Ada kabar gembira di awal tahun ini tentang korupsi di Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia naik dua poin dari 34 pada 2014 menjadi 36 pada tahun 2015.
Dengan poin itu, Indonesia menduduki peringkat 88 sebagai negara paling bersih di antara 168 negara di dunia. Tahun lalu Indonesia ada di peringkat 107.
Demikian laporan Transparency Internasional, sebuah lembaga swadaya masyarakat antikorupsi, yang dikeluarkan pertengahan Januari tahun ini.
Sejak 2012, IPK Indonesia secara konsisten beranjak naik. Lihat tabel.
Negara paling bersih adalah Denmark dengan IPK 91, sementara paling korup adalah Somalia dengan IPK 8.
IPK adalah skala nilai yang mengukur persepsi para pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di suatu negara di sektor publik, meliputi pegawai negeri, penyelenggaran negara, dan politisi.
Rentang skornya 0 sampai 100. Nilai 0 artinya sangat korup, sementara 100 artinya bersih dari korupsi.
Sejak diluncurkan pada tahun 1995, IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi dalam negeri dibandingkan dengan negara lain.
Meski naik, namun IPK Indonesia masih di bawah Thailand (38), Malaysia (50) dan Singapura (85). Indonesia lebih baik dari Filipina (35), Vietnam (31), dan Myanmar (22). IPK Indonesia juga masih di bawah rata-rata Asia Pasifik (43) dan Asia Tenggara (40).
Menurut catatan Transparency International, meski korupsi masih terjadi secara merata di seluruh dunia, namun sejumlah negara mampu menaikkan IPK mereka. Kampanye anti korupsi yang digaungkan masyarakat sipil, demikian disebutkan dalam laporan itu, berperan dalam menyebarluaskan kesadaran antikorupsi.
“Artinya, korupsi itu bisa diberantas jika kita bersatu melawannya. Masyarakat harus terus menerus secara konsisten menyerukan kepada pemerintah di negara mereka untuk menolak suap dan penyalahgunaan kekuasaan,” kata Ketua Transparency International Jose Ugaz.
KPK dan pesimisme publik
Tak bisa dipungkiri, salah satu yang berjasa mendobrak kesadaran Indonesia untuk melawan korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejak lembaga itu dibentuk pada 2003, ia menjadi satu-satunya lembaga yang paling galak terhadap para koruptor. Para pimpinan KPK sebelumnya diapresiasi karena keberaniannya membongkar korupsi di berbagai lembaga penyelenggara negara.
Era pimpinan KPK baru kini disambut oleh pesimisme publik. Di tengah upaya DPR melakukan revisi terhadap UU KPK yang sejumlah muatan pasal barunya dianggap melemahkan KPK, hadirlah pimpinan baru yang dinilai sejumlah kalangan pro atas pelemahan itu.
Salah satu substansi yang diperdebatkan dalam revisi UU KPK adalah soal fungsi penindakan dan pencegahan. Ada kesan, peran KPK dibatasi hanya pada pencegahan. Peran penindakan akan dikembalikan sepenuhnya kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Dua lembaga terakhir, belum sepenuhnya mendapat kepercayaan publik.
Kekuatan KPK sebagai lembaga yang paling depan mengobarkan perang terhadap para koruptor lantas diragukan.
Benarkah sepak terjang KPK akan kembali membanggakan di bawah pimpinan baru ini? Akankah catatan IPK yang menunjukkan kenaikan skor secara konsisten bisa terus membaik?
Keraguan itu dijawab cepat. Meski berusia kurang dari umur panen jagung, namun pimpinan KPK baru yang dikomandani Agus Rahardjo telah melakukan sejumlah gebrakan.
Gebrakan pertama dibuat sekitar tiga minggu setelah Agus dan empat pimpinan KPK lain dilantik, pada 21 Desember 2015 lalu.
Pada 13 Januari 2016, KPK menangkap anggota DPR dari PDI Perjuangan selaku partai penguasa, Damayanti Wisnu Putranti. Dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT), Damayanti ditangkap akibat suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sebulan kemudian, pada 12 Februari 2016, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan. Kali ini Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna yang dicokok KPK.
