PARA PENJAGA BAHASA

Sosok-sosok Inspiratif di Balik Penggunaan Bahasa Indonesia

free offline web site generator software download

Berbahasa Satu...

Oktober adalah bulan istimewa bagi Indonesia. Bulan ke-10 dalam penanggalan Masehi ini dimaknai sebagai bulan bahasa untuk memperingati tekad pemuda Indonesia "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" yang tercetus dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928.


Setelah 11 windu berlalu, semangat untuk menjunjung bahasa persatuan itu tak jua padam. Redaksi Kompas.com menghadirkan sosok-sosok inspiratif dalam rangka menjaga semangat untuk berbahasa Indonesia dalam VIK edisi ini. 


Tentu pilihan ini dengan tidak mengesampingkan kekaguman kami terhadap sosok lain yang berkecimpung, aktif, serta giat menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia.


Kami juga menyajikan cerita mengenai upaya Badan Bahasa dalam menghimpun kosakata baru untuk diterbitkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima.


Terdapat juga linimasa sejarah perjalanan terbentuknya bahasa Indonesia untuk menggambarkan kekayaan budaya yang membentuk bahasa persatuan tersebut.  

Badan Bahasa

Lembaga di bawah Kemendikbud ini mengungkap kisah menarik dalam menghimpun kosakata baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima.

Eko Endarmoko

Kerja keras Eko selama lebih dari 20 tahun menghasilkan Tesaurus Bahasa Indonesia dan Tesamoko, buah konsistensinya bergelut dengan kata.

Ivan Lanin

Praktisi TI dan konsultan manajemen ini mengaku senang mengikuti rapat berjam-jam saat membahas kosakata dalam bahasa Indonesia. Mungkin karena banyak keajaiban yang ditemukan.

Penggawa Bahasa di Media Massa

Penggawa bahasa di tiga media massa berskala nasional berbicara tentang latar belakang penggunaan kata hingga menjadi populer di masyarakat.

BADAN BAHASA

Perekam Resmi Perkembangan Bahasa Indonesia

Menjadi seorang poliglot atau orang yang menguasai banyak bahasa tidak membuat Agus Salim enggan memakai “bahasa bumiputra” dalam forum resmi. 


Karena itu, saat menjadi pembicara di sidang Volksraad (legislatif) Hindia Belanda, pahlawan nasional Indonesia itu memilih menggunakan bahasa Melayu, cikal bakal bahasa Indonesia. Padahal, Agus juga fasih berbahasa Belanda, di antara sembilan bahasa yang dikuasainya. 


Sikap itu kemudian ditentang sejumlah anggota Volksraad berkebangsaan Belanda. Sebab, banyak kata di bidang pemerintahan yang belum ada padanannya dalam bahasa Melayu. Salah satunya adalah "economy".  


Untuk meresponsnya, Agus Salim pun menjawab kritik tersebut. "Coba Tuan sebutkan, apa kata economy dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan bahasa Melayu-nya," ujar Agus Salim.


Jawaban itu berhasil membungkam para pengkritik. Sebab, memang banyak istilah yang diserap dalam bahasa Yunani, seperti economy, yang belum ada padanan katanya dalam bahasa Belanda.


Kisah Agus Salim itu menjadi ilustrasi mengenai pentingnya perkembangan kosakata dalam sebuah bahasa. Seperti halnya peradaban, bahasa berkembang jika “bersentuhan” dengan bahasa lain, baik itu menyerap bahasa asing maupun bahasa atau dialek lokal. 


Hal ini juga dipahami oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Dadang Sunendar.


"Kosakata dalam kamus bisa menunjukkan siapa orang Indonesia dan di mana tingkat peradaban bangsa Indonesia ini," kata Dadang saat ditemui Kompas.com di kantor Badan Bahasa, Kamis (13/10/2016).

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Dadang Sunendar berbicara tentang perkembangan bahasa Indonesia saat ditemui Kompas.com, Kamis (13/10/2016). Kompas.com/Andre LA.


Badan Bahasa pun berupaya merekam perkembangan bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jumlah lema atau kata yang termaktub di dalam KBBI menjadi salah satu penanda perkembangan itu.


Saat kali pertama terbit pada 1988, KBBI hanya memuat sekitar 62.100 lema. Adapun di edisi terakhir KBBI, edisi keempat yang terbit pada 2008, terdapat 90.000 lema. Di KBBI edisi kelima yang direncanakan terbit pada 28 Oktober 2016, jumlahnya bertambah menjadi sekitar 110.000 lema.




Proses panjang


KBBI bisa dibilang sebagai acuan baku dalam bahasa Indonesia. Namun, ternyata banyak kosakata umum yang belum termaktub dalam KBBI atau tertulis berbeda dengan yang biasa dilisankan dalam masyarakat. 


Misalnya saja, kata "jerapah" baru masuk pada KBBI edisi keempat yang terbit pada 2008. Dalam KBBI edisi ketiga, kata yang digunakan adalah "zarafah". 


Proses agar suatu kosakata bisa masuk dalam KBBI juga terbilang panjang. Masyarakat dapat mengusulkan masuknya suatu kata dalam KBBI. Usulan kata itu dapat diambil dari serapan bahasa asing atau bahasa daerah. Lalu, lema apa saja yang bisa diusulkan? 


"Syaratnya sederhana. Pertama, sebuah lema harus unik. Kedua, sesuatu yang betul-betul baru, belum pernah dimunculkan dalam kamus lain,” tutur Dadang.


“Ketiga, sedap didengar. Selanjutnya, lema yang diusulkan harus memiliki makna positif dan tentu saja kaidah yang sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia," ujar dia.


Salah satu tahap dalam penyusunan KBBI edisi kelima di kantor Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (18/10/2016). Kompas.com/Garry AL.

