaraja adalah paman Idaju. Soekarno juga keturunan bangsawan dari garis ayahnya. Ayah Soekarno berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti, Tuan.

Kepada Cindy Adams, penulis biografinya, ia berkata, "apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.”

"Roh Soekarno" sebagai Putra Sang Fajar kini seolah diperebutkan kembali oleh dua pasangan capres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka seperti ingin menunjukkan pada publik bahwa merekalah pewaris semangat bapak pendiri bangsa ini.

Di dua tempat dan dua waktu yang berbeda sekalipun pada hari yang sama, Senin (19/5/2014), Soekarno seperti hidup kembali dalam deklarasi dua pasangan itu. Soekarno dihidupkan dalam simbol.

Pakaian

Pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dielu-elukan pendukungnya setelah selesai pengundian nomor urut di Kantor KPU, Jakarta, Minggu (1/6/2014). KPU menetapkan pasangan tersebut mendapat nomor urut pertama untuk Pilpres 2014, Juli mendatang. KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Bakal calon presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama bakal calon wakil presiden Jusuf Kalla, saat acara deklarasi pasangan tersebut di Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2014). Pasangan itu diusung empat partai, yaitu PDI Perjuangan, NasDem, PKB, dan Hanura. WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN

Kedua pasangan bakal calon tersebut memilih baju putih sebagai "seragam" deklarasi. Warna putih memang jamak saja menjadi warna pakaian. Namun, empat kantung baju bergaya retro dengan dua saku di dada dan dua saku lain di bagian bawah baju, terlalu kentara untuk diabaikan sebagai model baju yang identik dengan pakaian Sokarno.

Gaya baju putih dengan empat saku itu dipakai oleh pasangan Prabowo dan Hatta. Tak lupa, keduanya mengenakan kopiah hitam. Adapun pasangan Jokowi dan Kalla memakai baju putih juga tetapi dengan dua saku di dada saja, tanpa kopiah di kepala. Prabowo dan Hatta bertahan dengan baju lengan panjang, sementara Jokowi dan Kalla memberi aksen lain dengan "lintingan" lengan baju.

Sebelumnya, dalam Pemilu 2009, Prabowo identik dengan kemeja krem lengan pendek bersaku empat. Dalam sebuah kesempatan, Prabowo mengaku bahwa kemeja itu adalah salah satu bentuk kekagumannya pada Bapak Proklamator Indonesia Soekarno.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, dalam sebuah kesempatan, sempat menjelaskan, ide busana Prabowo ini merupakan ide orisinal Prabowo. Gaya busana Prabowo ini, kata dia, terinspirasi dari gaya busana Soekarno dan Hatta.

Mengenai kemeja putih dengan lengan panjang yang digulung, Jokowi pernah mengemukakan alasannya.

"Kalau digulung itu punya makna sendiri. Itu mengartikan, sebagai seorang pemimpin, kita siap untuk bekerja," katanya saat awal menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Kalau lengannya diturunkan, itu kalau mau hadiri kondangan," selorohnya sambil tertawa.

Tempat deklarasi

Gedung Joang 45 di Menteng, Jakarta, Selasa (10/6/2014). Menurut catatan sejarah, Gedung Joang 45 mulanya adalah hotel yang dibangun oleh LC Schomper, seorang pengusaha asal Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia pada 1920-an. Gedung yang kemudian diberi nama Hotel Schomper I itu khusus digunakan sebagai penginapan para pejabat tinggi Belanda, pejabat pribumi, dan pengusaha asing yang tengah singgah di Kota Batavia. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Rumah Polonia di Cipinang Cempedak I, Jakarta Timur, Selasa (10/6/2014). Rumah Polonia awalnya merupakan gedung inventaris perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappaij. Merupakan salah satu dari bangunan mewah di daerah Polonia, yang pada era 1960-an dikenal sebagai kawasan elit di Jakarta selain Menteng. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Kedua pasangan memilih tempat deklarasi dengan latar belakang sejarah yang kental. Prabowo-Hatta memilih Rumah Polonia, sementara Jokowi-JK memilih Gedung Joang.

Prabowo memilih Rumah Polonia karena menganggap rumah itu mencerminkan nilai perjuangan Soekarno. Juru bicara Partai Keadilan Sejahtera (salah satu partai koalisi pendukung Prabowo-Hatta) Mardani Ali Sera menyebut Prabowo sendiri yang memilih rumah itu.