Agus mengaku puas dengan OTT itu. Dia berharap OTT menjadi pembuktian untuk menjawab keraguan publik terhadap era baru KPK yang dipimpinnya.
Saat ditemui Kompas.com di ruangannya, di lantai 3 Gedung KPK, Selasa (16/2/2016), Agus berharap bisa menepis anggapan bahwa KPK tidak lagi mengutamakan penindakan.
"Orang kan selama ini anggap, 'Oh ini era KPK pencegahan. Komisi Pencegahan Korupsi," tutur Agus, yang menerima Kompas.com di meja bundar di ruangannya.
Sekilas, tak ada yang istimewa dari meja kayu jati bundar di ruang kerja Ketua KPK Agus Rahardjo. Bentuknya tidak terlalu besar, diameternya hanya sekitar 1,5 meter. Desainnya pun sederhana. Polos, tanpa ukiran ragam hias yang raya.
Penempatan meja bundar itu juga terbilang tidak istimewa dalam ruangan yang berada di lantai 3 Gedung KPK. Meja tidak ditempatkan di tengah ruangan, juga tidak terlihat menyempil di sudut ruangan.
"Yang pasti mejanya tidak baru. Diletakkan di ruangan ini pun tidak baru, karena saya masuk sudah ada," ujar Agus.
Meski sepintas tidak terlihat istimewa, namun meja itu memiliki makna khusus bagi KPK era kepemimpinan Agus. Di atas meja itulah nasib calon tersangka korupsi ditentukan.
Di meja dengan tujuh kursi yang mengelilingi dan saling berhadapan itulah lima pimpinan KPK membahas dan menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik).
Tradisi ini dimulai sejak lima orang yang berbeda latar belakang itu secara resmi dilantik pada 21 Desember 2015 lalu.
"Supaya kerjaan makin cepat kami berlima kumpul di sini, tandatangan memutar," ucap Agus, yang menerima Kompas.com di meja bundar tersebut.
Pada periode sebelumnya, tandatangan sprindik kerap dibubuhkan secara bergiliran oleh pimpinan KPK di ruangan mereka masing-masing.
Dengan meneken sprindik di satu meja maka diharapkan dapat menambah soliditas pimpinan KPK.
"Sekarang solid, mudah-mudahan terjaga terus," tutur Agus.
Di “meja keramat” lambang kolegialitas dan soliditas itu, Agus menerima wartawan Kompas.com Wisnu Nugroho, Sandro Gatra, Bayu Galih dan Ambaranie Nadia. Ia bercerita banyak mengenai misi pemberantasan korupsi selama dia menjabat Ketua KPK. Misi itu termasuk meningkatkan kapasitas penyadapan.
Agus tidak menampik bahwa pimpinan KPK saat ini berusaha mengurangi kegaduhan dan berusaha meningkatkan hubungan baik dengan lembaga lain.
Berikut hasil wawancara tim Kompas.com dengan Agus Rahardjo yang dibagi menjadi lima topik bahasan: Strategi Pimpinan Baru KPK, Jumlah Penyidik Terbatas, Low Profile, Revisi UU KPK, dan Harapan.
Selama ini sistem di KPK sudah berjalan dengan baik. Ini menjadikan KPK menjadi lembaga yang dipercaya publik. Bagaimana pimpinan baru mempertahankan kepercayaan ini dengan sejumlah keraguan yang ada pada masyarakat?
Pertama, kami menghargai teman-teman yang di dalam, dalam arti kami diterima. Itu penting. Karena itu kan hampir semua pimpinan datang (di acara sambutan). Yang enggak datang cuma Antasari (Azhar) saja kan. Abraham (Samad) enggak datang.
Itu pengalaman luar biasa. Deputi, direktur, dan tokoh masyarakat. Jadi memberikan bekal, paling enggak kami mengenal. Kami juga bisa melangkah lebih cepat. Transisi itu yang sangat cepat sekali.
Saya di dalam pansel maupun di fit and proper, kalau orang dengar apa yang saya paparkan, saya membagi seimbang antara penindakan dan pencegahan. Tapi orang (anggap), "Oh ini era KPK pencegahan. Komisi Pencegahan Korupsi". Hahaha...
