Pagi itu, aroma asam nan tajam langsung menyambut Lintang Gitomartoyo ketika ia masuk ke ruang perawatan film di basement Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI).
Deru mesin pendingin ruangan bahkan menyamarkan suara Lintang kala ia menyapa dua rekannya, Firdaus dan Budi, yang lebih dulu sibuk di gudang bersuhu 15 derajat celsius itu.
Mereka bertiga merupakan “malaikat” penyelamat ribuan pita-pita film yang tersimpan di Sinematek.
Tanpa banyak bercakap-cakap, ketiganya langsung mengenakan sarung tangan dan masker. Gulungan pita-pita tua film Indonesia mulai mereka jamah satu per satu untuk dibersihkan dari kotoran, debu, bahkan serangga.
Lintang sendiri adalah salah seorang yang terlibat dalam proyek restorasi film Tiga Dara (1956). Ia bertanggung jawab untuk proses reparasi terhadap pita film karya sutradara legendaris Usmar Ismail tersebut yang mengalami kerusakan fisik.
Jauh sebelum bergelut dengan reparasi, kecintaan Lintang terhadap film sudah ada sejak kecil. Dia sering kali menonton berbagai judul film yang tersedia di rumahnya. Pasalnya, sang ayah kala itu merupakan jurnalis budaya sekaligus kritikus film.
Lintang tak mengambil sekolah khusus perfilman. Ia lebih memilih belajar secara otodidak lewat keterlibatannya dalam lembaga yang berhubungan dengan film.
Lintang pernah menjadi Asisten Pengembangan Program Restorasi Film Yayasan Konfiden. Ketika itu, ia aktif mengurus film pendek, komunitas film, serta menggelar festival film pendek konfiden.
Sekarang, selain menyebut dirinya sebagai freelancer, Lintang juga mengelola situs filmindonesia.co.id bersama JB Kristanto, mantan wartawan harian Kompas yang dikenal sebagai kritikus film senior.
Perkenalan Lintang dengan restorasi bermula pada enam tahun lalu. Ketika itu, tawaran untuk merestorasi film Indonesia datang dari National Museum of Singapore.
Ketika itu, pihak National Museum of Singapore menghubungi JB Kristanto, untuk meminta rekomendasi film Indonesia mana yang akan direstorasi. Kemudian, dirujuklah film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail.
"Awalnya yang membantu urusan logistik segala macam namanya Lisabona Rahman. Namun, karena Lisa harus berangkat sekolah preservasi film di Amsterdam, jadi dia minta tolong saya untuk membantu mengurusi masalah logistik," kata Lintang.
Perempuan berkacamata ini lantas bersedia menggantikan rekannya untuk bertugas mengirim gulungan-gulungan pita film Lewat Djam Malam ke laboratorium di Bologna, Italia, tempat di mana proses restorasi dikerjakan.
Selain itu, Lintang juga menjadi penghubung komunikasi antarpihak yang terlibat dalam proyek restorasi tersebut.
Lintang yang awalnya belum begitu mengerti tentang teknik restorasi, pelan tetapi pasti mulai mengenal dan memahami bagaimana cara menyelamatkan pita-pita film, memberi “napas” baru untuk film tempo dulu.
"Dari situ kemudian saya mulai ada ketertarikan untuk belajar lebih lanjut. Sampai akhirnya saya punya kesempatan untuk ikut Summer Camp, semacam workshop di lab Bologna selama tiga minggu," kata Lintang.
Hubungan “pertemanan” Lintang dengan pita-pita film tua semakin lekat. Kali ini ia berkesempatan untuk merestorasi film musikal Tiga Dara (1957), yang juga karya Usmar Ismail.
Lintang melakukan perbaikan (reparasi) terhadap gulungan pita-pita film itu di laboratorium L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, pada 2015 lalu.
Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Sebab, Lintang harus bertanggung jawab untuk mereparasi 38 rol film Tiga Dara dengan panjang masing-masing 100 meter seorang diri .
"Saya di sana ditugaskan mereparasi fisik seluloid Tiga Dara yang 38 reel tadi itu. Untuk yang reparasi fisik di Bologna ini saya sendiri," kata Lintang.