Badan Bahasa memanfaatkan kemajuan teknologi agar masyarakat bisa mengusulkan suatu kata melalui internet. Dalam KBBI edisi kelima versi daring yang akan dirilis pada 28 Oktober 2016 ini terdapat fasilitas agar masyarakat bisa mendaftarkan kata yang akan diusulkan. 


Fasilitas ini akan tersedia di situs KBBI daring dan melalui aplikasi di perangkat seluler. "Bisa juga menyurati kami secara tertulis. Itu paling tradisional tentu saja," ujar Dadang.


Selain usulan kata baru, masyarakat juga bisa mengusulkan pengubahan kata yang saat ini digunakan melalui fasilitas tersebut. Misalnya, mengubah “zarafah” menjadi “jerapah” tadi.


Prosedur berikutnya, usulan kata itu akan dipilah atau diverifikasi, apakah tergolong istilah umum atau bidang keilmuan khusus. Jika tergolong istilah umum, kata itu akan dibahas untuk masuk ke KBBI. 


"Kosakata dalam kamus bisa menunjukkan siapa orang Indonesia dan di mana tingkat peradaban bangsa Indonesia ini."


Namun, jika tergolong istilah khusus, kata itu akan dibahas dalam Sidang Komisi Istilah. Hasil rumusan itu akan menghasilkan kamus istilah.


Setelah kata itu diverifikasi dan dianggap istilah umum, dalam pembahasan selanjutnya, Badan Bahasa akan mengundang pihak lain yang dianggap kompeten. Pihak lain itu misalnya pakar bahasa, perwakilan media massa, perwakilan perguruan tinggi, sastrawan, juga agamawan.


Pembahasan dilakukan secara bertahap, sesuai kata yang dibicarakan. Cara ini dilakukan agar tidak ada kesalahpahaman dalam sebuah kata.


“Sebuah lema tertentu, misalnya, bisa diterima untuk keyakinan tertentu, tetapi belum bisa diterima keyakinan lain. Ini kan berbahaya juga,” ujar Dadang.


Keberadaan KBBI daring juga memungkinkan pihak yang dianggap kompeten untuk dilibatkan bekerja secara daring. Mereka diberikan akun dengan fasilitas khusus agar bisa menyetujui atau mengubah usulan kata yang berasal dari masyarakat. 


Akan tetapi, hasil persetujuan itu tidak langsung dapat mengubah pengertian sebuah lema di KBBI edisi kelima. Proses persetujuan ada di tangan redaktur di Pusat Bahasa. Setelah itu, sebuah kata akan divalidasi lagi di Badan Bahasa hingga dapat tampil di edisi cetak.


Proses verifikasi kosakata dalam penyusunan KBBI edisi kelima di kantor Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (18/10/2016). Kompas.com/Garry AL.

“Akan kami riset secara berjenjang. Ada tim verifikasi, lalu tim validasi, dan nanti ada admin utama yang akan menentukan lema itu masuk atau tidak,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Badan Bahasa Dora Amalia.


Lalu, bagaimana suatu kata dapat diputuskan masuk secara resmi dalam KBBI?


“Kami punya Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jangan sampai yang ada di KBBI tidak sama dengan yang ada di Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia. Kalau ada persoalan, mesti disinkronkan,” ujar Dora.


Meskipun KBBI akhirnya selesai disusun, tentu masih ada sejumlah kata baru yang muncul. Badan Bahasa tidak mempermasalahkan ini. Sebab, secara berkala, proses pengembangan kosakata terus dilakukan hingga suatu kata atau lema dapat masuk dalam KBBI edisi berikutnya.


Tak hanya KBBI


Badan Bahasa mengakui bahwa KBBI merupakan ikon yang dapat menjadi ukuran kinerja mereka dalam pengembangan bahasa Indonesia. Namun, pembuatan KBBI hanya salah satu aktivitas yang dilakukan lembaga yang berkantor di Rawamangun, Jakarta Timur, ini.


Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Badan Bahasa punya tanggung jawab tidak hanya terhadap bahasa Indonesia.


“Fokus utama dari undang-undang itu, khususnya tentang bahasa, ada tiga. Pertama, harus mengutamakan bahasa Indonesia. Kedua, melestarikan bahasa daerah. Ketiga, menguasai bahasa asing,” ucap Dadang.


Salah satu aktivitas di Badan Bahasa dalam mengisi peringatan Bulan Bahasa, Kamis (13/10/2016). Kompas.com/Garry AL.

Karena itu, Badan Bahasa kemudian memiliki kantor cabang di daerah. Salah satu kegiatan untuk mengembangkan bahasa daerah adalah dengan membuat kamus bahasa daerah. 


Kegiatan ini juga penting dalam pengembangan kosakata karena kata dalam bahasa daerah menjadi penyumbang terbesar dari total kata yang ada di KBBI.


Hingga saat ini, Badan Bahasa telah mengidentifikasi keberadaan 617 bahasa daerah. Namun, dari jumlah tersebut, baru 83 kamus bahasa daerah yang dibuat.


Aktivitas lain, Badan Bahasa juga memiliki standar penilaian untuk berbahasa Indonesia yang dikenal dengan nama Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Ini merupakan tes sejenis TOEFL atau IELTS dalam pengujian bahasa Inggris.


Selain itu, ada juga kegiatan pembinaan dan strategi diplomasi kebahasaan. Salah satu kegiatan pembinaan adalah memastikan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar di ruang publik.

 

Sementara itu, diplomasi kebahasaan memiliki banyak kegiatan pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing. Dengan demikian, cita-cita untuk pengembangan bahasa Indonesia di tingkat internasional diharapkan segera terwujud.


Para pejabat di lingkungan Badan Bahasa berpose bersama di kantor Badan Bahasa, Kamis (13/10/2016). Kompas.com/Andre LA.

Dengan berbagai aktivitas itu, Badan Bahasa mengaku tidak khawatir dengan anggapan bahwa kehadiran bahasa asing berpotensi mencemarkan bahasa Indonesia. 


