GENERASI TERAKHIR

PEREMPUAN DAYAK
BERKUPING PANJANG

BAGIAN 1

Bertaruh Nyawa Menuju Kampung



Kami terkejut saat seseorang menyebut angka Rp 5 juta untuk jasanya memenuhi keinginan kami menuju Long Apari, sebuah kampung paling ujung di Kalimantan Timur. Saat itu, pada pertengahan Oktober 2016, kami baru saja tiba di Tiong Bu'u, Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu.


Ces atau sampan bermotor katinting khas Dayak pedalaman yang mengantar kami dari Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Long Apari. "Terlalu berisiko," ujar Jiuq, motoris ces dari Datah Suling, Long Isun.


Seminggu telah lewat, saat Kompas.com bersama penulis buku Kuping Panjang, Ati Bachtiar, fotografer travel Ebbie Vebri Adrian, dan petualang wanita Ria Bazoeki menyambangi kampung-kampung di sepanjang aliran Sungai Mahakam bagian hulu. Kami ditemani pemandu asal Dayak, Claudia Sarita Naning.


Keinginan merekam generasi terakhir perempuan Dayak berkuping panjang membawa kami menempuh perjalanan beribu kilometer hingga ke ujung Sungai Mahakam. Sungai yang di tepinya dihuni kampung-kampung suku Dayak itu telah menjadi urat nadi pergerakan masyarakat yang hidupnya bergantung dari aliran air sungai.


Sungai itu pula yang menentukan lancar dan tidaknya arus transportasi dari Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur, hingga ke berbagai pelosok di pedalaman.


"Jika air sedang pasang karena ada banjir, perjalanan akan sangat berisiko karena banyak kayu hanyut yang sewaktu-waktu menghantam speedboat. Sementara kalau sedang surut saat kemarau, speedboat tidak bisa jalan karena bisa menabrak batu," kata Alex Tekwan, pemilik speedboat Irari yang melayani rute Long Bagun ke Tiong Ohang.

Kondisi permukaan air sungai yang bisa berubah setiap saat itu membuat biaya transportasi sungai ke Mahakam Ulu menjadi sangat mahal. Setelah mencari informasi di sana-sini, kami akhirnya bersepakat menggunakan ces yang lebih besar dengan mesin katinting 31 PK.


Kami mendapat setengah harga Rp 2,5 juta setelah bernegosiasi cukup lama dan mengutarakan keinginan kami untuk sebuah pendokumentasian. Namun, bagi warga Long Apari, tidak ada pilihan selain menerima kondisi ini apa adanya. 


Ces yang dikemudikan oleh Mansyah (29) dan Belareq (23) secara bergantian itu bertolak dari Tiong Bu'u pukul 12.00 waktu setempat dan menempuh perjalanan selama tiga jam. Ces itu hanya bisa memuat lima penumpang yang duduk saling berdesakan tanpa bisa bergerak leluasa.


Arus yang berputar di beberapa riam serta gelombang yang ditimbulkannya memaksa Mansyah dan Belareq harus cekatan dan tepat mengemudikan ces. Hilang konsentrasi atau terlambat sedikit, ces bisa terbalik dan akan fatal bagi penumpangnya.


Di salah satu riam yang diberi nama Riam 611, kami diminta turun. Hal ini harus dilakukan karena arusnya cukup kuat dan ombaknya besar serta tidak beraturan.


Dua buah ces diparkir di karangan (tepi sungai berbatu) di Long Pahangai.

"Riam ini dinamakan sesuai dengan nama Batalyon Infanteri 611 yang kala itu menjaga pos perbatasan di Long Apari. Waktu itu, anggota TNI yang melewati riam ini, perahu mereka terbalik dan satu anggotanya hilang diseret arus," jelas Mansyah.



Perjalanan dilanjutkan ke Long Apari hingga kami tiba pukul 15.00. Walau perjalanan cukup ekstrem, tetapi semua itu terbayarkan oleh pemandangan memesona di sepanjang rute yang dilewati.



Long Apari adalah sebuah kampung paling ujung yang berbatasan dengan Malaysia. Di kampung ini telah dibangun Pos Pengamanan Perbatasan RI-Malaysia. Pos ini dijaga oleh 16 prajurit TNI.


Long Apari dihuni oleh 158 kepala keluarga yang terdiri dari 602 jiwa. Mereka merupakan subsuku Dayak Penihing dan Ahoeng.


"Kami sangat jarang kedatangan orang (dari) kabupaten. Nanti kalau masa kampanye, baru mereka datang," ujar Anyeq (42), seorang pedagang di Long Apari.


Jika air sungai sedang normal, bensin berharga Rp 25.000 per liter, gula pasir Rp 20.000 per kilogram, dan semen Rp 400.000 per zak. Namun, jika air sedang surut atau banjir, harganya bisa dua kali lipat.


"Tidak ada dokter di sini. Yang ada hanya puskesmas pembantu yang dijaga perawat dan bidan. Jadi, jika sakit berat, kami harus ke Tiong Ohang atau ke Ujoh Bilang," keluh Anyeq.

Dari Samarinda

Mahakam Ulu adalah sebuah daerah otonom baru di Kalimantan Timur. Kabupaten ini dimekarkan dari kabupaten induknya, Kutai Barat, pada Desember 2012. Memiliki luas 15.314 kilometer persegi, wilayah Mahakam Ulu terbentang di sepanjang pesisir Sungai Mahakam bagian hulu.

Sebuah kapal pengangkut orang dan barang yang disebut taksi air sedang melintasi Sungai Mahakam di Ujoh Bilang.

Di Sungai Mahakam sepanjang 920 kilometer itu, transportasi utama warga di lima kecamatan kabupaten tersebut adalah transportasi air. Dari Samarinda, akses dapat dilakukan dengan dua cara, yakni menggunakan taksi air atau pesawat terbang.


Jika menggunakan taksi air, warga harus menghabiskan waktu selama sehari semalam sampai di Melak, Kabupaten Kutai Barat. Masih tambah semalam lagi ke Ujoh Bilang, ibu kota Mahakam Ulu.


Dari Ujoh Bilang menuju ke kampung-kampung lainnya dapat menggunakan speedboat atau longboat dengan tarif sangat mahal.


Penumpang turun dari pesawat kecil milik Susi Air bertipe propjet di Bandara Datah Dawai, Long Lunuk, Kecamatan Long Pangai, Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur. Pesawat ini setiap dua hari sekali mengangkut warga dari pedalaman ke Samarinda.

Penerbangan dari Samarinda ke Bandara Datah Dawai di Long Lunuk, Kecamatan Long Pahangai, sangat terbatas. Saat ini hanya ada satu maskapai milik Susi Air dengan pesawat tipe propjet yang melayani transportasi udara. Itu pun hanya dua hari sekali. Sekali jalan hanya mampu mengangkut 12 penumpang.


Rute sungai dari Ujoh Bilang atau Long Bagun ke kecamatan-kecamatan di bagian hulu adalah perjalanan yang cukup berisiko. Hanya motoris terlatih yang bisa melewatkan speedboat atau longboat mengatasi riam-riam ganas, seperti Riam Udang dan Riam Panjang.