Pada proses reparasi ini, Lintang memulai pekerjaannya dengan melakukan inspeksi kondisi setiap gulungan pita, dimulai dari mencatat keterangan film, mendata jenis seluloid, tahun pembuatannya, hingga sutradara, editor, dan lainnya.
Layaknya membuat prakarya, jari-jari Lintang mulai menyambung kembali pita yang sobek dengan hati-hati, harus pas, sesuai bentuk sobekannya, tak boleh lebih atau kurang.
"Intinya tujuan reparasi ini adalah mempersiapkan si rol untuk masuk ke dalam mesin scanner supaya dia kuat di dalam mesin," ucap Lintang.
Ribuan gulungan pita film atau seluloid tersimpan selama puluhan tahun di ruang penyimpanan Sinematek di ruang bawah tanah Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI).
Selama itu pula, hadir orang-orang yang bertugas merawat gulungan pita-pita film di sana. Salah satunya Firdaus (45), yang sekarang bertanggung jawab untuk perawatan film di Sinematek.
"Saya megang film di Sinematek Indonesia mulai tahun 1998. Itu mulai membersihkan, menjaga film," ucapnya.
Firdaus bercerita, ia awalnya hanya bekerja serabutan di pertokoan. Namun, ia mulai mencoba tantangan baru setelah seorang rekannya memberi tahu bahwa Sinematek membutuhkan staf. Pria yang mengaku gemar menonton film tersebut langsung mengajukan lamaran kerja.
"Ternyata diterima dan sampai sekarang saya masih megang film Karena saya senang menonton film, apalagi film-film lama. Tahun-tahun 60-an itu bagus sekali, film-film lama," ucap pria berperawakan tinggi kurus ini.
Namun, karena tak memiliki latar belakang pengetahuan tentang perawatan film, Firdaus mau tak mau belajar secara otodidak. Ia juga dilatih oleh petugas perawat film Sinematek sebelumnya, Tukino dan Tono.
"Selebihnya belajar sendiri, kadang-kadang ikut workshop," kata Firdaus yang saat ini bekerja bersama rekannya, Budi.
Tak jarang ia mencuri kesempatan untuk belajar dari sineas lokal hingga "impor" yang kebetulan mampir ke Sinematek.
"Pernah ada orang Perancis. Saya belajar dan tanya-tanya ke dia seluloid itu bagaimana. Enggak tahu bahasa Inggris, pakai bahasa isyarat saja," ujar Firdaus sambil tersenyum.
Ada yang mengusik ketenangan Firdaus. Sebab, 13 tahun lagi ia memasuki usia pensiun.
Namun, hingga kini perawat film di tempatnya hanya dua orang, sementara gulungan pita film yang harus dibersihkan setiap hari di ruang bawah tanah Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) ada puluhan ribu.
"Ya ini saya juga bingung karena saya tinggal sendiri dengan Pak Budi. Nanti kan di sini kami dibatasi umur juga. Umur 58 dipensiunkan, enggak tahu ke sananya nanti. Saya juga bingung," kata Firdaus.
Ia juga mengatakan bahwa rekan seprofesinya, Budi, baru beberapa tahun belakangan ditempatkan di bagian perawatan film untuk membantunya. Itu pun Firdaus masih harus melatih dan mendampingi Budi yang juga sudah tak muda lagi.
Menurut dia, merawat film bukan hanya soal keterampilan tangan, melainkan juga membutuhkan kesabaran dan komitmen untuk berkutat dengan cairan kimia setiap hari.
"Mungkin ada Pak Budi, bisa melanjutkan. Belum ada (penerus), cuma Pak Budi ini. Pak Budi bisa, tetapi karena dia baru, dia dalam proses. Saya yakin dia bisa nanti," katanya.
Jika nanti ia sudah pensiun, tentunya Budi tak mungkin sendirian menjaga "harta karun" dunia perfilman yang jumlahnya begitu banyak.
Di sisi lain, sebenarnya Firdaus punya cara sederhana untuk meringankan beban mereka. Ia melakukan transfer ilmu sedikit demi sedikit kepada generasi muda dengan harapan ada yang tertarik dengan pekerjaan ini.
Ia berujar, tak jarang para mahasiswa film datang ke sana untuk meminjam film. Saat itulah Firdaus selalu mengingatkan dan mengajarkan cara merawat gulungan pita-pita film itu.
