Terpikat
Dimas Kanjeng

Pada 22 September 2016, publik dikejutkan dengan diterjunkannya hampir 2.000 personel polisi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Ribuan polisi datang untuk menjemput paksa Taat Pribadi, pimpinan dan pengasuh Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, atas dugaan pembunuhan dua anak buahnya.

Bersamaan dengan itu, sejumlah laporan tentang dugaan penipuan berkedok penggandaan uang bermunculan.

Sejak lama, Taat dipercaya memiliki kemampuan gaib untuk mendatangkan uang. Orang cukup memberikan uang, lalu diminta ikhlas, sabar, dan banyak berdoa, niscaya uang akan berlipat ganda.

Cerita ini menyebar dari mulut ke mulut, tetapi akhirnya menjebak banyak orang.

“Terpikat Dimas Kanjeng” merupakan rangkuman tentang perjalanan kasus yang membelit Dimas Kanjeng serta memberikan gambaran keinginan manusia untuk kaya secara instan.

Hari Terakhir di Padepokan

Suasana riuh nan mencekam menyelimuti Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Kamis (22/9/2016) pagi. Aparat berseragam tersebar di berbagai titik di desa tersebut. Jumlahnya mencapai hampir 2.000 personel.

Mereka adalah para personel gabungan dari Polda Jawa Timur, Polres Probolinggo, dan anggota TNI. Sejak dini hari, personel dari Polda Jawa Timur bahkan sudah siaga di lapangan desa setempat.

Jumlahnya terus bertambah menjelang pukul 06.00 WIB. Kali ini, atribut mereka lengkap dengan helm dan perisai antihuru-hara. Tak sedikit pula yang mengenakan rompi antipeluru dan bersenjata lengkap.

Bersama mereka, kendaraan barakuda, mobil taktis, water cannon, dan truk polisi juga dalam posisi siaga.

Misi pagi itu hanya satu, menembus Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi untuk menangkap sang pengasuh.

Suara derap sepatu aparat terdengar ramai setelah komando diberikan, tepat pada pukul 06.00 WIB. Seperti sudah diprediksi, para pengikut padepokan, mereka biasa disebut santri, sempat berupaya menghalangi aksi polisi. Namun, polisi bersikap tegas.

Tim gabungan lalu mendobrak pintu kayu berukir dari rumah yang diperkirakan milik Taat Pribadi, pengasuh Padepokan Dimas Kanjeng, setelah ketukan tak mendapatkan respons.

Namun, orang yang dicari tak ditemukan.

Lingkup pencarian diperluas ke semua area padepokan dan aparat gabungan mendapat instruksi untuk mengepung padepokan. Tak satu pun para penghuni padepokan dibiarkan melenggang keluar. Masjid hingga ruang pribadi di padepokan pun digeledah.

Setelah sekitar satu jam tim gabungan melakukan penggeledahan, pria yang diberi gelar Dimas Kanjeng itu pun ditemukan. Dia ditemukan bersama istrinya di dalam ruang pusat kebugaran milik padepokan. Polisi yang curiga karena ruangan terkunci dari dalam lalu membuka paksa pintu dan menemukan keduanya tengah bersembunyi di dalam.

“Hal itu sudah kami antisipasi. Karena itu, kami bawa banyak polisi saat penangkapan”

Taat yang tengah mengenakan kaus berwarna ungu dan bercelana pendek langsung digiring dengan pengawalan berlapis menuju kendaraan barakuda. Para santri yang sedang mendengar ceramah berada di dalam masjid bubar seketika, sedangkan orang-orang yang sedang menunggu di bawah tenda-tenda di sekitar padepokan panik. Para “pasien” ini mengaku sedang antre dipanggil oleh Taat terkait penggandaan uang.

Hari itu juga, Taat langsung dibawa ke Markas Polda Jawa Timur di Surabaya.

Penggerebekan berakhir sekitar pukul 08.00 WIB. Setengah jam kemudian, aparat ditarik dari lokasi setelah melakukan pengecekan terakhir.

Enam hari setelah penangkapan, Kasubdit I Keamanan Negara Ditreskrimum Polda Jatim AKBP Cecep Ibrahim, yang menjadi Ketua Tim Penangkapan Taat Pribadi, mengungkapkan bahwa polisi mengerahkan ribuan personel setelah mempertimbangkan jumlah pengikut Taat di dalam padepokan maupun warga di sekitarnya.

Polisi berjaga di depan rumah Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang berada di dalam kompleks padepokan saat penggerebekan, Kamis (22/9/2016). KOMPAS.com/Ahmad Faisol

Kedatangan polisi, lanjut dia, sempat dihalangi oleh pengikut dan pihak keamanan padepokan. Saat penggerebekan pun, lanjut Cecep, padepokan dijaga oleh ribuan pengikut dari segala penjuru.

“Hal itu sudah kami antisipasi. Karena itu, kami bawa banyak polisi saat penangkapan,” katanya.

Sehari setelahnya, puluhan polisi dari Satuan Bhayangkara Polres Probolinggo dikerahkan untuk membongkar portal yang menutup jalan umum di kawasan padepokan beberapa bulan terakhir. Para santri sempat menghalangi dan tetap menolak membuka portal meski sudah diberikan penjelasan.

Akhirnya, AKP Istono yang memimpin tim memerintahkan anggotanya untuk membuka paksa portal tersebut. Dua santri lalu dibekuk lantaran menghalangi pembongkaran portal.

Pembunuhan dan Penipuan

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Argo Yuwono mengatakan, Taat dijemput paksa lantaran sudah tiga kali mangkir dari panggilan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Dia disangka atas dua kasus. Pertama, dugaan pembunuhan dua pengikutnya, Abdul Gani dan Ismail Hidayah.

