Apakah Anda sudah berbuat sesuatu untuk Jakarta?

Yayasan Taufan

Memberi suport moriil maupun finansial kepada anak dengan penyakit berisiko tinggi

Yayasan Taufan
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Kegiatan fun trip yang digelar Yayasan Taufan untuk anak-anak berpenyakit dengan risiko tinggi. Dalam kegiatan ini, anak-anak diajak memasak makanan sehat.

Nana tampak tergopoh-gopoh saat memasuki Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, awal Mei lalu. Tangan kirinya tampak menenteng dua plastik besar berisi puluhan boneka. Tangan kanannya membawa satu tas besar berisi kursi roda. Sementara itu, di punggungnya tampak sebuah tas yang ia bawa bersama dengan barang-barang di kedua tangannya itu.

Sambil tersenyum, Nana menyapa Ida Widyaningsih (40), yang berada di depan ruang perawatan anak (BCh) RSCM. Ida yang tengah menggendong anaknya, Nagita, langsung menyapa balik. Nana menanyakan kondisi Nagita yang tampak segar dan sehat hari itu.

"Alhamdulillah, ini sudah mulai kempis perutnya, tidak besar lagi. Ini sudah kemoterapi beberapa kali," jawab Ida.

Kepada Nana, Ida memperlihatkan foto kondisi Nagita sebelum menjalani pengobatan. Dalam foto itu, perut Nagita tampak besar dan kondisinya memprihatinkan. Namun, kini Nagita tampak sehat.

Perutnya tak lagi besar seperti beberapa bulan lalu. Nana dan Ida pun saling melempar senyum. Sesekali Ida menyeka air mata di balik kacamatanya karena tak mampu menahan haru saat berbincang dengan Nana.

Nana bukanlah dokter. Ia adalah co-founder dari Yayasan Taufan, sebuah komunitas yang peduli terhadap anak-anak penderita kanker dan penyakit berisiko tinggi lainnya. Hari itu, Selasa (10/5/2016), perempuan bernama lengkap Adriana tersebut bersama tiga relawan lainnya, mengunjungi beberapa pasien anak di RSCM.

Kunjungan Nana dan rekannya itu merupakan bagian dari support visit, salah satu program Yayasan Taufan, yang dilakukan dua kali dalam sepekan. Program ini bertujuan memberikan dukungan moril dan materiil kepada pasien, termasuk Nagita, bayi delapan bulan penderita tumor.

(Kompas.com/Kristianto Purnomo)

Nagita tak sendiri. Ada lima anak yang memiliki penyakit berisiko tinggi lainnya menunggu kedatangan Komunitas Taufan. Tawa anak-anak pun pecah ketika Nana dan relawan lainnya menyapa.

Mereka berlarian untuk berebut pelukan para relawan. Ada juga yang malu-malu dan duduk di pangkuan ibunya. Boneka-boneka yang sudah disiapkan kemudian dibagikan. Senyum semringah anak-anak pun merekah.

Para orangtua kemudian diajak ke sisi lain RSCM. Mereka mengantre untuk mendapatkan keperluan anaknya, mulai dari diaper, susu bubuk, selimut, hingga pemutar DVD portabel. Keperluan anak-anak itu langsung diberikan oleh seorang donatur sekaligus relawan tetap Komunitas Taufan, Richard, warga negara asing (WNA) asal Swedia yang menetap di Indonesia.

"Semoga tidak hanya yayasan, komunitas, dan pemerintah yang peduli terhadap anak kanker, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan," kata Yeni.

Bagi pria yang dipanggil Papi Bule itu, aksi dan donasi sosial ini bagian dari usahanya untuk mendukung anak-anak sembuh. Sebelum bergabung, Richard lebih dulu mengenal Yeni Dewi Mulyaningsih atau yang dikenal sebagai Mama Taufan.

Yeni adalah pendiri Komunitas Taufan, yang pernah ditulis Zack Petersen di The Jakarta Globe. Richard bergabung setelah istrinya meninggal karena kanker paru-paru.

Bersama Richard, Nana dan relawan Komunitas Taufan lainnya kemudian mengunjungi Rumah Sakit Thamrin dan melakukan program home visit di rumah Muhammad Reza (14), penderita leukemia di Kampung Pulo, Jakarta Timur.

Saat Komunitas Taufan mendatangi rumahnya, Reza tampak senang bukan kepalang. Wartini, ibu Reza, mengatakan bahwa anaknya sangat menunggu kedatangan Komunitas Taufan.

Kehadiran Komunitas Taufan seolah membangkitkan semangat. Reza dan Komunitas Taufan membuat gelang dan pembatas buku bersama. Wartini pun tak bisa menahan haru.

“Memang ada kemungkinan terburuk dari penyakit anak saya, tetapi Mama Taufan jadi contoh sosok. Mama Taufan bisa semangat, jauh dari rumahnya datang ke RSCM untuk anak-anak. Saya juga harus bisa,” kata Wartini.

Kisah Taufan

Komunitas Taufan didirikan Yeni dan Nana pada 2013. Penyematan nama Taufan dalam komunitas ini tak lepas dari Yeni. Taufan merupakan anak Yeni yang meninggal setelah dua tahun berjuang melawan leukemia tipe AML (Acute Myeloid Leukemia).

Cara Yeni berjuang bersama Taufan dan merawatnya di RSCM dilirik banyak orang, termasuk relawan Count Me In saat itu. Yeni membuat catatan lengkap perihal pengobatan Taufan, mulai dari proses awal di rumah sakit, obat, dokter, hingga perkembangan Taufan setiap hari. Setelah dimotivasi untuk membagikan ilmu, Yeni pun tergerak lalu mendirikan Komunitas Taufan.

Aktivitas Komunitas Taufan beragam, mulai dari support visit atau dukungan datang ke RSCM, bangsal visit atau mendatangi kamar pasien, home visit atau mendatangi rumah pasien, hingga fun trip atau jalan-jalan bersama pasien. Kehadiran Komunitas Taufan sejatinya untuk mengembalikan keceriaan anak dan menguatkan para orangtuanya.

Yayasan Taufan
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Yayasan Taufan
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Kegiatan fun trip yang digelar Yayasan Taufan untuk anak-anak berpenyakit dengan risiko tinggi. Dalam kegiatan ini, anak-anak diajak memasak makanan sehat.

Komunitas Taufan terus berkembang sejak berdiri pada dua tahun lalu. Jumlah relawan Komunitas Taufan sudah lebih dari 100 orang.

Belum lagi donatur setiap bulan sebanyak 30-50 orang. Semua dilakukan Yeni dan relawan dengan ikhlas.

Donasi pun langsung disalurkan dan hasilnya dilaporkan ke pasien. Di sisi lain, Yeni berharap agar Jakarta semakin ramah dengan pasien penderita kanker. Sebab, hanya rumah sakit di Jakarta yang memiliki tenaga medis dan fasilitas mumpuni untuk mengobati kanker.

"Semoga tidak hanya yayasan, komunitas, dan pemerintah yang peduli terhadap anak kanker, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan," kata Yeni.

Kampung Banjarsari

Dipilih UNESCO sebagai lokasi proyek percontohan pengelolaan limbah rumah tangga

Banjarsari
(Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)
Dewi Sayekti, putri bungsu Harini Bambang Wahono, yang kini melanjutkan kegiatan ibunya mengedukasi warga tentang penghijauan.