Sekretaris Jendral Gema Indonesia (kelompo pendukung pasangan Prabowo-Hatta) Arif Rahman menyatakan, "Bung Karno tinggal di sini jadi kita harus kumandangkan deklarasi, harus dimulai dari rumahnya ini."

Sementara Gedung Joang dipilih karena dianggap sesuai dengan semangat perjuangan yang akan diemban oleh Jokowi saat memimpin nanti.

"Karena kepemimpinan Jokowi adalah perjuangan menyejahterakan masyarakat," kata Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasti Kristiyanto, di kediaman Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2014).

***

Soekarno, Yurike Sanger, dan Rumah Polonia

Bakal calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dan bakal calon wakil presiden Hatta Rajasa (kanan) saat deklarasi di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Senin (19/5/2014). Prabowo dan Hatta Rajasa secara resmi dideklarasikan sebagai capres dan cawapres untuk Pilpres 2014, yang dihadiri oleh petinggi-petinggi partai pengusung seperti PKS, PAN, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Bakal calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dan bakal calon wakil presiden Hatta Rajasa (kanan) saat deklarasi di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Senin (19/5/2014). Prabowo dan Hatta Rajasa secara resmi dideklarasikan sebagai capres dan cawapres untuk Pilpres 2014, yang dihadiri oleh petinggi-petinggi partai pengusung seperti PKS, PAN, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Bakal calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto dan bakal calon wakil presiden Hatta Rajasa (kanan) saat deklarasi di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Senin (19/5/2014). Prabowo dan Hatta Rajasa secara resmi dideklarasikan sebagai capres dan cawapres untuk Pilpres 2014, yang dihadiri oleh petinggi-petinggi partai pengusung seperti PKS, PAN, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA

Fajar mulai menyingsing di langit kota Jakarta. Tepat di jantung kota berpenduduk 9,5 juta jiwa itu, sebuah rumah dengan arsitektur kuno Belanda berdiri megah. Rumah itu tampak sepi tak berpenghuni. Namun, dinding tinggi dibalut warna cat putih serta rindangnya pepohonan tetap membuat estetika bangunan yang biasa disebut Rumah Polonia itu semakin terasa.

Sejarah mencatat, Rumah Polonia awalnya merupakan gedung inventaris perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappaij. Rumah yang terletak di Jalan Cipinang Cempedak I, Otista, Jakarta Timur itu merupakan salah satu dari bangunan mewah di daerah Polonia, yang pada era 1960-an dikenal sebagai kawasan elit di Jakarta selain Menteng.

Rumah Polonia berdiri di lahan seluas 5000 meter persegi. Seiring perjalanan waktu, rumah itu beberapa kali berganti kepemilikan. Pada 2010, Rumah Polonia dibeli oleh Ketua Umum Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Haji Harris Tahir dari Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia ke-6, Hayono Isman. Oleh Harris, rumah itu kembali direnovasi sehingga saat ini memiliki luas bangunan sebesar 2600 meter persegi.

Rumah tersebut kini memiliki dua bangunan utama dengan total tujuh kamar tidur dan dua ruang pertemuan. Selain itu, terdapat juga mushola lapangan tenis di halaman luar bangunan. Masuk ke bagian dalam rumah, kesan megah langsung terasa. Ruangan berongga berbentuk lingkaran itu dihiasi dengan lampu-lampu kristal.

Yurike Sanger

yurike Menurut catatan sejarah, keterkaitan Rumah Polonia dengan Soekarno hanyalah kemunculan sosok Yurike Sanger, seorang gadis asal Poso yang masih berusia 18 tahun.

Kadjat Adra’i dalam karyanya Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA, menyebut Soekarno jatuh hati ketika Yurike menjadi anggota Barisan Bhineka Tunggal Ika. Kegiatan itu membuat Yurike sering bertemu dengan Soekarno. Pada 6 Agustus 1964,

Soekarno pun kemudian secara resmi mempersunting Yurike di kediaman orang tuanya di Tebet Barat, Jakarta Selatan.

Setelah menikah, Yurike awalnya tetap tinggal bersama orang tuanya. Namun, karena rumah di Tebet dianggap tidak cocok bagi tempat tinggal seorang presiden, Soekarno kemudian memberikan Yurike sebuah rumah di kawasan Cipinang Cempedak yang kini menjadi Rumah Polonia. Soekarno, kala itu mengaku rumah tersebut merupakan rumah sitaan kejaksaaan milik seorang manipulator yang menjadi buronan.