Risiko itu membuat tarif sekali angkut penumpang bisa mencapai Rp 500.000 per orang, belum termasuk barang bawaan. Ketika air pasang, tarif sewa speedboat bisa mencapai Rp 22 juta sekali tempuh.



Lewati Riam

Dari Ujoh Bilang atau Long Bagun, perjalanan sesungguhnya dimulai.


Ada dua pilihan untuk menuju ke Tiong Ohang, yaitu menumpangi speedboat dengan kecepatan hingga 400 PK atau memilih menggunakan longboat yang lebih lambat. Dengan speedboat, waktu tempuh antara empat sampai lima jam dan untuk longboat dua kali lipatnya.

Beberapa speed boat terparkir di dermaga Ujoh Bilang, ibu kota Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur.

Melawan arus aliran sungai dari hulu adalah perjalanan penuh tantangan. Baik speedboat maupun longboat akan melewati beberapa arus besar kala bertemu riam.


Melawan arus upstream dan menyelinap di antara batu-batu raksasa merupakan pengalaman tak terlupakan. Beberapa penumpang yang bersama kami tak tahan untuk tidak berteriak. 


“Kepenatan tubuh karena terbanting-banting selama perjalanan niscaya akan terbayarkan oleh pemandangan yang dilewati.”

Di kala permukaan air sedang naik, beberapa riam akan menjadi ganas. Rintangan kayu-kayu raksasa yang hanyut adalah risiko berikutnya.


Saat air surut karena kemarau, perjalanan juga akan terhalang dengan permukaan batu yang menonjol dan siap menghantam badan speedboat.


"Yang paling pas jika airnya sedang-sedang saja," ujar Alex Tekwan, motoris berpengalaman yang membawa kami. 


Kepenatan tubuh karena terbanting-banting selama perjalanan niscaya akan terbayarkan oleh pemandangan yang dilewati. Dinding batu raksasa dari batuan karst, hutan yang masih hijau, kicau burung-burung, serta beberapa air terjun sulit untuk tidak membuat kita kagum.


Bergantung pada Ces

Amai Ding dan Tipung Ping menggunakan ces mencari ikan di Sungai Meraseh, anak Sungai Mahakam di Long Pahangai.

Persahabatan Jiuq dan Bang begitu akrab. Dua pemuda suku Dayak Bahau Busang ini tinggal di Datah Suling, Long Isun, sebuah kampung di tepi hulu Sungai Mahakam.


Bang mewarisi kecakapan leluhurnya memainkan sapeq, alat musik petik khas Dayak. Ia juga mahir menggunakan seruling yang disebut selingut. Dia pun lihai memanah ikan di sungai dan berburu rusa di hutan.


Walau tak sepintar Bang dalam memainkan alat musik, Jiuq tak kalah jago mengemudikan ces atau sampan khas Dayak pedalaman. Raungan mesin katinting dari buritan ces seolah mengukuhkan bahwa mereka adalah pewaris Dayak Bahau.


Dayak Bahau merupakan salah satu subsuku Dayak yang mendiami wilayah pedalaman dan memilih bermukim di tepi Sungai Mahakam. Semua pria Dayak Bahau terlatih mengemudikan ces, bahkan ketika masih berusia bocah.


Dahulu, kala leluhur mereka belum mengenal mesin katinting, dayung adalah penggerak utama ces. Amai Ding (72) bertutur, kala itu perjalanan ke satu kampung tetangga bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu, bahkan berbulan-bulan jika kerabat mereka jauh di hilir.



"Kami selalu membawa kayu pengait. Saat arus kencang, kayu itu kami kaitkan ke akar atau cabang pohon yang menjorok ke sungai. Lalu kami menariknya agar ces bisa melawan arus, begitu seterusnya," cerita Amai Ding.



Sama halnya Jiuq dan Bang, semua rumah tangga di Dayak Bahau setidaknya mempunyai satu ces. Sarana transportasi utama ini digunakan untuk pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari ke kampung yang lebih besar. Ces juga digunakan untuk mengantar anak ke sekolah ataupun mengunjungi kerabat. Dan, yang tak kalah penting, ces dipakai untuk pergi ke ladang serta mencari ikan di sungai.


Dengan ces yang dimilikinya, Jiuq dan Bang kini bersiap pergi ke Long Tuyoq, ibu kota Kecamatan Long Pahangai. Mereka berdua menjadi bagian dari kampung Long Isun yang akan mengikuti ritual Hudoq Pekayang.


Di sana mereka akan bergabung dengan ribuan warga lain dari 13 kampung di Kecamatan Long Pahangai. Semalam suntuk mereka akan lewati dengan menarikan Ngarang, sebuah tarian persahabatan Dayak Bahau.



Kegundahan dari Ladang Meraseh



Seusai menjala ikan di Sungai Meraseh, cabang Sungai Mahakam di bagian hulu, Amai Ding (72) dan Yek Tipung (66) melepas letih di pondok yang mereka bangun di atas ladang di tepi sungai berair jernih itu.


Sebagaimana kebiasaan Dayak Bahau yang bermukim di sepanjang tepi sungai, Amai Ding dan Yek Tipung mulai membuka lahan pada bulan Juni. Mereka menebang pohon besar dan membabat pohon-pohon kecil..


Amai Ding tinggal di Datah Suling, Kampung Long Isun. Jarak antara Long Isun dan ladang mereka di Meraseh cukup jauh. Ces, sebutan sampan khas Dayak pedalaman, menjadi transportasi utama untuk pergi ke ladang.

Warga Datah Suling, Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, menuju ke ladang mereka dengan menggunakan ces.

Penduduk Datah Suling sering meninggalkan rumah mereka berminggu-minggu dan hidup di ladang yang menjadi sumber pangan mereka.



Mereka tak mempunyai ukuran presisi ladang. Luas ladang diukur dari seberapa banyak bibit padi bisa ditanam. Bibit padi ladang yang siap ditanam disimpan dalam kaleng biskuit berukuran besar.



Kegiatan menugal atau menanam padi biasanya dilakukan pada Agustus dan September, dan itu hanya berlangsung setahun sekali. Amai Ding harus memperhitungkan betul luas ladang dan kebutuhan beras selama setahun bagi keluarganya.


Menugal merupakan momen yang dinanti. Orang-orang kampung akan datang membantu secara gotong royong. Mereka akan menginap di ladang dan inilah waktu bagi mereka untuk bergembira bersama merayakan anugerah Yang Mahakuasa.


Sebagaimana orang Dayak Bahau lainnya, Amai Ding tidak sembarang memilih waktu membuka ladang dan menugal. Leluhur mereka telah mewariskan kalender kebudayaan yang menjadi tolok ukur bagi mereka.


Hari itu, pada pertengahan Oktober, ladang Amai Ding telah selesai ditanami padi. Ia juga menanam berbagai tanaman lainnya, seperti sayur-sayuran, pisang, pepaya, semangka, duku, jagung, singkong, tebu, sirih, pinang, bahkan tanaman tahunan seperti cokelat.


Kini mereka sedang menanti ritual Hudoq. Ini adalah sebuah tradisi dari para leluhur Dayak Bahau yang dilakukan seusai menugal..