Terik matahari dan kepulan debu menghiasi Jalan Fatmawati di Jakarta Selatan setiap harinya. Namun, di tengah pembangunan MRT dan kepungan hutan beton, sebuah gang bergapura bata merah memiliki pemandangan berbeda.

Menginjakkan kaki ke Jalan Banjarsari terasa nyaman dan sejuk. Berbagai jenis tanaman, mulai dari tanaman hias hingga tanaman obat-obatan, memenuhi setiap sudut rumah dan persimpangan.

Suasana asri ini bermula dari sebuah rumah di pojok Jalan Banjarsari XIV Nomor 4. Suatu ketika, Harini, anak seorang mantri perkebunan di Solo yang pindah ke Jakarta bersama suami dan keempat anaknya 36 tahun silam, memiliki keinginan untuk menjadikan rumahnya asri seperti kampung halamannya.

Harini Bambang Wahono meninggal pada Mei tahun lalu di usia 85 tahun dengan segudang prestasi. Tetangga sekaligus sahabat karibnya, Nyonya Fakhri (73), menuturkan, semua kegiatan penghijauan di Banjarsari bermula dari ajakan Harini.

"Dulu kampung ini namanya masih Swadaya. Tetapi, karena Bu Harini dan penduduk pertama di sini, termasuk saya, itu pendatang dari Solo, kami namai seperti kecamatan di sana. Ibu Harini yang awalnya mengajak tanam-menanam, mimpinya sebagai ketua RT itu membuat lingkungan yang rimbun," ujar Nyonya Fakhri.

(Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)

Dari kedua tangannya, Harini menanam kesadaran akan pentingnya penghijauan lingkungan yang menginspirasi dunia.

Satu per satu pot mulai menghiasi Banjarsari yang tandus. Berbagai tanaman, dari yang berbunga sampai merambat, ada di berbagai rumah di Banjarsari.

Pada tahun 1996, UNESCO mendengar tentang hijaunya kampung ini. Banjarsari pun terpilih sebagai percontohan permukiman pengelolaan limbah rumah tangga.

"Ibu Harini yang jadi penghubung UNESCO sekaligus pelatih. UNESCO membantu, semua rumah dibelikan tanaman dan diajarkan cara mengelola sampah," kata Nyonya Fakhri.

Kini, selepas Harini tiada, kegiatan penghijauan masih berlangsung di Banjarsari. Adalah Dewi Sayekti, anak bungsu Harini yang kini melanjutkan perjuangan Harini.

Setiap bulannya, Dewi masih aktif mengumpulkan Kelompok Tani Dahlia, ibu-ibu PKK, komunitas, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk belajar ke rumahnya.

"Bagi saya, ini tinggal meneruskan apa yang sudah Eyang lakukan. Rasanya ada utang kalau enggak diteruskan," ucap Dewi.

Selain berbagi tips soal bercocok tanam, Dewi juga mengajak mereka untuk berkreasi dari sampah. Tas dari kemasan pengharum pakaian, gelang dari kresek, dan berbagai kreasi plastik lainnya dibuat oleh Dewi dan kawan-kawan. Bukan sekadar pengisi waktu luang, kreasi ini juga dibeli dan dipesan dalam jumlah banyak.

"Dalam hidup sehari-hari kita menerapkan 4R, yaitu reduce, reuse, recycle, dan replant," kata Dewi.

Adapun untuk sampah organik, warga Banjarsari dapat mengendapkan daun-daun kering dan sampah lainnya yang nantinya akan menjadi kompos.

banjarsari
(Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)
banjarsari
(Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)
Suasana kampung banjarsari yang tampak hijau.
"Dalam hidup sehari-hari kita menerapkan 4R, yaitu reduce, reuse, recycle, dan replant," kata Dewi.

Kesadaran warga

Untuk urusan teknis, tak ada yang sulit bagi Dewi. Kesulitan yang terbesar baginya adalah menanamkan kesadaran kepada tetangga-tetangganya.

Sebelum terpilih menjadi ketua RT, Dewi mengaku sulit sekali mengajak warga untuk menerapkan 4R. Terlebih lagi, sejak 2010, UNESCO sudah melepas mereka.

Beruntung, setelah menjadi ketua RT, Dewi boleh agak memaksa warganya untuk terus mempercantik lingkungan.

"Seiring berjalan waktu, ibu saya sudah enggak ada, dan yang memelopori dulu sepuh semua, sisanya sudah pindah. Rumah-rumah di sini sudah alih fungsi sebagai kos-kosan, yang notabene mereka tidak peduli dengan lingkungannya. Itu kendala yang kami hadapi," ujarnya.

Kini rumah-rumah di Banjarsari sebagian memang beralih fungsi menjadi rumah kos berlantai empat. Sebagian lagi memiliki desain modern dan sebagian lainnya memajang papan “DIJUAL”.

Dewi menuturkan, dahulunya Banjarsari benar-benar hijau seperti desa. Semua warga berlomba-lomba untuk menghiasi rumah dan areanya. Namun, kini ada saja warga yang tak senang dengan tanaman dan membabat pohon di sekitarnya.

Tak banyak yang bisa Dewi lakukan selain terus menginspirasi dan membagi ilmunya. Ia membuka rumahnya bagi siapa saja yang ingin belajar, seperti Kampung Agro Wisata Rawajati yang dulu berguru pada Banjarsari, menurut dia, jauh lebih baik dari Banjarsari.

Baginya, mewujudkan kota yang asri dan hijau hanya dapat dilakukan dari rumah sendiri. Ia masih percaya bahwa dengan memulai dari sendiri akan menginspirasi orang lain.

"Saya menaruh harapan besar kepada siapa pun kepala pemerintahan Jakarta agar Jakarta semakin asri, banyak pohon, dan hutan buatan, karena ya itu... manfaatnya luar biasa."

Komunitas Sapu Bersih (Saber)

Membersihkan ranjau paku di jalan

Saber
(Kompas.com/Andri Donnal Putera)
Tiga relawan ranjau paku yang tergabung dalam komunitas Saber (Sapu Bersih), (dari kiri ke kanan) Miskun, Taufik, dan Siswanto, memperlihatkan hasil paku yang mereka dapatkan dengan alat buatan sendiri usai menyusuri Jalan KH Hasyim Ashari hingga Jalan Medan Merdeka Utara, Senin (9/5/2016) pagi sekali menjaring ranjau paku atau "nyaber", total paku yang dikumpulkan per orang bisa mencapai lima sampai tujuh kilogram.

Abdul Rohim (50) adalah seorang kepala keluarga yang bekerja sebagai sopir pribadi di kawasan Jakarta Barat. Setiap hari, dia berangkat dan pulang kerja mengendarai sepeda motor.

Rute yang dia lalui pun selalu sama, dari Pesing menuju Grogol melalui flyover Roxy hingga Harmoni. Sepanjang jalan itu terdapat deretan tukang tambal ban yang terlihat sering ramai didatangi pengendara sepeda motor dalam kondisi bannya kempis.