Jasad Ismail Hidayah, yang sebelumnya tidak dikenali, ditemukan di kebun tebu di Desa Tegalsono, Kecamatan Tegalsiwalan, Probolinggo, pada 4 Februari 2015. Kasusnya ditangani Polres Probolinggo. Karena tak dikenali, jasadnya lalu dimakamkan di pemakaman umum di belakang RSUD Waluyo Jati, Kraksaan, Probolinggo.

Makamnya lalu kembali dibongkar setelah jasad Abdul Gani ditemukan di sungai dekat Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, pada 14 April 2016. Polisi melakukan tes dan mendapati bahwa jasad itu adalah Ismail Hidayah.

Keduanya ditemukan dalam kondisi yang serupa, tewas dengan luka pukulan dan jeratan tali di leher serta kepala terbungkus kantong plastik. Gani diduga dibunuh di salah satu ruangan di padepokan dengan dijerat di bagian leher. Kasus dugaan pembunuhan Gani ditangani langsung oleh Polda Jatim.

Keduanya ditemukan dalam kondisi yang serupa, tewas dengan luka pukulan dan jeratan tali di leher serta kepala terbungkus kantong plastik.

“Ya terpaksa kami jemput paksa. Dia diduga menjadi otak pembunuhan Abdul Gani, warga Semampir, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, dan Ismail, warga Kabupaten Situbondo,” kata Argo.

Kasus kedua yang menjerat Taat adalah dugaan penipuan dengan modus praktik penggandaan uang. Pada saat penangkapan, kasus ini masih didalami. Setelah Taat ditangkap, laporan mengalir tak henti. Warga dari berbagai lokasi di Indonesia melapor karena mengaku telah ditipu.

Sejak 2015 hingga 2016, setidaknya ada tiga laporan terkait Taat Pribadi ke Polda Jawa Timur atas dugaan penipuan. Pertama, dengan kerugian Rp 800 juta, kemudian Rp 900 juta, dan terakhir Rp 1,5 miliar.

Terkuaknya pembunuhan Abdul Gani berawal dari laporan penipuan yang diterima oleh Bareskrim Polri pada Februari 2016.

Pada Februari 2016, melalui kuasa hukumnya, seseorang bernama Muhammad Ainul Yaqin melaporkan dugaan penipuan yang dilakukan Taat selaku pemilik Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Ainul merasa tertipu dengan iming-iming Dimas Kanjeng yang disebut bisa melipatgandakan uang.

“Ada laporannya pada 20 Februari 2016. Yang dilaporkan ke Bareskrim masalah penipuannya, Rp 25 miliar kerugiannya,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Agus Andrianto pada 28 September 2016 lalu.

Setelah Taat ditangkap, laporan mengalir tak henti. Warga dari berbagai lokasi di Indonesia melapor karena mengaku telah ditipu.

Bareskrim lalu menindaklanjuti laporan itu dengan memanggil sejumlah saksi, yakni pihak pelapor dan beberapa warga Probolinggo.

“Dia (Ainul) salah satu yang direkrut, semacam downline di MLM. Jadi, per orang mengumpulkan Rp 25 juta, disetor melalui Abdul Gani,” kata Agus.

Berdasarkan keterangan Ainul dan warga yang dipanggil, sejak 2007 hingga 2015, para korban menyetorkan uang ke Abdul Gani, lalu diserahkan ke Dimas Kanjeng untuk digandakan.

“Dia (Ainul) setor uang, kemudian mendapatkan satu kotak yang isinya baju kebesaran, cincin yang katanya bisa berubah jadi emas, lalu ada uang yang jumlahnya bisa lebih banyak lagi asal dia ikhlas,” ujar Agus.

Gani sebenarnya sudah menyatakan siap memenuhi panggilan Bareskrim untuk memberikan keterangan pada tanggal 13 April 2016. Namun, Gani kemudian ditemukan dalam keadaan tewas di kawasan Waduk Gajah Mungkur keesokan harinya.

Anak Polisi yang Gemar Berguru

Taat Pribadi lahir dan besar di Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Pria kelahiran 4 April 1970 itu adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Mustain dan Angatri.

Semasa duduk di bangku SMP, Taat dikenal pendiam dan sosoknya tidak terlalu menonjol.

Seorang teman masa kecil Taat mengatakan, ayah Taat adalah seorang polisi yang pernah menduduki jabatan strategis di lingkungan Polres Probolinggo pada rentang tahun 1985-1990. Jabatan terakhirnya adalah Kapolsek Gading.

Semasa hidupnya, Mustain dikenal baik dan dermawan oleh warga yang dipimpinnya. Sang ayah meninggal dunia pada 1992, sedangkan sang ibu menyusul pada 2002.

Semasa duduk di bangku SMP, Taat dikenal pendiam dan sosoknya tidak terlalu menonjol. W, sang teman, menuturkan, Taat pernah ikut kegiatan multi-level marketing (MLM) keuangan Yayasan Amalillah bersama dirinya. Namun, yayasan tersebut sudah bubar. Dia menduga, padepokan yang didirikan Taat kemudian terinspirasi dari Amalillah.

Gapura gerbang masuk ke Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. KOMPAS.com/Ahmad Faisol

“Saya kaget tiba-tiba dia mendirikan padepokan. Saya tambah kaget saat dia ditangkap polisi beberapa waktu lalu. Sejak Taat mendirikan padepokan, saya sudah lama tidak berkomunikasi dan bertemu meski saya tinggal di kecamatan yang sama,” ujarnya.

Pada 1994, Taat menikahi Rahma Hidayat. Dari pernikahan dengan Rahma, Taat dikaruniai tiga anak.

