Mencari
Tuan Baru
Kalijodo

Kerap berganti tuan, warisan Kalijodo tinggal tetap: judi dan prostitusi. Ketika kini publik menjadi tuan, warisan baru Kalijodo diperjuangkan: ruang publik dan keadaban.

Kalijodo adalah cerita tentang Jakarta kecil yang tidak pernah tidur. Jika Jakarta yang dulu bernama Batavia adalah kota pelabuhan di pinggir pantai, Kalijodo adalah kawasan di pinggir kali.

Cerita tentang Kalijodo bukan sekadar cerita tentang tempat, tapi juga tentang manusia dengan segala kehidupannya. Seperti Jakarta, warga Kalijodo adalah para pendatang dari tempat yang jauh.

Mereka yang tinggal di sana bertranformasi dari zaman ke zaman hingga bentuknya yang terakhir: kawasan kumuh padat penduduk dengan geliat kehidupan malam sebagai sumbu ekonominya.

Kalijodo juga cerita tentang perjuangan penataan kota yang berulangkali gagal. Sejak tahun 70-an Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya menata bangunan liar di pinggir kali tersebut dan tidak pernah berhasil.

Kalijodo seolah punya banyak nyawa. Hari ini digusur, besok bangkit lagi. Ia tak pernah mati. Ada banyak “tuan” yang datang dan pergi. Warisannya sama: judi dan prostitusi.

Kini Kalijodo mendadak sunyi. Tak ada kerlap lampu dan detuman musik di malam hari. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mematikan lampu gemerlap di tempat itu.

Tapi, cerita Kalijodo belum selesai. Kita masih menunggu siapa “tuan” baru berikutnya yang akan datang di sana.

KOMPAS/Raditya Helabumi

Bagian I
Ca Bau Kan

Sejak dulu kawasan di pinggir kali ini adalah tempat menghibur hati yang sepi. Cerita Ca Bau Kan bermula dari sini.

Kawasan Kalijodo memiliki sejarah yang panjang sejak sekitar tahun 1600-an ketika Batavia kala itu dihuni oleh mayoritas etnis Tionghoa yang melarikan diri dari Mansuria karena perang.

Kebanyakan dari mereka adalah kaum lelaki. Datang sendiri tanpa istri. Di tanah baru mereka mencari gundik untuk menghibur diri.

Zaman itu pekerjaan perempuan lokal melayani lelaki Tionghoa adalah hal yang lumrah. Para perempuan itu disebut Ca Bau. Penulis Remy Sylado menulis kisah kalijodo dalam novelnya Ca Bau Kan. Novelnya menjadi film dengan judul yang sama pada tahun 2002.

Ca Bau Kan adalah kata Hok-Kian yang berarti perempuan. Istilah itu kemudian mengalami peyorasi atau penyempitan arti ketika secara khusus disematkan pada perempuan pribumi yang diperistri lelaki Tionghoa. Istilah itu kini makin peyoratif menjadi cabo. Artinya, pelacur.

Di bantaran Kali Angke ada sejumlah tauke yang mengelola para perempuan penghibur. Etalasenya adalah perahu dengan lampion Tiongkok. Perahu-perahu itu bergerak perlahan di atas kali yang berair jernih.

Ca bau kan mengenakan pakaian china klasik ala opera berbahan sutra. Mereka berupaya menarik perhatian kaum lelaki dengan mendendangkan lagu-lagu berbahasa caim yang tidak sepenuhnya mereka pahami artinya.

Perlahan, tidak hanya orang Tionghoa saja yang mencari hiburan di sana. Orang dari beragam daerah di nusantara yang bersandar ke Jakarta datang pula ke sini dan menjadikan kawasan ini ramai sebagai pusat hiburan.

Ridwan Saidi (KOMPAS/Totok Wijayanto)

Budayawan Betawi Ridwan Saidi menceritakan, di tahun 1950an ketika kawasan di pinggir kali Angke ramai dimukimi keturunan Tionghoa, berkembanglah tradisi peh cun yang jatuh tiap tanggal 5 bulan ke-5 dalam penanggalan China.

Dalam dialek Hok-Kian peh cun artinya mendayung perahu. Ini adalah salah satu tradisi terbesar bagi warga keturunan tionghoa.

Di Kali Angke tradisi ini dirayakan seperti mencari pasangan. Para lelaki dan perempuan naik perahu berbeda di atas kali.

Jika seorang lelaki tertarik pada salah seorang perempuan, ia akan melempar kue tiong cu pia ke perahu perempuan yang ditaksirnya. Tiong cu pia adalah kue dari terigu berisi kacang hijau di dalamnya.

Jika gayung bersambut, lelaki pelempar kue akan mendapat lemparan yang sama sebagai balasan dari perempuan yang ditaksirnya.

"Dulu disebut peh cun di Kali Angke, belum Kalijodo. Begitu terkenal, maka dinamailah Kalijodo, karena orang dapat jodoh di situ," kata Ridwan.

Kata peh cun juga mengalami peyorasi menjadi pecun yang artinya pelacur.

Soal asal mula nama Kalijodo, ada cerita lain. Komisaris Listyo Sigit Prabowo dalam tesisnya tahun 2005 yang berjudul “Efektivitas Mediasi oleh Kepolisian dalam Penanganan Etnis di Kalijodo” mengatakan, sungai di Kalijodo mulanya bernama Sungai Kalianyar.

Sekitar tahun 1950an nama sungai itu berubah menjadi Kalijodo setelah sepasang calon pengantin tercebur ke sungai dan hilang saat sedang mandi bersama di sungai itu.

Ia mengutip keterangan Narso, pensiunan TNI AL yang sudah 51 tahun tinggal di kawasan tersebut. Listyo yang kini berpangkat komisaris besar adalah ajudan Presiden Joko Widodo.

Deretan bangunan kafe dan tempat hiburan yang berada di wilayah Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (15/2/2016).
KOMPAS/Raditya Helabumi
Suasana salah satu cafe di Kalijodo sepi menjelang penggusuran, Kamis (18/2/2016).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Bagian II
Pesta yang Tak Pernah Usai

Praang...! Seorang perempuan belia bersetelan tank top dan hot pant warna merah, beralas kaki wedges, menjatuhkan gelas birnya. Ia berteriak sambil menunjuk seorang remaja di antara 10 remaja lainnya. Suara musik terhenti.