Karena itu, sehari begitu saya datang langsung saya terapkan dan naik ke atas (ruang penyadapan). Temen-temen kalau intercept (menyadap) apa sih yang dilakukan, saya tungguin.
Kalau kamu inginkan, apa alatnya ditambah. Kalau tahun lalu OTT (operasi tangkap tangan) lima kali. Kalau ini, cepat juga OTT-nya, begitu dimonitor begitu terus kan, tiga minggu sudah ada OTT. Itu menggembirakan. Mudah-mudahan, harapan saya, hari ini atau besok ada lagi.
Kapasitas set (alat)-nya juga juga lebih tinggi dari kemarin. Saya bilang ini, gimana kalau kita tingkatkan lebih drastis. Itu bagian yang paling membosankan, yang mendengarkan itu. Anda hanya dengarkan saja, gitu kan. Itu membosankan betul. Kalau dengarkan lagu sih enggak apa-apa, ini dengarkan orang ngomong loh.
Kapasitas yang ditingkatkan seperti apa? Jumlah penyidik atau alatnya?
Sementara ini jumlah yang di-intercept. Jadi jangan lagi ke depan nanti masih ada suara, "Saya ketangkap karena sial". Karena kami kan betul, ya Anda yang lakukan, ya ketangkap. Mudah-mudahan kami pengin pekerjaan manusia digantikan, bisa voice to text. Jadi nanti lebih cepat membacanya kan, daripada mendengarkannya.
Teknologi seperti itu sudah bisa dipakai?
Ada, ada.. Sudah..
Pimpinan KPK sekarang juga punya latar belakang berbeda. Ada polisi, akademisi, Anda juga dari pengadaan. Strategi apa untuk sinergi?
Kalau saya melihatnya malah saling melengkapi. Karena kalau Anda tanya saya masalah hukum, dua bulan ini karena saya berkenaan dengan hukum mau enggak mau harus keep up dengan itu.
Pengetahuan saya soal hukum paling soal Keppres Pengadaan, UU Perbendaharaan, UU Keuangan Negara. Tapi dengan teman yang lain kan sangat kompeten di bidang itu. Di bidang intelejen, hakim. Kami bisa saling memberikan wawasan lain.
Kami menangani kasus di pintu masuk, lalu jaringannya, pihak terkait ditangani dengan tuntas. lalu solusi ke depan nanti bagaimana.
Selain strategi, dengan jumlah penyidik sekitar 80 orang, bisa tidak menyelesaikan kasus dengan tuntas?
Dua yang saya lakukan dengan keterbatasan penyidik itu. Satu, kami harus lebih efisien terhadap jumlah tim penyidik. Jadi, sering satu sprindik, penyidik sampai 23. Loh ngapain?
Tapi dalam waktu yang sama, saya minta dari teman-teman di Kejaksaan dan Polri untuk mengirim banyak, lalu kemudian kami uji integritasnya, kompetensinya. Kemudian nanti nambahin jumlah yang sekarang ada. Saya juga pengin mengembangkan, kalau kita bicara pencegahan.
Itu juga jadi mohon maaf langsung loncat ke masalah Novel. Ini agaknya ada misleading juga yang tersiar ke luar. Padahal dari awal saya maunya ini juga dilakukan KPK negara lain. Malaysia, Hongkong.
Yang saya incar pertama kan Kementerian BUMN. Kenapa? BUMN secara keseluruhan hampir sama dengan APBN.
Kita kalau perlu menanamkan orang KPK di tempat-tempat yang strategis. Yang saya incar pertama kan Kementerian BUMN. Kenapa? BUMN secara keseluruhan hampir sama dengan APBN. Kurang sedikit. APBN itu buat sekian lembaga, itu kan strategis sekali.
Saya panggil Sekmen BUMN ke sini, saya jelaskan ingin menaruh orang, ini orang KPK, bukan saya kasih begitu saja. Tapi ini orang KPK yang bertugas di KPK, yang bayari KPK, tetap pegawai KPK.
