TINJU

Jalan Hidup Para Petarung

"The fight is won or lost far away from witnesses - behind the lines, in the gym and out there on the road, long before I dance under those lights."

- Muhammad Ali

Tidak Ada
Jalan Mudah

Pagi masih menyisakan dingin ketika Jansen, Ale dan Yapi mengikat tali sepatunya. Bau wangi sabun tercium samar-samar dari tubuh-tubuh berorot itu. Mereka bersiap melahap “sarapan” mereka sehari-hari, latihan, latihan, dan latihan.

Jansen melongok dari jendela di lantai dua tempat mereka tinggal dan berkata, “Sudah tidak hujan lagi Pace, ayo jalan,” katanya pada Ale dan Yapi dengan logat khas orang-orang dari daerah timur Indonesia.

Sasana dua lantai di kawasan Graha Raya itu tadinya merupakan sebuah ruko yang dijadikan tempat latihan tinju. Di lantai bawah ada tiga sand sack untuk latihan memukul, sementara di lantai atas ada ring tinju dan ruang yang disekat untuk digunakan sebagai kamar para petinju. Namun mereka lebih suka tidur di atas ring. “Tidur di atas ring bikin badan tidak pegal,” kata Ale.

Ketiganya lalu menapaki tangga ke lantai satu. Jansen, lelaki dengan tulang rahang yang terkesan keras dan tubuh yang berotot liat itu membuka pintu. Bau tanah bekas hujan segera masuk ke sasana, menghadirkan aroma segar. Matahari belum sepenuhnya muncul sehingga jalanan masih remang.

Ketiganya pun menapaki jalan aspal menuju ke arah Bintaro. Langkah mereka ringan nyaris tanpa suara, namun secara konstan menjadi semakin cepat. Satu kilometer terlampaui, dua kilo, tiga kilo,empat kilo dan nafas ketiganya masih teratur. Padahal mereka tidak sekadar jogging, namun sudah berlari cepat.

Berlari sekitar 8 kilometer, mereka sampai ke mal Bintaro XChange. Tubuh ketiganya basah oleh keringat. Namun mereka melanjutkan lari di taman mal. Di sana, pelatih mereka, Vicky Permana Putra, menunggu.

Vicky sudah siap dengan mitt punch atau sasaran pukulan di tangannya. Ketiga petinju segera mengenakan sarung tinju, dan bergantian berlatih memukul sasaran yang dipegang Vicky. Saat satu orang memukul mitt punch, yang lain berlatih shadow boxing dan melakukan sparring ringan.

KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO
Jansen, Ale, dan Yapi sedang berlatih di kawasan Bintaro.

Ketika sinar matahari mulai menghangat, ketiganya kembali ke sasana, dan melanjutkan porsi latihannya di sana. Menu yang harus mereka lahap masih banyak.

Lompat tali setidaknya 5 ronde, masing-masing ronde 3 menit. Lalu berlatih memukul sand sack. Ada lagi latihan kelincahan kaki, menghindari pukulan, dan melakukan kombinasi pukulan.

Sebenarnya hanya ada empat pukulan utama dalam tinju, yaitu jab, straight, hook, dan uppercut. Namun para petinju melatihnya ratusan kali setiap hari, dengan berbagai kombinasi dan gerakan. Dalam seminggu ribuan kali mereka berlatih memukul.

Selain berlatih teknik dan kecepatan, semua petinju juga berlatih kekuatan dan stamina. Mereka harus siap bertanding 12 ronde tanpa kehabisan nafas. Mereka juga harus melatih otot-otot yang berpengaruh pada kekuatan pukulan serta otot-otot yang bakal sering terkena pukulan, seperti otot perut.

Maka setelah latihan pagi, masih ada lagi latihan sore. Menunya beragam. Tapi lari dan lompat tali wajib dilakukan. Setelah itu, sit up, plank, dan berbagai latihan lain untuk otot perut, termasuk menahan bola seberat 5 kilogram yang dijatuhkan tepat di atas perut.

Di sasana juga tersedia 3 ban traktor berukuran besar yang bukan merupakan hiasan. Ban-ban itu digunakan para petinju untuk melatih otot-otot besar.

Caranya mengangkat dan menggulingkannya ke depan di sepanjang jalan depan sasana, lalu kembali lagi. Saya mencoba mengangkat salah satu ban, dan benda itu sama sekali tidak bergerak walau seluruh tenaga dikerahkan. Apa yang tampaknya mudah mereka lakukan ternyata sulit bagi orang yang tidak terlatih.