Semua warga Dayak Bahau yang mempunyai ladang wajib mengikuti hudoq. Biasanya hudoq dilaksanakan di setiap kampung. Namun, kali ini sedikit berbeda. Long Tuyoq akan menjadi tuan rumah pergelaran hudoq.


Oleh Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu, tradisi ritual leluhur itu telah dijadikan kegiatan resmi tahunan. Festival Hudoq Pekayang namanya. Sebanyak 13 kampung di Kecamatan Long Pahangai akan berpartisipasi di Hudoq Pekayang.


"Tetapi, kami tetap akan menggelar hudoq kawit di kampung. Itu sudah jadi titah leluhur," jelas Amai Ding.



Hutan yang terampas

Semestinya Amai Ding dan Yek Tipung bergembira karena Yang Mahakuasa melalui alam telah memberikan segalanya. Mereka hanya perlu bekerja dan berupaya mengolah alam untuk keberlangsungan hidup mereka.


Namun, mereka tidak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya. Sambil menemani Yek Tipung yang sedang memomong cucu mereka, Jaang, orangtua ini menceritakan kegelisahannya.


"Hutan kini telah banyak berubah, kayu banyak ditebang dan dijual. Dulu untuk menebang kayu harus ada musyawarah adat. Tak sembarang. Tapi kini, sembarang orang bisa menebang kayu," ujar Amai Ding dengan wajah muram.

Musyawarah adat kampung hanya bisa mengizinkan warga menebang pohon untuk keperluan kayu di kampung atau membangun rumah. Setiap kampung di Dayak Bahau dulunya mempunyai batas teritori hutan adat mereka.


Kini kondisinya berbeda. Orang luar kampung bisa datang menebang pohon tanpa bermusyawarah. Mereka mengantongi izin dari pemerintah kabupaten tanpa mengindahkan klaim hutan adat kampung. Padahal, sama halnya dengan sungai, hutan bagi Dayak Bahau adalah jantung kehidupan.


Hidup sekarang sudah lebih dari cukup. Asal bisa membuka ladang, menanam padi, mencari ikan, dan berburu di hutan.


"Sekarang, kalau butuh kayu, kami malah beli ke kampung lain, padahal kami mempunyai hutan dengan pohon yang begitu banyak. Itu dulu," ujar Amai Ding.


Warga kampung sebenarnya berusaha menolak ekspansi para perambah hutan dan perusahaan yang mengantongi izin hak penguasaan hutan (HPH). Sayangnya, mereka tidak tahu harus menyampaikan protes itu kepada siapa.


"Orang kabupaten tidak pernah ke sini untuk melarang orang menebang pohon sembarangan," kata Amai Ding.


Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga menambah kegelisahan Amai Ding dan warga kampung Long Isun. Mereka beberapa kali menghadapi teror. Salah satu pemuda kampung yang menentang rencana itu bahkan pernah ditangkap aparat dan dibawa ke kabupaten.

Alam ini telah memberi kami hidup dan makan. Kami tidak butuh lebih," tutur Amai Ding.


Orang Dayak Bahau diajarkan turun-temurun untuk mengambil secukupnya saja dari alam. Sebuah kearifan yang diwariskan agar alam tetap terjaga. Bagi mereka, alam adalah bagian dari siklus hidup yang harus dihormati. 


Di tengah kegelisahan akan masa depan yang tak bisa ditebak itu, Amai Ding tetap bersemangat mempersiapkan diri menyambut Hudoq Pekayang. Terlebih lagi bagi Yek Tipung, perempuan pewaris tradisi Dayak kuping panjang ini akan menjadi bagian dari ritual tahunan yang dinanti seantero orang Dayak Bahau itu.


Suami istri yang hidup harmonis dengan alam ini segera bersiap pulang ke kampung. Mempersiapkan hudoq adalah kegembiraan bagi mereka.




Jelang tengah hari, speedboat yang dikemudikan Alex Tekwan melewati Kampung Long Lunuk. Raungan mesinnya membelah permukaan air Sungai Mahakam sejak dari Tiong Bu'u di Kecamatan Long Apari, wilayah paling hulu di Kabupaten Mahakam Ulu. 


Dari Tiong Bu'u, kapal cepat itu mengangkut 10 penumpang, termasuk Kompas.com dan beberapa pejalan yang melakukan ekspedisi mendokumentasikan keberadaan perempuan bertelinga panjang.



Tak lama melaju dari Datah Dawai, Alex, yang sudah 8 tahun mengoperasikan speedboat, tiba-tiba menurunkan kecepatan salah satu transportasi utama di pedalaman ini tersebut. Kapal itu menepi. Ada sekelompok orang yang melambai, jumlahnya tujuh orang.


Mereka membawa beberapa karung berisi penuh dan padat. Beberapa karung lainnya masih terlipat rapi. Wajah mereka tak menyiratkan karakter wajah orang Dayak, yang mendominasi permukiman di tepi Sungai Mahakam.


Setelah berada di dalam speedboat, ketujuh orang asal Jawa ini menceritakan bahwa mereka telah mengelana di dalam hutan selama berbulan-bulan. Tujuan mereka adalah mencari "emas beraroma dari hutan". Itu sebutan bagi kayu gaharu.


Harga tinggi dari gubal gaharu adalah godaan dahsyat pencari keuntungan di pedalaman hutan Mahakam Ulu. Penetrasi mereka telah merasuk hingga ke kawasan perdesaan hutan. Gaharu adalah produk hutan yang sangat unik dan terbentuk dari resin kayu genus Aquilaria.



Mahakam Ulu dikaruniai potensi alam luar biasa. Gaharu tersedia dalam hutan di wilayah ini. Karena eksploitasi tanpa memperhitungkan daya dukung alam, gaharu kini sudah mulai sulit dicari. Saat ini, pencari gaharu harus bekerja keras masuk ke pedalaman hutan untuk mendapatkan gubal gaharu berkualitas prima.


Kisah para pencari gaharu ini menemani perjalanan yang memacu adrenalin melewati beberapa riam hingga ke Long Bagun. Kapal cepat milik Alex hanya berhenti di sini. Warga yang ingin melanjutkan perjalanan ke Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, harus pindah menggunakan moda transportasi lain.


Kompas.com menyeberang ke sisi lain Sungai Mahakam yang semakin lebar itu. Tujuan kami adalah Ujoh Bilang, ibu kota Kabupaten Mahakam Ulu. Di sana kami bertukar speedboat yang lebih kecil menuju Tering, Kabupaten Kutai Barat.


Menjelang sore, saat speedboat meraungkan mesinnya mengejar waktu, seorang pemuda melambaikan tangannya di tepi Kampung Mentiwa. Dia adalah Bernadus Apa (22), mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Eben Haezer Tanjung Enim di Palembang, Sumatera Selatan. Bernadus adalah calon pendeta asal Alor, Nusa Tenggara Timur, dan sedang menunaikan tugas melayani karyawan di kamp milik sebuah perusahaan sawit di Mentiwa.


Usaha perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahaan besar telah mengonversi beberapa hutan di Mahakam Ulu menjadi lahan untuk ditanami komoditas alam yang rakus air ini. Sawit juga menjadi salah satu andalan di Mahakam Ulu.