Kehadiran bahasa anak muda di tiap generasi, seperti bahasa prokem (preman) atau bahasa alay, juga semata dianggap tantangan, bukan ancaman.


“Tugas kami mengembangkan dan membina, khususnya bahasa Indonesia. Perkembangan dan dinamika tentu saja terjadi di setiap negara,” tutur Dadang.


“Kehadiran tiap bahasa merupakan sebuah anugerah dan itu tidak bisa kita halangi. Mau dilarang atau tidak, bahasa itu akan lahir dengan sendirinya,” ujarnya.




Eko Endarmoko

Penghimpun Kekayaan Kata 

Kesadaran mengenai pentingnya untuk mendapatkan variasi kata biasanya muncul saat menulis. Hal ini juga yang disadari oleh Eko Endarmoko, tokoh di balik hadirnya Tesaurus Bahasa Indonesia (2006). 


Dengan tesaurus, seorang penulis sering kali terbantu untuk menemukan kata yang tepat atau mendapatkan variasi agar tidak terjadi pengulangan kata yang sama. Ini diperlukan agar pembaca tidak merasa bosan.


“Saya waktu kuliah kan banyak menulis ke media. Jadi, terasa sekali keperluan saya memerlukan banyak kata,” kata Eko, saat ditemui Kompas.com di Jakarta, Jumat (21/10/2016).


“Jadi, kalau menemukan kata yang aneh, unik, saya catat artinya, sinonimnya, supaya saya punya variasi kalimat,” ucapnya.


Dalam tesaurus pertama yang disusun oleh Eko, terdapat lebih dari 25.000 lema atau kata yang dimasukkan. Meski terdiri dari puluhan ribu kata, tesaurus beda dengan kamus.


Eko menjelaskan, tesaurus mendaftarkan kata yang disertai sinonim (persamaan kata), antonim (lawan kata), dan kata-kata lain yang berelasi makna, seperti hipernim (kata umum) dan hiponim (kata khusus). 


“Di kamus ada definisi, di tesaurus tidak pernah ada definisi,” ujar Eko.


Penyusun Tesamoko, Eko Endarmoko, saat ditemui Kompas.com di Jakarta, Jumat (21/10/2016). Kompas.com/Andre LA.

Sinonim atau antonim memang pengertian yang dikenal umum. Namun, apa yang dimaksud hipernim dan hiponim? Eko kemudian memberikan contoh hipernim dalam kata “orangtua”. 


“Hipernim itu contohnya ‘orangtua’, di bawahnya ada hiponim ‘bapak’ dan ‘ibu’. Itu contohnya,” kata dia.


Eko membayangkan teman-teman penulis lain mempunyai kebutuhan yang sama. Kebutuhan itu terutama untuk mendapatkan satu kata yang cocok. 


“Yang mewakili konsep tertentu yang jitu," ujar Eko.


Dengan demikian, dia berharap tidak mendengar pengulangan kata, seperti yang biasa didapatnya saat menonton televisi. Misalnya saat reporter mengucapkan “kejadian itu terjadi”, yang mengulang varian dari kata dasar “jadi”.


Ide di bangku kuliah 


Ide membuat Tesaurus Bahasa Indonesia tercetus saat Eko kuliah, pada 1980-1986, di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (kini Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI).


Eko diminta mencatat sinonim kata dasar oleh dosen Semantik-nya, Anton Moeliono. Ketika itu Anton Moeliono merupakan Kepala Pusat Bahasa, periode 1984-1989. Pada masa kepemimpinan Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk kali pertama terbit, yakni pada 1988. 


"Dia minta bantuan saya mencatat sinonim kata-kata dasar. Cuma kata dasar ya,” ucap pria kelahiran Tarempa, Kepulauan Riau, pada 6 Oktober 1959 ini.


Permintaan Anton Moeliono yang kemudian dikenal sebagai Guru Besar Fakultas Sastra Indonesia di UI merangsang Eko untuk menyusun hasil karyanya itu sendiri. Tidak hanya kata dasar, Eko juga mencatat kata berimbuhan dan kata majemuk.


“Saya catat juga sinonimnya, saya catat di kertas A4, potong empat, saya tumpuk. Semakin bertambah, semakin bertumpuk, jadi banyak, baru terbayang bisa jadi buku," ujarnya.


Hal yang dilakukannya itu membuat Eko semakin sensitif terhadap bahasa, terutama kata. Saat membaca koran atau majalah, Eko mencatat kata yang dianggapnya menarik.


“Tesamoko membuktikan kebanggaan kita adalah kekayaan kosakata.”


Saat bicara dengan teman dalam pergaulan sehari-hari pun Eko mencatat kata yang dianggapnya baru didengar atau jarang digunakan.


Kegiatan mencatat kata-kata itu dilakukan Eko meski bukan lagi bagian dari tugas kuliah. Saat menjadi wartawan majalah perbukuan Optimis (1984-1985), Eko masih melanjutkannya. Begitu juga saat dia bekerja di Komunitas Utan Kayu dan majalah kebudayaan Kalam.


Berapa lama Eko melakukan itu?


“Bisa dibilang lebih dari 20 tahun. Saya melakukan itu sambil melakukan hal lain, bukan pekerjaan utamalah,” tutur Eko.


Terbitnya Tesamoko


Meski telah menghimpun hasil kerjanya selama lebih dari 20 tahun itu ke dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, Eko masih merasakan ada kekurangan dari tesaurus perdananya tersebut.


Tak puas meski telah menerbitkan tesaurus bahasa Indonesia pertama di dunia, Eko pun kemudian menghimpun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua (2016).


Ada 29.865 lema, dengan 4.105 di antaranya merupakan lema baru. Tesamoko, menurut Eko, mencoba merekam perkembangan kebutuhan orang Indonesia dalam bentuk bahasa. 