Rasa bosan tentu ada, tapi semua petinju sepakat pada apa yang dikatakan Muhammad Ali:

"I hated every minute of training, but I said, 'Don't quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion."
-Muhammad Ali.

Kapan latihan usai? Dunia tinju punya semboyan, “Kami tidak menyudahi latihan karena capek. Kami beristirahat bila memang sudah selesai.”

Pernah suatu ketika salah seorang petinju menyatakan dirinya merasa mau muntah karena latihan yang berat. Jawaban Vicky sebagai pelatih, “Nggak apa-apa. Muntah saja, tapi selesaikan latihannya.”

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO & ARI PRASETYO

Untuk bisa bertahan dalam latihan seperti itu, seorang petinju harus disiplin. Selain latihan, mereka juga harus disiplin dalam hal makanan, juga waktu istirahat.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Tinju Adalah Jalanku

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Di ijazahnya, nama Jansen Hebi Marapu tertulis Arnoldus Yanssen Hebi. Ia adalah sarjana yang semula dilarang keluarganya menjadi petinju.

Orangtuanya berharap dia menjadi guru, sehingga dia harus kuliah. Namun keinginannya bertinju membuat Jansen remaja sembunyi-sembunyi latihan.

Di kampung halamannya di Waingapu, Sumba Timur, Jansen biasa menyelinap ke sasana tinju sepulang sekolah. “Orangtua kuatir saya tidak selesai sekolah. Maka saya harus diam-diam berlatih,” ujarnya.

Belakangan melihat minat dan keinginan kuat Jansen untuk bertinju tak terbendung, akhirnya dicapai kesepakatan. “Saya berjanji menyelesaikan kuliah, baru saya akan bertinju,” cerita Jansen.

Maka selepas kuliah, ia pindah ke Jakarta dan berlatih serius untuk menjadi petinju profesional. Nama neneknya, Hebi, ia sematkan sebagai nama di atas ring. Di belakangnya ia tambahkan Marapu.

“Nama saya Jansen. Tapi di ijazah tertulis Yanssen,” kata Jansen. “ Sedangkan Marapu adalah kepercayaan asli Sumba. Saya pakai nama itu, untuk menunjukan bahwa saya berasal dari Sumba dan saya berpegang pada adat,” kata Jansen.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Agar bisa berlatih intensif, Jansen memilih tinggal di sasana Wiem Sapulette Boxing Club (WSBC). Di sana ia juga membantu melatih anak-anak bertinju. “Saya senang dengan anak-anak. Mereka bersemangat sekali berlatih,” ujarnya. Ia seolah melihat dirinya sendiri saat remaja ketika tergila-gila pada tinju.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Sedangkan Zepnat Tamaelasapal yang biasa dipanggil Ale atau Dance, mengenal tinju justru saat dia terpuruk.

Pria asal Kampung Kaibobu, Pulau Seram, Maluku itu bercerita, pada suatu hari di masa remajanya, ia pernah terlibat perkelahian. Ia dikeroyok beberapa orang.

Saat terdesak, tangannya meraih parang yang ada di dekatnya. Parang terayun, dan salah satu penyerangnya terkena sabetan. Peristiwa itu membuatnya dikurung di balik jeruji besi.

Dalam kondisi “terbuang” dan dicabut dari keluarganya itu, ia berkenalan dengan seorang pelatih tinju di lingkungan penjara. Di sanalah ia mulai berlatih untuk mengisi hari-harinya.

Selepas dari bui, pelatih itu mengajaknya bergabung di sasana. Selain berlatih, ia juga diberi tugas memasak bagi para petinju lain.

“Bila selesai masak dan pekerjaan lain sudah dilakukan, saya ikut latihan tinju,” ujar pemuda yang selalu tersenyum saat bicara itu.

Kelincahannya dalam bertinju membuat teman-temannya menjuluki dia The Grasshopper, Si Belalang.

“Karena pelatih melihat saya berlatih keras, maka saya dikirimkan ke Jakarta. Makanya saya bisa berlatih di sini,” lanjutnya.

Jansen dan Ale bukan satu-satunya yang tertarik pada tinju. Yapi, rekan mereka yang juga tinggal di sasana memiliki mimpi yang sama.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Berbeda dengan Jansen dan Ale yang beruntung boleh tinggal di sasana sehingga mudah untuk latihan, nasib petinju muda lain, Giga Volt, lebih mengenaskan. Kondisi ekonomi orangtuanya tidak memungkinkan dia leluasa bertinju.