Sekitar awal 2010, Rohim menjadi salah satu pelanggan sejumlah tukang tambal ban tersebut. Hampir setiap hari, ban sepeda motornya bocor akibat terkena benda tajam, mulai dari paku, jari-jari payung, sampai benda-benda lainnya.

"Saya dulu korban. Mobil bos saya juga kena ranjau paku. Pas tahu banyak paku, saya pikir, harus ada yang bersihin jalan dari ranjau paku. Itu akhir tahun 2010. Sebelum dan sesudah kerja, saya mungutin paku manual pakai tangan, mulai dari Taman Kota sampai Green Garden," kata Rohim di kediamannya, Senin (9/5/2016).

Rohim tergerak mengumpulkan ranjau paku karena melihat banyaknya korban. Suatu ketika, dia mendapati ada satu keluarga yang menuntun sepeda motor dengan kondisi ban kempis pada malam hari. Saat itu cuacanya mendung dan sedang gerimis.

Hal itu membuat Rohim tersentuh dan akhirnya merasa lebih yakin untuk mengumpulkan ranjau paku.

"Hati saya menangis. Saya merasa terpanggil. Minimal bisa membantu meminimalisasi dampak ranjau paku ini," tutur Rohim.

Berbekal panggilan hati, Rohim mulai mengumpulkan ranjau paku setiap hari. Belum ada alat dan teman, Rohim mengambil satu per satu paku yang dilihatnya di jalan dengan tangan.

Tindakan Rohim berbuah manis. Pada awal 2011, Rohim bertemu dengan Siswanto (42), pengendara sepeda motor yang memiliki keinginan yang sama untuk membersihkan ranjau paku di jalan.

Dari sana, tercetus ide membentuk komunitas dengan nama Sapu Bersih (Saber), relawan pengumpul ranjau paku.

Cara mengumpulkan paku semakin berkembang, yaitu dengan menggunakan magnet yang dimodifikasi. Modal modifikasi magnet itu sekitar Rp 50.000.

Kegiatan Rohim dan Siswanto menarik perhatian pengguna jalan sehingga anggota Saber terus bertambah. Setiap mereka membersihkan ranjau paku, banyak warga yang mendukung, menyemangati, dan memberi makanan.

(Kompas.com/Andri Donnal Putera)

Bertaruh nyawa

Pengalaman anggota Saber saat mengumpulkan ranjau paku tidak main-main. Berada di jalan pada jam sibuk menjadi tantangan tersendiri. Seperti yang pernah dialami oleh Rohim ketika dia tertabrak oleh pengendara sepeda motor di flyover Roxi.

"Saya ketabrak sama motor, kepala langsung jatuh ke belakang, pas diobatin ada 12 jahitan. Saya sempat enggak nyaber dulu beberapa hari karena badan masih lemas," ujar Rohim. Rohim menuturkan, ancaman juga pernah datang dari oknum tukang tambal ban yang mengganggu pembersihan ranjau paku.

"Diancam, saya mau dibunuh itu sudah biasa. Tapi, selama saya berbuat benar, saya enggak takut, maju terus," kata Rohim.

Sementara itu, Siswanto mengaku pernah dihampiri dua anak muda yang berboncengan naik sepeda motor dan berusaha memukul dirinya. Kondisi saat itu, Siswanto sedang nyaber sendirian, pagi hari sebelum matahari terbit.

"Dari jauh sudah ada yang mepet-mepet, saya kayak mau dipukul pakai kayu. Untung badan saya lumayan gede, jadi sudah siap kalau ada kayak begitu, he-he-he," selorohnya. Bahkan, ada juga ancaman yang diterima melalui SMS karena Rohim dan anggota Saber lainnya menyertakan nomor kontak di akun media sosial.

"Diancam, saya mau dibunuh itu sudah biasa. Tapi, selama saya berbuat benar, saya enggak takut, maju terus," kata Rohim.

Saking seringnya mengumpulkan ranjau paku, anggota Saber sudah paham modus yang digunakan penyebar paku, yaitu menaruh paku dalam plastik hitam atau di dalam kotak korek api dan dijatuhkan di jalan.

Mereka juga tahu tukang tambal ban yang kerja dengan benar dan tukang tambal ban yang curang.

"Cara ngebedainnya gampang, kalau di satu tempat tukang tambal ban cuma ada satu atau dua orang, itu tukang tambal ban yang benar. Tetapi, kalau yang jaga ramai, itu ada oknum yang nyebar paku," tutur Rohim.

Banyaknya ancaman dan tantangan membuat dukungan terhadap Saber sangat tinggi. Komunitas Saber pernah diberi penghargaan oleh Wali Kota Jakarta Barat Burhanuddin pada 31 Oktober 2011.

Saat itu, komunitas Saber diundang ke Kantor Wali Kota Jakbar untuk mengikuti apel dan menerima penghargaan serta bantuan.

Beberapa bulan kemudian, Saber juga diberi penghargaan oleh Kapolda Metro Jaya saat itu, Inspektur Jenderal Untung S Rajab, atas dedikasi mereka dalam melayani masyarakat. Penghargaan diberikan pada 11 Januari 2012.

Sejak saat itu, Saber resmi ditetapkan sebagai mitra polisi dan mengenakan seragam resmi dari Ditlantas Polda Metro Jaya. Sampai saat ini, anggota Saber berjumlah sekitar 40 orang, yang terdiri dari pengemudi ojek, pekerja bangunan, karyawan swasta, sopir angkutan umum, mahasiswa, dan sebagainya.

saber
(Kompas.com/Andri Donnal Putera)
Relawan ranjau paku Saber (Sapu Bersih), Siswanto, berjalan menyapu ranjau paku di Jalan KH Hasyim Ashari, Jakarta Barat, Senin (9/5/2016) pagi.
Sebagai relawan Saber, risiko kecelakaan cukup tinggi karena selalu berhadapan dengan kendaraan di jalan.
saber
(Kompas.com/Andri Donnal Putera)
Relawan ranjau paku Saber (Sapu Bersih), Siswanto, memegang alat buatan sendiri dengan ratusan paku menempel di tengah kegiatan membersihkan ranjau paku, Senin (9/5/2016) pagi.
Masing-masing anggota Saber punya kreativitas sendiri dalam membuat alat untuk menjaring ranjau paku yang rata-rata berbahan dasar magnet.

Area operasi Saber masih terbatas karena minimnya personel dan ada di antara anggota yang tidak nyaber setiap hari.

"Sebenarnya Saber masih kekurangan orang. Kami belum bisa jangkau daerah yang jauh, kayak Jakarta Utara sama Jakarta Selatan, Jakarta Timur sama Bekasi. Padahal, di sana juga banyak ranjau pakunya, enggak kalah banyak sama Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Malah paku paling banyak itu di Ring Satu, kayak Jalan Veteran, Medan Merdeka Utara, itu parah sekali," ujar Rohim.

Dalam sehari, satu anggota Saber bisa mengumpulkan 7 sampai 10 kilogram paku. Jumlah paku yang telah terkumpul hingga saat ini, dari seorang anggota saja, bisa sampai 4 ton.

Paku-paku yang terkumpul itu dijual per kilogram kepada tukang barang bekas dan uang hasil penjualan itu digunakan untuk biaya operasional Saber.