Eko Endarmoko sedang membaca hasil karyanya, di toko buku Gramedia, Matraman, Jakarta, Jumat (21/10/2016). Kompas.com/Andre LA.

 Kata "canggih", misalnya, pada dasarnya digunakan untuk menggantikan kata dalam bahasa Inggris “sophisticated”.


“Ternyata kalau kita periksa kamus (KBBI), arti pertama kata ‘canggih’ itu 'bawel', 'cerewet'. Kalau menurut saya, 'bawel' memang arti 'canggih', tetapi itu bukan arti yang pertama. Menurut saya, ada perkembangan yang harus kita catat,” ujarnya.


Eko juga mencontohkan kata “pesona” yang pada masa kini tentu tidak cocok lagi diartikan sebagai “jampi-jampi”.


Munculnya Gerombolan Tesamoko


Saat menyusun Tesamoko, Eko mendapat dukungan dari para ahli, pengajar, penulis, dan sejumlah pegiat bahasa. Dalam suasana canda, mereka menamakan diri sebagai Gerombolan Tesamoko.


“Kata ini idenya dari Multamia Lauder (Guru Besar Linguistik UI yang terlibat dalam Tesamoko). Kemudian berlanjut,” ucap Eko.


“Lagi pula gerombolan sebenarnya tidak bermakna negatif, kan,” tuturnya.


Selain Multamia Lauder, mereka yang dilibatkan dalam Gerombolan Tesamoko adalah Amin Sweeney, Asty L Fernandez , Bagus Takwin, Bambang Kaswanti P, Eliza Vitri H, Felicia N Utorodewo, Indra Sarathan, Ivan Lanin, Juinita Senduk, dan Miagina Amal.


Ada juga Neneng Nurjanah, Romi Hardiyanto, Totok Suhardijanto, Uu Suhardi, Yanwardi Natadipura, Zen Hae, dan Stephanus Erman Bala. 


“Memangnya kenapa sampai bahasa mau dijaga? Yang perlu dijaga kan orangnya, pengguna bahasanya.”


Nama terakhir ini yang mengusulkan akronim "Tesamoko", kependekan dari "Tesaurus Eko Endarmoko".

 

Saat berbincang dengan Kompas.com, Eko sempat ditanya mengenai harapan dia sebagai salah satu “penjaga bahasa” agar masyarakat mau berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Namun, Eko menolak sebutan itu.


“Memangnya kenapa sampai bahasa mau dijaga? Yang perlu dijaga kan orangnya, pengguna bahasanya,” ucap Eko. 


Namun, pada prinsipnya, dia percaya bahwa dalam berbahasa, setiap orang akan berangkat dari intuisi, bukan dari lingustik, meski kaidah tidak bisa diabaikan. Bagi Eko, bahasa yang digunakan seseorang menunjukkan kastanya, memperlihatkan kelasnya. 


Di luar itu, dia juga mendapati bahwa generasi sekarang lebih bangga berbahasa Inggris. Kecenderungan itu tidak bisa dihindari, tidak bisa pula memaksa mereka untuk beralih.  


Padahal, Eko berusaha memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya.


Tesamoko membuktikan kebanggaan kita adalah kekayaan kosakata itu. Kamus itu mencatat kata banyak sekali, kenapa kita tidak manfaatkan,” ucap Eko. 


“Kita punya kekayaan yang selama ini cuma ada di dalam kamar, di dalam gudang, di halaman buku, tetapi enggak pernah kita pakai," kata dia. 


Ivan Lanin

Aktivis Daring Bahasa Indonesia

"Alang-alang berdawat biarlah hitam." Artinya, jika mengerjakan sesuatu, jangan tanggung-tanggung. 


Begitulah kira-kira peribahasa yang cocok untuk menggambarkan kepedulian dan keterlibatan Ivan Lanin dalam mengembangkan bahasa Indonesia. 


Sejak awal lulus sebagai Sarjana Teknik Kimia, Ivan mengawali dunia profesional sebagai pemrogram komputer. Aktivitasnya di situs Wikipedia membuatnya mulai aktif kembali mendalami bahasa Indonesia.


Saat ini, pria yang mempunyai perusahaan di bidang manajemen dan konsultasi ini lebih dikenal sebagai aktivis dan pemerhati bahasa Indonesia.


Meski tidak mendalami secara khusus di perguruan tinggi, Ivan menemukan banyak keajaiban saat mempelajari kembali bahasa Indonesia.


Tidak sengaja


Kecintaan pada bahasa Indonesia, diakui Ivan, terjadi secara tidak sengaja. Sebermula, Ivan bergabung menjadi Wikipediawan, yang menulis dan menyunting artikel untuk situs Wikipedia, pada 2006. Saat itulah muncul sebuah kesadaran.


"Saya menemukan bahwa kemampuan menulis formal bahasa Indonesia saya jelek sekali. Wikipedia kan kalimat-kalimat formal. Untuk menulis dua kalimat lama banget," kata Ivan Lanin saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (19/10/2016).


Pemerhati bahasa Indonesia, Ivan Lanin, sedang membuka salah satu aplikasi soal bahasa yang dia buat di kantor Kompas.com, Rabu (19/10/2016). Kompas.com/Garry AL.

Saat kembali mempelajari bahasa Indonesia itulah rasa penasaran Ivan semakin tumbuh. Dia mulai bertanya mengenai banyak hal, dari awal terbentuknya kata, pembentukan kata, hingga masalah bahasa lain.

 

"Pada 2006, saya belajar lagi bahasa Indonesia, buka buku lagi, ikut milis, baca-baca lagi. Tidak puas kalau hanya dijelaskan dengan 'pokoknya begini...'," ujar Ivan.


Sebagai Wikipediawan, Ivan kemudian mulai merasakan adanya ketidakkonsistenan penggunaan kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini diakui Ivan karena rata-rata Wikipediawan adalah orang yang kritis terhadap bahasa.


