Hari-hari ini aneka produk teknologi Korea bertebaran, dengan beragam jenis dan kualitas. Sebut saja aneka merek seperti Hyundai, KIA, Samsung, LG, atau Line.
Padahal, satu atau dua dekade lalu, produk Korea masih dianggap sebagai barang abal-abal. (Samsung Electronics dan Perjuangan Menjadi Pemimpin dalam Industri Electronik, Tony Michell, Elex Media Komputindo, Jakarta: 2014).
Lompatan seperti apa yang mereka jalani selama tiga dekade terakhir sampai memunculkan rupa Korea dan capaian teknologinya seperti terlihat pada hari ini? "Revolusi mental" macam apa yang sudah menempa rakyat Korea?
Pasca Perang Korea 1950-1953, Korea Selatan tidak lebih dari tumpukan debu. Perang hanya menyisakan desa-desa yang compang-camping, tanah telantar, serta 48 jutaan warga miskin dan kurang makan. Sejarawan militer Amerika Serikat, Russel Gugeler, menggambarkan kondisi negeri itu pada 1966, dalam buku Korea 1988: A Nation at the Crossroads (editor G Cameron Hurst III, 1988).
Hingga 1980, kondisi ekonomi Korea lebih buruk ketimbang Indonesia yang sama-sama sedang berusaha bangkit setelah melewati masa perang kemerdekaan dan pergolakan politik. Saat itu, produk domestik bruto (PDB) Korea hanya 64,4 miliar dollar AS, sementara PDB Indonesia 86,3 miliar dollar AS. Sumber daya alam Korea juga hanya seujung kuku sumber daya alam Indonesia.
Hanya dalam dua dasawarsa sejak program pembangunan ekonomi nasional dicanangkan pada 1960-an, Korea bergerak untuk berubah menjadi negara industri baru. Pada 1984, PDB Korea mulai melewati Indonesia dan selanjutnya berlari kencang tanpa pernah bisa terkejar oleh Indonesia hingga saat ini.
Wajah Korea berubah drastis. Desa-desa yang compang-camping dan warganya kelaparan akibat perang saudara tidak ditemukan lagi. Potret Korea yang sejahtera terlihat amat nyata tanpa perlu penjelasan lanjutan. Jembatan-jembatan kokoh dan panjang melintang di atas sungai-sungai besar, transportasi massal seperti kereta bawah tanah dan bus menghampiri stasiun dan halte setiap tiga menit sekali.
Jalan-jalan di tengah kota mirip catwalk, tempat orang-orang berpakaian modis dan mahal berseliweran nyaris setiap detik. Di restoran, setiap orang makan dalam porsi besar. Satu lagi, industri Korea juga tumbuh melebihi apa yang bisa dibayangkan ketika Perang Korea usai. Semua kemajuan ini tak diraih dalam satu malam. Direktur Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta, Rezky Seokgi Kim, mengatakan para pemimpin Korea menyusun rencana pembangunan lima tahunan dan mempercepat pembangunan infrastruktur, selepas Perang Korea pada 1953. ”Rencana itu kami jalankan dengan disiplin tinggi dan kerja keras di bawah kepemimpinan kuat,” ujarnya.
Karena sumber daya alam Korea sangat minim, lanjut Rezky, pemerintah mendorong negeri itu menjadi negara industri. Mereka menyalurkan utang luar negeri ke pengusaha lokal dalam bentuk skema pinjaman lunak, subsidi, dan insentif. Pemerintah juga memberikan perlindungan terhadap produk yang mereka hasilkan.
Setelah Korea jadi negara industri, seperti dikutip dari AFP edisi 8 Juni 2014, Samsung kini menguasai 25,2 persen pasar ponsel pintar dunia, mengalahkan produk AS, Apple, yang menguasai 11,9 persen. Adapun LG mendesak ke atas sebagai peringkat kelima dengan penguasaan pasar 4,9 persen.
Pasang surut juga bukan tak dialami industri Korsel. Kemampuan industri Korea untuk terus melaju ketika industri besar macam Nokia, IBM, dan Sony surut "termakan" zaman, tentu saja bukan durian runtuh yang tak perlu ekstra usaha. Kualitas sumber daya manusia, jelas menjadi salah satu faktor kunci, di luar keberpihakan pemerintah dengan program, insentif, dan kepemimpinannya.
Hari ini, pengaruh Korea benar-benar terasa kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita makin terbiasa memakai ponsel pintar Samsung, mesin cuci dan AC LG, mobil Hyundai, belanja di Lotte Mart, merawat wajah dengan BB cream Korea, hingga mengunyah kimchi dan roti Korea. Seperti apa gambaran perjalanan Korea dengan pasang-surut dan nilai-nilai yang diterapkannya? Ini tuturan multimedianya.