Hingga tahun 2016, Taat diketahui telah memiliki tiga istri. Istri keduanya bernama Laila dan istri ketiganya bernama Mafeni.

Camat Gading, Slamet Hariyanto, menyebutkan, salah satu istri Taat sempat meminta namanya dimasukkan ke Kartu Keluarga, tetapi mereka tak bisa mengabulkan karena sang istri tak mampu menunjukkan surat nikah.

Taat pernah ikut kegiatan multi-level marketing (MLM) keuangan Yayasan Amalillah.

Taat muda mendalami ilmu agama Islam dan sempat merantau ke beberapa daerah untuk berguru kepada sejumlah guru dan ulama. Salah satunya ke pondok pesantren pimpinan Husein Ilyas di Brangkal, Mojokerto. Nama Dimas Kanjeng konon merupakan pemberian dari Abah Ilyas.

Sekitar tahun 2000, lanjut Slamet, Taat kembali ke kampung halamannya di Cengkelek dan mulai mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di daerah tersebut. Dia lalu mendirikan sebuah yayasan untuk mendukung aktivitasnya.

Slamet menuturkan, Taat lalu membentuk padepokan pada 2006. Padepokan yang didirikan Taat rutin menggelar pengajian umum, istigasah, hingga pembagian santunan. Taat juga sering melakukan bakti sosial di desa setempat. Kegiatan itu juga masih rutin dilakukan hingga Taat ditangkap pada September lalu.

Dimas Kanjeng bersama ulama menghadiri kegiatan keagamaan di padepokan.

“Kami di sini hanya mengaji, wirid, berdoa, dan menggelar istigasah. Bahkan, jika malam Jumat manis, kami selalu istigasah. Aktivitas kami di sini seperti kaum Muslimin kebanyakan, seperti di pondok pesantrenlah,” ujar seorang santri asal Jawa Barat setelah Taat ditangkap.

Empat tahun berjalan, pada 2010, Taat mulai merekrut pengikut dari berbagai daerah. Menurut Slamet, tak hanya warga setempat, banyak warga dari Pasuruan dan Situbondo serta luar Jawa yang menjadi pengikut Dimas Kanjeng.

Kehadiran para santri tak dimungkiri menghidupkan perekonomian masyarakat Wangkal. Sebagian besar para santri tinggal di rumah atau kamar yang disewakan masyarakat di sekitar padepokan.

Pada tahun 2012, padepokan berstatus menjadi yayasan dan memiliki SK dari Kemenkumham Republik Indonesia. SK terpampang pada papan putih yang dipasang di halaman parkir padepokan di sebelah kanan depan rumah Taat. Sejak saat itu, padepokan disebut semakin berkembang dan maju. Bangunan dan kompleks padepokan semakin megah, luas dan lengkap dengan berbagai fasilitas.

“Simsalabim”

Sejak tahun itu pula, tak hanya santri, para tamu dari berbagai latar belakang bergantian datang ke padepokan. Mereka terpikat praktik penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi.

Mereka dijanjikan uangnya akan berlipat ganda jika ikhlas dan meyakini hal itu bisa terjadi.

Dari penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Bareskrim Polri terhadap sejumlah saksi, yakni pihak pelapor dan sejumlah warga Probolinggo, diketahui adanya modus operasi penggandaan uang seperti jaringan multi-level marketing dan memiliki semacam struktur.

Korban yang selanjutnya kerap disebut santri direkrut oleh para koordinator. “Mahar” yang mereka serahkan akan diteruskan oleh koordinator kepada masing-masing sultan. Para sultan ini lalu akan meneruskannya langsung kepada Taat.

Para sultan dan koordinator juga harus merekrut dan mengusahakan mahar dengan giat agar mereka juga menerima bagian dari penggandaan uang.

Struktur Padepokan
(Versi Kapolres Probolinggo)

Klik kotak di bawah ini untuk mengetahui peran masing-masing.

Guru Besar

Tim Pelindung

Ketua Yayasan

Sultan Agung

Para Sultan

Para Koordinator

Sub-koordinator

Santri

Jumlah mahar yang diberikan beragam, mulai dari Rp 500.000 hingga miliaran rupiah, tergantung kemampuan si santri atau pengikutnya. Mereka dijanjikan uangnya akan berlipat ganda jika ikhlas dan meyakini hal itu bisa terjadi.

Selain itu, jika ingin uangnya berlipat ganda, korban juga harus mengajak beberapa orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Mahar yang diberikan oleh para korban diduga disimpan di bungker.

Mahar yang diberikan oleh para korban diduga disimpan di bungker. Polisi belum menemukan bungker yang diduga berada di dalam padepokan. Namun, dua bungker ditemukan tidak jauh dari rumah istri kedua Taat di Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

“Ada dua bungker di dua kamar ukuran sekitar panjang 2 meter, tinggi 1 meter. Dua bungker itu dalam keadaan kosong,” kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Prabowo Argo Yuwono.

Sementara itu, agar korbannya percaya, Taat memberikan satu kotak berisi baju dan cincin yang disebut bisa berubah menjadi emas setelah korban menyetorkan uang. Selanjutnya, dia menjanjikan uang akan muncul jika korban ikhlas dan meyakini bahwa uang itu bisa berlipat ganda.

Salah satu korban penipuan Taat dari Makassar, Najmiah, misalnya, disebut telah menyetor sekitar Rp 300 miliar kepada Taat semasa hidupnya. Najmiah telah meninggal dunia. Setelah kasus Padepokan Dimas Kanjeng mencuat, pihak keluarga Najmiah ikut melapor.