Kegiatan ini merupakan contoh nyata gerakan dari mereka yang peduli terhadap kondisi di DKI Jakarta. Anggota Saber berharap Pemprov DKI Jakarta dapat mendukung dan menindak tegas oknum tukang tambal ban yang bertindak curang dengan menyebar ranjau paku di jalan.

Komunitas Peduli Ciliwung Gema Bersuci

Membersihkan dan mengolah sampah Ciliwung

gema-bersuci
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Pendiri Komunitas KPC Gema Bersuci Royani saat mengendarai gerobak motornya yang membawa berkarung-karung sampah dari Kali Ciliwung.

Sabtu (21/5/2016) pagi itu, Royani memarkir gerobak motor (germor) miliknya di bantaran Sungai Ciliwung, Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sepeda motor dengan bak kecil di belakangnya itu biasa digunakan oleh Royani untuk mengangkut berkarung-karung sampah dari Ciliwung.

Royani bukanlah seorang tukang sampah. Pria 61 tahun itu adalah pendiri Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Gerakan Masyarakat Bersih Sungai Ciliwung (Gema Bersuci). Sesuai dengan namanya, komunitas ini memiliki kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan Sungai Ciliwung.

Bersama dengan relawan lainnya yang tergabung dalam KPC Gema Bersuci, Royani secara rutin membersihkan Ciliwung dari sampah. Menurut dia, dalam dua hari, bisa terkumpul 20-an karung sampah dari Ciliwung.

"Baru dua tiga hari, sampahnya sudah kayak begini," kata Royani saat membuka pembicaraan dengan Kompas.com, pagi itu. Sampah yang dipungut dari Ciliwung itu bervariasi jenisnya, mulai dari sampah dedaunan, ranting, dahan pohon, plastik, botol, hingga sandal bekas.

(Kompas.com/Kristianto Purnomo)

Tutup TPS ilegal

Sejak 2011, Royani mencurahkan waktu dan tenaganya untuk Ciliwung. Lima tahun lalu, ia mengaku terketuk hatinya ketika melihat tepian Ciliwung dijadikan tempat pembuangan sampah (TPS) oleh warga di sekitar rumahnya.

Royani kemudian merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu. Ia lalu mengubah lahan seluas 2.200 meter yang biasa dijadikan tempat sampah itu menjadi markas KPC Gema Bersuci.

Pembuangan sampah di pinggir Ciliwung itu bukan satu-satunya yang ditutup Royani.

"Total sudah empat yang saya tutup, dan masih akan tetap lanjut," ujar Royani.

Usahanya menutup empat TPS ilegal ini bukan tanpa perlawanan. Bagi segelintir orang, aksi penutupan TPS ilegal oleh Royani ini sama saja dengan menutup periuk nasi mereka.

"Anda bayangin satu (pengangkut) gerobak (sampah dibayar) Rp 500.000 sebulan. Jadi kalau ada 20 gerobak, dia (dapat) Rp 10 juta. Dia dapat begitu kita stop, marah kan dia," ujar Royani.

Kendati demikian, Royani tak menyerah. Ia pun mencoba menggandeng pihak kelurahan untuk menutup sejumlah TPS ilegal. "Kami hadapi, tapi di belakang kami ada pemerintah," sambung dia.

"Waktu saya kecil itu nyelam bisa melek, kita nyari kijing, laya, nangkep ikan. Kijing itu remis (kerang), adanya di dasar campur sama pasir halus," kata Royani.

Kegiatan utama komunitas yang didirikan Royani ini adalah membersihkan Ciliwung. Sepanjang 6,2 kilometer Ciliwung yang membentang dari Pejaten Timur hingga perbatasan Rawajati menjadi tanggung jawab mereka. Royani dan kawan-kawan biasanya menggunakan perahu karet. Mereka menyusuri Ciliwung dengan perahu karet, kemudian memunguti sampah di aliran sungai satu per satu.

Hari itu, relawan lainnya, yakni Ismail (36), Ahmad Muhtar (58) atau Bang Amad, dan Wahid (61), menyusuri aliran Sungai Ciliwung dengan perahu karet. Tak lama kemudian, mereka menepi. Mereka kemudian mulai membersihkan tepi sungai tersebut dari sampah.

Dengan menggunakan garpu sampah, mereka mengumpulkan plastik, botol, dan keset bekas, kemudian dimasukkan ke karung. Selanjutnya, karung-karung berisi sampah itu dibawa ke markas KCP.

"Kalau sudah penuh, perahu barang kami lepas hanyuti saja dari atas, nanti di KPC ada yang nangkepin," ujar Ismail.

gema-bersuci
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Sejumlah relawan KPC Gema Bersuci saat membersihkan bantaran Ciliwung dari sampah.
gema-bersuci
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Sejumlah relawan KPC Gema Bersuci menggunakan perahu mesin untuk menyusuri aliran sungai ciliwung.

Sungai purbakala

Bagi Royani, Ciliwung bagaikan sungai purbakala. Sungai itu, kata dia, membentang dari hulu di kawasan Cianjur sampai hilir di kawasan Ancol.

"Mulai dari hulu di belakang rumah makan Rindu Alam, Cianjur, sampai dengan Ancol panjangnya 110 kilometer, kemudian disodet oleh Belanda sampai Angke, jadilah 117 kilometer," ujar dia. Pria kelahiran 1955 itu ingat betul ketika air Ciliwung belum tercemar pada 1966. Royani kecil saat itu sering menyelam di Ciliwung.

"Waktu saya kecil itu nyelam bisa melek, kita nyari kijing, laya, nangkep ikan. Kijing itu remis (kerang), adanya di dasar campur sama pasir halus," kata Royani. Tetapi, kata dia, manusia merusak kejernihan air Ciliwung hanya dalam setengah abad. Sekitar 1967, pembangunan di Jakarta mulai menggunakan pasir yang ditambang dari Ciliwung.

Kemudian pada 1970, Ciliwung mulai tercemar limbah, termasuk limbah plastik, rumah tangga, dan limbah pabrik tahu atau tempe. Selain membersihkan Ciliwung dari sampah, KPC Gema Bersuci mendaur ulang sampah tersebut untuk menjadi pupuk, tanaman hias, biogas, atau tanaman hidroponik.

KPC Gema Bersuci juga berupaya mengembangkan Ciliwung untuk tujuan ekowisata. Bulan depan, mereka akan menguji coba rute ekowisata Ciliwung, mulai dari kawasan Universitas Indonesia, Depok, hingga Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Komunitas Historia Indonesia

Menumbuhkan kepedulian anak muda akan sejarah dan budaya

komunitas-historia
(Kompas.com/Jessi Carina)
Komunitas Historia Indonesia bersama peserta sebelum memulai tour malam di Museum Bahari, Jalan Pasar Ikan, Jumat (13/5/2016).

Museum Bahari merupakan bagian dari sejarah Jakarta. Dulunya, pada masa pendudukan Belanda, bangunan yang terletak di kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara, itu adalah gudang untuk menyimpan, memilih, dan mengepak hasil bumi, seperti rempah-rempah yang merupakan komoditas utama VOC yang sangat laris di pasaran Eropa.

