Intro
1995-1998

Medio 1980-1995

Redaksi Kompas dan sambungan

Internet pertama di ruang redaksi

Perubahan cara kerja dari mesin ketik ke komputer adalah persoalan besar bagi sebagian wartawan di zaman itu. Ada tulisan wartawan yang ditolak karena ia menulis dengan komputer. Alasannya, editornya “gaptek” harus mengedit di layar komputer.

Komputer pertama

di ruang redaksi

Sumber: KOMPAS/HARYO DAMARDONO

Wartawan Kompas Pieter Gero tahun 1989. Alat kerja utama di meja kerjanya masih mesin tik. Satu komputer di belakangnya adalah komputer pertama linotipe yang digunakan untuk produksi dan cetak.

Lazimnya, wartawan yang tumbuh besar sebelum tahun 1980 menyelesaikan setiap tulisan mereka dengan mesin tik. Jika tulisan mereka mendapat coretan dari editor, terpaksa tulisan diketik ulang dari awal. Itu hal yang lumrah menjadi bagian dari kerja wartawan. 

Sulit rasanya membayangkan kelumrahan itu terjadi sekarang ini. Mengetik ulang kembali berita dari awal dengan mesin tik rasanya mustahil. Tapi, itulah kelumrahan itu.

Mantan wartawan Kompas Mamak Sutamat menceritakan kisah perubahan dari era mesin tik ke komputer dalam bukunya “Kompas Perkasa karena Kata”.

Di redaksi harian Kompas, hingga 1986, komputer sebagai pengganti mesin tik masih merupakan barang mewah.

Mamak menuturkan, satu-satunya komputer yang ada di redaksi Kompas saat itu dipakai oleh Manajer Redaksi Raymond Toruan. Dengan komputer itu Raymond mencatat segala hal rahasia, terutama gaji karyawan.

Mulanya, tugas-tugas itu dikerjakan Raymond dengan desktop komputer di rumahnya. Jika ada data yang dibutuhkan di kantor, ia harus balik ke rumah. Karena dipandang merepotkan, akhirnya dibelilah sebuah laptop.

Pada tahun 1987 sebenarnya sudah mulai muncul ide untuk alih teknologi dari mesin tik ke komputer. Sekretaris Redaksi kala itu, Azkarmini Zaini, beberapa kali mengadakan pelatihan komputer kepada awak redaksi.

Namun, di ujung dunia mana pun, kata Mamak, perubahan selalu tidak mudah, termasuk perubahan cara mengetik berita dari mesin tik ke komputer. Banyak wartawan tetap lebih senang mengetik dengan mesin tik.

“Mereka yang mengetik dengan komputer, tulisannya ditolak oleh para penyunting. Alasannya, para penyunting gaptek mengedit berita di layar komputer,” tutur Mamak.

Pada tahun 1987 ada empat komputer System-6 yang dipinjamkan percetakan. Selanjutnya, pada Februari 1988 kembali ditempatkan dua komputer XT. Perlahan, sedikit demi sedikit mulai ada wartawan yang menyentuh komputer-komputer itu untuk menulis berita.

Demikianlah, perlahan semua wartawan akhirnya bekerja dengan komputer. Tidak ada lagi bunyi berisik mesin tik.

Sejarah Internet

di Indonesia

Perkembangan Internet di Indonesia awalnya bermula di ranah akademis dan kelompok hobi. Internet pertamakali dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada 1969 sebagai sebuah proyek rahasia. Sebagai sebuah jaringan, Internet hanyalah teknologi yang menghubungkan satu komputer dengan komputer lain.

Bersama dengan Internet, teknologi lain yang menjadi landasan bagi apa yang kita kenal sekarang sebagai “Internet” adalah the World Wide Web (www), yaitu medium publikasi elektronik global yang dapat diakses melalui jaringan Internet.

Teknologi terakhir ini ditemukan baru pada tahun 1990 oleh Tim Berners-Lee. The World Wide Web merupakan medium yang memungkinkan kita menikmati beragam konten di dalamnya seperti gambar, foto, video, surat kabar, radio, hingga televisi.

Di Indonesia, Internet awalnya muncul di ranah akademis. Merlyna Lim dalam disertasinya yang ia pertahankan di Universitas Twente, “@rchipelago Online: The Internet and Political Activism in Indonesia”, menyebutkan, jaringan Internet awalnya merupakan proyek penelitian yang dilakukan para peneliti di Universitas Indonesia.