"Saya melihat bahwa rata-rata Wikipediawan adalah pedantis, orang yang rewel sekali dengan bahasa. Saya sering bertanya-tanya, kenapa ada kata ‘proyek’ dan ‘trayek’? Namun, kenapa juga ada kata ‘objek’ dan ‘subjek’?" ujar salah satu pendiri Wikimedia Indonesia ini.


Perihal "pedantis", kata itu menjadi contoh betapa rewelnya seorang Ivan Lanin terhadap bahasa. Kata itu berasal dari kata dalam bahasa Inggris, "pedantic", yang kira-kira memiliki arti orang yang suka pamer pengetahuan, perfeksionis, dan memperhatikan detail. 


Dalam blognya, Ivan mempertanyakan kira-kira istilah yang cocok dalam bahasa Indonesia. Jika merujuk penyerapan bahasa Inggris, maka kata yang cocok adalah pedantik. 


Namun, Ivan kemudian menemukan bahwa serapan yang cocok untuk adjektiva atau kata sifat adalah "-is". Karena itu, dia menganggap lebih cocok menyebutnya pedantis.


Karya daring


Seiring mendalami bahasa Indonesia, Ivan juga memahami bahwa kemampuan masyarakat dalam berbahasa Indonesia masih jauh dari sempurna. Hal ini yang membuat dia memiliki keinginan untuk berbagi.


Sebagai seorang pemrogram komputer, Ivan pun berinisiatif untuk mengembangkan karya digital yang bisa membantu orang lain dalam mempelajari bahasa Indonesia. 


Pada 2009, Ivan pun memperkenalkan Kateglo.com, situs yang menggabungkan kamus, tesaurus, dan glosarium. "Ini karya pertama saya menyangkut bahasa," tuturnya.


Ivan Lanin sedang memperlihatkan salah satu aplikasi soal bahasa yang dia buat di kantor Kompas.com, Rabu (19/10/2016). Kompas.com/Garry AL.

Beberapa waktu kemudian, Ivan mengembangkan Asalkata.com pada 2012. Situs ini dibuat untuk membantu memahami asal sebuah kata. Dengan demikian, kita dapat lebih mudah untuk menghindari kesalahan ejaan.


"Kita berpikir ditulis ‘atlit’ dari bahasa Inggris 'athlete', tetapi ternyata 'atlet' dari bahasa Belanda (atleet)," ucap pria bernama panjang Ivan Razela Lanin ini.


Aktivitas dalam ranah bahasa juga mendekatkan Ivan kepada sejumlah orang di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Kedekatan ini menyebabkan Ivan mulai berinisiatif untuk membuat versi daring Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, yang dirilis pada Juli 2016. Keterlibatan Ivan berlanjut dalam pengembangan versi daring KBBI edisi kelima. 


Menurut rencana, situs itu akan diluncurkan pada 28 Oktober 2016, bertepatan dengan puncak peringatan Bulan Bahasa dan Sastra 2016.


"Keterlibatan saya dalam penyusunan KBBI karena kedekatan saya dengan Badan Bahasa, termasuk karena berbagai situs yang sudah saya buat selama ini," kata Ivan.


Dengan sejumlah kontribusinya, Ivan diajak terlibat langsung dalam berbagai kegiatan di Badan Bahasa. Salah satunya, ia tercatat sebagai anggota Sidang Komisi Istilah, yaitu komisi yang tugasnya mengumpulkan dan menyusun kosakata hingga menjadi KBBI.


Tidak konsisten


Setelah cukup lama beraktivitas dalam dunia bahasa Indonesia, dia berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari memang tidak konsisten.


"Bahasa manusia itu tidak konsisten, yang konsisten itu adalah bahasa pemrograman. Hal itu yang membuat saya memperdalam pengetahuan tentang bahasa Indonesia, baik untuk menulis, membaca, maupun menyimak," ucap dia.


Suatu ketika, dia pernah membuat survei di media sosial Twitter. Survei itu berisi pertanyaan mengenai penyebab kesalahan orang dalam berbahasa. Ada tiga pilihan jawaban yang disediakan, yaitu tidak tahu, tidak cermat, dan tidak peduli. 


"Hasilnya cukup mengejutkan, 50 persen orang menjawab tidak peduli, kemudian diikuti dengan jawaban tidak tahu dan tidak cermat," ucap Ivan soal survei tersebut.


Hal itu yang membuat Ivan ingin terus menciptakan karya di media daring yang berguna bagi semua anggota masyarakat. Tujuannya agar masyarakat bisa mendapatkan referensi yang bisa dipercaya dengan cara yang mudah diakses. 


Ivan percaya bahwa bahasa menyimpan banyak keajaiban untuk terus ditelusuri jika kepedulian itu mulai tumbuh. Hal ini juga yang dirasakannya. 


Berawal dari ketidaksengajaan, Ivan kini mengaku sering dianggap aneh karena menikmati kegiatan yang membahas soal bahasa, termasuk mengikuti rapat berjam-jam membahas kata dalam Sidang Komisi Istilah di Badan Bahasa.


"Saya senang. Tidak tahu kenapa. Sampai istri saya bilang, 'Memang kamu aneh'," ucap Ivan sambil tertawa.



“Bahasa manusia itu tidak konsisten, yang konsisten itu adalah bahasa pemrograman.”


Karya daring Ivan Lanin tak melulu dibuat untuk aktivitas serius. Ivan juga membuat permainan interaktif secara daring. Apakah Anda ingin menguji kemampuan berbahasa Indonesia? Silakan coba di bawah ini:

Penggawa Bahasa di Media Massa

Media massa tak bisa dimungkiri kerap berjasa dalam memperkenalkan sebuah kata kepada masyarakat. Salah satu contohnya adalah kata "dangdut", yang diperkenalkan oleh Tempo.