Nanti saya ingin ada satgas-satgas yang bergerak terutama di BUMN. Tapi besoknya dia memberi tahu, enggak mau dia. Saya tanya, kenapa? Dia bilang, "Menteri saya sudah dapat sorotan". Ya sudah, saya ke tempat lain.
Tapi satu Satgas bisa terdiri dari 2-3 orang. Bisa untuk beras, daging untuk pangan, kemudian soal minerba. Kan kemarin kita kumpul di sini, dari 2015 izin pertambangan ada 5.000-an, yang baru beres 1.000 berapa. Masih 3.900-an yang belum.
Tidak beresnya IUP itu ada di hutan konversi, sudah waktunya penindakan kan. Jadi satgas ini turun saja. Supaya kemudian perubahan cepat terjadi.
Jadi, nanti satgas itu jumlahnya banyak, bukan hanya Novel, tapi banyak sekali. Tapi kami menugaskan orang yang integritasnya jelas, dedikasinya juga jelas. Ini juga bagian dari mereka rotasi dan membina karir.
Suatu hari kan bisa saja mereka masuk jadi direktur, jadi deputi. Mudah mudahan nanti bisa dipahami seperti itu.
Dalam rangka pencegahan, di samping membuat satgas, kami juga membuat sistem yang mendorong masyarakat berpartisipasi untuk memperbaiki, memberikan input, memberikan kritik terhadap upaya pemerintah. Tapi penindakannya akan kami tingkatkan terus.
Soal kebutuhan penyidik, cara membentuknya bagaimana?
Membentuk penyidik independen ini sebenarnya butuh waktu yang lama dibandingkan mereka yang sudah pengalaman penyidik.
Untuk prosesnya, bedanya di mana antara penyidik dari lembaga lain dengan yang independen?
Contohnya sekarang, yang independen 28. Itu belum ada yang jadi team leader. Kalau kayak Novel yang dari polisi itu kan selalu jadi team leader, kelihatan menonjol gitu.
Tapi independen tadi kemampuan spesialis dia bagus. Mendukung tim secara keseluruhan. Jadi untuk membina itu, karena nanti yang melakukan penyelidikan, penyidikan, kan tetap (dari) kejaksaan, kepolisian. Tapi penyidik yang sudah itu, ya kami rekrut. Meski enggak semuanya kami terima.
Tahun lalu, dari polisi enggak ada yang masuk sama sekali. Kami kan selalu (pertimbangkan), selain kompetensi, kan integritas. Jadi kalau konsultan yang kami hire bilang, "Ini enggak layak", ya enggak kami rekrut. Itu lembaga psikologi yang mengukur integritas.
Peningkatan kapasitas kan didukung jumlah staf dan penyidik. Berapa kebutuhan yang diperlukan?
Sekarang ini, nomor (pegawai) saya, yang paling belakang, 1.481. Tapi saya yakin jumlah kami paling sekitar 1.300. Kalau kita mau membuat jumlah yang ideal, mungkin dengan kami ingin membentuk satgas, kami mau menangani kasus, mungkin di kisaran 2.000 (orang) masih sesuatu yang cukup. Mungkin setiap tahun jatah untuk kami rekrut enggak sebesar itu.
Urgensi penambahan untuk SDM di bagian apa?
Terutama di penyidik dan kemudian juga yang melakukan surveillance di lapangan. Saya melihatnya kadang kami ragu-ragu karena itu. Kami mengandalkan komunikasi dan pengamatan langsung di lapangan sangat kurang. Kalau komunikasi, mungkin hanya menambah mesin, kalau nanti voice to text-nya bisa (diterapkan).
Idealnya berapa jumlah penyidik yang dibutuhkan?
Mungkin bisa sekitar 300. Sekarang 80-an.
Dalam draf revisi UU KPK juga dipermasalahkan penyidik independen. Kalau nanti terhambat UU bagaimana?
Sebetulnya hubungan kami dengan Polri dan Kejaksaan enggak ada goncangan lagi, mulus. Sebetulnya, kebutuhan berapa pun akan disuplai. Meski pasti enggak kami terima begitu saja. Kami lihat integritasnya, kompetensinya.
Tapi kan sangat bahaya kalau hubungan tidak mulus. Kemudian kami enggak dapat suplai. Satu-satunya jalan, ya independen kan.