Sejumlah barang yang berhasil dikumpulkan

Menurut keluarga, setiap menyetorkan uang ke padepokan, ibunya diberikan barang-barang antik yang disebut punya kekuatan gaib. Hingga kini, yang terkumpul antara lain patung Bung Karno berbahan logam, beragam keris yang yang di antaranya disebut milik Raja Brunei dan Raja Majapahit, serta tungku yang disebut milik makhluk legenda Nyi Roro Kidul.

Selain itu, juga ada cambuk, gada, dan barang antik lainnya. Ada pula tumpukan uang kertas dari berbagai negara, tumpukan kertas yang dibundel seukuran uang kertas, dan 268 buah emas palsu batangan berlogo palu dan arit. Keasliannya masih diragukan.

Bagi para santrinya, uang berlimpah dipercaya datang dari kemampuan Dimas Kanjeng mendatangkan duit puluhan juta rupiah dalam hitungan menit. Ada pula yang mengklaim, uang Rp 1 miliar datang hanya dalam setengah jam.

Salah satu korban penipuan Taat dari Makassar, Najmiah, misalnya, disebut telah menyetor sekitar Rp 300 miliar kepada Taat semasa hidupnya.

Lalu, tak hanya uang, benda-benda berharga dalam sekejap mata juga bisa didatangkan. Para santri sebenarnya tak terlalu sepakat dengan kata “menggandakan”, mereka lebih setuju bahwa Taat “mengadakan” uang dan benda-benda berharga.

Saat berdemonstrasi mendatangkan uang, Taat hanya duduk di kursi kosong, menggunakan wewangian, dan kedua tangannya disimpan di belakang punggungnya. Dari balik punggung itu, dia bisa mendatangkan uang miliaran, emas, cincin, hingga jam Rolex, sesuai permintaan.

“Itu ilmu gaib. Uangnya asli karena bukan pakai mesin, melainkan didatangkan dengan ilmu. Polisi pernah bolak-balik memeriksa keaslian uang itu,” ujar Taat saat itu.

Pernah disinggung soal rumahnya yang biasa saja, bahkan terbilang agak sempit sedangkan dia bersedekah hingga miliaran, Taat merasa tak ada masalah.

“Saya dilarang memperkaya diri sendiri oleh guru saya. Uang yang datang itu disuruh disedekahkan kepada fakir miskin,” ungkapnya.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, uang yang disita dari padepokan Dimas Kanjeng milik Taat Pribadi tak seluruhnya asli. Uang asli yang ditemukan di padepokan bahkan hanya berjumlah Rp 4 juta.

Polri menduga, uang yang diperlihatkan Taat dalam foto dan video yang beredar adalah palsu. Polisi juga telah mencoba mencari bungker yang diduga berada di padepokan itu, tetapi hasilnya nihil.

“Ada yang bilang dalam bungker, ada yang bilang di gudang. Namun, polisi sudah lakukan upaya pencarian itu,” kata Boy.

Santri padepokan diwajibkan membayar mahar dan memperoleh “dapur ATM” berupa kotak dan kantong.

Sementara itu, lanjut dia, polisi menduga uang palsu yang “digandakan” oleh Taat dititipkan ke sejumlah pengikutnya.

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Probolinggo, H Yasin, mengatakan, ajaran di Padepokan Dimas Kanjeng ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Ajaran yang terbuka tidak ada yang aneh, seperti istigasah, pengajian umum dengan mendatangkan kiai, dan memperingati hari besar keagamaan.

“Namun, ada ajaran yang tertutup. Ajaran yang tertutup inilah yang dicurigai. Dari laporan yang sudah sampai ke MUI, ajaran tertutup itu berupa wirid, bacaan-bacaan, mandi, dan ritual lainnya yang mengarah ke pencairan uang atau penggandaan uang,” ungkap Yasin.

Dari temuan MUI dan laporan santri, lanjut Yasin, santri padepokan diwajibkan membayar mahar dan memperoleh “dapur ATM” berupa kotak dan kantong. Kotak itu sudah berisi jimat yang disebut bisa menyedot banyak uang. Sebagai ritual agar “dapur ATM” itu terus berisi uang, santri harus membayar mahar untuk membeli gelang, sabuk, dan kartu ATM, yang nilainya hingga jutaan rupiah.

“Kotak itu terlebih dulu diisi Rp 10.000. Nah, jika ingin terus bertambah, kotak tidak boleh dibuka, dan santri harus terus membayar mahar supaya kotak itu terus bertambah uangnya. Begitu modus dan temuan kami,” katanya.

MUI juga menemukan selebaran Shalawat Fulus, yang dibaca pengikut padepokan dalam setiap kegiatan. Bacaan ini diyakini bisa mendatangkan uang gaib.

Marwah mengaku beberapa kali menyaksikan langsung proses munculnya uang dari tangan Taat.

Kejanggalan ajaran seperti itu disampaikan ke MUI Jatim dan akan disampaikan ke MUI Pusat.

Yasin tak menampik bahwa jumlah santri di Padepokan Dimas Kanjeng bisa 20.000-30.000 orang dari banyak daerah di Indonesia karena banyak orang yang tergiur jika melihat video mendatangkan uang yang diunggah di YouTube.

“Siapa yang tidak tergiur dengan keberadaan uang sebanyak itu di YouTube,” ujarnya.

Dia juga menyadari bahwa santri padepokan tersebut berasal dari berbagai profesi, mulai PNS, pengusaha, pedagang, guru, petani, wiraswasta, pegawai BUMN, hingga politisi. Bahkan, seorang mantan wakil bupati juga terlihat mengikuti kegiatan Padepokan Dimas Kanjeng.

Para santri, lanjut Yasin, terlihat berpendidikan dengan penampilan rapi dan bersih. Namun, kebanyakan santrinya berasal dari ekonomi menengah ke bawah.