Melalui tulisan Putu Wijaya pada Tempo edisi 27 Mei 1972, istilah dangdut muncul untuk menggambarkan lagu "Boneka dari India" sebagai "campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan 'dang-ding-dut' India". 


"Karena terlalu panjang, akhirnya Tempo meringkasnya menjadi dangdut," kata Redaktur Bahasa Tempo Uu Suhardi saat ditemui Kompas.com, Selasa (18/10/2016).


"Sebelumnya, memang belum ada. Awalnya musik 'dang-ding-dut', lama-lama ditulis 'dangdut'. Benar-benar bikin sendiri walau tidak sengaja," ucapnya. 


Kata lain yang dipopulerkan media massa adalah "petahana" untuk menggantikan "incumbent". Kata yang dipopulerkan Kompas ini merujuk kata dasar "tahana" yang berarti kedudukan atau martabat.


Akan tetapi, tidak semua media massa menggunakan kata tersebut. Tempo, misalnya, menggunakan kata "inkumben", serapan yang dekat dengan kata aslinya. Sementara itu, Republika memilih menggunakan kata "pejawat", dari kata dasar "jawat" yang berarti "pegang" atau "ulur".


Setiap redaktur bahasa, editor bahasa, atau penyelaras bahasa di media massa tentu memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan kata yang digunakan. Lalu, seperti apa pertimbangan yang digunakan? 


Berikut cerita mengenai dinamika yang terjadi saat memutuskan penggunaan suatu kata tersebut dari tiga ruang redaksi yang berbeda.



Kompas, upaya jadi panutan


Sebagai media cetak terbesar di Tanah Air, Kompas berupaya untuk menjadi panutan. Langkah ini pun dilakukan terkait penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.


"Yang paling mendasar adalah Kompas itu surat kabar berbahasa Indonesia, bukan berbahasa Inggris. Oleh karena itu, kami berusaha agar kata-kata yang berasal dari bahasa Inggris itu dapat diindonesiakan," kata Supervisor Penyelaras Bahasa Kompas Nur Adji saat ditemui Kompas.com, Rabu (19/10/2016).


Supervisor Penyelaras Bahasa Kompas Nur Adji berpose di kantor Kompas, Palmerah Selatan, Jakarta, Rabu (19/10/2016). Kompas.com/Garry AL.

Semangat itulah yang membuat Kompas sekuat mungkin mencari padanan kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Kompas pun berusaha konsisten saat akhirnya memilih kata dalam bahasa Indonesia, misalnya, "petahana".


Adji menjelaskan, usulan mengenai penggunaan kata tidak hanya datang dari tim penyelaras bahasa. Setidaknya, ada tiga pihak yang terkait dalam keputusan penggunaan sebuah kata. 


Dua pihak yang paling awal dalam pembahasan kata adalah tim penyelaras bahasa dan manajer produksi. 


"Ini karena setiap hari yang menghadapi persoalan bahasa adalah kami (penyelaras bahasa) dan manajer produksi," ucap Adji.


Pihak ketiga adalah editor di desk atau kompartemen. Ini disebabkan editor kompartemen merupakan pihak yang setiap hari bergelut dengan kata dan istilah khusus. Misalnya, editor ekonomi yang berhadapan dengan istilah ekonomi setiap hari.


"Editor desk juga punya hak untuk menentukan kata apa yang akan digunakan," kata dia.


Biasanya, Kompas mengundang pakar sesuai keahliannya untuk membahas istilah tertentu. Konsultasi pun dilakukan dengan ahli bahasa, tidak cuma bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa yang menjadi dasar serapan, seperti bahasa Inggris atau bahasa Arab. Ini dilakukan agar pemilihan kata benar-benar sesuai dengan konteksnya.


Saat menentukan sebuah kata, alasan sosial pun menjadi pertimbangan. Misalnya, kata sapaan "Basuki" kerap digunakan ketimbang "Ahok" untuk menyebut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.


"Untuk menghargai orang, gunakan saja nama aslinya," tutur Adji. 


Karena mengincar segmen menengah ke atas, Kompas juga jarang menggunakan kata-kata tidak baku. Tentu saja aturan itu tidak kaku. Kata atau kalimat populer yang tidak baku masih bisa digunakan, begitu juga kata dalam bahasa Inggris, untuk tulisan santai. 


"Biasanya, ada di tulisan feature," ucap Adji. 


Namun, jika perdebatan mengenai kata berujung kebuntuan, siapa yang mengambil keputusan dalam memilih kata?


"Yang membedakan Kompas dengan media lain, tim bahasa Kompas diketuai oleh direktur bisnis. Begitu dia sudah 'berfatwa', sudah, yang lain mengikuti," kata Adji.



Tempo, demokrasi untuk kata


Selama ini, Tempo dapat dibilang sebagai media yang rajin menggunakan kata dalam bahasa Indonesia yang terdengar asing. Kata itu bisa jadi telah ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari.


Misalnya, Tempo menggunakan kata "risak" untuk mengganti "bully" atau "gawai" untuk menyebut "gadget"


Namun, suatu kata dapat juga dipilih karena lebih mudah dan sering didengar di masyarakat. Alasan itulah yang membuat Tempo menggunakan "inkumben" ketimbang "petahana".


"Awalnya, redaktur senior memakai kata inkumben karena menurut dia kata 'petahana' tidak enak," kata Redaktur Bahasa Tempo Uu Suhardi saat ditemui Kompas.com, Selasa (18/10/2016).   


Redaktur Bahasa Tempo Uu Suhardi saat ditemui Kompas.com di kediamannya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Kompas.com/Garry AL.

Ruang redaksi memang menjadi "medan Kurusetra" bagi wartawan dan staf bahasa Tempo dalam menentukan kata. Gagasan mengenai kata yang akan digunakan dapat dimunculkan, bahkan diadu, sebelum akhirnya disepakati untuk digunakan.