Bangunan ini memiliki dua sisi, yaitu sisi barat dikenal dengan sebutan Westzijdsche Pakhuizen atau Gudang Barat (dibangun secara bertahap mulai tahun 1652-1771) dan sisi timur disebut Oostzijdsche Pakhuizen atau Gudang Timur.

Gudang Barat terdiri dari empat unit bangunan, dan tiga unit di antaranya yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari. Gedung ini awalnya digunakan untuk menyimpan barang dagangan utama VOC di Nusantara, yaitu rempah, kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung-gedung ini dipakai sebagai tempat menyimpan barang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini dipakai oleh PLN dan PTT untuk gudang. Tahun 1976, bangunan cagar budaya ini dipugar kembali, dan kemudian pada 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari.

Sejarah itu bisa didapatkan hanya dengan browsing di internet. Namun, seberapa banyak warga Jakarta yang mengetahui dan berkunjung ke Museum Bahari?

(Kompas.com/Kristianto Purnomo)

Malam-malam wisata museum

"Supaya punya rasa memiliki, kita harus mengenali. Mengenali Jakarta artinya mempelajari sejarahnya." Begitu kata Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI), yang menginginkan warga Jakarta bisa mengetahui sejarah kotanya. Mereka kerap menggelar acara Wisata Museum.

Seperti pada Jumat (13/5/2016) malam. Sekumpulan anak muda sudah berkumpul di Museum Bahari, Jalan Pasar Ikan. Bangunan tua yang diterangi lampu temaram membuat suasana menjadi sedikit menyeramkan.

Terlebih lagi, museum ini dulunya dijadikan tempat shooting film Si Manis Jembatan Ancol. Seketika, jadi teringat film yang dibintangi oleh Ben Stiller tentang benda museum yang hidup pada malam hari, Night at the Museum.

"Supaya mereka punya rasa memiliki, ya mereka harus mengenali. Mengenali Jakarta artinya mempelajari sejarahnya," ucap Asep.

Ternyata mereka sengaja. Asep Kambali mengatakan, konsep ini diambil untuk mengusir stigma seram dan membosankan saat berkunjung ke museum. "Saya kepengin kasih angle berbeda dari museum. Selama ini orang berpikir kalau museum itu seram dan enggak menyenangkan, ya kita mau kasih angle beda dari itu," ujar Asep.

Lebih dari 50 orang mengikuti acara tur malam itu. Mereka dibagi dua kelompok dan dibekali light stick agar bisa terlihat dalam gelap.

Masing-masing kelompok akan dipandu satu orang pengurus KHI yang akan menceritakan sejarah tempat yang mereka lalui. Mereka bersama-sama tenggelam dalam cerita tempo dulu sambil melihat benda-benda peninggalan sejarah.

Mereka pun melihat replika kapal pinisi, maket-maket pulau di Jakarta, dan lukisan Laksamana Malahayati, panglima perang dari Aceh yang memimpin pasukan janda. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB, berdasarkan jadwal, tur malam mereka berakhir pada saat itu. Tetapi, tunggu dulu. Masih banyak tempat di Museum Bahari yang belum dieksplorasi.

"Lanjut saja, Kang Asep. Kita enggak apa sampai tengah malam," ujar peserta.

Tur malam itu pun dilanjutkan. Mereka keluar dari museum untuk menaiki Menara Syahbandar. Dari atas menara, terlihat pemandangan seluruh kawasan museum yang tampak kontras dengan puing-puing sisa penertiban di sebelahnya.

komunitas-historia
(Kompas.com/Jessi Carina)
Peserta tour museum berfoto bersama di depan Menara Syahbandar yang ada di area Museum Bahari, Jalan Pasar Ikan, Jumat (13/5/2016).
komunitas-historia
(Kompas.com/Jessi Carina)
Pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, sedang menunjukan kepada peserta maket peta Teluk Jakarta yang ada di Museum Bahari, Jalan Pasar Ikan, Jumat (13/5/2016).

Ajakan kepada warga Jakarta

Untuk mengikuti wisata museum macam ini, biasanya KHI membuka pendaftaran di situs web mereka, http://www.komunitashistoria.com/. Di dinding situs web itu, mereka mengumumkan acara yang akan digelar. Siapa pun bisa mendaftar, tetapi jumlahnya dibatasi hanya 50 orang.

Menurut Asep, meski harus membayar Rp 150.000, peminatnya cukup tinggi. Bukan hanya dari warga Jakarta, melainkan juga wisatawan asing. Dengan membayar Rp 150.000, peserta mendapatkan makanan, minuman, dan snack.

“Sebenarnya bisa kami gratiskan. Hanya saja, jika digratiskan, yang daftar belum tentu datang sehingga banyak makanan yang malah jadi mubazir,” kata Asep.

Adapun Komunitas Historia Indonesia sudah 13 tahun berkiprah. Kisah awalnya berangkat dari kekhawatiran Asep saat masih menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Jakarta (dulu bernama IKIP).

Menurut dia, generasi muda sering menganggap pelajaran Sejarah sebagai pelajaran paling membosankan dan membuat mengantuk. Di kalangan mahasiswa sendiri, jurusan Sejarah dianggap sebagai jurusan yang tidak memiliki prospek kerja.

Ketika itu, Asep yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan Sejarah UNJ menggelar lomba lintas sejarah untuk siswa SMA. Para siswa diajak mengelilingi museum dan situs sejarah lainnya.

Kegiatan itulah yang menjadi cikal bakal konsep tur yang dilakukan KHI hingga saat ini.

"Saya kuliah jurusan Sejarah, tetapi anak-anak enggak suka sejarah. Ngapain saya kuliah di situ? Jadi saya bikin KHI ya karena saya ingin sejarah itu jadi menyenangkan," kata Asep.

KHI resmi didirikan di Jakarta pada 22 Maret 2003, berdasarkan kesepakatan dalam forum rapat di kampus UNJ yang dihadiri beberapa mahasiswa dari UNJ dan UI. Tujuannya, untuk menjadi komunitas peduli sejarah dan budaya Indonesia yang gaul. Dengan demikian, sejarah bisa diajarkan dengan cara yang menyenangkan.

"Supaya mereka punya rasa memiliki, ya mereka harus mengenali. Mengenali Jakarta artinya mempelajari sejarahnya," ucap Asep.

Koalisi Pejalan Kaki

Memperjuangkan hak pejalan kaki, khususnya trotoar, yang selama ini sering diserobot pengendara

koalisi-pejalan-kaki
(Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)
Salah seorang pendiri Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus

"Pah, kok motor boleh lewat trotoar sih? (Trotoar) itu kan buat jalan kaki?" begitu pertanyaan polos yang disampaikan anak berusia enam tahun kepada ayahnya, Anthony Ladjar.

Pertanyaan itu seketika menyadarkan Anthony yang sedang membawa sepeda motornya melintas di trotoar. Sadar bahwa trotoar merupakan hak pejalan kaki, Anthony kemudian mengajak rekan-rekannya untuk melakukan aksi untuk menggugah kesadaran tertib berlalu lintas.

Pada 2011, ia bersama “KRL Mania” membentuk Koalisi Pejalan Kaki yang beranggotakan tujuh orang. Selain Anthony, di antaranya ada almarhum Deddy Herlambang, Sugihardjo, Alfred Sitorus, dan Ahmad Safrudin. Hanya butuh waktu dua pekan bagi mereka untuk memutuskan langsung beraksi di trotoar.