Setelah pindah, kehidupan Yurike mulai berubah. Selain jauh dari orang tua, Soekarno pun hanya sesekali mengunjunginya di rumah Polonia karena beralasan sibuk mengurusi negara. Tak jarang, Yurike hanya menghabiskan waktu berhari-hari untuk bergurau bersama para pengawal yang ditempatkan Soekarno di rumah Polonia.

"Kadang kurasakan hari merangkak lambat manakala kami tidak saling bertemu. Kadangkala bagai sekejap manakala napas kerinduan harus runtuh oleh arus perpisahan yang menerjang," ungkap Yurike.

Heldy Djafar

Kisah cinta di rumah Polonia pun berlanjut ketika Soekarno kembali menikah dengan seorang gadis dari Barisan Bhineka Tunggal Ika bernama Heldy Djafar pada 11 Juni 1964. Heldy merupakan perempuan terakhir dalam "daftar" istri-istri Soekarno. Pernikahan mereka berdua dilakukan secara diam-diam karena saat itu kekuasaan Soekarno mulai goyah akibat munculnya Peristiwa G-30 S PKI.

Ully Hermono dan Peter Kasenda dalam karyanya Heldy Cinta Terakhir Bung Karno menyebut Soekarno beberapa kali menyuruh Heldy yang bertempat tinggal di Jalan Wijaya 1, Kebayoran Baru, menemuinya di Rumah Polonia. Hal itu pun mau tidak mau membuat Yurike beberapa kali harus menghabiskan waktu bersama-sama dengan Soekarno dan Heldy di rumah Polonia.

Pada 1968 kehidupan Yurike semakin menukik tajam. Meredupnya kekuasaan Soekarno, membuat Yurike hidup dalam kondisi sulit. Di saat Soekarno menjadi tahanan politik, tidak ada lagi aliran dana kerumahtanggaan presiden untuk menggaji puluhan pembantu di Rumah Polonia. Pihak kejaksaan pun beberapa kali meminta kepada Yurike agar rumah tersebut dikosongkan.

Yurike awalnya tidak ingin melangkahkan kaki dari Rumah Polonia karena menilai rumah itu adalah pemberian dari Soekarno. Namun, dalam sebuah kesempatan Soekarno memberinya pesan, "Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu, toh bukan milik kita."

Menerima pesan itu, Yurike akhirnya meninggalkan Rumah Polonia dan kembali ke kediaman orang tuanya di Tebet.

Setelah itu, Yurike kemudian resmi bercerai dengan Soekarno. Namun, bukan karena kecewa, melainkan atas permintaan Soekarno sendiri yang menganggap dengan kesehatan semakin memburuk serta tidak menentunya kondisi politik dapat memengaruhi kehidupan Yurike.

***

Soekarno, Tan Malaka, dan Gedung Joang

“Peluru-peluru menembus tubuhnya. Satu-satu muncul yang akrab baginya. Lalu berhamburan dan tinggal warna putih, yang paling putih dan sebelum nyawanya pergi sepersekian detik ia mendengar lagu Indonesia Raya."

Demikian salah satu kutipan novel Pagar Kawat Berduri karya sastrawan Trisnoyuwono, di salah satu mural yang terletak di bagian sisi kanan luar Gedung Joang 45, Jakarta Pusat.

Kutipan itu dianggap menjadi salah satu bentuk representasi perjuangan kaum muda dalam merebut kemerdekaan Indonesia di bangunan yang terletak Jalan Raya Menteng Nomor 31, Jakarta Pusat, tersebut.

Menurut catatan sejarah, Gedung Joang 45 mulanya adalah hotel yang dibangun oleh L.C. Schomper, seorang pengusaha asal Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia pada 1920-an.

Gedung kemudian yang diberi nama Hotel Schomper I itu khusus digunakan sebagai penginapan para pejabat tinggi Belanda, pejabat pribumi, dan pengusaha asing yang tengah singgah di Kota Batavia.