Solusinya bagaimana? Karena dari pengalaman, jika ada perkara menyangkut polisi, penyidik bisa ditarik. Biar kasus lama tidak terulang lagi?
Kalau peran kami di UU itu kita kan memang sebagai supervisor dan koordinator. Artinya, dalam hal tindak pidana korupsi, KPK sedikit di atas penegak hukum yang lain. Itu harus diperankan, karena saya yakin enggak mungkin KPK memberantas korupsi sendirian.
Mereka lebih punya personel yang menyebar di wilayah. Artinya kor-sup (koordinasi-supervisi) tadi kan ada kewajiban KPK membina temen-temen yang dua itu menjadi seperti KPK.
Hubungan yang baik itu diusahakan untuk tetap baik. Tapi bagaimana pun kalau mereka salah ya harus ditindak.
Dilihat dalam dua bulan terakhir, komisioner sekarang lebih low profile. Hubungan dengan lembaga lain membaik. Apa dampaknya sudah terasa?
Rasanya dengan itu tadi mulai terbangun lah. Saya malah penginnya, enggak pengin kadang-kadang memalukan orang.
Seperti kemarin kami tangkap orang MA itu, saya penginnya yang bagian pembinaan dan pengawasan di (MA) sana itu diajak ke KPK untuk ikut mengumumkan. Supaya dia tak kehilangan muka.
Jadi kalau kami tangkap orang, lebih baik orang bagian pembinaan, walaupun enggak kerja sama (dalam penindakan kasus itu), bisa saja dia diajak sama kami, kan dengan itu bisa menyelamatkan mukanya.
Kemarin kami ketemu Kabareskrim Komjen Anang Iskandar. Gayanya mirip, bagaimana untuk menghindari kegaduhan, tapi kerja yang dilakukan sama sekali tidak terganggu. Apakah ada koordinasi dan penyamaan untuk itu?
Saya ketemu Pak Anang sudah tiga kali. Dan selalu bilang, "Pak, nanti aku kirim surat, nanti tolong kirim (penyidik) yang bagus-bagus". Di sini itu sebenarnya tempat penggodokan. Karena harapan saya begitu mereka kembali ke sana (Polri), nilai yang baik di sini dibawa ke sana.
Tiga kali pertemuan dengan Pak Anang, apa termasuk untuk mencegah kegaduhan?
Tidak. Saya kalau ketemu Pak Anang selalu dalam Rapim Polri, lalu saat saya mantu. Kami dateng sama-sama berlima.
Saat ini gimmick KPK di bawah pimpinan baru terlihat berubah. Usai OTT, tidak ada barang bukti yang diperlihatkan. Tidak ada lagi orang bertopeng yang tampil. Ini juga untuk mengurangi kegaduhan?
Saya sebetulnya, kalau bisa merahasiakan, penentuan tersangka 1x 24 jam itu enggak perlu diumumkan.
Saya sebetulnya, kalau bisa merahasiakan, penentuan tersangka 1x 24 jam itu enggak perlu diumumkan. Bayangan saya begini, kami kan bisa bekerja efektif kalau jaringannya belum tahu kalau kami incar. Jadi begitu ditangkap satu, langsung jaringannya dilakukan, di-intercept, penyelidikan terbuka. Itu malah jauh memudahkan kami daripada membukanya.
Makanya kan tahap pertama, saya masih mengumumkan meski hanya sedikit sekali yang saya umumkan. Lalu ada Yuyuk dan Priharsa, selanjutnya temen temen ini saja yang umumkan.
Kenapa dirahasiakan? Bukankah selama ini KPK terkenal dengan keterbukaannya?
Terbuka nanti, setelah kami buka jaringannya, baru kami buka. Itu jauh lebih bermanfaat, bukan hanya penuntutan. Biasanya kan kalau OTT langsung penyidikan, saya penginnya saat di dalam, mereka tanya jawab, dapat, dikeluarkan sprindik lagi. Keluarkan lagi (sprindik). Jadi berkali-kali sehingga kasus itu cepat tuntas. Tak hanya permukaan saja.