Padahal sejak Kelas 6 Sekolah Dasar, sulung dari enam bersaudara itu sudah tertarik pada tinju. Sasana yang berdiri di dekat rumah kontrakannya saat itu membuat ia akrab dengan pemandangan orang-orang memukul sand sack dan melakukan sparring.

Selepas SMA Giga pun menentukan jalannya. Selain karena tidak punya biaya kuliah, Giga menganggap tinju lebih cocok dan menjanjikan baginya.

Namun jalan itu tidak mudah. Bergabung dengan sasana sama artinya dengan membiarkan ayahnya bekerja sendiri. Sekarang pemuda 23 tahun itu musti membantu bapaknya memperbaiki AC dan barang-barang elektronik milik orang lain. Hasilnya dipakai untuk hidup dan biaya sekolah adik-adiknya.

Jangankan jalan-jalan ke mal, nongkrong bersama kawan-kawan pun hampir tak pernah dilakukannya. Giga harus pandai-pandai memanfaatkan waktu luangnya untuk mengejar mimpi di dunia tinju.

Saat tidak ada panggilan memperbaiki AC, dia berlatih di rumah kontrakan orangtuanya di sebuah gang sempit di Kemandoran yang penuh sesak dengan barang elektronik bekas.

“Dia saya belikan sand sack dan sarung tinju bekas untuk berlatih di kamar,” ujar Irianto, bapak Giga.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Yang dimaksud “kamar” di sini bukanlah kamar pribadi Giga. Kamar itu sebenarnya bagian dalam dari rumah kontrakan yang dipakai untuk tidur orangtua Giga dan enam anaknya.

Di situ ada tempat tidur tingkat, kasur-kasur yang dilipat, TV kecil, kompor, lemari pakaian dan segala macam perlengkapan.

Di antara barang-barang itu ada kayu melintang yang bertumpu pada lemari dan tempat tidur. Di situlah Giga menggantung sand sack-nya. Entah apa isinya, namun sand sack itu sangat keras sehingga harus dibungkus lembaran karet.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Di tempat lain, di Cibinong, Surya Panjaitan memiliki mimpi serupa. Selepas SMA, pemuda asal Sumatera Utara itu pergi ke Jakarta untuk mendaftar menjadi tentara. Ia berharap kemampuan bela diri mulai dari karate, silat, hingga tinju, akan membuat jalannya mulus menjadi serdadu.

Namun nasib tidak mengantarnya menjadi anggota TNI. Dia tidak lolos seleksi dan “terdampar” di Cibinong. Di sana Surya berteman dengan anak mantan atlet tinju bernama Dominggus. Pria asal Flores itulah yang kemudian mengajaknya berlatih lagi.

Dominggus pula yang berupaya agar Surya bisa berlaga di atas ring. Ia memberi latihan keras agar Surya siap. Keterbatasan alat dan tempat tidak membuatnya putus asa.

Sebagai usaha agar Surya bisa bertanding, Dominggus mengetuk pintu warga di sekitar tempat tinggalnya agar ada yang bersedia menjadi sponsor. Salah satu yang ia datangi berkali-kali adalah Haji Azuar Baday, pengusaha distribusi bahan bakar.

“Berulang kali dia datang. Ke manapun saya pergi, dia mengikuti,” ujar Haji Azuar. “Akhirnya saya pikir, ya, sudahlah. Saya kasih modal untuk bertanding,” kata Azuar.

Berkat bantuan itu, Surya dan Dominggus bisa menyewa mobil untuk datang ke pertandingan. Belakangan cerita itu pula yang menjelaskan mengapa jubah dan celana tinju yang dipakai Surya bertuliskan “H Azuar Baday.”

Kini Surya mantab menjadi petinju. “Saya ingin jadi petinju selamanya. Saya ingin jadi juara,” katanya.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Serupa dengan Surya, Rio Donaire Nainggolan juga bercita-cita jadi tentara. Namun ia juga menjalani hobbynya bertinju. Pada suatu titik dalam hidupnya, ia memutuskan untuk mencari uang dengan bertinju.

“Saya dari keluarga susah, Bang. Hidup pas-pasan. Maka saya harus berprestasi di tinju agar keluarga bisa hidup lebih baik,” katanya.

Sebagai anak sulung, Rio merasa nasib keluarganya ada di pundaknya. Ia pun meninggalkan kampungnya di Bukit Tinggi untuk menjadi petinju di Jakarta.