Lampu besar menyala, memudarkan kerlap-kerlip lampu warna-warni yang bergerak dari lantai ke plafon.

Entah apa yang memicu pertengkaran antara pekerja seks komersial (PSK) itu dan tamunya. Namun, kegaduhan di ruang diskotek seluas 7 meter x 10 meter itu hanya berlangsung beberapa menit.

Seorang pria pengelola tempat itu dengan tenang datang melerai. Disjoki kembali menghidupkan musik. Lampu besar dipadamkan. Lampu warna-warni kembali ”menari” di antara pengunjung yang juga kembali berjoget.

Seorang pengasong masuk ke lantai dansa menawarkan kerupuk kulit. Pengasong lainnya datang menawarkan bermacam camilan goreng.

Sabtu berganti Minggu (14/2/2016). Waktu menunjukkan pukul 02.00, tetapi semua tempat hiburan malam di kawasan Kalijodo masih ramai oleh suara musik dan pengunjung.

Papan- papan iklan dua merek bir membuat Jalan Pendahuluan II sepanjang 500 meter di tepian Kanal Barat itu terang semarak.

Salah satu kamar di sebuah wisma di Kalijodo.(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Gemerlap lampu pesta memang tak pernah usai di tempat itu di sepanjang segala zaman. Meskipun tergolong kawasan kumuh, Kalijodo ibarat tambang emas bagi pegiat bisnis hiburan malam. Bisnis remang-remang ini sekaligus adalah sumbu ekonomi yang menghidupi masyarakat di sana.

Menurut Listyo, pada tahun 1968 kawasan Kalijodo mulai ramai dihuni oleh para pendatang dari Sulawesi. Mereka awalnya adalah nelayan di Muara Angke atau Muara baru.

Selain pendatang asal Sulawesi, komunitas etnis lain yang berpengaruh adalah para pendatang dari Serang.

Kalijodo bukanlah daerah terpencil. Diapit dua jalan besar, Tubagus Angke dan Teluk Gong, Kali Jodo yang dialiri dua sungai itu, Banjir Kanal dan Kali Angke, adalah salah satu kawasan padat penduduk dan ramai lalu lintasnya.

Dalam bukunya “Geger Kalijodo”, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti memperkirakan, perputaran uang saat ia menjadi Kepala Polsek Penjaringan tahun 2002 mencapai Rp 500 juta per hari.

Listyo dalam penelitianya yang dilakukan tahun 2005 mengungkap, perputaran uang perjudian mencapai Rp 2 miliar per hari. Sementara, Walikota Jakarta Utara Rustan Effendi pernah menyebut, perputaran uang mencapai Rp 1 miliar per hari.

Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Masrokhan mengatakan, perputaran uang dari bisnis judi lebih besar dibanding prostitusi. Menurut dia, ada tiga kategori bisnis di sana.

Pertama, yang terbesar adalah judi, disusul prostitusi, lalu hiburan lain yang lebih murah bagi kalangan menengah ke bawah, seperti karaoke dan minuman keras.

Kalijodo adalah tempat yang stretagis bagi bisnis judi. Banyak lorong dan gang sempit. Jika ada penggerebekan lorong-lorong sempit itu membantu pelarian para bandar judi.

Di luar itu, uang dari penjualan bir saja amat menggiurkan. Harian Kompas edisi 16 Februari mengungkap, tak kurang dari 4.000 peti yang masing-masing berisi 24 botol bir, habis terjual setiap bulan di Kalijodo.

Suasana salah satu cafe di Kalijodo sepei menjelang penggusuran, Kamis (18/2/2016).(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Artinya, jika harga sebotol bir dijual Rp 60.000, omzet bisnis ini per bulan bisa mencapai Rp 5,76 miliar.

Dengan jumlah itu, kawasan Kalijodo disebut-sebut menjadi pasar bir terbesar kedua terbesar, setelah Mangga Besar. Harga bir yang dijual di Kalijodo pada umumnya dua kali lipat dari harga pabrik.

Belum lagi uang yang harus disetorkan para pemasok bir kepada “otoritas” Kalijodo. Seorang pemasok, Sugeng, mengaku pernah menyetorkan “uang kontrak” Rp 800 juta pada 2010-2011.

Tahun berikutnya, uang kontrak naik menjadi Rp 950 juta. Namun, ketika uang kontrak naik lagi Rp 1,3 miliar, perusahaan bir yang Sugeng pasok tak sanggup lagi membayar.

Salah satu gang di kawasan Kalijodo.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja seks komersial (PSK) berada di depan salah satu wisma di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/2/2016).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Prostitusi

Setali tiga uang, perputaran uang dari bisnis prostitusi di Kalijodo juga tidak bisa dianggap remeh.

Salah seorang pemilik kafe, sebut saja Mami (56), menuturkan, pekerja seks di tempatnya bisa mendapatkan uang Rp 550.000 setiap hari.

Jika diakumulasikan, maka dalam sebulan, PSK di Kalijodo bisa meraup penghasilan Rp 20-30 juta.

"Kalau untuk cewek yang terikat, sekali main bisa dapat Rp 55.000. Satu malam jatahnya itu 10 kali main dengan sistem voucer," kata Mami seperti dikutip Kompas 29 Februari.

Menurut dia, pekerja seks di Kalijodo terbagi dua, yaitu yang tidak terikat (freelance) dan yang terikat. Sebagian besar dari mereka berasal dari Indramayu, Cirebon, juga Lampung.

Kalau ceweknya cantik, bisa sampai Rp 20 juta. Kalau standar, antara Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Ceweknya harus menjalani masa training tiga bulan.

Mereka yang terikat adalah mereka yang tinggal di kafe-kafe tersebut. Selain mendapat uang makan, mereka juga dapat obat-obatan dan diantar saat memeriksakan kesehatan.

"Kalau yang tidak terikat jauh lebih besar dapatnya, sekali main rata-rata Rp 70.000 karena mereka tidak dapat tempat tinggal dan makan. Jadi, mereka kena charge untuk kamar saja," kata Mami.

  • Pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/2/2016).(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
  • Salah ruangan di tempat hiburan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (15/2/2016).(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Polisi pernah membongkar praktik penjualan manusia di tempat ini. Tidak ada efeknya. Praktik yang sama terus saja berlangsung.