“Soal berpendidikan atau tidaknya santri, kan bisa dilihat sendiri. Wong Marwah Daud Ibrahim saja jadi santrinya,“ ujarnya.

Marwah Daud Ibrahim adalah Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Suaminya menjadi salah satu sultan dalam struktur operasional padepokan.

Marwah percaya bahwa Taat memang memiliki kemampuan untuk memunculkan uang secara tiba-tiba.

“Tidak ada menggandakan. Beliau punya ilmu bisa memindahkan uang melalui tangannya, atau tiba-tiba ada peti berisi uang, atau ruangan penuh berisi uang,” ujar Marwah suatu waktu.

Marwah mengaku beberapa kali menyaksikan langsung proses munculnya uang dari tangan Taat. Meski mengaku tidak tahu dari mana asal-usul uang itu, dia yakin bahwa alat tukar tersebut tidak palsu.

Karena dikenal “mampu” dan juga sering menyumbang dan memberi bantuan, Taat menjadi sosok yang dihormati. Saat raja-raja Nusantara berkunjung ke Kabupaten Probolinggo, 11 Januari lalu, dia pun diberi gelar Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Taat juga kerap bertemu dengan tokoh-tokoh publik, dari politikus hingga artis. Fotonya dengan tokoh-tokoh tersebut dipajang berjejer di padepokan.

Taat Pribadi, pengasuh Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, saat diberikan gelar Sri Prabu Rajasa Nagara oleh Asosiasi Raja-raja Nusantara.

Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari mengaku bersyukur atas penangkapan Dimas Kanjeng di padepokannya di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Sebab, padepokan itu sudah lama dia curigai karena diduga menjadi tempat penggandaan uang.

Sebelum Dimas Kanjeng ditangkap, Tantri mengaku miris lantaran banyak tamu yang berdatangan ke padepokan itu menjadi korban penggandaan uang. Bahkan, tamu yang datang tidak hanya berasal dari luar kota, tetapi juga dari luar provinsi hingga luar negeri.

“Selaku Bupati, saya merasa sedih melihat keadaan itu. Dengan ditangkapnya pimpinan padepokan itu terkait kasus pembunuhan terhadap dua pengikutnya, setidaknya ini menjadi pintu awal untuk mengungkap kedok Dimas Kanjeng. Padepokan mengantongi izin dari Kemenkumham, tetapi tak disebutkan (memiliki) izin penggandaan uang. Penangkapan dia momen yang ditunggu-tunggu,” ujarnya.

Linimasa Kasus Dimas Kanjeng

4 Februari 2015

Jasad Mr X ditemukan di kebun tebu di Desa Tegalsono, Kecamatan Tegalsiwalan, Probolinggo, sekitar 38 km dari lokasi padepokan. Karena tak dikenali, jasadnya dikubur di pemakaman umum di belakang RSUD Waluyo Jati, Kraksaan, Probolinggo.

20 Februari 2016

Bareskrim Polri menerima laporan dari seseorang bernama Ainul yang mengaku tertipu dengan iming-iming Dimas Kanjeng yang disebut bisa melipatgandakan uang. Dia mengaku menyetor uang kepada Abdul Gani dengan iming-iming bisa digandakan berpuluh kali lipat.

13 April 2016

Gani dijadwalkan memberikan keterangan kepada Bareskrim Polri terkait dugaan penipuan oleh Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dilaporkan oleh seseorang bernama Ainul.

14 April 2016

Jasad Abdul Gani ditemukan di sungai dekat Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, sekitar 350 km dari lokasi padepokan.

Juni 2016

Polisi membongkar makam Mr X dan melakukan tes dengan mencocokkan DNA pada jasad tersebut dan seorang anak. Setelah cocok, jasad tersebut lalu dikenali sebagai Ismail Hidayah.

Polisi menerima sejumlah laporan dugaan penipuan yang dilakukan Taat Pribadi.

Juli 2016

Surat perintah pemanggilan Taat Pribadi mulai dilayangkan

21 September 2016

Polisi memasukkan Taat dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 21 September 2016 setelah dia mangkir dari tiga kali panggilan. Polisi sempat mengeluarkan surat perintah penangkapan pada 10 September 2016.

22 September 2016

Polisi berjaga di depan rumah Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang berada di dalam kompleks padepokan saat penggerebekan, Kamis (22/9/2016). KOMPAS.com/Ahmad Faisol

Ribuan aparat gabungan dari Polda Jawa Timur, Polres Probolinggo, dan TNI dikerahkan mengepung Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Pada pukul 06.00 WIB, penggerebekan dimulai. Tim mulai dengan menggeledah rumah Taat, tetapi dia tidak ditemukan. Sejam setelah operasi dimulai, Taat ditemukan berada di ruang fitness bersama istrinya. Dia lalu digiring menuju kendaraan taktis barakuda.

Pada pukul 08.00 WIB, penggerebekan dinyatakan selesai. Setengah jam setelahnya, pasukan ditarik dari padepokan.

23 September 2016

Ratusan santri bertahan di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi pasca-penangkapan Taat, Kamis (22//9/2016). Bujukan polisi agar mereka pulang tidak diindahkan. KOMPAS.com/Ahmad Faisol

Polisi kembali mendatangi padepokan untuk membongkar portal yang menutup jalan umum. Pembongkaran itu sempat dihalangi para santri yang masih bertahan di padepokan. Dua santri ditahan karena berusaha menghalangi pembongkaran tersebut.

Para santri bertahan di padepokan. Mereka membangun tenda-tenda di halaman padepokan.