Hal ini terjadi juga saat membahas konsep peluluhan kata dasar berhuruf awal K, P, S, dan T dalam pembentukan imbuhan. Tempo memilih untuk tidak menggunakan peluluhan itu secara kaku. Ada kata tertentu yang tetap dimunculkan dan tidak luluh. Menariknya, pemilihan itu dilakukan secara voting. 


"Untuk bentukan kata, kami banyak yang berbeda. Misalnya, untuk kata 'memengaruhi', dalam proses voting, banyak yang memilih 'mempengaruhi', dan 'mempesona', bukan 'memesona'," ujarnya.


Uu menjelaskan, salah satu faktor Tempo memilih bentukan kata tersebut ialah karena pertimbangan nilai rasa dan bunyi.


"Anton Moeliono (Guru Besar FIB Universitas Indonesia) pun membolehkan hal itu. Tidak perlu kaidah yang kaku, asal teratur. Intinya konsisten," tuturnya.


Konsistensi memang menjadi kunci dalam gaya bahasa atau selingkung yang dimiliki Tempo. Dalam beberapa hal Tempo akan menggunakan kata yang tak sesuai KBBI secara konsisten. Akan tetapi, saat menggunakan kata yang sesuai KBBI, maka Tempo juga akan menggunakannya secara konsisten.


Dalam suatu waktu, konsistensi ini pernah menimbulkan polemik, yaitu saat Tempo memilih memakai kata "Cina" sesuai dengan kaidah KBBI, bukan "China" atau "Tiongkok". 


Uu membantah pemilihan kata itu bermaksud menyinggung etnis tertentu.


"Pendapat soal penulisan Cina terkesan merendahkan, kami tidak ada maksud merendahkan, tergantung penggunaannya karena setiap kata itu netral," ucapnya.


Menurut Uu, suatu kata bisa saja dipilih selama ada rujukan dan referensinya.


"Rujukan yang kami pakai ialah KBBI, KUBI, Kamus Dewan Malaysia, Tesaurus Bahasa Indonesia, dan kamus Badudu-Zain (Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun JS Badudu dan Sutan Mohammad Zain)," kata Uu.



Republika, kedekatan dengan pembaca


Tahun lalu, Republika mencetuskan kata "pejawat" sebagai padanan kata dari "incumbent" untuk mengacu kepada orang yang mempunyai posisi dan masih aktif menjabat. Kata ini agak berbeda dari kata "petahana" dan “inkumben”.


Meski demikian, menurut Kepala Bahasa Republika Ririn Liechtiana, pemilihan kata itu dilakukan Republika sebagai sumbangan untuk pengembangan bahasa Indonesia.


“Kami (Republika) ingin terlibat dan memberikan sumbangsih dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia,” ujar Ririn saat ditemui Kompas.com, Rabu (19/10/2016).


Ririn menjelaskan, pemilihan kata itu disebabkan aspek kemiripan secara semantik dengan kata "pejabat" atau "penjabat". Dalam KBBI, "jawat" sebagai kata dasar memiliki arti "pegang". Namun, ada juga kata "jawatan" yang merujuk "dinas" atau kata terkait pemerintahan.


"Kata 'pejawat' sendiri awalnya muncul karena kami ingin ada kata yang enak didengar dan mudah dilisankan (jumlah suku kata tidak banyak) untuk padanan kata incumbent dalam bahasa Indonesia," ujar perempuan yang lahir di Bandung ini.


Kepala Bahasa Republika Ririn Liechtiana membaca KBBI edisi keempat saat ditemui di kantor Republika, Jakarta, Rabu (19/10/2016). Kompas.com/Andre LA.

Dalam proses pembentukan kata “pejawat” ini, dia menjelaskan bahwa timnya mengumpulkan data, baik dari bahasa daerah (Cirebon-an) maupun bahasa Melayu atau bahasa Arab yang memiliki kedekatan makna. 


"Ada analisis, ada sumbangan ide dari para awak redaksi yang lain, juga ada konsultasi ke ahli bahasa," ujarnya. 


Terkait kebijakan apakah kata itu dapat digunakan atau tidak, dia mengatakan, ada sidang tim redaksi untuk memusyawarahkan hal itu. Sidang sekaligus dilakukan untuk menetapkan sebuah kata yang akan digunakan dan disebarluaskan.


"Kata ‘pejawat’ mendapat respons positif dari kalangan internal untuk digunakan dan disebarluaskan. Kata ‘pejawat’ ini merujuk pada kedekatan makna, pembentukan sesuai pedoman atau kaidah, serta penerimaan," ujarnya.


Gambaran di atas merupakan ilustrasi bagaimana suatu kata dipilih untuk digunakan dalam sistem di Republika. Selain itu, ada pertimbangan kekhasan yang dimiliki koran dengan segmen utama kalangan Muslim ini.


Selama ini, Republika berupaya terdepan dalam proses transliterasi atau pengindonesiaan kosakata bahasa Arab. Hal tersebut, menurut Ririn, sering kali memunculkan gaya bahasa selingkung yang kemudian menjadi ciri khas Republika


Contohnya ialah kata “shalat”, “silaturahim”, dan “Ka’bah” yang penulisannya berbeda dengan yang ada di KBBI. Salah satu alasan terkait penggunaan kata itu di antaranya ialah karena ingin merasa lebih dekat dengan pembaca.


Selain itu, dia mengatakan, tim bahasa Republika pun mempunyai niat dan semangat untuk mengindonesiakan istilah-istilah asing.


"Misalnya, untuk ‘tax amnesty’, kami konsisten memakai ‘amnesti pajak’ atau ‘pengampunan pajak’. Keduanya dipakai sebagai variasi dalam kalimat," kata dia.