"Banyak sih mahasiswa pada datang ke sini, saya ajarkan, sama Pak Budi juga (diajarkan). Terus ada beberapa orang, tetapi enggak sanggup karena asam filmnya ini, kimianya ini," kata Firdaus.
Wajar jika merawat film seluloid bukanlah pekerjaan yang dicita-citakan seseorang. Pasalnya, cairan kimia dan aroma menyengat vinegar syndrom alias “kanker” film sudah tidak aneh lagi bagi mereka yang bekerja di tempat ini. Firdaus bahkan sadar bahwa dirinya terpapar asam asetat dari vinegar syndrom.
“Enggak mau periksa, ya saya sih sadar terpapar itu pasti. Cuma dekat rumah saya kan ada puskesmas, alhamdulillah saya enggak pernah ke sana,” katanya.
Keresahan Firdaus cukup dipahami oleh Kepala Sinematek Indonesia Adi Surya Abdi. Sutradara film Roman Picisan (1981) itu mengaku sadar akan kebutuhan regenerasi di segala lini Sinematek.
Kata Abdi, hingga kini sarana dan prasarana hingga sumber daya manusia untuk pengarsipan dan perawatan film belum maksimal. Padahal, kedua unsur itu begitu penting karena film termasuk warisan bangsa.
Karena itu, selain kesadaran dari sineas sendiri, pemerintah juga diharapkan tak lepas tangan.
"Kami memerlukan peremajaan (sumber daya manusia) SDM. Kami memerlukan peremajaan alat. Siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah," ucapnya.
Adi menjelaskan, Sinematek sudah dialihkan hak pengelolaannya dari Pemprov DKI ke Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) sejak belasan tahun lalu. Karena itu, biaya operasional Sinematek diketahui berasal dari yayasan.
Di satu sisi Sinematek mengalami keterbatasan biaya. Untuk meremajakan SDM dan alat-alat membutuhkan biaya yang tak sedikit. Contohnya, saat ini Sinematek memerlukan mesin pembersih pita film negatif dan positif, lalu mesin pemindai atau scanning seluloid untuk alih media ke digital, serta perangkat penunjang komputerisasi lainnya.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, seharusnya pemerintah tetap hadir meski Sinematek Indonesia bukan milik negara sepenuhnya.
Dalam Pasal 38 ayat 5 menyebutkan, "Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat dukungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah'. Kemudian, Pasal 51 berbunyi, "Pemerintah berkewajiban memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film".
"Artinya kami enggak perlu minta mestinya. Mereka bikin program tentang arsip apa yang harus mereka lakukan. Mereka bisa bekerja sama dengan lembaga pengarsipan yang sudah ada dan sudah eksis," katanya.
"Kami juga harus maklum. Pemerintah ini kan jabatannya itu silih berganti. Ada pejabat yang membawahi film, concern, tetapi tiba-tiba dia diganti. Yang baru belum tentu concern," ucap Adi.
Keberadaan film seluloid tak pernah lepas dengan perkembangan film di dunia. Menurut penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992, film seluloid adalah film yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi dan dipertunjukkan kepada khalayak dengan sistem proyeksi mekanik.
Film seluloid ini terdiri dari dua jenis, yaitu film nitrat dan film asetat. Seiring perkembangannya dari mulai diciptakan, digunakan, hingga akhirnya disimpan, bahan film tersebut menghadapi tantangan berupa kerusakan.
Pengaruh-pengaruh seperti faktor lingkungan penyimpanan, pemrosesan kimiawi, penanganan koleksi, dan paparan siap mengancam ketahanan film seluloid.
Kerusakan bahan film juga erat kaitannya dengan proses preservasi dan konservasi bahan koleksi film.
Seperti film musikal tahun 1956, Tiga Dara karya Usmar Ismail yang berbahan film seluloid baru-baru ini direstorasi. Kerusakan pada film Tiga Dara bervariasi, mulai dari secara kimiawi, biologis, hingga fisik.
Lalu, apa itu kerusakan fisik, kimiawi, dan biologis pada film?
Kerusakan biologis mencakup semua makhluk hidup yang dapat merugikan media. Jamur, serangga, tikus, bakteri, dan ganggang semua memiliki keterkaitan yang kuat pada suhu dan kelembaban relatif (Relative Humidity).