Pada waktu Damayanti, kan seketika kami tahu ada kontraktor lain juga yang lebih besar. Ini sebentar lagi orangnya kami naikkan ke penyidikan. Kemudian, oh anggota DPR tambah ini, ini, ini, kami naikkan.
Saya cenderung itu, nanti. Enggak lama kok waktunya. Mungkin dua bulan, tiga bulan, begitu ya. Tapi di bawah itu dibawa secara berturut-turut ke pengadilan ketimbang berlama-lama seperti dulu.
Apa keterbukaan kasus bisa mengganggu kinerja KPK?
Iya. Jadi, dalam kasus Damayanti misalnya, nanti mereka bisa mengamankan diri dong. Pada dasarnya kami tidak gegabah, perlu dua alat bukti. Pada malam itu ditanya, yang bersangkutan sudah mengungkapkan banyak. Lain dengan yang MA ini, enggak mau mengungkapkan.
Jika tertutup, bagaimana jika terjadi misleading. Waktu penangkapan pejabat MA kan media sempat menyebut bahwa yang ditangkap itu hakim agung?
Ini harus ada kebiasaan baru bagi teman penyidik. Saya dilaporkan jam 11 malam, memang laporannya Kasubdit, pengusaha, lawyer, sama sekuriti. Tapi kan yang keluar, kirim WA (pesan Whatsapp) tanya ke saya, apa itu hakim agung.
Satu, cara kami "membungkus". Dengan kondisi kantor yang seperti ini, ada yang masuk bawa "bungkusan", terus muncul spekulasi. Mereka (wartawan) juga sudah punya hubungan dengan beberapa penyidik dan kadang pekerja kita yang lain. Itu yang mungkin di gedung baru perlu lebih (diperketat).
Terkait draf revisi UU KPK. Soal izin penyadapan, apa nanti akan mengganggu kinerja?
Sangat, sangat. Kalau itu terjadi sangat mengganggu. Kerahasiaannya siapa yang bisa menjamin? itu kan kalau saya istilahnya seperti Anda satpol PP, mau razia Pasar Tanah Abang, seringkali datang ke sana sudah bersih. Karena infonya sudah tersebar.
Isi revisi kan bisa memperlemah. Tanggapan Anda seperti apa?
Harapan saya jangan diperlemah, jika isinya seperti itu. Kalau revisi jangan sekarang. Karena situasi seperti ini, itu akan banyak sekali penumpang gelap.
Kalau saya misalkan IPK kita sudah 50, misalkan ada penyelesaian dana partai, situasinya akan berbeda. Saya termasuk yang setuju partai didanai APBN, artinya mereka enggak perlu cari-cari seperti itu (korupsi).
Soal rencana kehadiran Dewan Pengawas KPK?
Saya lihat soal ini kayak Komisi Kepolisian (Nasional) dan (Komisi) Kejaksaan. Kan enggak sampai awasi performanya kan. Kompolnas kan usulkan calon kapolri. Mana ada tugas komisi yang tugasnya seperti di draf itu?
Saya setuju awasi etika pimpinan, kalau mau memperkuat. Tapi jangan sekarang. Kita lihat UU KPK antara kewenangan dan organisasi seperti missmatch. Kewenangan kami ada lima kan, koordinasi, supervisi, pencegahan, penindakan, monitoring.
Organisasi itu (dewan pengawasan) enggak pernah ada di koordinasi dan supervisi. Monitoring malah sedikit menyimpang yang dimaksudkan UU. Karena monitoring hari ini yang ada untuk intercept. Padahal monitoring berdasarkan UU enggak loh.
Jika dewan itu ada, apa cukup dengan pengawasan saja?
Saya kira dengan mengawasi etik itu cukup. Jadi kalo memang ada hal yang dilanggar pimpinan KPK, kemudian dewan pengawas mengusulkan DPP (Dewan Pertimbangan Pegawai), cukup.
Jadi kalau sampai pekerjaan yang detail itu, ya bukan kerjaannya. Lalu kemudian yang dimaksud organisasi independen itu apa? Karena di UU jelas sekali, KPK tidak tunduk pada kekuasaan mana pun.
Upaya yang dilakukan KPK untuk cegah revisi?