"Kami bikin satu spanduk, tulisannya motor dilarang naik trotoar dan menghadang mereka. Pengendara motor yang melintas di trotoar langsung (kami) gotong motor mereka ke jalan raya," kata Anthony.

(Kompas.com/Kristianto Purnomo)

Beberapa aksi yang dilakukan Koalisi Pejalan Kaki dianggap nekat, misalnya diam mematung sambil memegang poster hingga tidur di trotoar. "Kami sudah tahu risikonya. Aksi ekstrem kami yang tidur di trotoar ini tersebar di media sosial," kata seorang pendiri Koalisi Pejalan Kaki, Alfred.

Pada 2012, Koalisi Pejalan Kaki menjadikan aksi menghadang pengendara motor sebagai kegiatan rutin mingguan setiap hari Jumat. Tujuan aksi tersebut adalah untuk mengedukasi dan mengembalikan kesadaran pengguna jalan mengenai tertib berlalu lintas.

"Entah itu bagi pejalan kaki atau pengendara, harus sama-sama ditertibkan. Sebab, masih banyak pejalan kaki yang keliru juga, seperti menyeberang sembarangan tidak pada tempatnya," kata Alfred.

"Kami juga sering disebut begal. Kami membegal para pengguna motor yang melintas di trotoar dan membegal para pengguna motor yang masih maju ke zebra cross," kata Alfred.

Kenyang makian

Para aktivis Koalisi Pejalan Kaki tidak pernah melawan jika ditantang oleh para pengendara motor. Pengendara motor sering menuding Koalisi Pejalan Kaki sebagai kelompok bayaran, dan orang-orang yang bergabung di dalamnya disebut orang gila, sok jagoan, atau tidak mempunyai pekerjaan.

Koalisi Pejalan Kaki sudah kenyang menghadapi makian pengendara motor yang tidak senang ditertibkan. Bahkan, ada yang pernah dipukul dengan helm, kaki dilindas motor, hingga ditantang berduel.

"Kami juga sering disebut begal. Kami membegal para pengguna motor yang melintas di trotoar dan membegal para pengguna motor yang masih maju ke zebra cross," kata Alfred.

"Di Jakarta, kalau ada masyarakat yang protes fasilitas pejalan kaki disebut manja. Negara mengatur hak pejalan kaki, makanya kami protes, dan berkomitmen melakukan aksi nyeleneh," kata Alfred.

Selain trotoar, hak pejalan kaki lainnya adalah zebra cross. Berbekal stopwatch, mereka beraksi membawa poster dan menghadang pengendara motor yang mencoba berhenti melewati batas zebra cross. Stopwatch diatur dengan hitungan dari lampu merah ke lampu hijau. Setelah stopwatch berhenti, mereka kembali ke trotoar.

koalisi-pejalan-kaki
(Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)
koalisi-pejalan-kaki
(Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)
Koalisi Pejalan Kaki beraksi di depan Stasiun Kota. Mereka mengampanyekan trotoar bukan untuk pagar. Di depan Stasiun Kota kini dibangun pagar dan menghambat laju pejalan kaki.

"Banyak pelanggaran yang dilakukan pengendara mobil, sepeda motor, bus, bahkan sampai petugas, kami temukan melanggar zebra cross. Ternyata pendidikan lalu lintas tidak sampai ke penegak hukumnya. Padahal, aturannya sederhana, hanya berhenti di belakang zebra cross," kata Alfred.

Aksi lain yang dilakukan Koalisi Pejalan Kaki adalah mengecat zebra cross yang warnanya sudah pudar. Pengecatan dilakukan supaya pejalan kaki dapat lebih jelas menggunakan haknya.

Alfred menyebut aksi pengecatan zebra cross itu dilakukan dengan ruwatan zebra cross. Aksi nyeleneh itu ternyata pernah diprotes oleh Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat karena merasa tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya dilangkahi oleh masyarakat sipil.

"Tetapi, kami bisa apa lagi selain melakukan aksi seperti ini untuk mengingatkan pemerintah? Begitu pejalan kaki tertabrak dan tidak ada zebra cross di sana, kekuatan hukumnya akan hilang," kata Alfred.

Lima tahun beraksi, semakin banyak warga ataupun komunitas yang tertarik mengikuti jejak Koalisi Pejalan Kaki. Pada dasarnya semua warga merupakan pejalan kaki sehingga dapat ikut beraksi bersama Koalisi Pejalan Kaki dengan syarat tidak berkerumun saat beraksi dan tidak meninggalkan sampah setelahnya.

"Begitu Anda sudah memberi like ke fanpage Koalisi Pejalan Kaki dan follow Twitter @trotoarian, Anda mendapat update aksi dari kami. Kami tidak punya kartu keanggotaan atau yang lain. Atau kalau mau mampir ke sekretariat kami, silakan ke Gedung Sarinah Thamrin lantai 12," kata Alfred.

Banyak juga warga yang memberi sumbangan kepada Koalisi Pejalan Kaki. Alfred menyebutkan, mereka lebih sering menerima donasi dalam bentuk fisik, seperti cat atau kuas.

Adapun donasi dalam bentuk uang bisa ditransfer ke rekening Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) sebagai organisasi induk Koalisi Pejalan Kaki.

Pasalnya, hingga kini, Koalisi Pejalan Kaki belum memiliki badan hukum, NPWP, dan rekening koran. Nantinya, donasi akan diaudit secara rutin.

"Intinya, selama penegakan hukum belum tegas, pelanggaran tertib berlalu lintas belum berakhir, atau ajal menjemput saya, aksi ini akan terus berjalan dan harus ada regenerasi. Kami agak pesimistis melihat kondisi pembiaran pelanggaran lalu lintas sampai saat ini, kecuali ada tangan besi yang bisa mengubah ini semua sampai akhirnya masyarakat Indonesia bisa tertib seperti masyarakat yang ada di luar (negeri)," ucap Alfred.

Saaja

Sekolah alternatif anak jalanan

saaja
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Pembina SAAJA Agus Supriyanto.

“Dua puluh ditambah lima, dua puluh di otak, lima di jari… dua puluh lima.” Begitulah cara siswa-siswi Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA) belajar berhitung. Tak hanya bersuara, mereka juga menggerakkan tangan untuk mempermudah berhitung.

Senin itu, 16 Mei 2016, seusai siswa-siswi kelas TK B belajar, sang guru mengetes kemampuan berhitung mereka. Siswa yang bisa menjawab dipersilakan pulang. Mereka berhitung dengan semangat agar menjadi yang tercepat.

Semangat itu tak hanya tampak di wajah siswa-siswi kelas TK B. Semangat yang sama juga menghiasi wajah polos siswa-siswi kelas TK A1 dan A2 di SAAJA.

SAAJA merupakan alternatif pendidikan bagi anak-anak dari keluarga pra-sejahtera yang dibangun oleh Yayasan Pemberdayaan Rakyat Miskin (PaRaM) pada 2002 di Taman Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DKI Jakarta, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

(Kompas.com/Kristianto Purnomo)

“Yang memotivasi kami mengelola SAAJA dengan segala keterbatasannya adalah keinginan mendampingi pendidikan bagi keluarga pra-sejahtera dan anak-anak yang masih beraktivitas di jalanan. SAAJA masih diperlukan di tengah masyarakat metropolitan,” kata Pembina SAAJA, Agus Supriyanto.