Koneksi pertama Internet di Indonesia tecatat dilakukan oleh Joseph Luhukay pada tahun 1983 yang mengembangkan jaringan UINet (University of Indonesia Network) di kampus Universitas Indonesia.

Indonesia tercatat sebagai negara pertama di Asia yang terhubung dengan jaringan Internet global ketika UINet yang dikembangkan Luhukay secara resmi terhubung dengan jaringan Internet global yang saat itu masih bernama UUNet pada tahun 1984.

Sumber: KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Onno W. Purbo.

Lim juga mencatat, di luar dunia kampus, Onno Purbo dicatat sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam pengembangan jaringan Internet di Indonesia. Bersama teman-temannya penghobi aktivitas radio amatir, Onno mengembangkan jaringan komputer melalui frekuensi radio pada tahun 1993.

Motivasi Onno dan kawan-kawan pada waktu itu adalah mencari cara berkomunikasi secara murah di luar jaringan Telkom yang waktu itu memonopoli industri telekomunikasi di Indonesia. Onno kemudian mempublikasikan sejumlah artikel tentang bagaimana membangun jaringan telekomunikasi murah melalui Internet.

Selanjutnya, perkembangan Internet di Indonesia yang semula merupakan aktivitas penelitian dan hobi bergeser ke ranah komersil ketika PT Indo Internet (Indonet) berdiri sebagai Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia pada September 1994.

Setelah Indonet, sampai akhir tahun 1990 berdirilah sejumlah ISP antara lain PT Rahardjasa Internet (Radnet) (1995), Wasantara Network yang dikembangkan PT Pos Indonesia (1996), IndosatNet (1996), dan Telkomnet (1998).

Pada tahun 1998, menurut data APJ2 (Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia) jumlah pelanggan ISP di seluruh Indonesia tercatat hanya 138.000 pelanggan dengan perkiraan pengguna Internet sebanyak 512.000 pengguna.

Namun, kemunculan sejumlah ISP bukan faktor signifikan yang membuat Internet tersebar luas di Indonesia. Sebabnya, ISP hanya diakses kelompok sosial tertentu di masyarakat yang memiliki komputer dan mampu membayar tagihan pulsa telepon.

Menurut Lim, aktor penting penyebaran akses Internet di tahun-tahun awal perkembangan Internet di Indonesia adalah merebaknya “warnet” (warung Internet) pada tahun 1996. Kehadiran warnet membuat Internet semakin mudah diakses karena masyarakat cukup membayar biaya koneksi per jam tanpa perlu memiliki komputer atau membayar biaya koneksi telepon di rumah.

Internet dan

Reformasi 1998

Di sekitar tahun 1998, sebelum dan sesudah jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto, Internet semakin populer. Internet menjadi ruang perlawanan terhadap rezim orde baru yang sangat ketat mengawasi ruang-ruang media. 

Di Internet, utamanya di mailing list, diskusi-diskusi politik dan diseminasi informasi yang tak mungkin dilakukan di media-media arus utama  berlangsung sangat intens bahkan disebut sebagai salah faktor yang tak bisa dilepaskan perannya dalam penggulingan rezim Orde Baru.

Pada tahun 1998, di ujung pemerintahan Soeharto, Internet memegang peranan penting dalam pergolakan aktivis reformasi. Pada tahun itu Internet merupakah salah satu alat perjuangan penting dalam menurunkan rezim Soeharto.

Internet mengurangi kekuasaan pemerintah dalam mengontrol informasi. Internet menjadi kekuatan politik dalam pergolakan demokrasi di Indonesia.

Internet menjadi ruang baru diskusi-diskusi politik yang praktis tidak bisa dilakukan pada medium offline. Diskusi-diskusi itu berlangsung dalam milis-milis. Ada banyak milis, tapi yang amat terkenal adalah “Apakabar” yang dibuat oleh John salah seorang mantan staf kedutaan besar amerika di Jakarta pada 7 Oktober 1990.

Sumber: KOMPAS/SAPTONO

Mahasiswa bergembira di Gedung DPR/MPR saat Soeharto mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden RI, 21 Mei 1998.

Sumber: KOMPAS/EDDY HASBY

Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR, menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Foto diambil pada 19 Mei 2008, dua hari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998.

Milis menjadi ruang bebas bagi aneka pandangan yang menentang rezim soeharto. Pesan-pesan yang berkeliaran di Internet pun sangat lugas, sesuatu yang tidak mungkin dijumpai di media-media mainstream seperti “gantung Soeharto”, “hancurkan Soeharto”. Ajakan turun ke jalan untuk berunjuk rasa juga menyebar luas di Internet.