Kalau ke teman-teman DPR pesannya kan sudah nyata sekali, diundang balik, kami ngga datang. Nah kalau ke pemerintah kami memang ingin ketemu dengan Presiden.
Kemarin waktu pelantikan gubernur saya sudah sampaikan, pimpinan (KPK) ingin bertemu dengan presiden. Dijadwalkan setelah pulang dari Amerika ini.
Apa yang ingin disampaikan?
Ya keberatan kami. Ya kalau bisa meyakinkan presiden, untuk menunda dan tidak saat ini. Menolak revisi itu saat ini.
Kalau KPK lihat sikap presiden sudah ada ketegasan?
Kami ingin melihat dulu, maunya presiden apa sih.
Belum terlihat sikapnya?
Belum
Vonis terhadap koruptor semakin ringan. Menurut KPK salahnya di mana, tuntutan yang rendah atau vonis yang memang ringan?
Kalau tuntutan itu selalu dikomunikasikan ke kami (pimpinan). Kadang-kadang pasal yang disangkakan itu kami berdebat. Tapi standarnya kalau divonis kurang dari dua pertiga (tuntutan), kami selalu banding.
Ada usul perubahan UU soal jumlah minimal vonis?
Saya sudah berpikir, selain penanganan atasi lanskap permasalahan yang ada, saya juga sudah mulai berpikir...
Saya bertanya ke teman-teman ahli hukum, kalau kami mulai terapkan tuntutan mati gimana? Kan di UU KPK memang ada.
Hanya di situ pada keadaan tertentu. Sesuai penjelasan, misalnya korupsi dana untuk bencana alam. Tapi untuk saya, korupsi dalam jumlah besar pun layak. Karena kalau kita lihat laporan PPATK, hasil korupsi itu ada yang nilainya besar sekali.
Pimpinan lain sepakat soal wacana hukuman mati untuk koruptor?
Ini memang masih diskusi. Tapi belum tahu nanti finalnya seperti apa. Mungkin sudah waktunya juga berpikir itu. Kedua, pidana jangan pada orang tapi korporasi.
Bisa pidana untuk partai politik juga?
Bisa. Ya itu, pidana jangan hanya pada orang. Perusahaan yang tidak pernah melakukan pekerjaannya, padahal dapatnya besar-besar.
Kalau sekali dapat bisa kontraknya Rp 40 miliar, Rp 100 miliar, tapi dilakukan orang lain. Perusahaan kontraktor, tapi enggak mau laksanakan pekerjaan, itu kan lucu.
KPK belum memulai, baru berpikir bagaimana menerapkan ini. Karena kalau diterapkan, paling tidak dalam RUPS ada sorotan kepada para direksinya, pasti diganti.
Kasus korupsi korporasi sudah lama, kenapa tidak diterapkan dari dulu?
Saya tidak tahu kenapa dulu belum diterapkan seperti itu.
Pimpinan KPK lama pernah wacanakan buka cabang di daerah. Pimpinan baru seperti apa?
Saya punya kekhawatiran, selama jadi birokrat, program kecil memang bagus. Begitu dimasifkan langsung rusak. Kalau saya pribadi ditanya itu, mendingan satgas tadi. Kita bisa kontrol. Kalau perlu ada WA (pesan Whatsapp) antara satgas dengan pimpinan, itu mungkin jauh lebih efektif.
Satgas akan ada di seluruh provinsi?
Kami memilih 6, yang relatif di masa lalu gubernurnya punya masalah. Riau, Banten, Sumut, itu satu paket. Kemudian Aceh, Papua Barat dan Papua satu paket berikutnya. Ini pesannya jelas, agar bagaimana mengelola APBD, mulai perencanaan, diterapkan e-budgeting, e-procurement, ada e-contracting.
Itu baru perencanaan. Kemudian BUMD, bagaimana agar BUMD tidak jadi sapi perah. Kemudian hubungan dengan DPRD. Bagaimana agar mereka gelontorkan bantuan sosial, kemudian bagaimana bangun sistem perizinan yang baik.
Kami ajari, kami beri tools kayak di Surabaya dan DKI. Setelah itu kami monitor, kalau nakal ya ditindak. KPK kan punya wewenang dua-duanya.