Menurut Yelly, mucikari atau pemilik kafe pun mengambil keuntungan dari setiap pelanggan. Dari tarif rata-rata PSK Rp 150.000, pemilik mengambil Rp 40.000. Sisanya untuk biaya keamanan dan operasional kafe.

"Di sini itu pekerja pada senang karena mereka dapat uang gede, dijaga lagi. Di sini dulu jarang ada keributan atau pekerja yang disiksa. Semuanya jalan seperti sistem," kata Yelli.

KOMPAS TV
Penggalan program “AIMAN” di Kompas TV episode “Panas Dingin Kalijodo”. Kamar-kamar di salah satu wisma di Kalijodo kosong ditinggalkan para penghuninya setelah operasi ketertiban beberapa hari sebelum pembongkaran bangunan ilegal di kawasan itu.

Rezeki warga sekitar

Di sekitar aktivitas judi dan prostitusi, ratusan orang hidup dari beragam pekerjaan di sektor informal, mulai dari tukang parkir, tukang ojek, warung kelontong, hingga pengelola rumah kontrakan.

I Ketut Suardana dalam penelitiannya tentang kehidupan pekerja seks komersial di Kalijodo pada tahun 2000 menyebutkan, ada beragam pekerjaan di sektor informal yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas kehidupan malam di Kalijodo.

Para pekerja di sektor informal itu antara lain pedagang makanan, toko kelontong, pengojek, pemilik rumah kontrakan, buruh bangunan, dan rentenir.

LOKALISASI
KALIJODO
LOKASI
Jl. Kepanduan 2 RW 005 (9 RT),
Kel. Penjagalan, Kec. Penjaringan,
Jakarta Utara
LUAS KAWASAN
1,4 hektar
JUMLAH PENDUDUK
3.032 jiwa
1.365 keluarga
BANGUNAN
58
200
300
kafebangunan permanenbangunan semi permanen
90%
bangunan tersebut
membayar PBB
Sumber: Litbang “Kompas”/PUR. Grafis: Stephanie Tanata

Pihak dengan status sosial lebih tinggi memberikan perlindungan, sementara pihak yang lebih rendah memberikan layanan, bantuan, atau dukungan.

Relasi patron klien terjadi antara mucikari dan PSK, penguasa kalijodo dengan masyarakat, juga antara penguasa dan aparat pemerintah.

Relasi patron klien adalah relasi antara dua pihak dengan status sosial yang berbeda untuk saling memberi keuntungan.

Dalam relasinya dengan PSK dan masyarakat, penguasa Kalijodo memainkan peran sebagai patron, pihak yang “mengayomi”. Sebaliknya, dalam relasi dengan oknum aparatur negara, para penguasa memainkan peran sebagai klien, yang melayani.

Suardana menyebut, penguasa Kalijodo juga memberikan “setoran” berkala kepada para oknum aparatur pemerintah, polisi, dan TNI. Tujuannya, agar aneka praktik bisnis ilegal di kawasan itu tidak diganggu.

Krishna Murti, dalam “Geger Kalijodo”, mengakui hal itu bahkan menyebut Kalijodo sebagai ATM Nasional.

"Untuk mengamankan usaha perjudian ini, para pemilik lapak bersikap “baik” kepada aparat. Karena itulah saya menyebut kawasan judi ini dengan istilah “ATM nasional”. Para pengelola judi tak segan-segan memberikan sedikit keuntungannya kepada oknum polisi, tentara, maupun aparat pemda. Ibaratnya, semua lapisan ikut menikmati “uang panas”tersebut," kata Krishna.

Para pemukim liar di kawasan itu, menurut Suardana, juga membayar pajak bumi dan bangunan melalui kantor kelurahan. Namun, bila sewaktu-waktu tanah ini akan digunakan oleh pemerintah, mereka bersedia pergi dari tempat itu.

Bagian III
Dari Era Tjong Wie sampai Azis

Tuan-tuan penguasa Kalijodo berganti dari zaman ke zaman. Layaknya kudeta, kekuasaan acapkali berganti melalui pertumpahan darah.

Tokoh yang satu membunuh tokoh yang lain demi mendapatkan kekuasaan di tempat itu. Parang, samurai, tombak, anak panah, menjadi mesin pembunuh. Puluhan nyawa melayang di sana.

Perkelahian massal sering terjadi dan berlangsung berhari-hari. Biasanya perkelahian baru berhenti setelah aksi bakar-bakaran lapak-lapak judi yang berdiri di sepanjang bantaran kali.

Krishna Murti saat menjadi Kepala Polsek Penjaringan tahun 2002 pernah berujar, Kalijodo sulit ditaklukan karena ada sejumlah penguasa yang masing-masing memiliki “tenaga keamanan” hingga seribuan orang. Mereka siap melakukan apa saja untuk mengamankan bisnis mereka.

Para penguasa di Kalijodo mengkpling-kapling wilayah di sana sebagai daerah kekuasaan mereka.

"Mirip mafia," kata Krishna Murti seperti dikutip Kompas, 4 Maret 2002.

Siapa sajakah “tuan-tuan” yang pernah berkuasa di Kalijodo?

Tjong Wie

Tjong Wie Pien atau Tjong Wie. Pada era 1955, ia paling dikenal sebagai pemilik rumah bordil paling kaya di kawasan Kalijodo, sisi Jakarta Barat.

”Kalau ada orang bilang, ’Yuk ke rumah Tjong Wie’, atau ’Yuk ke atas’, artinya orang tersebut mengajak orang lain ke suhian (dari bahasa Hokkian, artinya rumah bersenang senang atau rumah bordil) milik Tjong Wie,” jelas Reginal alias Ceceng (67) saat ditemui di rumahnya di dekat Kalijodo, Rabu (17/2/2016) sore.

Tentang istilah ”ke atas”, Ceceng menjelaskan, dulu pangkalan pekerja seks komersial (PSK) ada di sekitar Jembatan Dua, di Jalan Tubagus Angke, yang sekarang jadi pasar.

”Kala itu, permukaan tanah di Jembatan Dua lebih rendah daripada permukaan tanah di Kalijodo. Kalijodo masih berupa bukit kecil,” ujarnya.

Hidung belang memilih para PSK di Jembatan Dua, lalu membawa PSK pilihannya ”ke atas”, menyewa kamar di rumah bordil. PSK-nya kio seng (peranakan Tionghoa-ayah Tionghoa, ibu pribumi) semua.