28 September 2016

Taat mulai diperiksa di Mapolda Jatim atas dugaan penipuan modus penggandaan uang. Ada tiga laporan dugaan penipuan terhadap Dimas Kanjeng. Pertama dengan kerugian Rp 800 juta, kedua Rp 900 juta, dan terakhir Rp 1,5 miliar.

Polisi sudah menetapkan Taat sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya dalam kasus pembunuhan Abdul Gani dan Ismail.

30 September 2016

Taat ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan penipuan dan penggelapan uang.

3 Oktober 2016

Ribuan santri mulai meninggalkan padepokan. Dari sebelumnya ada 3.119 santri, kini tersisa 86 santri.

6 Oktober 2016

Satu dari empat buronan kasus pembunuhan Abdul Gani dan Ismail menyerahkan diri.

17 Oktober 2016

Marwah Daud Ibrahim diperiksa Polda Jatim terkait kasus penipuan Taat. Tiga hari setelahnya, suami Marwah, Ibrahim Tadju, diperiksa bersama Taat di Polda Jatim.

19 Oktober 2016

Sejumlah makam misterius ditemukan di sekitar Padepokan Dimas Kanjeng. Ada lima makam yang diselidiki polisi. Satu di antaranya diketahui meninggal 10 hari sebelum Taat ditangkap.

25 Oktober 2016

Dua buah bungker ditemukan polisi tidak jauh dari rumah istri kedua Taat di Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Kedua bungker itu dalam keadaan kosong.

Sehari sebelumnya, istri pertama dan istri ketiga Dimas Kanjeng diperiksa di Polda Jatim.

3 November 2016

Sidang perdana kasus pembunuhan mantan Ketua Umum Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng yakni Abdul Gani dengan empat terdakwa, yaitu Wahyu Wijaya, Wahyudi, Kurniadi, dan Ahmad Suryono.

Ikuti perkembangan terbaru kasus Dimas Kanjeng di liputan khusus Dimas Kanjeng Ditahan Polisi.

Testimoni Eks Santri/Korban

Nama : Junaedi
Asal : Situbondo
Nilai yang disetor : Rp 205 juta

Junaedi mengaku bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi sejak tahun 2011. Dia mengenal padepokan ini dari Ismail Hidayah, salah satu korban pembunuhan yang diduga dilakukan oleh Taat Pribadi.

Junaedi menceritakan, selama menjadi pengikut Taat, dia kerap mengikuti pengajian di padepokan sehingga mengenal warga Situbondo yang juga menjadi pengikut Dimas Kanjeng.

“Saya akui teperdaya dengan tipu-tipu yang dilakukan Taat Pribadi dan menjanjikan uang yang saya setor sebanyak Rp 205 juta sebagai mahar bisa digandakan, tetapi ternyata itu bohong,” kata dia.

Junaedi sudah mulai curiga tertipu sejak 2014. Oleh karena itu, pria yang juga menjadi Ketua LSM Gempur Situbondo itu berusaha mengundurkan diri menjadi pengikut Padepokan Dimas Kanjeng.

Uang mahar yang diberikan oleh ribuan orang pengikut Dimas Kanjeng di Situbondo, lanjut dia, jumlahnya bervariasi, mulai dari Rp 1 juta hingga ratusan juta rupiah.

“Kalau korban penipuan Dimas Kanjeng yang melapor ke Polres Probolinggo hanya ada empat orang, yang lainnya tidak melapor itu ada dua kemungkinan, bisa karena malu dan juga karena takut,” ucap dia.



Nama : Tutik Zakariyah
Asal : Kalimantan Timur
Nilai yang disetor : Rp 1 miliar

Tutik datang melapor ke Polres Probolinggo, Jawa Timur, bersama anaknya, Minggu (9/10/2016). Dia mengaku sudah menyetor Rp 1.000.050.000 kepada pihak padepokan.

Pembayaran mahar terakhir dilakukan dua bulan lalu untuk menebus sebuah cincin merah delima sebesar Rp 500 juta.

“Saya ke datang dari Kalimantan ke Probolinggo untuk mengambil dana pencairan di padepokan. Dijanjikan cair pada akhir September lalu, tetapi sampai sekarang belum cair. Justru Dimas Kanjeng ditangkap polisi,” kata Tutik.

Tutik mengaku menjadi santri padepokan sejak enam tahun lalu, tepatnya pada 2010, setelah diajak temannya. Selama menunggu pencairan, dia tinggal di rumah saudaranya di Probolinggo.

Karena uang yang dia setor tak cair juga, Tutik pun memberanikan diri melapor ke polisi. Tutik diterima polisi di posko pengaduan korban Dimas Kanjeng, tepatnya di Ruang Unit Tindak Pidana Satreskrim Mapolres Probolinggo.

Saat melapor, Tutik tak membawa barang bukti. Barang bukti bakal dia serahkan pekan depan demi kelengkapan berkas penyelidikan.



Nama : AS
Asal : Probolinggo
Nilai yang disetor : Rp 3,5 juta

AS, seorang jebolan pondok pesantren yang mengelola lembaga pendidikan, awalnya menjalani hidup sederhana. Jalan pikirannya berubah pada awal 2014 ketika bertemu temannya sesama pengurus lembaga pendidikan yang mengajaknya bergabung menjadi santri Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi.

“Dia bercerita banyak soal kesaktian Dimas Kanjeng. Saya sebelumnya juga telah mendengar kehebatan mendatangkan uang gaib si Dimas Kanjeng dari teman, saudara, orang pasar, dan media sosial. Teman saya itu jadi koordinator padepokan. Menurut dia, santri yang membayar mahar Rp 1 juta bisa mendapatkan Rp 1,5 miliar,” kata AS, Minggu (16/10/2016).