Ira Magaziner, pakar manajemen yang pernah menjadi penasihat Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, menggambarkan besarnya lompatan industri Korea dengan Samsung sebagai contoh. (Samsung Electronics dan Perjuangan Menjadi Pemimpin dalam Industri Electronic, Tony Michell, Elex Media Komputindo, Jakarta: 2014)
Ira melihat divisi elektronik Samsung tidak begitu bagus. Lantai pabriknya tidak bersemen dan para pekerja menggunakan roda tangan ke dan dari lini industri. Laboratorium risetnya bagai laboratorium sains sekolah menengah yang bobrok.
“Tetapi pekerjaan yang berlangsung di sana menarik perhatian saya.
Mereka mengumpulkan semua televisi berwarna
dari setiap perusahaan besar di dunia--RCA,
GE, Hitachi--dan menggunakan TV-TV
tersebut untuk mendesain model mereka sendiri.”
– Ira Magaziner
Laboratorium Riset dan Pengembangan berubah dari yang tampak seperti laboratorium sains sekolah menengah yang bobrok menjadi laboratorium modern yang besar.
Divisi televisi berwarna:
Samsung membuat sendiri
tabung untuk TV.
Kasus Samsung yang dianggap mewakili lompatan ekonomi dan industri Korea--yang oleh orang Barat disebut sebagai "Keajaiban Ekonomi Asia"-- ini terus mencuat seiring waktu, seiring rontoknya perusahaan-perusahaan yang semula merajai industri elektronik dan IT.
Berhadapan dengan kejenuhan pasar, terjangan krisis moneter di tahun 1997-1998, dan masih
berstatus perang dengan Korea Utara.
Apa rahasia Samsung dan atau perusahaan teknologi Korea lainnya hingga masih bertahan di jajaran atas dan punya daya saing tinggi?
Itulah prinsip yang dipegang erat-erat oleh bangsa Korea Selatan yang miskin sumber daya alam dan secara geopolitik dikepung empat kekuatan besar: Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Jepang. Saat ditemui di Seoul National University of Technology and Science, Profesor Park Sang-il mengatakan, sejak awal membangun negeri, Korea sadar bahwa mereka hanyalah negara miskin, dengan penduduk yang juga miskin. Maka, satu-satunya cara agar bisa bertahan adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pada periode 1980-an dan 1990-an, lanjut Park, banyak anak muda yang dikirim ke AS dan Jepang untuk belajar, terutama tentang teknologi tinggi. Park adalah salah seorang di antara mereka. Ia berangkat ke AS untuk melanjutkan studi pascasarjana strata dua dan doktor di bidang elektronika. Setelah menyerap banyak ilmu dan pengalaman bekerja di bidang semikonduktor di AS, ia kembali ke Korea dan bekerja di Samsung. Selanjutnya, ia menjadi salah satu dari sejumlah orang penting di balik kesuksesan Samsung dalam mengembangkan sejumlah teknologi telepon pintar.
Felix Moos dalam artikel Korea Globalizes: A Tiger Cub Growing (1988) menuliskan, selain kepemimpinan yang kuat, ada faktor lain yang menentukan keberhasilan Korea, yakni Amerika Serikat. Di awal pembangunan Korea, AS menggelontorkan banyak uang dan gagasan. ”Tanpa AS dan Jepang, Korea tidak mungkin bisa bangkit dari perang dan konflik dengan Korut,” tulis Felix.
Rezky Seok-gi Kim , Direktur Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta, mengatakan pada awalnya pembangunan ekonomi Korea memang meniru Jepang. Selanjutnya, Korea menjadikan Jepang sebagai patokan pencapaian (benchmark) yang harus dilewati.
Mengapa Jepang yang dijadikan patokan? Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, Rezky menganalogikan hal ini sebagai lomba lari. Jika Korea ingin berlari cepat, Korea harus memastikan selalu berlari di samping pelari cepat. Pelari cepat itu Jepang. Semua orang Korea punya semangat mengalahkan Jepang karena penjajahan Jepang terhadap Korea di masa lalu.
Park Sang-il juga mengakui Jepang merupakan ”guru” sekaligus target yang mesti dikalahkan hingga saat ini. Perusahaan elektronik Korea umumnya menargetkan Sony sebagai salah satu perusahaan elektronik Jepang yang harus dikalahkan. Target itu kini telah tercapai.
Korea pun menggenjot pendidikan formal bangsanya. Pemerintah mewajibkan semua warga Korea menempuh pendidikan dasar 12 tahun atau minimal hingga selesai SMA. Hasilnya, Korea menjadi salah satu negara dengan angka melek huruf tertinggi di dunia.
Skor Pisa yang mengukur kemampuan siswa membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan tertinggi kelima di dunia pada 2012 versi OECD.