Kekuatan Internet semakin terasa ketika pada 15 Mei 1998, menteri penerangan mengeluarkan kebijakan “televisian pool”. Pengawasan ketat tidak hanya terjadi pada media-media cetak, tapi juga televisi.

Pemerintah menyensor siaran televisi. Kebijakan ini mengharuskan semua TV berita untuk me-rely siaran resmi TVRI. “From 15 May 1998, all broadcast materials became homogenous and were legalised by the logo of TVRI.” 

Satu-satunya ruang publik yang bebas dari jangkauan pemerintah adalah Internet. Lim mencatat, sepanjang masa itu, informasi terkini tentang pergerakan mahasiswa jam per jam, menit per menit, dan detik per detik, hanya bisa leluasa diperoleh di milis-milis seperti “Apakabar”, “IndoProtest”, maupun milis-milis pro-reformasi lainnya. 

Internet menjadi roda pendorong bergulirnya bola salju perlawanan mahasiswa terhadap rezim soeharto.

Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, wartawan Boston Globe, David L. Marcus yang meliput dinamika politik di Jakarta dalam artikelnya yang tayang pada 23 Mei 2008 menulis bahwa Internet memiliki peran besar dalam menumbangkan rezim Orde Baru.

As rebellion broke out across Indonesia this month, protester did not have tanks or guns. But they had powerful tool that was not available during the country’s previous uprising: The Internet,” tulis Marcus.

Sambungan Internet

pertama

Persinggungan redaksi harian Kompas dengan Internet terjadi jauh sebelum Internet populer di Indonesia. Di awal hadirnya komputer di ruang redaksi, mulai terpikir untuk mencari cara pengiriman berita yang lebih efektif dan efisien.

Tahun 1988 redaksi Kompas telah melakukan ujicoba pengiriman berita melalui jaringan komputer.

Pada tahun itu internet sebenarnya belum populer di Indonesia. Internet Service Provider (ISP) pertama saja, yaitu PT Indo Internet (Indonet), baru berdiri pada September 1994.

Selama ini, wartawan Kompas di luar kota, apakah ia koresponden atau sedang bertugas di luar kota, mengirimkan berita, tulisan, atau fotonya melalui kantor pos dengan pos kilat. Selanjutnya beralih ke kilat khusus, menggunakan jasa angkutan udara, teleks, dan faksimili.

Itu artinya, berita harus diketik ulang setibanya di redaksi sebelum diserahkan ke percetakan.

Ketika penggunaan komputer semakin berkembang, muncul wacana mencari cara baru dengan menggunakan teknologi. Divisi IT belum dikenal.

Ujicoba pengiriman berita melalui dua komputer yang terhubungkan dengan jaringan telepon melalui sebuah modem dilakukan oleh wartawan harian Kompas saat itu Mamak Sutamat dan Totok Purwanto. Ujicoba dilakukan dari rumah Mamak di Kebon Jeruk dan rumah Totok di Tangerang.

Mulanya, Mamak dan Totok menghadap Manajer Redaksi Raymond Toruan untuk menyampaikan ide tentang kemungkinan pengiriman berita melalui komputer. Raymond kemudian meminjamkan laptopnya kepada keduanya.

Perubahan cara kerja dari mesin ketik ke komputer adalah persoalan besar bagi sebagian wartawan di zaman itu. Ada tulisan wartawan yang ditolak karena ia menulis dengan komputer. Alasannya, editornya “gaptek” harus mengedit di layar komputer.

“Ini saya pinjamkan laptop yang memang sudah ada modemnya,” kata Raymond Toruan.

“Nyambungnya ke mana?” tanya Mamak.

“Beli saja modem lagi dan pasang di desktop,” jawab Raymond.

Modem pun dibeli. Harganya Rp 300.000. Percobaan pengiriman berita dilakukan dengan pesawat telepon yang ada di meja kerja.

Mamak dan Totok duduk bersebelahan mencoba mengirim berita antar-komputer melalui dua pesawat telepon. Program yang digunakan adalah Crosstalk. Sambungan internet diawali dengan bicara per telepon. Mamak dalam posisi mengirim, Totok menerima.

“Setelah kontak telepon biasa, saya menghitung 1, 2, 3 dan kami sama-sama menekan tombol enter. Pembicaraan sudah tidak bisa dilakukan dan terdengar suara macam sirene. Gagang telepon diletakkan di tempatnya dan mata kami terus melotot ke monitor. Wah, gagal, karena tulisan connect-nya tidak segera muncul,” cerita Mamak.