Pada praktik kerjanya, yang menjadi acuan utama terkait penggunaan kata di Republika tetap KBBI. Soal penulisan nama negara, misalnya, Republika umumnya mengikuti nama-nama yang ada di KBBI.


"Kami menggunakan kata 'Cina', sesuai dengan KBBI, dan menggunakan 'Tiongkok' juga. Dalam keseharian mengedit, acuan atau referensi utama kami ialah KBBI, Tesaurus Bahasa Indonesia, dan Ragam Jurnalistik Republika (buku gaya bahasa selingkung Republika)," ujar Ririn.


Meski begitu, dinamika tentu tetap ada. Dinamika itu biasanya diselesaikan melalui diskusi dengan para wartawan. 


"Itu semua didasari dengan kesepakatan dan tentu saja konsistensi dalam penggunaannya," ucap Ririn.



“Yang paling mendasar adalah Kompas itu surat kabar berbahasa Indonesia, bukan berbahasa Inggris.”

“Soal penulisan Cina terkesan merendahkan, kami tidak ada maksud merendahkan, tergantung penggunaannya karena setiap kata itu netral.”

“Bahasa didasari dengan kesepakatan dan tentu saja konsistensi dalam penggunaannya.”

Linimasa Terbentuknya Bahasa Indonesia
  • i

    400 - 500

    Bahasa Sanskerta dalam huruf Pallawa digunakan dalam prasasti berbentuk Yupa, peninggalan Kerajaan Kutai.

    Penjelajah China bernama Fa Hsien menulis laporan perjalanannya ke Jawa. Ini merupakan catatan tertua berbahasa China mengenai Nusantara.

  • i

    682

    Teks tertua bahasa Melayu Kuno dalam huruf Pallawa (682 M) dari Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di Palembang, peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

  • i

    1082

    Temuan tertua teks berbahasa Arab ini berasal dari makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, dengan angka tahun 475 Hijriah (1082 M).

  • i

    1511-1515

    Setelah Portugis mengalahkan Malaka (1511), Tome Pires (berkebangsaan Portugis) dalam Suma Oriental (1512-1515) menulis ada bahasa yang dipahami secara umum oleh masyarakat Jawa dan Sumatera.

  • i

    1596

    Cornelis de Houtman dari Belanda tiba di Banten dan menjadi penanda masuknya budaya Belanda di Nusantara.

  • i

    1600-1700

    Bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa pengantar, terutama oleh para pedagang. Alfred Russel Wallace menyebutnya sebagai bahasa penting di kawasan Timur.

  • i

    1700-1900

    Istilah dari bahasa Arab mulai menyerap ke bahasa Melayu Pasar. Terdapat juga varian bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Sejumlah kata dalam bahasa Portugis dan Belanda semakin memasyarakat, terutama untuk urusan administrasi.

  • i

    1901

    Hindia Belanda mengadopsi Ejaan Van Ophuysen. Ini dikenal sebagai ejaan lama.

    Commissie voor de Volkslectuur berdiri. Ini kelak menjadi Balai Pustaka (1917) yang melahirkan novel klasik, seperti Sitti Nurbaya (Marah Rusli) dan Salah Asuhan (Abdoel Moeis).

  • i

    1907

    Surat kabar Medan Prijaji pimpinan RM Tirto Adhi Soerjo terbit. Ini adalah media massa berbahasa Melayu pertama yang dikelola bumiputra. Sejumlah surat kabar berbahasa Melayu telah terbit sebelumnya.

  • i

    1927

    Jahja Datoek Kajo kali pertama menggunakan “bahasa bumiputra” dalam sidang Volksraad (parlemen) yang umumnya berbahasa Belanda. Langkah ini diikuti politisi lain, seperti Agus Salim.

  • i

    1928

    Kongres Pemuda II merumuskan lahirnya penggunaan “bahasa Indonesia”.

  • i

    1936

    Sutan Takdir Alisjahbana menyusun Tata Bahasa Baru-Bahasa Indonesia.

  • i

    1945

    Bahasa Indonesia secara resmi menjadi bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945.

  • i

    1947

    Ejaan Republik (atau Ejaan Soewandi) diresmikan untuk menggantikan Ejaan Van Ophuysen.

  • i

    1972

    Presiden Soeharto meresmikan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), diperkuat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1972.

  • i

    1988

    Pemerintah menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memuat 62.100 lema.

  • i

    1991

    Edisi kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia terbit, memuat 72.000 lema.

  • i

    2000

    Bahasa Indonesia diatur lebih rinci setelah amandemen kedua UUD 1945 dalam Pasal 36 C.

  • i

    2005

    Edisi ketiga Kamus Besar Bahasa Indonesia terbit, memuat 78.000 lema. Karena KBBI hanya memuat istilah umum, Pusat Bahasa kemudian menerbitkan kamus istilah.

  • i

    2006

    Eko Endarmoko merilis Tesaurus Bahasa Indonesia, tesaurus yang disusunnya sejak 1980-an.

  • i

    2008

    Edisi keempat Kamus Besar Bahasa Indonesia terbit, memuat 90.000 lema. Sejumlah kosakata dalam kamus istilah turut dimasukkan.

  • i

    2009

    DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur lebih rinci tentang penggunaan bahasa Indonesia.

  • i

    2015

    Ejaan Bahasa Indonesia resmi menggantikan EYD, diperkuat dengan Peraturan Mendikbud Nomor 50 Tahun 2015.

  • i

    2016

    Eko Endarmoko meluncurkan Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia. Ini merupakan edisi kedua dari tesaurus yang pertama terbit pada 2006.

    Badan Bahasa meluncurkan KBBI edisi kelima pada 28 Oktober 2016.

Sumber:

  • Anton M Moeliono, Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (1981)
  • James T Collins, Bahasa Melayu Bahasa Dunia (2011)
  • Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (1992)
  • MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (2005)
  • Sutan Takdir Alisjahbana, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia, Kumpulan Tulisan (1988)