Kepala Sekolah Daewon Kim Il Hyoung yang Kompas temui di ruang kerjanya mengatakan, sekolahnya fokus memprioritaskan penguasaan bahasa asing oleh siswanya, antara lain Inggris, Jerman, Tiongkok, dan Spanyol. ”Siswa-siswa kami belajar bahasa ketiga di sini. Banyak di antara mereka yang kemudian kuliah di Harvard, AS, atau Oxford, Inggris,” ujar Kim.
Ketika Kompas datang ke sekolah itu, sejumlah murid perempuan sedang memainkan kenchi—benda berbahan kulit sebesar uang logam yang diikat beberapa helai bulu angsa—dengan kakinya. Murid laki-laki bermain basket dengan riang. Beberapa murid yang berpapasan dengan kami segera menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Jam bermain dan olahraga barangkali jam paling menyenangkan buat murid-murid itu. Selanjutnya, mereka harus berkutat dengan berbagai pelajaran sepanjang hari dari pagi hingga malam.
Jam pelajaran sepanjang itu pun dianggap belum cukup. Saat kelas berakhir, sebagian siswa melanjutkan kegiatan dengan belajar bersama di aula. Bus sekolah lalu mengantar mereka pulang pada pukul 22.30. Mereka yang tidak belajar di aula sebagian pergi ke tempat les buat belajar lagi hingga larut malam.
Direktur Konseling Daewon Eric Cho mengatakan, jam pelajaran sebelumnya lebih panjang lagi. Dulu, kelas baru berakhir pukul 21.45 dan murid masuk sekolah pada Sabtu. Masa-masa itu memang sangat berat, lanjut Eric, tetapi orang Korea harus menjalaninya. Sebab, mereka sadar, pendidikan satu-satunya jalan untuk sukses.
Dengan sistem pendidikan yang sedemikian rupa, Korea pun dinobatkan menjadi salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Demi berjalannya sistem pendidikan yang baik, pemerintah Korea mengalokasikan dana anggaran yang besar di sektor ini.
Dari tahun ke tahun, dana anggaran pendidikan yang digelontorkan kementerian dan pemerintah Korea terus meningkat.
Sistem pendidikan yang begitu keras bukannya tanpa ekses. Banyak anak yang tak tahan dengan tekanan pelajaran akhirnya memilih bunuh diri. Belakangan ini, pemerintah mencoba memperbaiki sistem pendidikan yang kelewat ekstrem.
”Bulan ini, mereka (pemerintah) mencoba jam pelajaran sekolah dasar dimulai pukul 09.00 sehingga anak- anak punya waktu lebih untuk tidur dan sarapan bersama orangtua. Lembaga kursus swasta di Hagwan juga harus tutup pukul 21.00 demi kesehatan anak-anak,” ujar Eric.
”Buat kami, sukses pendidikan itu adalah masalah hidup dan mati,” ujar Lee Kang-hyun, Presiden Korean Chamber of Commerce in Indonesia.
Selain itu, 84,6 persen siswa laki-laki dan 82,4 persen siswa perempuan tamatan SMA melanjutkan ke sekolah tinggi atau universitas.
Tidak heran jika Korea sempat dinobatkan sebagai negara dengan jam pelajaran sekolah terlama di dunia.
Dari zaman ke zaman, Korea terus bermetamorfosis hingga negara ini dijuluki sebagai Negeri Mustahil. Sebutan itu dikemukakan Daniel Tudor, koresponden majalah The Economist di Korea Selatan, dalam bukunya yang berjudul “The Impossible Country” (2012). Dalam buku tersebut Korea Selatan dikisahkan sebagai negeri yang tadinya dibelit kemiskinan dan diduduki oleh kekuasaan tangan diktator kini menjelma menjadi negeri modern, demokratis, makmur, dan penuh semangat.
Korea Selatan, menurut Daniel Tudor, memiliki dua mukjizat yang telah menjadikan ”Negeri Ginseng” itu seperti sekarang ini. Pertama, ”Mukjizat Sungai Han”. Han adalah sungai besar di Semenanjung Korea dan merupakan sungai terpanjang keempat (494 kilometer) setelah Sungai Amnok, Duman, dan Nakdong. Empat provinsi—tiga di Korea Selatan, yakni Gangwon, Gyeonggi, dan Seoul; serta satu di Korea Utara, yakni North Hwanghae—dilewati Sungai Han.
Istilah ”Mukjizat Sungai Han” digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi Korea setelah Perang Korea 1953 yang demikian cepat: dari sebuah negara yang terpuruk karena perang, terbelakang secara ekonomi dan fisik, pengangguran menumpuk, serta infrastruktur hancur, menjadi negara modern dan makmur.