Karena tuntutan ekonomi dan harga bahan pokok merangkak naik, AS mulai berpikir tentang ajakan temannya tersebut. Dia setengah yakin, separuh tidak percaya. Namun, derasnya cerita bahwa Dimas Kanjeng memiliki kesaktian dan mendengar bahwa santri lainnya mendapatkan pencairan uang berlipat-lipat dari nilai yang disetor membuat dia lupa diri.

“Saya lupa diri dan hilang akal. Akhirnya saya putuskan untuk menjadi pengikut dengan menyetor mahar kepada koordinator itu,” kisah AS.

AS merinci, setoran pertama Rp 500.000, kemudian Rp 1 juta, Rp 500.000, Rp 1 juta, dan terakhir Rp 500.000. Total uang yang dia setor Rp 3,5 juta. Tanpa kuitansi, tanpa hitam di atas putih, atas dasar kepercayaan saja sambil berharap uangnya cair menjadi Rp 3,5 miliar.

“Uang itu milik lembaga pendidikan saya yang saya pinjam. Juga penghasilan saya dari honor dan hasil jualan produk. Saya sempat meminjam ke teman-teman untuk menambah setoran, tetapi hanya Rp 3,5 juta yang saya setor,” tuturnya.

Tak seperti santri lainnya. AS mengaku tidak mendapatkan barang dari mahar yang dia setor, seperti cincin, gelang, foto, dan kantong kain. Dia juga sempat heran lantaran dirinya tidak mendapatkan barang sebagai bukti santri Dimas Kanjeng. Padahal, AS sering mendengar bahwa santri Dimas Kanjeng selalu mendapatkan barang-barang di atas supaya uangnya bisa digandakan, bisa kembali berlipat-lipat.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, AS terus menagih kapan uangnya cair, kapan maharnya kembali berlipat-lipat, kepada temannya itu yang juga merupakan koordinator padepokan tingkat daerah.

Namun, ujar AS, sang koordinator selalu beralasan belum cair. Dimas Kanjeng masih melakukan proses dan ritual sehingga uang belum cair. Alasan lain koordinator, pencairan itu menunggu meledaknya resi gudang uang di sejumlah daerah. Diperkirakan pencairan itu sebulan lagi, dua bulan lagi, atau tahun depan.

Namun, lebih dari setahun menunggu, AS akhirnya mulai curiga. Sebab, janji koordinator selalu meleset. AS akhirnya meminta uangnya kembali pada awal tahun 2015. Permintaan itu tak langsung dipenuhi. Berbekal ngotot dan pantang menyerah, AS mendapatkan kembali uang Rp 3,5 juta itu dari koordinator.

“Untung uang saya kembali. Mungkin karena dia teman saya sehingga uang saya dikembalikan. Sekarang saya tidak percaya sama padepokan itu. Mungkin Allah memberikan hidayah. Saya saat ini menjalan hidup biasa saja, mencari rezeki halal dengan bekerja yang baik,” kata AS.

AS bercerita, uang temannya sebesar Rp 10 juta yang sudah disetorkan tak jelas juntrungannya. Temannya itu mendapatkan mahar gelang, cincin, foto, dan kantong kain, serta dijanjikan uangnya berlipat ganda hingga Rp 15 miliar.

Selain itu, lanjut AS, koordinator yang mengutip mahar darinya juga terpaksa tetap menjadi koordinator karena santri yang menjadi pengikutnya terus menagih.

Pola Pikir Instan

Rasa pahit menyelimuti Junaedi, Tutik, dan AS. Mereka hanya bisa menanti tanpa kepastian berjuta-juta uang yang sudah disetorkan ke Padepokan Dimas Kanjeng.

Junaedi mengaku teperdaya, Tutik terbuai cerita manis temannya, sedangkan AS lupa diri dan hilang akal. Mereka mengakui, logika kalah dari iming-iming bahwa uang mereka bisa berlipat ganda secara instan. Cukup menyetor uang, berdoa, lalu ikhlas menunggu.

Ketua Program Studi Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Avin Fadilla Helmi mengatakan, sebagian masyarakat Indonesia memang masih mudah tergoda dengan iming-iming yang instan, seperti ingin kaya dengan cara penggandaan uang.

“Selaku bupati, saya merasa sedih melihat keadaan itu. Dengan ditangkapnya pimpinan padepokan itu, terkait kasus pembunuhan terhadap dua orang pengikutnya, setidaknya menjadi pintu awal untuk mengungkap kedok Dimas Kanjeng. Padepokan mengantongi izin dari Kemenkumham, tetapi tak disebutkan izin penggandaan uang. Penangkapan dia jadi momen yang ditunggu-tunggu.”

Untuk berbahagia dan menikmati kemewahan, orang hanya berpikir uang adalah jalan keluarnya. Oleh karena itu, untuk mencapainya, logika kerap diabaikan. Menurut Ivan, ilmu psikologi mengenal proses seperti netralisasi terhadap perilaku yang tidak betul yang disebut moral disengagement. Orang seharusnya merasa bersalah dan malu jika melakukan sesuatu yang salah atau tidak logis, tetapi kini kepekaan itu hilang.

“Ini menurut saya tidak sengaja telah tercipta sistem nilai dan perilaku, menggambarkan semua bisa dibeli dengan instan dan tidak harus bekerja keras. Nilai semua dipangkas, tidak melalui fase-fase yang mendidik, misalnya untuk berpahit-pahit dahulu lalu buahnya manis,” ungkapnya.

Di tubuh birokrasi, lanjut Ivan, akibatnya tercipta dorongan untuk melakukan pungutan liar. Dia mengaku pernah melakukan survei sederhana tentang cara orang-orang membuat SIM.