Untuk memenuhi biaya hidup, Rio menyediakan jasa pengawalan serta memberi latihan privat bertinju. Salah satu muridnya kemudian mendukungnya untuk berprestasi lebih jauh dan bersedia menjadi manajernya.

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO & ARI PRASETYO

Jansen, Ale, Giga, Surya, dan Rio melalui jalan berbeda dalam mengenal tinju. Namun kini semuanya menjadikan tinju sebagai jalan hidupnya. Mereka memiliki mimpi yang besar. Mimpi yang melampaui keterbatasan mereka saat ini. Mimpi yang akan terus mereka perjuangkan. Mimpi menjadi juara dunia!

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Menggapai Mimpi

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Hari itu, Kamis 18 Februari 2016, Vicky Permana Putra tampil berbeda. Biasanya ia mengenakan celana pendek, kaos dan sneakers.

Tapi kali ini ia memakai baju batik, celana kain dan sepatu kulit berwarna cokelat. Ya, hari ini ia berganti peran, bukan sebagai pelatih, tapi promotor.

Peran ini diambil Vicky karena sedikit saja kesempatan bagi petinju muda untuk naik ring. Padahal naik ring bagi seorang petinju adalah pembuktian atas latihan berat yang sudah ia jalani.

Hari Kamis adalah hari penimbangan badan. Sasana WSBC yang berdinding bata ekspos merah itu mendadak ramai oleh pemuda-pemuda berotot dan berwajah sangar. Namun begitu, sorot mata yang tajam berganti wajah ramah saat mereka tersenyum memperkenalkan diri.

Jansen, Ale, Giga, Surya dan Rio ada di antara mereka. Semuanya beruntung diundang untuk ikut bertanding.

Sebagian besar para petinju itu belum pernah saling bertemu. Mereka juga tidak tahu yang mana yang akan menjadi lawan mereka. Maka saat mereka membaca jadwal pertandingan, mereka mencari-cari yang mana gerangan yang akan dihadapi di atas ring.

“Sudah dapet lawannya?” tanya Jansen pada Ale.

“Belum tahu yang mana Pace,” jawab Ale.

Bila Ale masih mencari siapa yang akan dihadapinya di atas ring, Jansen sudah tahu lawannya. Ia melihatnya saat bertanding dua bulan lalu di Bulungan. Pria itu bernama Yacobus Dolu alias Jack Dolu, petinju berwajah dingin asal Bajawa, Flores.

“Saya melihatnya di Bulungan. Dia lebih senior dari saya. Saat itu saya bertanding empat ronde, sedangkan dia enam ronde,” kata Jansen. “Saat saya lihat dia, saya bilang pada pelatih, saya bisa lawan dia,” lanjut Jansen.

KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO
Pemeriksaan kesehatan petinju sebelum bertanding

Sekitar pukul 11.00 acara penimbangan dimulai. Dua belas petinju yang akan bertanding diperiksa kesehatannya untuk diputuskan apakah mereka layak bertanding atau tidak.

Pemeriksaan dilakukan di atas ring di sasana, tempat Jansen dan Ale tidur. Para petinju berbaring untuk dicek kondisi fisiknya, denyut nadi, serta tekanan darah mereka oleh dokter yang bertugas. Semuanya lolos.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Setelah itu, satu per satu petinju melepaskan pakaiannya, hingga tinggal mengenakan celana dalam atau boxer, lalu naik ke timbangan. Sebagian besar naik ke timbangan dengan mulut kering karena menahan lapar dan haus agar beratnya tidak berlebih.

Hanya Jansen dan Ale yang sudah terbiasa menggunakan timbangan itu naik dengan percaya diri. Keduanya sudah tahu berat badan mereka masuk dalam persyaratan.

“Kami sudah timbang sejak kemarin. Aman, jadi tidak perlu puasa dan lari,” ujar Ale.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Namun Giga Volt mengalami masalah dengan bobotnya. Ia kelebihan 2 kilogram untuk bisa bertanding. Maka ia diberi kesempatan sekitar satu jam untuk menguranginya. Giga pun segera mengenakan bajunya, melapisinya dengan jaket parasut, dan berlari di bawah terik matahari.

Selama waktu itu, Giga tidak diperkenankan makan atau minum apapun. Bahkan ia diminta mengunyah permen karet agar air ludahnya mudah dibuang. Intinya, ia harus membuang sebanyak mungkin air di tubuhnya dalam waktu kurang dari satu jam.

“Tadinya ia sudah mengatur makanannya. Tapi beberapa hari terakhir, ia sakit sehingga saya suruh makan agar saat bertanding dia sudah sembuh,” kata Irianto, ayah Giga, menerangkan soal kelebihan berat itu.