Dampak dari kasus Novel ke kinerja KPK?
Tidak terlalu. Kalau dulu mungkin terasa betul. Karena waktu saya masuk Novel kan hanya tangani kasus e-KTP dan beberapa kasus. Tapi dia masih kerja terus.
Kalau pimpinan baru sudah solid dengan internal KPK?
Saya kan coba memfasilitasi. Kalau uneg-uneg, ya kita bicara sama-sama. Saya sudah dua kali (pertemuan besar). Waktu pertama (masuk) dan kemudian kemarin kita ketemu. Coba saling memahamilah.
Saya kan orang paling tua di sini. Rasanya saya kan tidak punya target jadi apa-apa. Sudah selesai kalau saya, mudah-mudahan. Popularitas juga enggak perlu, ngapain sih tampil di TV.
Harapan Anda selama menjadi Ketua KPK, apa yang ingin dilakukan?
Saya ini lama di pengadaan. Yang saya sesalkan adalah, bangsa ini selalu mudahnya saja yang digunakan. Yang saya kenalkan di sana kan sistem electronic procurement. Itu sekarang sudah ada di 627 instansi termasuk kabupaten/kota, provinsi. Mereka gunakan itu. Sistem itu agar kita bisa bersaing lebih fair.
Karena dari 627 itu tadi, misalnya saya pengusaha kecil di kota Purworejo, latihan pertama saya ikut (lelang) di Purworejo, Kebumen, Purwokerto. Kalau pintar, ke Semarang. Walau nature-nya masih berlatih tapi boleh ikut ke Enrekang.
Tidak ada yang membatasi. Sistem kita sudah seperti itu. Tapi yang saya inginkan adanya persaingan yang sehat, itu kan tidak terjadi. Padahal Anda menyaksikan persaingan sehat bisa mengefisienkan cost. Yang paling sederhana itu tiket Garuda (Indonesia) tahun '97, Jakarta-Yogya dibanding hari ini itu kan lebih murah hari ini.
Kalau mereka dipaksa bersaing kan ada drive untuk melakukan banyak langkah-langkah. Kalau persaingan sehat itu terjadi, saya yakin biaya pembangunannya akan sangat murah. Ini kan tidak terjadi persaingan sehat itu.
Di luar kemudian ada asosiasi yang mengatur (persaingan) itu. Bahkan ada lintas asosiasi. Bayangkan dulu zaman orde baru, konstruksi cuma ada dua asosiasi, Gapeksi dan AKI. Gapeksi untuk yang kecil, AKI untuk yang besar.
Non konstruksi cuma satu, Ardin. Asosiasi rekanan dan distribusi apa gitu. Hari ini konstruksi ada lebih dari 40 asosiasi. Tapi begitu mau melakukan suatu pekerjaan, mereka bisa bersatu.
Sehingga yang saya inginkan, bayangkan saja kalau pekerjaan Rp 600 juta, Rp 700 juta, pengusaha baru kan bisa ramai-ramai ikut keroyok itu tapi ini enggak.
Jadi mereka datang, daftar, banyak, tapi tidak menawarkan. Daftar itu supaya dapat pesangon, untuk dapat fee biar dia enggak masuk. Anda bisa menyaksikan seperti ini, harga lebih tinggi dari yang lebih efisien.
Ini gimana cara melawan kebiasaan jelek seperti ini. Saya ingin Anda semua ikut kampanye, yang muda-muda ayo jadi pengusaha sekarang, kesempatannya ada. Dari Rp 2.100 triliun APBN kita, Rp 1.000 triliun itu lewat pengadaan.
Harapan saya, pengusaha yang tidak terafiliasi dengan yang mengatur-atur tadi. Ini yang tidak terjadi di kita, enggak tahu ini harus dimulai dari mana.
Yang saya khawatirkan, koruptor di KPK itu masih ketawa-ketawa, keluar penjara masih kaya, karena itu masih dihormati orang. Perlu ada sosial punishment dari keluarga, atau masyarakat sekitarnya. Misalnya, tidak bergaul, atau mohon maaf, meludahi.
Copyright 2016. Kompas.com