Mahakam Ulu


Mahakam Ulu punya luas 15.315 kilometer persegi. Wilayah ini menjadi tempat hidup 27.923 jiwa di lima kecamatan dan 49 kampung. Kelima kecamatan itu adalah Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun, Laham, dan Long Hubung.


Mahakam Ulu punya karakteristik unik sesuai dengan sumber daya manusia dan alam yang dimilikinya. Mayoritas warga Mahakam Ulu adalah masyarakat tradisional berbagai suku Dayak, di antaranya Busang, Kenyah, Kayaan, Bahau, Penihing, Aoheng, Modang, Laham, dan Long Kelat.


Salah satu prioritas yang perlu dibangun adalah masalah transportasi antarkampung. Saat ini, tarif speedboat sekali jalan untuk menuju ke Long Apari di perbatasan Malaysia antara Rp 350.000 dan Rp 500.000 per orang. Ini belum termasuk barang bawaan dalam jumlah banyak.


Untuk keperluan mendadak, speedboat milik Alex bisa disewa dengan harga Rp 12 juta hingga Rp 22 juta. Nominalnya tergantung kondisi permukaan air Sungai Mahakam. Semakin berisiko, semakin mahal biayanya.


Mahakam Ulu dari sisi konstruksi sosial memiliki akar sejarah panjang. Wilayah ini muncul kali pertama dalam kaitan penataan wilayah administratif oleh Hindia Belanda terhadap Kesultanan Kutai, menyusul berlakunya Decentralisatie Wet 1903. 


Pada tahun 1905, di Kesultanan Kutai dibentuk dua wilayah administratif, yaitu Hulu Mahakam dengan pusat pemerintahan di Long Iram dan Vierkante Pall dengan pusat pemerintahan di Samarinda. 



Pada era kemerdekaan tahun 1946, wilayah Kesultanan Kutai dibagi dalam dua kepatihan, yaitu Kutai Barat dan Kutai Tengah. Saat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 berlaku, Kutai ditata ke dalam tiga daerah tingkat II, yakni Kotapraja Balikpapan, Dati II Kutai, dan Kotapraja Samarinda.



Wilayah eks Boven Mahakam menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Kutai Barat. Bekas Boven Mahakam yang sempat terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu Long Iram dan Long Pahangai, belakangan dimekarkan menjadi tujuh kecamatan, yaitu Long Hubung, Laham, Long Bagun, Long Pahangai, dan Long Apari. Long Apari kini masuk Kabupaten Mahakam Ulu.


Wilayah Mahakam Ulu bagian utara berbatasan dengan Malaysia dan Kabupaten Malinau. Belahan timur bersinggungan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Daerah selatan berdekatan dengan Kabupaten Kutai Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah, sementara di barat menempel dengan Provinsi Kalimantan Barat.



Kapal-kapal pencari emas ditambatkan di tepi Sungai Mahakam di bagian hulu.

Karet, kakao, kelapa, dan sawit adalah komoditas utama di Mahakam Ulu. Selain itu, produk hutan berupa kayu dan gaharu juga merupakan andalan kabupaten ini. Di beberapa batang Sungai Mahakam sering pula dijumpai para penambang emas.


Pemerintah Mahakam Ulu kini mencoba mengembangkan potensi kepariwisataan yang dimilikinya. Keunikan alam di Mahakam Ulu, jalur petualangan, serta kekayaan kebudayaan merupakan kekuatan utama pengembangan pariwisata Mahakam Ulu. Keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Mahakam Ulu serta batuan karst yang membentuk ekosistem karst yang unik adalah potensi yang tidak dijumpai di kabupaten lain.



BAGIAN 2

Keagungan di Ujung Kepunahan



Ati Bachtiar begitu asyik merekam semua momen yang dihadirkan Tipung Ping (66) dan suaminya, Amai Ding (72), di pondok mereka di ladang Meraseh. Ati adalah fotografer wanita yang nekat menghadapi berbagai rintangan untuk sampai di Kampung Long Isun, salah satu kampung tempat bermukimnya sub-suku Dayak Bahau Busang.


Sebelum tiba di sana, Ati telah melakukan riset selama dua tahun untuk mewujudkan keinginannya mendokumentasikan keberadaan perempuan bertelinga panjang. Dokumentasi itu telah terbit dalam buku berjudul Telinga Panjang, Mengungkap yang Tersembunyi.


Percakapan mereka di pondok siang itu terhenti saat Jaang, cucu Tipung Ping dan Amai Ding, terbangun. Jaang beralih ke pangkuan neneknya. Dia memperhatikan kakeknya yang menyiapkan sirih untuk dikunyah. Jemarinya yang kecil memainkan hisang yang menggantung di cuping kuping Tipung Ping yang memanjang melewati bahu.


Tipung Ping mempunyai 23 pasang hisang yang hingga kini tergantung di lubang telinganya. Beberapa minggu setelah Tipung lahir, cuping kupingnya dilubangi dengan bilah bambu.


Ranting kayu kecil dimasukkan dalam lubang cuping itu agar tidak menutup. Seiring bertambah usia, ranting kayu itu akan diganti dengan ukuran yang lebih besar agar lubang cuping ikut membesar.


Saat mendekati remaja, anting dari tembaga berbentuk bulat digantung di lubang cuping itu. Dalam bahasa Dayak Bahau, anting itu disebut hisang. Saban tahun, hisang ditambahkan dengan maksud menambah berat beban di lubang cuping. Kuping Tipung pun tertarik memanjang.


Di Dayak Kenyah Umaaq Bakung, proses yang hampir mirip juga dilakukan pada perempuan dari golongan bangsawan. Setelah dilubangi, kedua lubang telinga itu diikat dengan benang dan dihubungkan satu sama lain dengan cara ditarik agar lubang membesar. Belaung, sebutan hisang untuk Dayak Kenyah, digantung saat bayi bertambah usia.


Tipung Ping yang tinggal di Datah Suling Long Isun tidak sendiri. Dia berkarib sangat dekat dengan Yeq Lawing (67). Kedua sahabat ini selalu berdua ke mana pun pergi, kecuali kalau ke ladang karena lokasinya berbeda. Yeq Lawing mempunyai 40-an pasang hisang.


"Saya dipasangkan hisang sejak umur tiga tahun dan sampai sekarang tetap pakai," cerita Yeq Lawing.


Selain mereka berdua, di Long Isun, ada pula wanita yang memanjangkan telinganya, yakni Hong Son (80), Mebang Jenau (90), dan Telen Isun (70). Dua yang disebutkan terakhir sudah tidak mengenakan hisang, walau cuping kuping mereka masih berlubang panjang.


Dalam buku karangannya, Ati Bachtiar menyajikan setidaknya 43 perempuan Dayak berkuping panjang. Para ahli waris tradisi leluhur ini ditemuinya di berbagai tempat dari Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Barat, hingga Mahakam Ulu. 


Tak ada angka yang pasti tentang jumlah perempuan Dayak yang masih mempertahankan tradisi kuping panjang ini. Beberapa perkiraan menyebutkan di seantero Kalimantan, jumlah perempuan dengan kuping panjang tidak sampai angka 100. Walaupun suku Dayak punya ratusan sub-suku, tidak semuanya mempunyai tradisi memanjangkan telinga.