Sebagian mereka berasal dari Tangerang dan sebagian lain di sekitar kawasan Tubagus Angke. Mereka biasanya duduk di empat bangku panjang mengelilingi meja kayu di tepi jalan.

Di atas meja disajikan botol-botol minuman keras seperti bir cap Nori dan Ciu (arak) Wi Seng, kacang goreng, emping, dan kuaci.

Kalo dah cocok dibawa dah tu cabo ( perempuan) ke atas, ke rumah Tjong Wie,” jelas Ceceng.

Di antara beberapa rumah bordil di Kalijodo, rumah Tjong Wie dianggap paling mentereng.

”Cuma dia yang penerangan rumahnya sudah memakai diesel. Suhian suhian lain masih memakai lampu petromaks (lampu pompa berbahan bakar minyak tanah). Sebagian kecil suhian pakai lampu tempel,” tutur Ceceng.

Semua rumah bordil kala itu terdiri atas tembok di bagian bawah dan papan di bagian atas. Letak suhian Tjong Wie di tepi Kalijodo. Rumahnya terdiri atas tiga lantai. Bagian paling bawah untuk duduk-duduk bercengkerama. Bagian ini berada di bibir Kalijodo.

Di keremangan tempat itu, pasangan-pasangan yang dibuai asmara bisa menikmati hilir mudik biduk (perahu). Di atas biduk-biduk itu para kio seng yang kebanyakan sudah berusia rata-rata 40 tahun menyanyi lagu mandarin, mencari jodoh.

Lantai dua digunakan sebagai rumah makan, sedangkan lantai tiga yang tingginya sama dengan badan jalan terdiri atas kamar-kamar.

”Umumnya para tamu yang sudah mengambil PSK dari Jembatan Dua begitu tiba di rumah Tjong Wie langsung masuk kamar. Dari sana mereka duduk-duduk di pelataran lantai satu di bibir sungai, lalu naik ke lantai dua untuk makan,” papar Ceceng.

Seingat Ceceng, Tjong Wie merupakan orang pertama yang mendirikan rumah bordil di Kalijodo.

”Dari sejak tujuh biduk para kio seng masih ada di Kalijodo sampai enggak ada lagi,” ujar Ceceng.

Kamelong dan Daeng Leang

Menurut warga Kalijodo, Daeng Abu Bakar (67), setelah Tjong Wie dan orang-orang Tionghoa pemilik rumah bordil lainnya mundur, orang-orang Banten, Mandar, dan Bugis yang tinggal di sekitar Luar Batang, Muara Angke, Jakarta Utara, mengambil alih.

Kedatangan orang-orang asal Sulawesi ke kawasan Angke di Jakarta sudah terjadi sejak abad ke-17. L.Y. Andaya dalam salah satu bagian buku “Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta” menuliskah penggalan sejarah tentang orang-orang Bone yang datang ke Batavia.

Dikisahkan, Arung Pallaka, Sultan Bone di abad ke-17 yang namanya amat disegani hingga sekarang, pernah melarikan diri ke Batavia saat kerajaan Bone ditaklukkan oleh kerajaan Makassar Gowa.

VOC Belanda memberinya suaka. Arung Pallaka diberi tempat tinggal di luar kota, di kawasan Angke. Bersama VOC Arung Pallaka merebut kembali Kerajaan Bone dari Gowa. Pasukan Arung Pallaka dikenal dengan sebutan To-Angke atau orang dari Angke.

Selepas era Tjong Wie kelompok-kelompok yang mendasarkan diri pada ikatan kekerabatan kampung asal berseteru dari waktu. Kadang, pada suatu era, tidak ada penguasa tunggal.

Wilayah bisnis dikapling oleh masing-masing kelompok. Ada juga masanya ketika Kalijodo dikuasai oleh seorang penguasa tunggal yang disegani.

Menurut penelusuran Listyo, usaha judi pertamakali dibuka oleh Kamelong (Krishna dalam “Geger Kalijodo” menyebut Kamilong), pendatang asal Sulawesi pada tahun 1968.

Ia merintis bisnisnya dari judi koprok tradisional yang amat digemari kalangan masyarakat bawah. Ia juga berhasil menggaet para penjudi dari kalangan tionghoa dengan menggelar permainan Ta Shiao. Bisnis judinya membesar.

Di era 1990an, salah satu orang berpengaruh dari satu kelomppok adalah Daeng Leang. Di kelompok seberang ada Kamelong dan Usman Nur, keponakannya. Dua kelompok ini selama bertahun-tahun berseteru dengan sengit.

Daeng Leang dibunuh kelompok Kamelong. Konon, menurut cerita, mayatnya dilempar ke Kali Angke. Cerita ini amat terkenal dan dituturkan turun temurun oleh para “jagoan” di sana.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Krishna Murti menuturkan dalam bukunya, sepeninggal Daeng Leang, hanya ada satu tokoh yang disegani yaitu Kamelong.

Ia pandai menjalin relasi dengan aparatur negara sehingga bisnis judinya tak terusik. Di era Kamelong, Kalijodo tak lagi diwarnai oleh perselisihan.

Setelah Kamelong meninggal, usahanya diteruskan Usman, keponakannya. Usman menjalankan bisnis ini sampai tahun 2002 saat ia bentrok dengan kelompok azis.

Sepeninggal Kamelong, situasi Kalijodo kembali rusuh. Kelompok-kelompok judi yang berkembang besar seperti kehilangan induk semang.

Persaingan antar kelompok kembali sering terjadi. Tak ada tokoh yang disegani yang bisa meredam pertikaian. Seringkali, bentrokan berskala besar dipicu oleh persoalan sepele.

Usman dan Azis

“Tuan besar” berikutnya yang berebut pengaruh setelah era Kamilong adalah Abdul Azis Emba dan Usman Nur. Keduanya mewakili dua kelompok etnis yang selama ini bertikai di Kalijodo.

Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, (4 Maret 2002), sebenarnya, saat itu ada lima jagoan di sana, yakni kelompok Riri yang bergandengan dengan Agus, Usman, Aziz Emba, Bakri, dan Ahmad Resek.

Mereka mengkapling-kapling Kali Jodo sebagai daerah kekuasaan mereka. Yang berpengaruh dan kerap bertikai adalah kelompok Usman dan Azis.

Menurut Listyo, Azis memulai kiprah bisnis judinya pada tahun 1994. Sebelumnya ia adalah agen pemasok minuman keras seperti bir ke tempat-tempat hiburan malam di Kalijodo.