Sumber: KOMPAS/SYAMIN PARDEDE

Suasana kerja di Redaksi Harian Kompas pada 11 Februari 1988.

Sumber: KOMPAS/DJ PAMOEDJI

Teleks dan faksimili yang digunakan sebagai alat untuk pengiriman berita di harian Kompas sebelum era digital.

Percobaan terus diulang berkali-kali hingga dinihari, kadang-kadang nyambung tapi terus putus lagi. Akhirnya, keduanya sadar, sambungan antarkomputer memerlukan kejernihan dan agak sulit apabila jaringan telepon sudah melewati PABX.

Keduanya lalu sepakat untuk mencoba dari rumah ke rumah.

Namun, laptop hanya ada satu. Raymond tidak menyetujui pembelian laptop lagi. Tidak putus asa, Mamak dan Totok mencari cara untuk bisa mendapatkan laptop.

“Kami mencari komputer pinjaman dengan ‘mengakali’ penjual komputer. Kami katakan kepada penjual komputer, Kompas ingin membeli laptop. Masuklah dua penawaran yang setuju barangnya diuji selama satu pekan,” kata Mamak.

Bermodalkan laptop “pinjaman”, percobaan diadakan dari rumah Mamak di Kebon Jeruk, Jakarta, dan rumah Totok di Tangerang. Sekali-kali percobaan sambungan juga didakan di luar kota. Hasilnya, sukses!

Akhirnya, dengan berbagai alasan, laptop dikembalikan kepada penjualnya. Laptop tak jadi dibeli. Yang penting, percobaan sudah berhasil.

Pengiriman berita pertama

melalui Internet

Sumber: KOMPAS/LITBANG KOMPAS

Laporan wartawan Kompas dari Olimpiade Seoul 1988.

Setelah sukses melakukan sambungan antar-komputer, percobaan pengiriman berita melalui internet pertama kali dilakukan Desk Olahraga tahun 1988 pada Olimpiade Seoul yang digelar petengahan September 1988.

Tim olahraga yang berangkat adalah Budiarto Shambazy, Hendry Bangun, Irving Rivai Noor (alm), Kartono Riyadi (alm). Mereka harus berebut laptop.

Hendry yang berangkat paling awal ke Seoul, selain menjinjing laptop juga membawa mesin tik. Ia belum yakin dengan laptop yang dibawanya. Sementara, Budiarto sebelum berangkat masih berjuang mendapatkan laptop.

“Saya bawa uang dinas lebih dan mau mampir ke Singapura untuk beli laptop,” kata Budiarto.

“Kalau kantor tetap enggak boleh beli laptop bagaimana?” tanya Mamak.

“Biar laptop itu buat saya dan uang kantor saya kembalikan,” jawab Budiarto enteng.

Sampai di Seoul, Budiarto dan Hendry dengan lancar mengirim berita ke Jakarta. Tinggal Irving yang harus menunggu laptop nganggur.

Sementara, Kartono Riyadi harus gigit jari, karena foto-fotonya masih harus dimasukkan ke amplop kuning. Setiap hari ia harus “lari” ke bandara untuk mengirim amplop kuning itu melalui jasa angkutan udara.

Sekembalinya ke Jakarta, Budiarto bisa tersenyum karena Raymond tidak mempersoalkan pembelian laptop. Sejak saat itu, pembelian laptop masuk anggaran redaksi. Perlahan-lahan jumlah laptop di redaksi bertambah.

Kisah pengiriman

foto pertama via internet

Kalau wartawan tulis sudah menikmati kecanggihan komputer sejak Olimpiade Seoul 1998, Wartawan foto Kartono Riyadi (alm) dan rekan-rekannya masih tetap berjuang ke bandara setiap ada liputan.

Mereka baru menikmati kecanggihan teknologi lima tahun kemudian yaitu saat liputan SEA Games Singapura tahun 1993.

Ada sejumlah wartawan yang ditugaskan berangkat ke Singapura untuk meliput SEA Games. Totok Purwanto berangkat belakangan karena harus menunggu sebuah alat untuk mengirim foto melalui sambungan Internet yang dijanjikan Kantor Berita Antara.

Alat yang ditunggu ini adalah alat canggih saat itu, sekelas kantor berita UPI (United Press Internasional). Lisensi penjualannya ada pada Kantor Berita Antara dan tidak mudah mendapatkannya.

Kompas mendapatkan alat ini mepet dengan waktu keberangkatan Totok. Alhasil, Totok harus belajar kilat menggunakan alat yang beratnya mencapai 30 kg tersebut. Itu hanya alat untuk mengirim foto. Di kantor, JB Suratno, wartawan foto, juga belajar kilat dengan alat penerimanya.