SAAJA mempunyai tiga kelas. Kelas TK A1 setara dengan pendidikan anak usia dini (PAUD), TK A2 untuk anak-anak usia 5-6 tahun, dan TK B untuk anak-anak usia 6-7 tahun yang akan memasuki sekolah dasar (SD).

Setiap Senin sampai Jumat, pembelajaran berlangsung pada pukul 11.00-17.00. Mereka belajar bergantian di ruang kelas yang sama.

Anak-anak belajar membaca dan berhitung. Mereka juga diajarkan Pancasila, lagu-lagu nasional, serta pendidikan dasar agama Islam. Setiap Sabtu, mereka memiliki kegiatan ekstrakurikuler atau lingkungan.

“Dengan mengenalkan kegiatan menanam dan merawat lingkungan, diharapkan dapat membekali anak-anak untuk mencintai lingkungan,” ujar Agus.

“(Harapannya) SAAJA berkembang menjadi sekolah alternatif bagi warga, untuk memberikan pendampingan terkait pendidikan bagi generasi bangsa, pendidikan yang adil tanpa diskriminasi,” kata Agus.

Ruang kelas sederhana

Siswa-siswi SAAJA belajar di ruangan berukuran sekitar 6 meter x 10 meter yang dibangun dari bambu, kayu, dan dinding tripleks. Alas sekolah hanya diplester dan diberi karpet plastik yang mulai robek. Ruangan itu beratap terpal yang dilapisi daun rumbia.

SAAJA pernah ditawari untuk dibuatkan kelas permanen. Namun, pengelolanya menolak tawaran itu. Selain karena sekolah dibangun di Taman Badiklat, bangunan itu juga merupakan bentuk kritik sosial.

“Kami menyadari bahwa fungsi taman harus dijaga. Dan untuk tempat belajar SAAJA biar tetap seperti gubuk rakyat, gubuk belajar bagi warga, dan taman bermain bagi anak-anak. Ciri gubuk SAAJA adalah bentuk kritik sosial kepada kita semua bahwa di metropolitan masih perlu rumah sederhana untuk belajar warga. Tempat belajar tidak harus megah dan permanen, di mana pun bisa dilakukan pembelajaran,” kata Agus.

Seluruh kegiatan belajar mengajar di SAAJA ditunjang oleh donatur. Mereka memberi sumbangan berupa dana, perlengkapan belajar untuk siswa, program belajar, makanan, seragam sekolah, dan lainnya.

Tidak menentunya dana yang diperoleh membuat biaya operasional sekolah terhambat. Honor untuk guru sering terlambat dibayar. Meski begitu, guru-guru tetap ikhlas mengajar.

saaja
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Suasana di salah satu sudut sekolah SAAJA di kawasan kuningan, Jakarta. Terdapat fasilitas bermain anak di sekolah tersebut.
saaja
(Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Anak-anak SAAJA tengah mendengarkan guru mereka. Mereka belajar sambil bermain di sekolah alternatif anak jalanan tersebut.

“(Honor) tahun ini turun, tadinya Rp 1 juta jadi Rp 500.000. Ini udah bulan Mei, yang April aja belum dibayar. Tapi, alhamdulillah berkahnya ada, kecipratan dikit-dikit. Kalau ada acara, misalnya, sisa makanan lumayan saya bawa untuk anak-anak,” kata Nunung, salah seorang guru.

Permasalahan lahan

Kelas yang berdiri di Taman Badiklat DKI itu membuat pengelola SAAJA khawatir karena sewaktu-waktu sekolah itu bisa digusur. Terakhir kali Pemprov DKI melayangkan surat peringatan pada Juli 2014.

“Menjawab surat dari Pemprov, kami audiensi, diterima sekda bidang kesra. Dalam pertemuan dijanjikan win-win solution, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan. Satu sisi kami alami rasa waswas dengan sikap Pemprov sekarang ini yang giat menggusur. Tapi, di sisi lain kami meyakinkan warga binaan (orangtua siswa) agar tak perlu resah,” tutur Agus.

Yayasan PaRam berharap pembelajaran di SAAJA dapat terus dilaksanakan meskipun banyak kendala.

“(Harapannya) SAAJA berkembang menjadi sekolah alternatif bagi warga, terutama di Jakarta, ataupun di kota-kota lain, untuk memberikan pendampingan terkait pendidikan bagi generasi bangsa, pendidikan yang adil tanpa diskriminasi,” kata Agus.

Gerakan Naik Umum

Kampanye melalui media sosial untuk mendorong warga naik angkutan umum

naik-umum
(Kompas.com/Alsadad Rudi)
Inisiator Gerakan Naik Umum, Andreas Lucky Lukwira saat menjelaskan rute-rute angkutan umum yang lewat di kawasan Cawang di Halte BKN. Setiap harinya, Andreas dan rekan-rekannya di Gerakan Naik Umum aktif mengajak warga di lingkungan sekitarnya untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan naik angkutan umum.
Ajakan juga mereka sampaikan melalui media sosial.

Waktu menunjukkan pukul 06.00. Mengenakan kemeja dan celana dengan setelan yang rapi, Andreas Lucky Lukwira (28) mulai bersiap diri untuk bergegas berangkat menuju tempat kerjanya.

Di rumahnya, ada satu mobil dan tiga sepeda motor terparkir di garasi. Namun, kendaraan-kendaraan itu sama sekali tak disentuhnya. Dia memilih berangkat bekerja dengan naik bus transjakarta.

Rumah Andreas beralamat di Cipayung, Jakarta Timur. Setiap pagi, biasanya dia akan mengendarai motor terlebih dulu ke Pusat Grosir Cililitan (PGC) dan memarkirkan motornya di fasilitas park and ride yang ada di lokasi tersebut.

Setelah memarkirkan motornya, ia kemudian menuju ke Halte PGC untuk melanjutkan perjalanannya ke kantor naik bus transjakarta Koridor V. Kantor tempat Andreas bekerja berlokasi di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat.

"Mobil cuma dipakai pas weekend, buat jalan-jalan," ujar dia.

Menurut Andreas, ada satu alasan terbesar ia lebih memilih naik angkutan umum ketimbang kendaraan pribadi. Dia mengaku tak mau menjadi bagian dari penyebab kemacetan di Ibu Kota.

(Kompas.com/Alsadad Rudi)

"Orang yang turut berkontribusi dalam menyebabkan kemacetan tidak berhak mengeluh macet," ujar dia.

Kebiasaan menggunakan angkutan umum sudah dia lakukan sejak masih kecil. Padahal, tersedia mobil antar jemput untuk berangkat dan pulang sekolah.

”Mama saya bilang, naik angkot itu enggak enak. Tapi bagi saya, suasana di angkot itu tidak monoton. Sementara di mobil antar jemput ketemu orangnya itu-itu saja,” kata dia.

"Orang yang turut berkontribusi dalam menyebabkan kemacetan tidak berhak mengeluh macet," ujar dia.