Para bos itu tidak mengelola perjudian. Mereka hanya menyediakan tempat dan menerima sewa dari operator judi dan menjamin keamanan berlangsungnya perjudian. Artinya, tidak akan diganggu oleh siapapun, aparat, apalagi organisasi massa.

Untuk menjamin keamanan di lapangan, setiap bos mempekerjakan "tenaga keamanan" dalam jumlah yang cukup besar.

Menurut catatan Polsek Penjaringan, demikian diberitakan Harian Kompas, paling banyak adalah "anak buah" Usman, sedikitnya 500 orang. Lainnya, antara 200-300 orang.

KOMPAS TV
Tanggapan Azis ketika ditanya soal premanisme di Kalijodo. Wawancara dengan Kompas TV di Kalijodo pada Januari 2016, sesaat sebelum kawasan Kalijodo diratakan dengan tanah.

Maka, di Kalijodo terdapat sedikitnya 1.000 "tenaga keamanan" yang siap melakukan apa saja, bila ada yang mencoba mengganggu perjudian di situ. Upah rata-rata setiap "anggota keamanan" sebesar Rp 30.000 per malam.

Para "tenaga keamanan" itu umumnya datang dari luar Jakarta. Semisal dari Banten dan Makassar atau daerah lain di Sulawesi. Mereka datang ke Jakarta mencari pekerjaan.

Tetapi, setelah lama tidak mendapat pekerjaan, mereka akhirnya "melapor" ke Kali Jodo, kepada teman-teman mereka satu daerah yang sudah lebih dulu bergabung dengan bos dari daerah yang sama.

Kelompok Usman dikenal memiliki organisasi yang rapi. Mereka menyebut dirinya “anak macan ” karena dikenal gesit, tak banyak bicara, dan kejam.

Ketangguhan anak macan teruji ketika mereka berhasil menghalau serbuan massa Front Pembela Islam yang hendak membubarkan arena perjudian di sana.

Kelompok Azis awalnya tidak sebesar dan seterorganisir kelompok Usman. Pengikutnya lebih kecil dan disatukan oleh perasaan senasib sebagai orang rantau dari satu kampung halaman.

Ketokohan Azis mengemuka setelah kelompoknya bertikai dengan kelompok Usman pada 2002.

Mundurnya Usman

Awal tahun 2002, terjadi bentrokan besar antara dua kelompok itu. Pemicunya sederhana: senggolan motor. Anak buah Azis dan Usman bersenggolan motor di jalan saat jalanan becek oleh hujan pada 22 Januari 2002. Terjadilah perkelahian. Anak buah Azis yang juga merupakan keponakannya sendiri terbunuh oleh tebasan parang.

Buntutnya, kelompok Azis menggeruduk kelompok Usman. Beruntung, polisi berhasil mencegah kericuhan meluas.

Krishna Murti yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polsek Penjaringan sempat ditodong Pistol oleh Azis. Beruntung amarah Azis berhasil diredakan. Peluru tidak jadi menyalak.

KOMPAS TV
Cerita Azis soal penodongan pistol kepada Krishna. Wawancara dengan Kompas TV di Kalijodo pada Januari 2016, sesaat sebelum kawasan Kalijodo diratakan dengan tanah.

Sejak pertikaian itu, suasana Kalijodo terus memanas. Perkelahian yang berujung pembakaran rumah berulangkali terjadi. Puncaknya, 22 Februari 2002, perkelahian massal dua kelompok berujung pada terbakarnya 225 rumah dan tiga orang luka berat kena bacok.

8 Mei 2002, kedua kelompok berdamai. Bertempat di kantor Polsek Penjaringan dan disaksikan Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara kala itu Komisari Besar Andi Chairuddin Azis dan Usman sepakat berdamai.

Mereka menjamin dan bertanggung jawab tidak akan mengulangi peristiwa serupa. Kedua belah pihak juga sepakat untuk ditindak tegas sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Kesepakatan damai dua kelompok ramai diberitakan media. Inilah awal “petaka” Usman. Tak banyak yang tahu, rupanya Usman menyimpan rapat-rapat usahanya di Kalijodo kepada keluarganya.

Pemimpin kedua kubu Kalijodo yang bertikai pada 2002, Abdul Azis (kedua dari kiri) dan Yusman Nur (keempat dari kiri), menyerahkan senjata tajam ke Kepala Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Utara pada tahun 2002. Penyerahan itu diterima langsung Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Andi Chairuddin P (paling kanan) didampingi Kepala Kepolisian Sektor Metro Penjaringan Ajun Komisaris Krishna Murti (kedua dari kanan). (KOMPAS/KORANO NICHOLAS)

Kesepakatan damai yang ditandatanganinya bersama Azis memaksanya muncul di hadapan publik. Pemberitaan media memuat wajahnya. Topeng Usman di hadapan keluarga terbongkar. Usman malu pada keluarga dan memilih mundur dari Kalijodo.

Cerita mundurnya Usman dari Kalijodo dikisahkan Listyo. Kepada Listyo, Usman berujar, "Saya malu karena permasalahan ini terekspos di televisi, bahwa saya desebut bos judi, bos preman. Sampai-sampai anak saya tahu dan menanyakan pada saya bahwa "bapak bos judi ya?" padahal saya terkenal di kalangan keluarga saya sebagai orang terhormat, sebagai pengusaha, dan berperilaku santun. Tetapi dengan kejadian ini saya sadar dan mulai memperbaiki diri. Saya sekarang bekerja sebagai pedagang Aqua.”

Sepeninggal Usman, Azis tak memiliki lawan. Ia menjadi penguasa tunggal di Kalijodo. Dua jagoan lainnya, Agus dan Riri, memilih berkongsi dengan Azis. Terlebih, adik Azis menikah dengan keponakan Agus pada 2004.

Tak mudah ditaklukkan.

Pemberitaan tentang pembongkaran bangunan dan jaringan bisnis liar kawasan di Kalijodo sudah muncul di Harian Kompas sejak tahun 1979. Ceritanya selalu berulang, usai digusur kawasan itu menggeliat lagi. Kalijodo tak mudah ditaklukkan.