Kerusakan kimiawi terjadi karena bahan dasar kimia dalam media film mengalami perubahan. Bentuk kerusakan kimiawi bahan film seperti zat warna memudar dalam foto, dan terjadinya degradasi pada lapisan (layer) pengikat pada pita magnetik.
Kemudian, perubahan ukuran dan bentuk menjadi kerusakan fisik yang khas pada bahan seperti film. Kerusakan fisik bisa disebabkan oleh kesalahan penanganan bahan koleksi film.
Penanggung jawab restorasi fisik film Tiga Dara, Lintang Gitomartoyo, mengatakan bahwa setelah melakukan pengecekan koleksi film, bahan seluloid atau gulungan negatif film ternyata sudah mengalami vinegar syndrome atau "kanker" pada film.
Kasus vinegar syndrome umumnya terjadi di negara-negara tropis seperti di Indonesia. Pada bahan seluloid, terdapat kristal-kristal debu berbahaya dan jamur yang juga membuat gulungannya menyusut dan melar.
Pembusukan film seluloid terjadi setelah bahan berusia 15-20 tahun dan berlangsung lambat, tetapi tak bisa dikontrol.
Langkah preservasi dan konservasi adalah "malaikat" penolong dari ancaman kerusakan bahan film. Preservasi dan konservasi adalah istilah-istilah yang biasa ditemukan dalam ranah ilmu perpustakaan.
Dirangkum Kompas.com, preservasi adalah langkah pencegahan kerusakan bahan koleksi dalam rangka memperpanjang usia bahan koleksi yang mencakup manajemen pengelolaan penyimpanan, seperti pemeliharaan lingkungan penyimpanan dan prosedur operasi standar penyimpanan koleksi.
Sementara itu, konservasi berarti langkah untuk memperpanjang umur bahan koleksi dari kerusakan, mencakup pemeriksaan, pemulihan, serta perawatan bahan koleksi.
Selanjutnya, jika koleksi film telah terpapar kerusakan vinegar syndrome, juga perlu langkah konservasi yang serius.
Berdasarkan penelitian pihak Vietnam Film Institute yang dimulai sejak 1990, disebutkan bahwa terdapat dua teknik mengurangi kadar asam asetat pada bahan koleksi film. Penanganan film itu ialah dengan cara teknik basah dan kering.
Sejarah mencatat, Workers Leaving the Lumiere's Factory yang bercerita tentang kehidupan buruh di Pabrik Lumiere menjadi film pertama yang diputar di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis, pada 28 Desember 1895.
Dunia internasional mengakui bahwa pemutaran ketika itu adalah tonggak lahirnya film pertama di dunia yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Sinematografi.
Namun, waktu demi ke waktu, film-film berhadapan dengan jurang yang dalam. Tempat penyimpanan kotor, bertumpuk, kualitas cahaya buruk, hingga suhu yang tak sesuai akan mengurangi kualitas pita-pita film.
Kerusakan pun terjadi. Restorasi dibutuhkan untuk menyelamatkan film tempo dulu. Film-film bisu bersejarah karya Alfred Hitchcock bahkan tak luput dari proses restorasi.
Film-film pertama Hitchcock yang berhasil direstorasi antara lain:
Untuk film-film yang disebutkan, proses restorasi berjalan selama tiga tahun. Dua penggawa di balik restorasi film-film Hitchcock adalah Bryony Dixon sebagai kurator film bisu di British Film Institute National Archive dan Kieron Webb yang bertugas sebagai manajer konservasi film di tempat yang sama.
Cerita restorasi film Indonesia bermula pada saat Philip Cheah dari National Museum of Singapore (NMS) mengontak JB Kristanto dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta yang diwakili Lisabona Rahman pada Januari tahun 2010.
Setelah diskusi dan konsultasi, terpilihlah Lewat Djam Malam sebagai film yang akan direstorasi ketika itu. Misi memberi napas baru film Lewat Djam Malam pun dilakukan di L’Immagine Ritrovata selama kurun waktu lebih dari dua tahun.
Untuk diketahui, L’Immagine Ritrovata merupakan laboratorium di Bologna, Italia, yang khusus mengerjakan restorasi film. Dua karya bersejarah yang lahir kembali dari laboratorium ini adalah A Brighter Summer Day (Edward Yang, 1991) dan La Dolce Vita (Federico Fellini, 1960).