Membentuk “Gerakan Naik Umum”

Kecintaan Andreas pada angkutan umum ini pula yang menginisiasinya membentuk Gerakan Naik Umum. Gerakan ini gencar mengampanyekan mengenai pentingnya naik angkutan umum.

”Kalau semua dibiarkan naik kendaraan pribadi, Jakarta makin macet. Kita yang naik angkutan umum, walau cuma satu atau dua orang, sudah berperan kurangi macet,” kata Andreas.

Menurut Andreas, Gerakan Naik Umum dibentuk pada 2012. Gerakan ini berawal dari akun grup di Facebook yang berisikan orang-orang yang gemar naik bus Mayasari Bakti.

Keberadaan Gerakan Naik Umum dimulai dengan akun Twitter @NaikUmum. Dari akun Twitter inilah, Andreas mencoba membantu setiap orang yang butuh informasi mengenai dunia angkutan umum di Jakarta.

Hal yang paling banyak ditanyakan kepadanya adalah trayek. Hampir semua informasi tentang trayek angkutan umum di Jakarta dia ketahui.

"@NaikUmum buat bantu orang yang mau naik umum, tapi tidak tahu rute. Cuma kalau ada yang tanya tapi saya enggak tahu, saya re-tweet, biasanya ada yang bantu kasih tahu. Misalnya bantu mention ke @infobusway," ujar dia.

naik-umum
(Kompas.com/Alsadad Rudi)
naik-umum
(Kompas.com/Alsadad Rudi)
Inisiator Gerakan Naik Umum, Andreas Lucky Lukwira saat akan menuju Halte Transjakarta untuk berangkat menuju tempat kerjanya. Setiap hari, Andreas dan rekan-rekannya aktif mengajak warga di lingkungan sekitarnya untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan naik angkutan umum. Ajakan juga mereka sampaikan melalui media sosial.

Andreas menyatakan, Gerakan Naik Umum bukanlah gerakan formal sehingga tak ada kepengurusan di dalamnya. Gerakan Naik Umum hanya berisikan orang-orang yang dengan sadar dan tanpa pamrih bersedia meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah dan memilih naik angkutan umum.

"Kalau Anda naik umum, Anda berdiri bersama kami," kata Andreas dengan penuh semangat.

Seperti Andreas, Roy Alsa (43) juga memiliki pemikiran dan semangat yang sama. Ia tak mau menjadi bagian dari pihak yang berkontribusi terhadap penyumbang kemacetan di Jakarta.

Hal itulah yang melatarbelakanginya meninggalkan penggunaan mobil pribadi ke kantor sejak 2008.

Setiap harinya, warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ini lebih memilih naik kereta rel listrik (KRL) commuter line dari Stasiun Pasar Minggu ataupun bus transjakarta Koridor 6.

Ketika kantornya pindah ke kawasan Kuningan, Jalan HR Rasuna Said, dia beralih menggunakan bus transjakarta.

Menurut Roy, mobil pribadinya hanya digunakan saat berakhir pekan bersama keluarga ataupun saat akan ke luar kota.

"Tahun 2011 malah saya punya dua mobil, tapi cuma disimpan di garasi doang," kata dia.

Selain tak mau menjadi pihak yang berkontribusi menyebabkan kemacetan, Roy lebih memilih naik angkutan umum ketimbang mobil pribadi adalah efisiensi waktu. Menurut dia, banyak waktu yang bisa dihemat saat naik angkutan umum.

"Kalau berangkat imbanglah ya, sama-sama satu jam. Tetapi, kalau pulang bawa mobil sendiri bisa 1,5-2 jam. Lebih cepat naik transjakarta. Lebih enak lagi naik kereta. Kalau naik kereta 45 menit sudah bisa sampai rumah," ujar Roy.

Roy mengakui faktor kenyamanan menjadi hal yang harus dikorbankan saat naik angkutan umum. Sebab, saat memilih naik angkutan umum, artinya harus siap menghadapi kondisi berdesak-desakan dengan penumpang lain.

Namun, Roy mengaku situasi desak-desakan di bus transjakarta sudah jauh berkurang, terutama sejak adanya penambahan jumlah bus. Jadi, mengapa tidak mencoba angkutan umum?

Jakarta Yang Menginspirasi

Pada 22 Juni 2016, Jakarta akan memasuki usia 489 tahun. Perubahan wajah Ibu Kota mulai terasa ke arah yang lebih baik. Sungai-sungai yang dulunya kotor dan bau, kini mulai tampak bersih dari sampah. Sejumlah sungai bahkan dijadikan tempat bermain anak-anak.

Pelayanan publik di Ibu Kota pun terasa lebih baik. Mengurus izin usaha yang dulunya harus berhari-hari, kini bisa lebih cepat tanpa upeti. Demikian juga dengan pelayanan di bidang transportasi, seperti transjakarta, yang semakin menunjukkan perbaikan, mulai dari penambahan rute, penambahan jam operasional, hingga peremajaan bus.

Namun, di tengah-tengah perbaikan tersebut, masih nampak persoalan Ibu Kota yang menunggu untuk diselesaikan. Mulai dari kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kemiskinan, dan persoalan sampah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, warga Jakarta tak bisa hanya mengandalkan upaya Pemprov DKI Jakarta. Diperlukan pula peran warga dalam menciptakan Jakarta yang lebih baik, misalnya dengan meninggalkan kendaraan pribadi untuk beralih ke transportasi umum, atau hal sederhana lainnya, seperti membuang sampah pada tempatnya.

Di tengah berbagai persoalan tersebut, ada segelintir warga Jakarta yang mengambil peran dalam menjadikan Ibu Kota lebih baik. Mereka tergabung dalam komunitas-komunitas yang mengorbankan waktu serta tenaga mereka tanpa pamrih.

Kegiatan yang mereka lakukan demi menciptakan Jakarta lebih baik, sedianya menginspirasi warga Jakarta lain untuk turut bergerak. Kompas.com yang tengah menyambut ulang tahun ke-8, mencoba membawa kisah 8 komunitas tersebut untuk menginspirasi warga Jakarta lainnya berperan mengubah warga Jakarta menjadi lebih baik. Yuk disimak…

Collage Photo HUT Jkt
Collage Photo HUT Jkt




Produser
Icha Rastika
Editor
Ana Shofiana Syatiri,   Icha Rastika,   Fidel Ali,   Egidius Patnistik,   Indra Akuntono
Editor Bahasa
Erwin Hutapea
Penulis
Kahfi Dirga Cahya,   Jessi Carina,   Alsadad Rudi,   Andri Donnal Putera,   Nursita Sari, Robertus Belarminus,   Kurnia Sari Aziza,   Nibras Nada Nailufar
Foto
Kristianto Purnomo,   Roderick Adrian Mozes,   Alsadad Rudi,   Andri Donnal Putera,   Kurnia Sari Aziza
Video
Kristianto Purnomo,   Roderick Adrian Mozes,   Andri Donnal Putera,   Alsadad Rudi,   Andreas Lukas Altobeli,   Garry Andrew Lotulung
Editor Video
Ari Prasetyo,   Lulu Cinantya Mahendra
Kreatif
Georgious Jovinto,   Stephanie Tanata,   Ilma Akrimatunnisa

Copyright 2016. Kompas.com