5 Des 1979
5 Jun 1982
21 Des 1983
14 Feb 1995
7 Mar 1996
16 Nov 1996
9 Mar 1998
19 Des 1998
19 Feb 2002
23 Feb 2002
25 Feb 2002
26 Feb 2002
30 Apr 2002
7 Mar 2002
13 Sep 2005
13 Mei 2011
Walikota Jakarta Utara Koestamto menyerukan penggusuran 300 bangunan liar di Kalijodo.
Kerusuhan terjadi di Kompleks WTS Kali Jodo, Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara Jumat sore sebagai ekor perkelahian massal antar dua kelompok di "daerah hitam" itu. Akibat perkelahian yang menggunakan senjata tajam, seorang tewas dan dua lainnya mengalami luka-luka parah.
Sudin Pertanaman Jakarta Utara mengatakan akan menanami pohon pelindung di tanah bekas lokasi PSK di Kalijodo.
Sebanyak 35 rumah prostitusi di kalijodo, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat dibongkar.
Sebanyak 15 bangunan permanen tempat prostitusi di Kalijodo dibongkar petugas ketertiban dari kantor Walikota Jakarta Barat.
Pemda Jakarta Barat akan tetap terus membongkar bangunan yang digunakan untuk praktek prostitusi di Kalijodo, Tambora, Jakarta Barat. Petugas ketertiban, Rabu (13/11) membongkar belasan unit warung "remang-remang" di lokasi pelacuran Kalijodo, Tambora, Kotamadya Jakarta Barat.
Kebakaran di Kompleks Wanita Tuna Susila (WTS) Kalijodo menghanguskan 30 unit rumah bordil dan satu pabrik kaos kaki di Jl Kepanduan Dua RT 001/05 Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (8/3/1998) pagi. Dalam peristiwa itu, dua orang tewas dan lima lainnya luka bakar.
Polisi bersama aparat Dinas Ketenteraman dan Ketertiban Jakarta Utara menangkap 109 orang wanita pekerja seks dan mucikari dari Kalijodo, Jakarta Utara.
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menginstruksikan penertiban kawasan Kalijodo menyusul insiden antarkelompok yang berakibat pembakaran sebuah wartel dan 27 bangunan di kawasan perjudian ilegal dan lokalisasi wanita tuna susila (WTS) Kali Jodo, Jakarta Utara.
Kali Jodo Rusuh Lagi. Sebanyak 225 rumah terbakar sementara 3 orang luka berat dibacok. Dua kelompok bertikai dan saling serang.
Lokasi perjudian dan prostitusi liar di Kali Jodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (24/2), ditutup. Hal tersebut dilakukan oleh pihak keamanan setempat dengan menempelkan pengumuman tentang penutupan lokasi yang dinilai rawan kejahatan itu.
Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Utara dan Pemkot Jakarta Barat hari Senin (25/2/2002), meratatanahkan kompleks perjudian dan prostitusi ilegal di kawasan Kali Jodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, dan sebagian kecil lainnya masuk dalam Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Tawuran massal terjadi lagi di bekas lokalisasi prostitusi dan perjudian Kalijodo, Jakarta Utara, Senin (29/4/2002) dini hari. Tawuran itu menyebabkan lima orang luka parah terkena panah yang ujungnya diberi paku baja. Seorang korban lainnya terkena pecahan botol di tumitnya.
Ratusan warga bantaran Kalijodo yang tempat tinggalnya dibongkar petugas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) Pemerintah Kota Jakarta Utara dua hari lalu menyatakan kebingungan mencari tempat tinggal. Pasalnya, sekitar 280 bangunan liar yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka dibongkar paksa dengan buldoser.
Buldoser meratakan rumah-rumah di Kalijodo, Jakarta Utara, karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Sedikitnya 27 bangunan yang berdiri di bantaran kali di Kalijodo, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, dibongkar petugas Satuan Polisi Pamong Praja, Kamis (12/5/2011). Keberadaan bangunan itu menyebabkan sungai yang semula lebarnya 20 meter hanya tersisa 5 meter.

Setelah kerusuhan 2002, Azis adalah penguasa tunggal di Kalijodo. Pundi utama uangnya bersumber dari penjualan bir. Ia adalah distributor tunggal dua merk beer yang dijual di seluruh tempat hiburan malam di kawasan Kalijodo. Azis juga memiliki cafe terbesar di sana, Intan Cafe.

Azis adalah raja kecil.

Hingga suatu ketika...

Mobil Toyota Fortuner bernomor polisi B 201 RFD yang dikemudikan Riki Agung Prasetio (24) menabrak sepeda motor bernomor polisi B 4068 BFI di Jalan Daan Mogot Km 15, Senin (8/2/2016) sekitar pukul 04.10 WIB. Empat orang meninggal dunia. Riki baru pulang dari kalijodo. Di tempat itu ia menghabiskan 10 gelas minuman alkohol.
KOMPAS.COM/KAHFI DIRGA CAHYA
KOMPAS TV

Azis pun tumbang

Senin, 29 Februari 2016 Pemprov DKI Jakarta merobohkan 385 bangunan di Kalijodo. Semua rata dengan tanah. Intan Cafe milik Azis adalah bangunan pertama yang dihancurkan.

Tak ada perlawanan. Kalijodo mendadak sunyi. Kekuasaan Azis di tempat itu tumbang.

KOMPAS TV
Kawasan lokasi Kalijodo sebelum dibongkar.
KOMPAS TV
Kawasan lokasi Kalijodo saat dibongkar.
Cafe Intan milik Azis adalah bangunan yang pertama kali dirobohkan dalam penertiban di Kalijodo, Senin (29/1/2016).
KOMPAS.COM/KAHFI DIRGA CAHYA
Sejumlah alat berat dikerahkan untuk membongkar bangunan di kawasan Kalijodo yang masuk dalam wilayah Penjaringan, Jakarta Utara dan Tambora, Jakarta Barat, Senin (29/1/2016).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ratusan bangunan rata dengan tanah.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Tiga hari sebelum penertiban, atau Jumat (26/2/2016), Azis ditangkap polisi di lobi Sentral Kost di Jalan Antara, Jakarta Pusat. Ia tak melawan saat polisi menggelandangnya ke dalam mobil.

Azis yang biasa disapa Daeng Azis oleh warga Kalijodo saat ditangkap Polres Metro Jakarta Utara di Sentral Kos, Jalan Antara, Jakarta Pusat, Jumat (26/2/2016). (DOKUMEN POLDA METRO JAYA)

Azis dikenai pasal pencurian listrik dan air. Ia juga akan dikenakan sangkaan kasus prostitusi.