Tradisi warisan leluhur ini hanya bisa dijumpai di sub-suku Dayak Bahau, Aoheng, Penihing, Kenyah, Penan, Kelabit, Sa'Ban, Kayaan, Taman, dan Punan. Rata-rata usia mereka di atas 60 tahun. Beberapa di antara perempuan berkuping panjang di Mahakam Ulu bahkan mendekati usia satu abad.


Dulu, tradisi memanjangkan kuping tidak hanya dilakukan kaum hawa, tetapi juga laki-laki. Di Dayak Kayaan, kuping yang panjang bagi laki-laki menunjukkan status kebangsawanan. Namun, beberapa inai (sapaan bagi perempuan tua) di Bahau, cuping kuping panjang juga menyimbolkan kecantikan pemiliknya.


Cuping yang dipanjangkan juga menjadi identitas usia. Sebab, ada tuturan yang menyebutkan bahwa kala dulu hisang ditambahkan pemiliknya seiring bertambah usia. Itu merupakan sebuah ujian karena semakin lama semakin berat. 


Perempuan cuping panjang dianggap sebagai perempuan yang memiliki kesabaran tinggi dan sanggup melewati penderitaan panjang. Sebab, hampir semua yang bertelinga panjang selalu disertai dengan rajah atau tato, baik di tangan maupun kaki.


Doq Lun (70) mempunyai 30 pasang hisang dari tembaga. Paing Buaq (85) membawa 20 pasang hisang. Keduanya merupakan sub-suku Dayak Long Glaat yang tinggal di Long Pahangai.


Tato di tangan Doq Lun (70), perempuan kuping panjang Dayak Long Glaat yang tinggal di Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu.

Doq dan Paing mengekspresikan kebanggaan mereka dengan tetap berhisang pada usia tua. Bagi kedua inai yang sudah pernah ke Eropa ini, kuping panjang, hisang, dan tato adalah bagian jati diri mereka sebagai orang Dayak.


"Ini adalah warisan leluhur kami. Kami tak mau potong, walau ada yang menganjurkan untuk dipotong. Kalau mau dipotong, tato ini juga harus dihilangkan," kata Paing.


Apa yang diungkapkan oleh Paing adalah sebuah keprihatinan. Di beberapa tempat lain, banyak perempuan Dayak yang dulunya berkuping panjang, tetapi kini telinga mereka telah normal. Banyak yang telah memotongnya. 


Salah satunya adalah Imuq (74), inai di Long Isun. Dulu cupingnya berhisang, tetapi karena waktu itu ada anjuran untuk dipotong, dia mengikuti anjuran tersebut. Padahal, Imuq tidak hanya berkuping panjang, payudaranya pun dipakaikan gelang dan kulit tangan serta kakinya bertato.


Keprihatinan yang sama dialamatkan ke generasi Dayak saat ini. Nyaris tak ada lagi yang ingin memanjangkan cuping kuping mereka. Selama perjalanan Kompas.com di pedalaman Mahakam Ulu, tak ditemukan perempuan muda bertelinga panjang, bahkan pada anak dan cucu dari para inai yang saat ini masih berkuping panjang.


Berbagai alasan diutarakan generasi kini dengan tidak lagi mewariskan tradisi nenek moyang. Alasan paling utama adalah rasa malu. Mungkin peradaban modern yang merangsek hingga ke pedalaman menjadi penyebab utama generasi Dayak masa kini memilih tidak meneruskan tradisi unik ini.


"Itulah sebabnya saya ingin mendokumentasikan keberadaan telinga panjang dalam sebuah buku sebelum salah satu kekayaan Nusantara yang unik ini benar-benar punah," ujar Ati tentang keinginannya membuat buku soal Dayak.


Di Pampang, kampung budaya di Samarinda, masih ada beberapa perempuan muda serta beberapa laki-laki yang memanjangkan cuping mereka. Tempat ini sudah menjadi destinasi utama dan menarik retribusi setiap pejalan yang ingin memotret mereka. Hal sebaliknya terjadi di pedalaman yang semestinya tradisi itu mengakar, keturunan mereka sekarang tak lagi menginginkannya.


Dari pernikahannya dengan Amai Ding, Tipung Ping dikaruniai tujuh orang anak dan sembilan cucu. Tidak ada satu pun dari penerusnya itu yang berniat memanjangkan telinga.


Sambil mengunyah sirih, Tipung Ping mengungkapkan kegundahannya, siapa yang akan meneruskan simbol keagungan identitas mereka sebagai orang Dayak itu. Sama halnya dengan Yeq Lawing, wajahnya menyiratkan kepasrahan saat mengalimatkan alasan anak-anaknya tidak lagi mau memanjangkan telinga.


"Sudah ketinggalan zaman mereka bilang, malu. Ya sedih karena tidak ada generasi penerusnya," ujar Yeq Lawing.


Akankah warisan budaya yang agung di Nusantara ini akan berlalu dan menemui takdir pupusnya?



Berjuang Kala Uzur demi Merawat Tradisi



Kabut masih enggan beranjak dari Diang Karing dan Diang Musing. Keduanya merupakan sebutan lokal bagi dinding batu karst yang seolah menjadi benteng Kampung Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari. Namun, geliat warga di tepi Sungai Mahakam pagi itu mampu menyiratkan semangat.


Mahakam adalah urat nadi bagi sebagian besar suku Dayak yang tinggal di sepanjang aliran sungai tersebut. Sama halnya dengan hutan, sungai adalah pemberian pemilik semesta yang harus dihormati. Tak heran, sepagi itu rutinitas harian diawali dengan berbagai ritual di sungai.


Akses yang sulit dari Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimatan Timur, bahkan dari Ujoh Bilang, pusat pemerintahan Kabupaten Mahakam Ulu, seolah membuat kecamatan ini terisolasi. Namun, kebijakan pembangunan bagi wilayah perbatasan telah mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum di Long Apari yang berbatasan dengan Malaysia ini.


Walau daerahnya berada di jantung hutan Kalimantan dan susah dijangkau, keramahan warga adalah sebuah sapaan yang menghangatkan, jauh dari cerita-cerita okultis tentang suku Dayak yang banyak beredar. 

"Stigma soal orang Dayak yang menakutkan sirna saat kami diperlakukan dengan penuh rasa persahabatan."

Tiupan angin mulai menghalau kabut di Diang Karing dan Diang Musing dan semburat merona muncul di kala mentari terbit. Saat itu pula kehidupan lain terjadi di jembatan gantung yang menghubungkan Tiong Ohang dengan Tiong Bu'u.


Jembatan yang bergoyang jika dilewati ini seolah menjadi saksi semangat bocah-bocah yang tadinya mandi di sungai untuk bergegas pergi ke sekolah mereka. Kini, pendidikan bagi orang Dayak adalah kewajiban yang tak bisa diabaikan.


Kabut pun lenyap, langit berubah menjadi benderang dengan warnanya yang biru tak berpolusi. Mega tersapu tipis dan seolah membakar semangat penghuni kampung, semangat yang terjejak pada kisah-kisah heroik para pendahulu Dayak Penihing saat melawan suku lain.