Pihak-pihak yang ada di balik kesuksesan restorasi film Lewat Djam Malam adalah National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation, bekerja sama dengan Yayasan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Tim penanggung jawab restorasi di Indonesia adalah Lintang Gitomartoyo dan Lisabona Rahman.
Dengan kerja keras antar-lembaga yang gigih, Lewat Djam Malam dengan hasil restorasi 90 persen diputar di National Museum of Singapore pada 28 Maret 2012.
Seusai kesuksesan restorasi film Lewat Djam Malam, karya Usmar Ismail lainnya kembali dilahirkan. Kali ini, film musikal Tiga Dara yang mendapat giliran.
Proses restorasi film Tiga Dara membutuhkan waktu selama 17 bulan untuk menghasilkan format 4K dengan suara lebih tajam, bersih, dan detail lebih lengkap.
Awalnya, inisiatif merestorasi film Tiga Dara akan dilakukan oleh Pemerintah Belanda melalui EYE Museum Amsterdam pada 2011. Namun, karena alasan krisis ekonomi di Eropa, proses restorasi tertunda.
Proyek ini akhirnya diambil alih oleh SA Films sebagai pemegang hak restorasi film Tiga Dara. Seluloid film Tiga Dara yang tadinya berada di Amsterdam dikembalikan ke Indonesia.
Laboratorium L'immagine Ritrovata di Bologna, Italia, kembali menjadi pilihan untuk tempat restorasi film. Lintang dan Lisabona terlibat lagi setelah mereka memiliki rapor apik saat merestorasi Lewat Djam Malam.
Setelah tahap restorasi fisik, seluloid filmTiga Dara masih harus melewati restorasi digital oleh PT Render Digital Indonesia dan restorasi pada bagian audio.
Hasil restorasi film Tiga Dara tayang di bioskop Indonesia pada 11 Agustus 2016.
Tiga Dara tercatat menjadi film Indonesia pertama yang direstorasi menjadi format 4K dan juga film hasil restorasi 4K pertama di Asia yang disiarkan untuk publik.
Restorasi sinema lokal tak berhenti di Tiga Dara. Selanjutnya restorasi akan menyentuh tiga film klasik nasional, yakni Tjoet Nja' Dhien (1988) karya sutradara Eros Djarot, serta Tjenderal Kantjil (1958) dan Matt Dower (1969) karya oleh Nya Abbas Akup.
"Tahun depan kami merencanakan merestorasi salah satunya Tjoet Nja' Dhien, kemudian Tjenderal Kantjil, Mat Dower. Ini progres kami," kata Kepala Sinematek Indonesia Adi Surya Abdi.
Rencana restorasi itu merupakan inisiatif dari Sinematek sendiri. Untuk proyek penyelamatan tiga film klasik Indonesia tersebut, lanjut Adi, pihaknya akan bekerja sama dengan swasta.
"Rencana untuk mulai merestorasi beberapa film atas inisiasi kami, tentunya dengan bantuan pihak lain seperti For Foundation, Hasyim, segala macam itu karena upaya kami," katanya.
Sebelumnya, Adi mengatakan bahwa restorasi terhadap film-film klasik karya anak bangsa kali pertama dilakukan terhadap film Darah dan Doa. Sementara itu, film Lewat Djam Malam, kata dia, restorasi dikerjakan sepenuhnya oleh museum Singapura selaku penggagas proyek ini.
Setelah itu, film Tiga Dara hadir dalam format 4K yang telah direstorasi oleh rumah produksi SA Films.
Namun, menurut dia, prioritas restorasi sebaiknya diterapkan kepada film-film klasik yang memiliki nilai-nilai khusus dalam sejarah film Indonesia.
"Yang kondisinya masih bagus kita alih mediakan, atau yang memang sangat memengaruhi perjalanan industri film Indonesia dan mempunyai pengaruh terhadap sejarah film Indonesia," ucap Adi.
"Juga kondisinya sudah memprihatinkan, harus kita restorasi. Jumlahnya banyak. Bertahap saja. Kalau bisa satu tahun kami bisa merestorasi dua tiga judul film," katanya.