Saat menggelar Operasi Penyakit Masyakarat (Pekat), Sabtu (20/2/2016), polisi menemukan ratusan anak panah dan puluhan senjata tajam di Kafe Intan milik Azis. Ada pula puluhan pak bir, kondom, dan vcd porno di kafe tersebut.

Bagian IV
Menanti Tuan Baru

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membongkar kawasan Kalijodo karena bangunan-bangunan di sana menyalahi peruntukan. Areal pinggir kali itu adalah jalur hijau.

Mulanya, penertiban Kalijodo tidak menjadi prioritas Pemprov DKI Jakarta. “Peristiwa Fortuner” memicu percepatan penertiban bangunan di kawasan ini.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.(KOMPAS/PRIYOMBODO)

"Soal Kalijodo bukan soal prostitusinya. Kalau Kalijodo bukan di jalur hijau, kalau bisa saya resmiin ya saya resmiin, asal sesuai perda. Itu kan masalahnya bukan (prostitusi)," kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Kalijodo akan ditata menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Areal seluas kurang lebih 4 hektar tersebut akan di jadikan taman. Namanya Taman Kalijodo. Dari luas 4 hektar itu, 3,5 hektar berada di wilayah Jakarta Utara, sisanya di Jakarta Barat.

Jakarta punya kebutuhan untuk menambah jumlah ruang terbuka hijau yang saat ini masih jauh dari cukup. Pengembalian kawasan Kalijodo menjadi zona hijau termasuk sebagian dari rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggenjot RTH.

Dari data pencitraan detail tata ruang Jakarta pada 2011, Jakarta Utara saat ini baru memiliki RTH di seluas 2.901,24 hektar. Jumlah ini terdiri dari ruang publik dan ruang privat.

Luas itu masih jauh dari target RTH yang mencapai 5.438 hektar. Penataan Kalijodo menambah luas RTH di Jakarta Utara.

Luas RTH publik Jakarta memang cenderung naik dari 9 persen menjadi 9,98 persen dalam 15 tahun terakhir. Namun, jumlah itu masih jauh lebih rendah dibandingkan amanat undang-undang tentang penataan ruang sebesar 20 persen.

Tahun lalu, realisasi pengadaan lahan untuk RTH oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta tidak lebih dari 60 persen, terutama karena kendala administrasi tanah. Sepanjang 2015, dinas pertamanan membangun 10 taman seluas 49,33 hektar.

Hingga akhir tahun lalu, luas RTH publik Jakarta mencapai 9,98 persen dari luas DKI Jakarta yang 661,52 kilometer persegi.

Menurut Kepala Bidang Perencanaan Pemanfaatan Ruang Dinas Penataan Kota DKI Jakarta Gentur Wisnubaroto, ada 300 lokasi yang tahun lalu ditetapkan Pemprov DKI akan dikembalikan fungsinya ke RTH.

Prosesnya melalui pembebasan lahan, tetapi sebagian besar di antaranya belum tuntas, antara lain terkait status kepemilikan tanah.

Ahok menginstruksikan para wali kota di DKI untuk mengembalikan fungsi lahan. Lahan yang bersertifikat akan dibeli, sementara tanah negara yang diduduki akan diambil alih, sebagaimana lokasi lain yang telah dikosongkan selama ini, seperti Kalijodo dan pinggiran Waduk Pluit.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun Ruang Pulik Terbuka Ramah Anak di bekasi kawasan prostitusi Kalijodo.(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Rencananya, Taman Kalijodo akan selesai dibangun dalam empat bulan ke depan. Biayanya sekitar Rp 20 miliar yang diperoleh dari dana CSR (corporate social responsibility).

“Sejumlah perusahaan sudah menawarkan dana CSR ini kepada kami. Jadi, soal pembiayaan, sudah selesai. Kami berharap dalam empat bulan setelah lahan dibebaskan dari bangunan, taman selesai dibangun,” kata Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar Muadzin Mungkasa.

Taman akan dibangun dengan bermacam kontur tanah untuk kegiatan olahraga, bermain, berkesenian, sekaligus sebagai tempat meeting point untuk bermacam pawai dan kegiatan sosial budaya lainnya.

Taman akan dibangun dalam tiga tahap. Tahap pertama, pembuatan bermacam kontur tanah dan penghijauan.

Tahap kedua, pembangunan ruang terbuka hijau secara keseluruhan, termasuk pembangunan infrastruktur serta lampu penerang dan penghias taman.

Tahap ketiga, membangun komunitas peduli lingkungan yang mampu menghidupkan bermacam kegiatan di taman.

Ahok menginginkan ada sedikit ruang untuk para pedagang kaki lima di taman tersebut. ”Yang penting ditata, dibatasi, dan dikendalikan,” ujar Oswar.

Menghidupkan sejarah

Pemerhati Kota Tua Candrian Attahiyat, sejarawan Jakarta Mona Lohanda, budayawan Yapi Tambayong alias Remy Sylado, dan pengamat perkotaan Nirwono Yoga menyambut baik pembangunan taman di Kalijodo.

Mereka berharap kehadiran taman di Kalijodo bukan hanya dikaitkan dengan fungsi sebagai daerah resapan air dan paru paru kota saja, tetapi juga harus dikaitkan dengan aspek edukasi, budaya, dan sejarah.

Mona mengusulkan agar taman di Kalijodo bisa menjadi perluasan area binaan Kota Tua. Alasannya, kawasan Kalijodo menjadi bagian akhir dari riwayat para imigran dan sejumlah suku di Nusantara dalam membangun Batavia.

”Ada semangat toleransi dan kegotongroyongan di antara bermacam imigran dan etnis yang berkembang dari jalur Banten-Tangerang-Kalijodo-Tubagus Angke-Toko Tiga-Glodok-hingga kawasan Kalibesar di Kota Tua,” ujar Mona.

Candrian berpendapat, untuk membangkitkan kembali sejarah Jakarta yang bersemangat kebinekaan itu, Pemprov DKI perlu mendorong bermacam kegiatan budaya yang diadakan di taman dan mendorong meluasnya komunitas peduli.

”Peduli pada persoalan lingkungan fisik, sosial, budaya, dan sejarah Jakarta,” ucap Candrian.

Menurut Nirwono, pembangunan taman di Kalijodo sebagai bagian dari usaha penanggulangan banjir terkait perluasan daerah resapan air dan pengerukan kali harus tetap menjadi sasaran utama.