Kisah itu tersisa dari tradisi ngayau yang telah sirna, tradisi mempersembahkan kepala orang lain sebagai bantalan kala seorang dari golongan bangsawan meninggal.


Kisah-kisah yang kini hanya bisa dirasakan lewat motif-motif ukiran terserak di berbagai sudut kampung, mulai dari anak tangga, tiang rumah, atap, terali, patung-patung, dinding kuburan, penutup kepala, tato, tas, gagang mandau, gendongan bayi, dan terlebih di lamin adat. Motif ukiran ini menyiratkan penghormatan terhadap alam.


Beberapa motif itu terpola pada boning atau gendongan bayi, kaban atau tempat sirih, dan bukinlain (ikat kepala) milik Opin Serot. Wanita berusia 75 tahun ini memenuhi lemarinya dengan anyaman manik buatan tangannya sendiri.


Sebuah kebanggaan tersirat saat Opin Serot mengenakan bukinlain dan mengisahkan bagaimana dia terus bertekad mempertahankan cuping kupingnya yang dipanjangkan itu. Meski telah lupa tempat menyimpan hisangnya, Opin Serot tak ingin kupingnya dipotong agar kembali normal.


Opin Serot tak sendiri. Di Long Apari, masih ada dua lagi perempuan Dayak yang masih mempertahankan kuping panjang mereka, yakni Bulan (70) dengan 20 pasang hisang dan Tukau Daung (70) yang hisangnya sudah dilepas.


Pencarian terhadap perempuan Dayak berkuping panjang hingga ke kampung terakhir di Long Apari cukup mengejutkan. Kini, tradisi leluhur yang dulu dianggap agung itu di ambang kepunahan. Tak lebih dari 50 perempuan Dayak berkuping panjang terdata di Mahakam Ulu.



Mereka yang tersisa

Ati Bachtiar lewat bukunya Telinga Panjang, Mengungkap yang Tersembunyi mencoba menyajikan data para perempuan Dayak yang telinganya masih panjang.


Kalau di Long Apari tersisa tiga orang, di Kecamatan Long Pahangai, masih di Kabupaten Mahakam Ulu, setidaknya ada 31 perempuan berkuping panjang yang terdata (lihat boks).


Sementara itu, di Samarinda, ada Dahanging (74) yang sudah tidak memakai belaung. Dahanging adalah adik Pastor Bong yang dulunya memanjangkan kupingnya saat masih menganut kepercayaan Kaharingan. Ketika Bong memeluk Katolik, kuping panjangnya dipotong. 


Di Pampang, ada dua orang pemakai hisang, salah satunya adalah Uweq Periyag (64) dengan 21 pasang belaung (hisang).


Pebungan (80) dari Dayak Kenyah Umaaq Jalan tercatat tinggal di Muara Badang, Kutai Kartanagara, mempunyai 22 pasang belaung.


Di Kabupaten Kutai Barat, setidaknya ada empat perempuan berkuping panjang dari sub-suku Dayak Kenyah, yakni:


  1. Piyoq (65), 13 pasang belaung
  2. Pejelau Usat (75), memakai belaung bituk (bentuknya mirip gasing dari kuningan)
  3. Pesulau (72), tanpa belaung
  4. Pepiusat (70), bersama suaminya, belaung dengan model yang berbeda di kuping panjang mereka.


Para perempuan inilah dan beberapa lagi yang belum sempat terdata menjadi benteng terakhir perawat tradisi di ujung kepunahan itu. Jika uzur mereka menemui takdirnya, warisan budaya leluhur yang agung ini mungkin tinggal kisah yang akan diceritakan nanti.


Perempuan Berkuping Panjang di Mahakam Hulu

Tergerus Zaman



Erviea Song, seorang guru, mengungkapkan kegelisahannya. Dia ingin mengikuti jejak leluhurnya memanjangkan kuping. 


"Namun, orangtua saya tidak mengizinkannya," ujarnya gundah.


Erviea berasal dari Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, sebuah kampung di tepi Sungai Mahakam di bagian hulu. Dia bergaul luas di Samarinda dengan segala kehidupan modernnya. Meski tak memanjangkan telinga, dia menggunakan tato di beberapa bagian tubuhnya.


Sementara itu, jauh di Long Apari, kecamatan yang berbatasan dengan Malaysia, wajah Tukau Daung (70-an) menyiratkan keengganan saat diminta mengenakan hisang. Cuping kupingnya masih panjang walau tak sepanjang perempuan Dayak berkuping panjang lainnya.


Tersirat sebuah rasa traumatis bagi Tukau untuk mengenakan kembali hisangnya. Sebagai penggantinya, Tukau mengenakan tiruan kuping panjang yang dicantelkan di ikat kepalanya. Hisangnya digantung di kuping panjang tiruan itu.


Tukau tidak ingin menceritakan apa yang membuat dia tidak lagi berhasrat mengenakan hisang. Dulu di Long Apari banyak yang berkuping panjang dan berhisang. Namun, jumlahnya kini tinggal lima orang.


Ketua Adat di Tiong Ohang, Long Apari, Sengiru Lasing, menjelaskan, penetrasi beberapa program pemerintah hingga ke pedalaman menjadi salah satu sebab tradisi kuping panjang menghilang.


Lasing menceritakan, ketika dokter datang ke kampung bersamaan dengan tentara sewaktu Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia, para perempuan berkuping panjang mulai memotong telinga mereka agar kembali normal.


Keberadaan sekolah juga menjadi penyebab ditinggalkannya tradisi berkuping panjang. Anak-anak tidak lagi ingin meneruskan tradisi leluhur mereka itu. Stigma kuno pun melekat pada perempuan berkuping panjang. 


"Malu diejek teman-teman mereka," kata Lasing.


Long Imuq (74), salah satu perempuan berkuping panjang di Datah Suling, Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, kini telah mengganti hisangnya dengan anting mungil. Cuping telinganya telah terlihat normal layaknya perempuan lainnya, padahal dulu cuping itu memanjang.


Tokoh masyarakat Long Isun, Kuleh Lia, menjelaskan, dulu sebenarnya banyak anak perempuan dengan lubang cuping untuk dipanjangkan. Namun, karena mereka harus bersekolah dan bekerja, cuping telinga yang sudah memanjang itu terpaksa dipotong.


Erviea sebenarnya tidak peduli stigma kuno yang melekat pada perempuan berkuping panjang. Baginya, meneruskan tradisi pitarah itu adalah hal penting di tengah generasi sekarang yang tidak ingin memanjangkan kupingnya. Sayangnya, orangtua menentang keinginan Erviea.


Di seantero Kalimantan, perempuan berkuping panjang diperkirakan tidak lebih dari 100 orang. Padahal, dulu, di Dayak bagian hulu, kuping panjang adalah simbol keagungan, tanda kebangsawanan, dan cermin kecantikan.