Pasangan bakal capres dan cawapres yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Joko Widodo (kiri) dan Jusuf Kalla, dalam acara deklarasi pasangan tersebut di Gedung Joang, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2014). Pasangan tersebut juga didukung oleh koalisi Partai NasDem, PKB, dan Hanura dalam menghadapi pilpres Juli mendatang. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Pasangan bakal capres dan cawapres yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (kanan), dalam acara deklarasi pasangan tersebut di Gedung Joang, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2014). Pasangan tersebut juga didukung oleh koalisi Partai NasDem, PKB, dan Hanura dalam menghadapi pilpres Juli mendatang. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Pasangan bakal capres dan cawapres yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Joko Widodo (kiri) dan Jusuf Kalla (kanan), bersama istri masing-masing, dalam acara deklarasi pasangan tersebut di Gedung Joang, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2014). Pasangan tersebut juga didukung oleh koalisi Partai NasDem, PKB, dan Hanura dalam menghadapi pilpres Juli mendatang. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Markas Pemuda dan pelajar

Setelah Jepang mengambil alih Batavia pada 1942, Hotel Schomper I berubah fungsi menjadi tempat penggemblengan para pemuda dan pelajar. Selain itu, gedung itu juga berfungsi sebagai Sendenbu atau jawatan propaganda Jepang untuk memobilisasi rakyat dalam perang Asia Timur Raya melawan Sekutu.

Gedung tersebut lalu dijadikan tempat bagi para pemuda Indonesia yang ingin menyusun kekuatan dengan memupuk rasa nasionalisme secara diam-diam untuk merebut kemerdekaan.

Pemuda-pemuda dari berbagai daerah itu kemudian mendapat pengaderan politik dari para senior mereka, diantaranya Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin hingga Achmad Subarjo.

Beberapa pemuda yang aktif dalam pergerakan seperti Sukarni, Caherul Saleh, Wikana, Achmad Soebardjo, B.M Diah, hingga Sayuti Melik, kemudian sering saling bertukar pikiran di tempat ini. Kelompok yang kemudian dikenal dengan pemuda Menteng 31 ini membentuk Angkatan Indonesia Baru, dipimpin Chaerul Saleh dan Sukarni.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, aktivitas perjuangan para pemuda pun meningkat. Sejumlah kelompok pemuda mulai dari Menteng 31, Prapatan 10, hingga Cikini 71 beberapa kali mengadakan pertemuan di gedung yang kemudian dikenal dengan Asrama Menteng 31 itu. Mereka pun sepakat untuk mendesak Soekarno dan Muhammad Hatta agar memproklamirkan kemerdekaan sebelum 17 Agustus 1945.

Namun, Soekarno dan Hatta yang kala itu merupakan bagian dari golongan tua, tetap teguh pada pendiriannya. Mereka tetap berkeyakinan bahwa Jepang akan memberikan “hadiah” kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu sempat munculah, aksi para pemuda yang diprakasai Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana untuk menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan pada 16 Agustus 1945.

Satu hari berselang, Soekarno pun akhirnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di rumah Laksamana Maida. Akan tetapi, meski sudah menyatakan kemerdekaan, gelora semangat kelompok pemuda di Asrama Menteng 31 itu tidak surut.

Markas Murba

Beberapa peristiwa sejarah sempat terekam di gedung tersebut, salah satunya adalah aktivitas kelompok pemuda dari partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), yang identik dengan Tan Malaka yang memiliki semangat radikal.

Semangat perjuangan dari kelompok Tan Malaka berseberangan dengan Soekarno dan teman-teman seangkatannya cenderung mengambil garis politik lebih lunak.

Partai Murba bahkan pernah dibekukan pada September 1965. Namun dalam masa peralihan pemerintahan ke Soeharto, partai ini direhabilitasi. Pada 1971, Murba ikut pemilu, tetapi pada 1977 melebur ke Partai Demokrasi Indonesia. Pada Pemilu 1999, partai ini muncul kembali, tetapi tak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen).

***

Memaknai simbol

Penggunaan beragam ciri yang melekat pada sosok Soekarno oleh kedua pasangan bakal calon ini, menurut Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar) Bambang Sugiharto, merupakan gambaran bahwa orang Indonesia dianggap masih butuh figur.

"Mungkin diyakini bahwa itu patron dan bisa memberi efek untuk orang Indonesia," kata dia.

Bila yang dicari adalah figur substantif dan punya bobot historis cukup kuat, ujar Bambang, maka sosok Soekarno adalah pilihan yang tersedia seketika.

"Pertanyaannya, apakah memang orang Indonesia masih butuh patron itu? Saya ragu. Menurut saya, yang dibutuhkan sekarang adalah program dan aksi yang jelas."