”Pembangunan taman di tepian Kalijodo ini adalah bagian dari pembangunan ruang terbuka hijau di bantaran empat sungai, yaitu Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter,” ucap Nirwono.

  • Anak-anak bermain di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, seusai diresmikan oleh gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Selasa (29/12/2016). Pemerintah DKI Jakarta dengan mengandeng pihak swasta terus menambah ruang terbuka hijau seperti RPTRA dan taman-taman kota.(KOMPAS/PRIYOMBODO)
  • Suasana Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Jalan Bahari, Gandaria, Cilandak, yang berada di kawasan pemukiman padat penduduk, Jakarta, Senin (15/6).(KOMPAS/LASTI KURNIA)

Menurut Nirwono, di DKI masih ada beberapa taman yang nyaris tidak memiliki fungsi sosial, apalagi edukasi dan budaya. Hal tersebut terjadi karena pembangunan taman tersebut tidak disertai rencana pembangunan jalur jalan yang aman bagi warga yang hendak ke taman.

”Kalau warga saja sudah sulit mendapat akses ke taman, apalagi mau mengembangkan komunitas di taman,” ucap Nirwono.

Ia setuju jika kehadiran taman di Kalijodo dijadikan alasan untuk merancang ulang pembangunan Kota Tua. Masyarakat yang tinggal di sekitar taman di Kalijodo, kata Nirwono, bisa menjadi modal menghidupkan Kota Tua dengan bermacam kegiatan, festival, dan parade.

”Kalau mengharapkan komunitas tumbuh di sekitar Taman Fatahillah, Kota Tua, jelas sulit karena tidak ada kawasan permukiman di sekitar Taman Fatahillah, ujar Nirwono.

Sementara itu, Remy berharap, Pemprov DKI berani mengembalikan suasana Kalijodo sekurangnya di pertengahan abad ke-19. Kala itu, Kalijodo masih diwarnai hilir mudik biduk (perahu) berlampion.

”Sesuaikan saja suasana perahu-perahu di Kalijodo itu dengan kondisi saat ini. Yang penting ada ’kehidupan’ dan kegembiraan di atas permukaan air Kalijodo,” ucap Remy.

Cerita kalijodo belum usai meski pesta di tempat itu sudah selesai. Setelah Azis ditangkap, para pelaku bisnis ilegal yang lain mendadak lenyap. Hilang. Entah mereka pergi ke mana.

RENCANA PENATAAN KAWASAN KALIJODO
  • Perubahan Tata Ruang Kalijodo
    Kawasan Kalijodo pada Rencana Induk Jakarta 1965-1985, RUTR 2005, dan RTRW 2010 belum ditetapkan menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Baru pada Rencana Zonasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2014, kawasan tersebut ditetapkan sebagai RTH. Perubahan kebijakan tersebut terkait dengan perubahan UU Tata Ruang yang menyebutkan aturan mengenai proporsi ruang terbuka hijau 30 persen dari luas kota (UU Nomor 26 Tahun 2007).
    • Rencana Induk Jakarta 1965-1985
    • Zona perumahan yang tidak terencana.
    • Belum ada aturan mengenai RTH.
    • RUTR 2005
    • Zona perumahan dengan segala fasilitasnya.
    • Belum ada aturan mengenai RTH, hanya menyebut pembatasan pembangunan di wilayah selatan sebagai daerah resapan.
    • Sudah ada peraturan pemerintah mengenai sungai, yang menyebutkan aturan garis sempadan sungai yang berjarak 5 meter dari bibir tanggul sungai (PP Nomor 35 Tahun 1991).
    • RT RW 2010 (Perda Nomor 6 Tahun 1999)
    • Zona perumahan.
    • Mempertahankan dan mengembangkan RTH di tiap wilayah sebagai sarana kota dan keseimbangan ekologi kota.
    • Aturan mengenai garis sempadan sungai masih berlaku.
    • RDTR 2014 (2014)
    • Zona hijau.
    • Penetapan dipengaruhi oleh adanya aturan pengembangan RTH 30 persen (RTH publik 20 persen dan RTH Privat 10 persen) dalam UU Tata Ruang Tahun 2007 yang juga disebut dalam RTRW DKI Jakarta 2030.
    • Pembaruan aturan mengenai garis sempadan sungai yang berjarak 10-30 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai (PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai).
    • Kawasan Kalijodo yang diapit oleh dua sungai (Kali Angke dan Kali Kerendang) menjadi zona hijau terkait dengan UU Tata Ruang Tahun 2007 dan PP Nomor 38 Tahun 2011.
    Sumber : Litbang ”Kompas”/PUT, diolah dari Rencana Induk 1965-1985, RTRW 2005,RTRW 2010, RTRW 2030, RDTR 2014, PP no. 35 tahun 1991 tentang sungai, PP Nomor 38 tahun 2011 tentang sungai, dan Hasil Kajian Yayat Supriyatna dan Nirwono Yoga, 2016; Pemerintah DKI Jakarta Dinas Pertamanan dan Pemakaman; Google Earth.

Catatan panjang sejarah di tempat itu selalu mengisahkan riwayat yang sama, selalu ada yang kembali membuat babak baru dengan tema serupa: judi dan prostitusi.

Kali ini, akankah riwayat Kalijodo berakhir berbeda? Akankah publik yang kelak menjadi tuan baru di tempat itu?

Jika masyarakat kelak sungguh menjadi tuan di tempat itu, artinya segala sesuatu yang dibangun di sana dimaksudkan untuk membangun kehidupan tata kota yang beradab bagi warganya.

Memiliki taman kota yang memiliki fungsi edukasi, budaya, sekaligus sejarah adalah kerinduan semua warga Jakarta.

Produser
Heru Margianto

Penulis
Icha Rastika, Jessi Carina,
Robertus Belarminus, Alsadad Rusdi,
Andri Donnal Putera, Windoro Adi,
Saiful Rijal Yunus, Irene Sarwindaningrum

Foto
Raditya Helabumi, Priyombodo,
Lasti Kurnia, Kristianto Purnomo,
Roderick Adrian Mozes, Kahfi Cahya Dirga

Video
KOMPAS TV

Kreatif
Lilyana Tjoeng, Moh. Khoirul Huda,
Stephanie Tanata, Cassandra Etania


Copyright 2016. Kompas.com