Modernitas yang merasuk hingga ke kampung-kampung di pedalaman Dayak telah menggantikan tradisi ini. Dari 43 perempuan berkuping panjang yang telah didokumentasikan Ati Bachtiar, fotografer dan penulis buku Telinga Panjang, rata-rata usia mereka di atas 60 tahun. Bahkan, beberapa di antaranya telah berusia 80 hingga 90 tahun.


Zaman memang telah berubah. Peradaban dengan cepat berganti rupa. Akankah kita membiarkan tradisi leluhur yang agung ini menemui takdirnya tergerus zaman?



BAGIAN 3

Ritual Hidup Dayak Bahau

Matahari mulai meninggi saat Tipung Ping dan Yeq Lawing bergabung bersama warga lain di Lamin Adat Datah Suling, Kampung Long Isun Data Suling. Kedua perempuan berkuping panjang ini tak mau ketinggalan saat warga kampung lain mempersiapkan diri ikut serta pada Hudoq Pekayang keesokan harinya di Long Tuyoq. 


Malam sebelumnya, Tipung Ping dan Yeq Lawing yang berkarib sejak kecil memeragakan tari gong dan tari bunang tatat di lamin itu. Walau sudah tua, tenaga Yeq Lawing masih lincah saat meniru loncatan katak kala mengikuti ritme petikan sapeq. Pun demikian dengan Tipung Ping, ia masih mampu menyeimbangkan tubuh berdiri di atas gong sambil menari.


Pagi sebelumnya, Jiuq dan Bang membantu para lelaki mengambil daun pinang dan daun pisang yang masih hijau. Itu adalah bahan utama pembuatan baju para pelakon Hudoq. Di lamin, saat semua warga berkumpul, mereka bergotong royong mempersiapkan segalanya.


Dalung (11) dan Linkon (11) yang masih duduk di kelas VI SD tidak mau ketinggalan. Mereka pun belajar merangkai daun pinang dan daun pisang yang dijalin pada kulit kayu menjadi baju Hudoq. Sesekali, bagian-bagian baju itu diukur pada Juq Timang (17).


Tahun ini, Juq ditunjuk oleh warga Datah Suling menjadi salah satu dari pelakon Hudoq. Juq memang mahir melakonkan Hudoq. Siswa SMA ini menjadi anggota Sanggar Seni Apau Punyaat yang didirikan di Long Isun. 


"Sanggar itu menjadi salah satu cara agar tradisi leluhur kami terwariskan pada generasi berikutnya," ujar Kuleh Liah, pensiunan guru yang cukup dihormati di Datah Suling.


Lamin menjadi ramai. Mereka bekerja riang dengan iringan musik yang keluar dari perangkat tata suara yang digerakkan dengan tenaga matahari. Datah Suling belum terjangkau aliran listrik dari PLN. Budoq anak Tipung Ping terlihat cekatan merangkai daun lubaq untuk dijadikan topi. Topi itu akan digunakan pada keesokan harinya saat Hudoq Pekayang digelar.



Kalender Kehidupan

Bagi Dayak Bahau, terlebih sub-suku Dayak Bahau Umaaq Suling, tanah tak sekadar dimaknai sebagai tempat tinggal keluarga dan masyarakat adat. Tanah adalah kehidupan, bahkan diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa pelindung dan roh para pitarah, leluhur mereka.


Hukum adat mereka telah mengatur bagaimana hak penguasaan tanah dan pemanfaatannya. Hukum adat itu mencerminkan penghormatan terhadap alam dan hubungan yang harmonis dengan manusia.


Mereka juga meyakini bahwa benda-benda di langit dalam tata surya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa agar punya faedah bagi keberlangsungan semesta dan kehidupan manusia. Matahari, bulan, dan bintang bagi mereka adalah petunjuk menjalani kehidupan, seperti membangun rumah, pernikahan, dan terutama mengolah ladang.



Remaja putri dengan pakaian khas mereka berfoto di Lamin Adat saat Festival Hudoq Pekayang digelar di Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur.
Salah seorang pemangku adat Dayak Bahau saat bersiap mengikuti Festival Hudoq Pekayang di Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur.



Sementara itu, Hudoq Kawit adalah bagian dari siklus mengolah ladang yang didasarkan pada kalender kebudayaan yang telah diwariskan para leluhur mereka. Bagi Dayak Bahau, mencari ladang, membuka, dan membersihkannya, hingga menanaminya harus berpatokan pada kalender kebudayaan yang dimusyawarahkan secara adat itu.


Pola perladangan yang hingga kini dipatuhi Dayak Bahau Umaaq Suling dimulai dengan musyawarah adat penentuan dimulainya membuka lahan yang dipimpin seorang Hipui (tokoh adat). Biasanya, ini dilakukan pada bulan Mei dan saat bulan di langit pada posisi mahaaq (sabit).


Setelah itu, tahapannya adalah mitang tanaaq atau membuat patok lahan dan mendirikan pondok darurat, nesak lumaq untuk mencari pertanda baik menggelar palaaq dau atau gotong royong, nevang-mulap atau menebang pohon, dan nutung atau membakar.


Tahapan selanjutnya adalah me-nugal atau menanam benih padi. Me-nugal harus melalui penetapan yang dilakukan berdasarkan musyawarah adat dengan melihat perjalanan matahari berdasarkan kalender yang telah dibuat para leluhur mereka.

(Buku Riwayat Kehidupan dan Tradisi Warisan Leluhur Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun, terbitan Perkumpulan Nurani Perempuan dan Bappeda Kabupaten Mahakam Ulu)


Me-nugal merupakan salah satu acara yang ditunggu oleh warga sebab me-nugal dilakukan secara gotong royong. Warga secara bergilir saling membantu menanam bibit padi di ladang-ladang yang sudah siap ditanami.


Hudoq Kawit digelar saat me-nugal sudah selesai dilakukan. Gerakan tarian Hudoq dipercayai turun dari nirwana untuk mengenang leluhur mereka. Mereka percaya bahwa roh nenek moyang berada di sekeliling anak cucunya saat musim tanam tiba. Lewat Hudoq-lah, orang Dayak Bahau memohon bimbingan dari roh-roh pitarah yang dijuluki sebagai Jeliwan Tok Hudoq. 


Apo Kayan, sebuah tempat paling hulu di Sungai Mahakam, dipercaya sebagai tempat muasal Asung Luhung, ibu besar yang diturunkan dari langit, yang memberi perintah kepada Tok Hudoq. Dia diperintahkan menemui manusia. Misinya membawa kabar kebaikan sambil memberikan benih dan tanaman obat-obatan. 

Asung Luhung menugaskan roh-roh yang dijuluki Jeliwan Tok Hudoq untuk menemui manusia. Karena wujud yang menyeramkan maka mereka diperintahkan mengenakan baju samaran manusia setengah burung.

Karena wujudnya yang menyeramkan, Tok Hudoq mengenakan baju samaran manusia setengah burung serta bertopeng. Tradisi itu mengkristal dalam tarian hudoq hingga sekarang. Para penari menyembunyikan diri mereka dalam rupa topeng serta berbalut pakaian dari kulit kayu yang dibungkus dengan jalinan daun pisang atau daun pinang hingga ke kaki.