Secara lebih khusus, istilah ”Mukjizat Sungai Han” menunjuk pada pertumbuhan perekonomian Seoul, ibu kota negara yang dilalui Sungai Han. Perekonomian Korea Selatan tumbuh cepat sejak 1960-an.Pertumbuhannya pun dapat dikatakan stabil, yakni 8 persen, sampai 1980-an.
Istilah ”Mukjizat Sungai Han” berasal dari istilah di Jerman setelah akhir PD II, yakni ”Mukjizat Sungai Rhein”. Kedua negara, Jerman dan Korea Selatan, muncul dari reruntuhan perang menjadi negara maju.
Mukjizat kedua adalah transformasi politik dari negara diktator militer menjadi negara demokratis. Negeri ini menjunjung tinggi nilai-nilai rule of law, pemerintahan berdasarkan hukum dan hak-hak warga negaranya. Yang terbukti bertindak melanggar hukum, seperti korupsi, dihukum berat, siapa pun mereka, termasuk dua presiden: Chun Doo-hwan (1980-1988) dan Roh Tae-woo (1988-1993).
Park Sang-il, Profesor di Seoul National University of Technology and Science, adalah produk pendidikan generasi yang terlibat dalam perang. Ketika ia sekolah di SMA awal 1970-an, bangsa Korea sedang membangun diri jadi negara industri. ”Hampir semua anak muda ingin jadi insinyur ketika itu,” ujarnya. Maka, selepas SMA, Park kuliah di jurusan elektronika di Yonsei University. Tahun 1980-an, ia sadar, industri masa depan ada di bidang semikonduktor. Ia lantas mengejar cita-cita menjadi ahli semikonduktor ke AS hingga jenjang doktor. Sepulang dari AS, ia menjadi bagian kisah sukses Samsung Electronics. ”Generasi saya bisa seperti sekarang karena disiplin, tidak mau kalah, dan bekerja ekstra keras untuk memenangi persaingan. Nilai-nilai itu masih dipegang anak muda sekarang. Mereka bahkan lebih pintar," ujar Park Bersamaan dengan pendidikan ekstrem dan insentif untuk para pengusaha, Pemerintah Korea juga menanamkan doktrin yang tidak bisa ditawar-tawar tentang cinta produk lokal sebagai bagian dari sikap patriot. ”Kalau menggunakan produk asing, kami merasa malu karena dianggap tidak membantu negara. Inilah yang membuat perusahaan Korea bisa hidup dan terus berkembang karena mereka punya pasar,” ujar Direktur Korea Cultural Center di Jakarta, Rezky Seokgi Kim.
Louis Go (39), pengusaha bidang hiburan, menceritakan, ia dididik dengan kisah tentang bangsa Korea yang sejak dulu lebih baik daripada Jepang dan Tiongkok. ”Kerajaan-kerajaan Korea pernah ekspansi hingga daratan Tiongkok dan Jepang,” kata Go mengulang kisah yang sejak kecil dituturkan orangtuanya. Soal penjajahan Jepang atas Korea pada awal abad ke-20, ayah Go berpendapat, ”Kami hanya kalah cepat dari Jepang. Akan tetapi, Korea tetap lebih baik daripada Jepang.” Ketika Go mulai sekolah pada 1982, ia ingat setiap minggu gurunya memeriksa semua tas murid. ”Kalau guru menemukan pensil atau pulpen buatan Tiongkok atau Jepang, ia akan menegur. Guru lalu mengingatkan semua murid agar menggunakan produk lokal,” tambah Go, dalam perbincangan dengan Kompas.com dan Kompas pada medio Agustus 2014 di Jakarta.
Saat itu, Go sebenarnya punya pensil buatan Jepang yang kualitasnya bagus dibandingkan dengan pensil Korea. Namun, ia tak pernah berani memakainya, apalagi membawanya ke sekolah. ”Rasanya malu sekali kalau sampai ketahuan punya produk Jepang atau Tiongkok. Sebab, Jepang dulu pernah menjajah kami dan Tiongkok negara komunis yang membuat kami perang saudara,” ucapnya. Semua cerita yang dijalani bangsa Korea sejak hari pertama kemerdekaannya ini, menurut Rezky tak beda dengan seruan Revolusi Mental yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo di Indonesia pada saat ini. Dia pun berkeyakinan, bila proses yang sama bisa berjalan di Indonesia, maka kemajuan yang bisa diraih Korea Selatan pun akan terjadi di Indonesia. "Ini hanya soal waktu dan skala. Korea bisa lebih cepat karena penduduk kami hanya 50-an juta, sementara Indonesia sudah 250-an juta," kata Rezky. Namun, imbuh dia, perencanaan langkah dan insentif yang tepat dari Pemerintah juga harus seiring sejalan dengan Revolusi Mental. "Pasti bisa!" tegas Rezky.