Sudah alatnya berat, kantor Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta tidak meloloskan peralatan ini karena harus didaftarkan dulu. Prosesnya berbelit-belit. Totok nyaris ketinggalan pesawat.

Beruntung, pesawat Garuda mengalami gangguan teknis sehingga keberangkatan diundur dua jam. Dengan napas tersengal, Totok masuk pesawat sambil menenteng beban 30 kg peralatan foto.

Sumber: KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Foto fotografer harian Kompas (alm) Julian Sihombing dari arena SEA Games Singapura 1993. Perenang Indonesia Wisnu Wardhana memekik gembira setelah menang sekaligus memecahkan rekor renang 100 meter gaya bebas Sea Games dengan waktu 51.81, hari Senin (14/6/1993) di Stadion renang Toa Payoh Singapura.

Sumber: DOK. KOMPAS

Laporan wartawan Kompas dari arena SEA GAMES Singapura 1993.

Malam harinya di Singapura, peralatan foto dioperasikan. Semua prosedur dilakukan dan Jakarta siap menerima. Tapi, tidak satu pun foto bisa terkirim.

Baru berjalan 30 persen, saluran terputus. Baru jalan 20 persen, putus lagi. Sudah jalan 80 persen, putus lagi.

Arloji menunjukkan pukul 23.00. Deadline.

“Saya grogi dan merasa bersalah. Jangan-jangan dalam pelatihan kemarin ada yang lupa diajarkan, sehingga pengoperasian tombol-tombolnya tidak pas,” kisah Totok.

Lelah dan putus asa karena terus gagal hingga empat jam, Totok pun mengajak Kartono makan.

“Kamu saja yang turun, saya titip bawakan nasi,” jawab Kartono.

Dengan langkah lunglai Totok turun dari hotel. Saat berjalan melintasi lobi telinganya mendengar suara sirene kecil, ngik…ngik…ngik…Suara itu persis suara mesin pengirim di kamar. Suara-suara yang membuatnya stres karena pengiriman foto berulangkali gagal.

Ia mencari sumber suara tersebut. Datangnya dari ruang operator hotel. Kebetulan pintu ruangan itu terbuka. Totok berdiri sejenak di depan pintu. Suara sirene kecil itu putus lalu berganti suara operator, “Halooo….halooo…klik.”

Muncul lagi suara sirene itu, ngik…ngik…ngik…kemudian hilang ditelan suara “halooo…halooo…klik” dari operator.

Totok masuk ke ruang operator dan bertanya suara apa itu. Operator di ruangan itu mengatakan bahwa suara tersebut adalah suara telepon dari salah satu kamar tamu.

Totok minta pada operator agar sambungan telepon ke kamar itu jangan diganggu atau dipotong. Namun, petugas hotel mengatakan bahwa ia harus tahu kode-kode apa yang dikirim karena menurutnya ini tidak biasa.

Totok meyakinkan petugas hotel bahwa itu adalah alat pengiriman foto, sama dengan peralatan komputer atau faksimili, bukan kode atau sandi-sandi.

“Coba tanyakan pada Telkom Singapura, apakah peralatan ini boleh beroperasi di sini,” pinta Totok pada petugas hotel.

Petugas itu pun menghubungi kantor Telkom Singapura dan mendapat jawaban bahwa peralatan itu bisa digunakan selayaknya komputer atau perangkat faksimili melalui jaringan telkom.

“Silakan pakai dan saya tidak potong lagi,” jawab operator.

Totok segera mengontak Kartono agar kembali mengirim foto. Sementara Totok menunggu di ruang operator untuk memastikan aman.

Ternyata, setelah tidak diutak-atik operator, pengiriman berlangsung mulus. Pelajaran berharga menggunakan alat baru dan teknologi baru bernama Internet.

Sejak itu, pengiriman foto berjalan mulus. Foto-foto kejadian tengah malam bisa cepat sampai Jakarta.

Wartawan media lain dari Jakarta terheran-heran dan bertanya: pakai kargo udara apa, kok info kejadian pukul 23.00 bisa dimuat Kompas?

Kartono hanya tersenyum-senyum. Sejak SEA Games Singapura 1993, wartawan foto tidak lagi ngos-ngosan berlari ke bandara.

Sumber: KOMPAS/TONNY D WIDIASTONO

Wartawan foto Kompas Kartono Riyadi di meja kerjanya 1987.