Biasanya satu kelompok penari Hudoq terdiri atas 13 orang yang melambangkan jumlah dewa yang memelihara padi. Jumlah penari Hudoq juga menjadi simbol jenis hama yang mengganggu tanaman di ladang. Hama itu terwakili dari rupa topeng Hudoq yang menyerupai binatang buas.


Kesibukan warga Datah Suling di lamin siang itu adalah bagian dari ritual merayakan kehidupan dalam pola perladangan yang mereka hormati. Sementara Juq akan "menjelma" menjadi salah satu dewa, Tipung Ping dan Yeq Lawing bersama ribuan warga Bahau lainnya akan menarikan ngaraang, sebuah ritme simbol persahabatan dan persaudaraan para penghuni tanah di hulu Mahakam.


Ketika Roh-roh Leluhur Menyapa

Suasana riuh terjadi di Matingan, seberang Sungai Kampung Long Tuyoq. Ilalang di bawah pohon-pohon bambu itu sengaja dibersihkan. Matingan menjadi tempat singgah warga Dayak Bahau dari 13 kampung di Kecamatan Long Pahangai, siang itu, 22 Oktober 2016.


Ribuan masyarakat suku Dayak Bahau mendatangi Long Pahangai. Mereka akan merayakan Hudoq Pekayang yang mulai dijadikan agenda festival tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu. Kali ini, Kampung Long Tuyoq menjadi tuan rumah.


Pun demikian dengan Tipung Ping yang membawa lengkap keluarganya. Dia terlihat sangat cantik dengan pakaian motif Dayak yang sungguh berwarna. Tak lupa, Tipung Ping mengenakan ikat kepala yang dibuat dari daun lubaq dan dipermanis dengan beraneka bunga. Amai Ding, suaminya, tidak mau ketinggalan.


Amai bersama para lelaki Kampung Long Isun juga datang lengkap dengan simbol-simbol budaya Dayak, mulai dari topi, bulu burung enggang, baju, kalung, mandau, perisai, hingga celana. Hari ini semuanya akan bergembira, merayakan ritual warisan leluhur mereka, Hudoq.


Matingan disediakan oleh panitia Hudoq Pekayang menjadi tempat transit warga dari 13 kampung sebelum festival itu dibuka oleh Bupati Mahakam Ulu Bonifasius Belawan Geh. Bonifasius menginginkan ritual Hudoq bisa menjadi agenda tahunan pemerintah kabupaten dalam upaya melestarikan nilai-nilai budaya di Mahakam Ulu.


Sementara itu, Juq disibukkan dengan memasang baju Hudoq, topeng-topeng dari kayu yang mengejawantahkan kehadiran para dewa. Semua itu disiapkan oleh para tetua kampung.


Suasana menjadi terasa magis saat para perempuan Dayak mulai melantunkan syair tradisi mereka lewat nyanyian khas, diiringi dengan tetabuhan musik tradisional.


Saat bayangan matahari mulai condong ke timur, suasana semakin riuh. Longboat berukuran besar mulai menyeberangkan warga menuju lokasi penyelenggaraan Hudoq Pekayang. Sungai Mahakam pun menjadi begitu berwarna. Setiap kampung tampil dengan ciri khas berbeda. Sungguh, Dayak Bahau dikaruniai warisan budaya yang memesona.


Para penari Hudoq mendatangani lokasi Festival Hudoq Pekayang di Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur dengan menggunakan perahu.
Rombongan peserta Festival Hudoq Pekayang di Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Hulu, mendatangi lokasi festival dengan menggunakan perahu.

Raungan suara dari pelakon Hudoq, termasuk Juq, dilantangkan sepanjang perjalanan menuju ke lapangan sebagai pusat perayaan ritual kehidupan. Bonafasius kemudian menabuh tubung sebagai tanda ritual dimulai. Sontak pelakon Hudoq yang berjumlah ratusan itu memulai ritus mereka.


Setiap pelakon melakukan gerakan mistis dengan ritme tinggi. Nada repetisi dari tetabuhan tubung dan gong menjadi penuntun. Selama bebunyian itu melantun, para penari Hudoq terus melakukan gerakan maju sambil mengentakkan kaki. Gerakan itu dibarengi dengan tangan yang mengibas-ngibas meniru gerakan sayap seekor burung. Sesekali suara khas keluar dari mulut mereka. 


Tarian ini bermakna mengusir hama penyakit agar tidak menyerang tanaman padi. Roh-roh leluhur pun diyakini datang menyapa. Penari Hudoq pun kian larut dalam gerakan nyidok, yaitu gerakan maju sambil mengentak kaki, lalu disusul gerakan ngedok yang menyentakkan tumit diiringi gerakan tangan yang mengibas-kibas. Gerakan memutar ke kiri mengandung makna membuang sial, sementara memutar ke kanan untuk mengambil kebaikan.


Seolah mendapat kekuatan dari para dewa, para penari Hudoq mampu melakukan gerakan repetisi ini berjam-jam lamanya. Padahal tubuh mereka terkurung di dalam baju dari dedaunan dan kulit kayu serta wajah bertopeng. Penari Hudoq hanya beristirahat sesaat menjelang malam, lalu melanjutkan ritus Hudoq hingga fajar menyapa.


Topeng hudoq tergantung di dinding salah satu ruangan kelas sebuah sekolah saat Festival Hudoq Pekayang digelar di Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur.

Saat ratusan orang itu menari di tengah lapangan, Tipung Ping dan Yeq Lawing bersama ribuan warga Bahau lainnya membentuk barisan melingkar. Mereka melakonkan tarian Ngaraang. Gerakan berulang membentuk lingkaran besar ini ditarikan sejak sore hingga keesokan paginya, tanpa henti.


Ritus magis Hudoq dan Ngaraang itu baru akan benar-benar berhenti saat lonceng gereja bertalu memanggil umat menghadap Sang Ilahi. Agama Katolik menjadi kepercayaan dominan yang dianut warga Dayak Bahau. Warga dari 13 kampung baru akan pulang saat musyawarah adat selesai digelar di lamin.


Namun, prosesi merayakan kehidupan dari siklus perladangan itu belum benar-benar selesai. Hudoq akan dilanjutkan dengan Hudoq Kawit di kampung masing-masing, termasuk di Datah Suling Long Isun.


Setelah Hudoq Kawit digelar, kalender kebudayaan mereka masih punya tahapan, yakni Navau (membersihkan rumput) dan Ngelunau (memanen padi). 

(Buku Riwayat Kehidupan dan Tradisi Warisan Leluhur Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun, terbitan Perkumpulan Nurani Perempuan dan Bappeda Kabupaten Mahakam Ulu.)


Ketika topeng Hudoq digantung kembali di setiap rumah menunggu ritual tahun berikutnya, Tipung Ping dan Yeq Lawing kembali pada rutinitas keseharian dan bertekad menjaga warisan pitarah sampai takdir datang menyapa.


Writer, Photographer, Videographer
Ronny Adolof Buol
Editor
Laksono Hari Wiwoho
Erwin Kusuma Oloan Hutapea
Dimas Wahyu Trihardjanto
Eris Eka Jaya
Copywriter
Georgious Jovinto
Graphic Designer
Cassandra Etania
Developer
Nurhaman

Copyright 2017. Kompas.com