Bicara figur yang kuat, tutur Bambang, di Indonesia hanya ada piilhan antara Soekarno dan Soeharto. Namun, Soeharto identik dengan budaya represif.

Karenanya, pilihan untuk mengangkat nuansa nasionalisme dalam artian pluralitas dan kebangsaan dalam wujud simbol yang paling kuat adalah sosok Soekarno.


Bakal calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo bersama bakal calon wakil presiden Jusuf Kalla bersepeda menuju Komisi Pemilihan Umum dari kediaman Megawati Soekarnoputri di Teuku Umar, Jakarta, Senin (19/5/2014). PDI Perjuangan bersama Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hanura sepakat mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk maju sebagai pasangan capres dan cawapres. KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES
Pasangan bakal capres dan cawapres, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla, bersepeda menuju Komisi Pemilihan Umum setelah acara deklarasi pasangan tersebut di Gedung Joang 45, Jakarta, Senin (19/5/2014). Pasangan tersebut juga didukung oleh koalisi Partai NasDem, PKB, dan Hanura dalam menghadapi pilpres Juli mendatang. KOMPAS/AGUS SUSANTO
Calon presiden, Joko Widodo menaiki bajaj usai Rapat Pleno Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2014 di Gedung KPU, Jakarta, Minggu (1/5/2014). KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Berkaca pada anak-anaknya sendiri, Bambang menilai anak-anak sekarang adalah generasi pragmatis.

"Mereka hampir tak hirau lagi dengan ke-Soekarno-annya. Buat mereka, apa yang ditawarkan sebagai solusi? Mereka tak banyak mendapat afeksi sejarah Soekarno," papar dia.

Dari semuanya, Bambang berpendapat penggunaan simbol Soekarno yang terlalu mengemuka, justru menunjukkan satu hal lain yang jelas.

"Bangsa ini kehilangan ideologi, kecuali agama, yang (ideologi agama) itu pun hanya bagi kalangan tertentu," sebut Bambang. "Selebihnya tak ada ideologi yang menawan. (Karenanya), simbol dibuat-buat, dicari-cari."


Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berdefile mengelilingi lapangan dengan menunggang kuda saat kampanye terbuka di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (23/3). Kampanye terbuka itu dihadiri Ketua Umum PPP Suryadharma Ali serta ribuan simpatisan dan kader partai Gerindra dari berbagai penjuru daerah di Ibukota. KOMPAS/RIZA FATHONI
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berdefile mengelilingi lapangan dengan menunggang kuda saat kampanye terbuka di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (23/3). Kampanye terbuka itu dihadiri Ketua Umum PPP Suryadharma Ali serta ribuan simpatisan dan kader partai Gerindra dari berbagai penjuru daerah di Ibukota. KOMPAS/RIZA FATHONI
Bakal calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto dan bakal calon wakil presiden Hatta Rajasa (kanan) saat deklarasi di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Senin (19/5/2014). Prabowo dan Hatta Rajasa secara resmi dideklarasikan sebagai capres dan cawapres untuk Pilpres 2014, yang dihadiri oleh petinggi-petinggi partai pengusung seperti PKS, PAN, PBB, PPP, Gerindra dan Golkar. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA

Meski demikian, Bambang berpendapat, penggunaan bahasa simbol Soekarno ini terasa dipaksakan.

"Menggaet sejarah tetapi tidak realistis dan tidak tepat, tidak strategis."

Menurut Bambang, sasaran yang seharusnya digamit kedua pasangan adalah kelas menengah baru dan anak-anak muda yang sudah tak lagi terdoktrin patron-patron lama.

"Betul, ini permainan simbol (tetapi) saya ragu seberapa tepat permainan ini untuk kondisi sekarang."

Bambang bertutur, bagi kaum Soekarnois memang ada fanatisme tertentu terhadap figur hingga ciri Soekarno.

"(Namun) untuk generasi muda, saya bayangkan generasi sekarang adalah pemilih muda. Seberapa tersentuh mereka dengan permainan simbol ini?"



Memperebutkan roh Soekarno jelas bukan memperebutkan simbol, bukan sekadar meniru cara berpakaian, gaya pidato, aneka simbol yang mengesankan kesederhanaan, tapi yang paling substansial adalah memperebutkan dan memperjuangkan cita-cita Soekarno tentang Indonesia untuk semua golongan, Indonesia yang mencintai manusia dan kemanusiaan.




Prev Next
Prev Next
Prev