Sebagian besar menjawab mau membayar lebih mahal agar SIM jadi lebih cepat tanpa mengikuti prosedur yang panjang.

Perilaku instan, lanjut Ivan, juga didorong oleh hilangnya pola hidup sederhana di tengah masyarakat. Kemewahan menjadi penanda utama modernisasi. Kelas menengah ke atas tergiur kemewahan, begitu pula kelas ekonomi bawah.

“Ada beberapa hal yang cukup serius, termasuk dampak sosial dari adanya padepokan ini. Ada ribuan pengikutnya menyetorkan sekian uang. Bagi kami pemerintah, apakah yang namanya pengikut ini masih memiliki harta, atau setelah pulang hartanya sudah habis dan menjadi kelompok miskin baru.”

“Model-modelnya lebih cenderung hedonistik, menyenangkan, hal-hal yang sifatnya keduniawian. Kota-kota saja saat ini banyak mal, mau tidak mau yang diciptakan bukan kesederhanaan,” ujar Ivan.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menilai sikap hedonistik telah mendorong orang mengaku bisa menggandakan uang dan sekaligus membuat orang-orang mudah tergiur.

Penggandaan uang, lanjut dia, menjadi jalan pintas bagi orang-orang yang mengalami disorientasi karena ingin mencapai target tertentu dalam waktu singkat.

“Kalau mengumpulkan uang dengan cara normal entah kapan bisa, akibatnya orang mengambil jalan pintas,” ungkap Azyumardi.

Masyarakat yang mengalami krisis karakter dan jati diri lalu akan mudah terbuai dengan pengultusan terhadap individu yang dinilai memiliki karisma dan dibicarakan banyak orang tanpa mengujinya dengan pikiran sendiri. Mereka mengalami disorientasi lalu tersesat.

Tak kritis lagi

Tak ada lagi pola pikir kritis, begitu disimpulkan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Heddy Shri Ahimsa Putra. Filsafat pemikiran yang meliputi pengembangan logika dan akal budi tidak berkembang di dalam masyarakat sehingga seseorang tidak pernah kritis dengan cara berpikirnya.

“Kami saat ini sudah menangani kasus penggandaan uang dan juga meminta Bank Indonesia untuk mengecek uang-uang yang ada, apakah asli atau palsu.”

“Saya pikir duduk perkaranya di sana. Itulah mengapa ilmuwan pun terjebak,” ungkap Heddy.

Pola pikir yang tak lagi kritis, lanjut dia, lalu menyebabkan mental menerabas tumbuh subur. Seseorang fokus pada hasil, keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan prosesnya.

“Ini yang menjadi masalah, kalau menjelaskan dengan kacamata psikologis ya kerakusan, ketamakan. Tetapi, kalau dari kacamata lain sebenarnya cara berpikirnya yang menurut saya dalam tanda petik ‘belum positivisme’,“ tutur Heddy.

Menurut Heddy, berpikir positif itu berarti mengamati sesuatu dengan saksama dan mencari bukti empirisnya. Di dalam setiap trik penipuan penggandaan uang, lanjut dia, korban tidak pernah kritis melihat proses yang dilalui.

“Tiba-tiba mengambil uang dari belakang, apa tidak terpikir dia menyimpan uang di belakang dulu. Coba tidak pakai pakaian, bisa enggak dia menggandakan uang. Kalau mau menguji kan gitu,” tegasnya.

“Uang yang dia kuasai ini sudah ke mana-mana. Beri kesempatan penyidik untuk menelusuri, follow the money, alirannya ke mana.”

Di Indonesia, prosedur meneliti fenomena sehari-hari kerap tidak rasional atau mengikuti prinsip ilmiah. Heddy mencontohkan fenomena Dukun Ponari yang mampu menyembuhkan orang sakit dengan memberi air yang telah dicelupkan batu untuk diminum. Menurut dia, tak ada penelitian detail terhadap fenomena tersebut.

“Jadi sesuatu yang kelihatannya aneh jadi ilmiah, masuk akal, dan rasional. Nah itu, mau sampai ke sana saja susah sekali, akhirnya jadi masalah,” ujar dia.

Heddy menilai, lemahnya pola pikir masyarakat berkaitan dengan dunia pendidikan. Menurut dia, dunia pendidikan seharusnya memberikan cara pandang yang berbeda dan baru karena pola pikir adalah permasalahan mendasar.

“Di kalangan perguruan tinggi sendiri saat ini juga belum sepenuhnya berakar. Karena apa, itu kan filsafat. Dunia filsafat kita kan tidak berkembang, ini sesuatu yang mendasar karena pola pikir,“ ucap dia.

Selain itu, lanjut Heddy, keluarga juga memiliki pengaruh besar dalam menciptakan pola pikir manusia yang positif.

Senada dengan Heddy, Azyumardi mengatakan, salah satu solusi mengatasi munculnya kembali generasi yang mudah terjebak penipuan berkedok penggandaan uang secara instan adalah pendidikan karakter yang dimulai dari keluarga.

Keluarga adalah sumber pembentukan karakter yang pertama dan utama. Dari keluarga, anak bisa tumbuh dengan karakter dan tujuan hidup yang jelas.

Sayangnya, lanjut Azyumardi, banyak orangtua yang sibuk bekerja dan abai terhadap pembentukan karakter anak.

Produser
Caroline Damanik
Copywriter
Lilyana Tjoeng
Penulis
Caroline Damanik Ahmad Faisol (Kontributor Probolinggo) Wijaya Kusuma (Kontributor Yogyakarta) Ahmad Faizal (Kontributor Surabaya)
Graphic Designer
Stephanie Tanata
Frontend Developer
Ilma Akrimatunnisa

Copyright 2016. Kompas.com