Setelah berlari, Giga pun ditimbang lagi. Kini beratnya sudah berkurang hampir 1,5 kilogram. Lawannya, Jacksen Koel Lopia dari Banteng Timur Boxing Camp menerima kondisi itu dan sepakat tetap bertanding.

Selain Giga, satu petinju lain juga kelebihan berat badan. Dia adalah John Belu Yohanes Hans dari Sasando FKPPI Boxing Camp, calon lawan Rio Doneiro Nainggolan.

Beratnya kelebihan 2 kilogram, namun ia tidak sanggup lagi berlari, karena sebelumnya sudah berpuasa dan berupaya menghilangkan air dari tubuhnya.

Sebagai ganti kelebihan bobot itu, disepakati John Belu harus menggunakan sarung tinju yang lebih berat saat bertanding besok. Ia akan mengenakan sarung 10 ons, sedangkan yang lain 8 ons.

Ketika semua pihak sepakat dengan angka di timbangan, para petinju menunjukkan wajah lega karena artinya mereka bisa makan dan minum.

Selain mengembalikan kondisi fisik, hari ini mereka harus mempersiapkan mental untuk bertanding besok. Mereka harus menanamkan keyakinan bahwa mereka bakal meraih mimpinya besok.

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO & ARI PRASETYO
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Hari Penentuan

Jumat, 19 Februari 2016 adalah hari pertandingan yang akan digelar di Sasana . Pukul 13.30 ponsel saya berdering. Suara di seberang sana adalah Dominggus, pelatih Surya Panjaitan.

“Saya sudah di jalan tol. Ini keluar di mana ya?” Dominggus bertanya lokasi pertandingan.

“Saya juga belum sampai Bang. Persisnya saya belum tau. Tapi keluar Karawaci, lalu ke arah Binong, dekat RS Siloam. Sasananya di sekitar sana,” jawab saya.

Belakangan saya mendapati sasana itu berada di ujung perumahan. Tempatnya tidak sebesar gelanggang di Bulungan atau Balai Sarbini tempat Daud Yordan bertanding bulan lalu. Tapi cukup untuk menampung seratusan penonton.

Sasana yang dibangun oleh Wiem Sapulette itu sejatinya rumah yang memiliki ruang cukup luas untuk diisi ring tinju dan menyisakan tempat berlatih di sekeliling ring. Atap sasana yang tinggi ditutupi semacam seng, namun memiliki bukaan besar di samping agar tidak terlalu gerah.

Di lantai dua bangunan di sebelah sasana ada ruang memanjang berisi sepuluh tempat tidur yang ditata bersebelahan. Di situlah para petinju bisa beristirahat. Suara kipas angin terdengar saat saya masuk.

Jansen yang sedang tiduran langsung bangkit. “Maaf saya belum mandi. Silakan masuk, saya mandi dulu,” ujarnya.

Jansen bangkit dan mempersilakan kami masuk. Sedangkan Ale yang sedang mengepaskan celana yang akan dia pakai menyambut dengan senyum lebar. Ditanya soal rambutnya yang baru saja dipotong ala Mohawk, dia lagi-lagi tersenyum.

Sejak bertemu pertama kali, saya memang mendapati Ale sebagai pria yang sering tersenyum. Bahkan belakangan, saat saya memeriksa foto-foto pertandingannya, dia banyak tersenyum, baik saat dipukul maupun memukul.

Walau ini adalah kali pertama Ale bertanding secara profesional, namun ia tampak percaya diri. Mungkin ia berhasil menyembunyikan perasaan gugupnya di balik senyum, atau barangkali dia justru tak sabar untuk naik ring. Bagaimana perasaannya Pace? “Mantap,” jawab Ale sambil nyengir.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Ale adalah petinju pertama yang akan berlaga. Lawannya Yacobus Nong Jony dari HTW Boxing Camp Jakarta. Nong Jony juga sudah datang. Ia bersiap-siap di kamar yang lain.

Saat lagu-lagu berirama keras diputar, semakin banyak petinju yang datang. Mereka disertai pendukung dan pelatihnya. Dari wajah dan posturnya, kebanyakan pendukung berasal dari daerah yang sama dengan petinjunya.

Kostum mereka hampir serupa. Celana jeans, sepatu sneakers, kaos, jaket, topi baseball, dan kalung tasbih adalah benda-benda yang lekat di tubuh.

Menjelang pukul 16.00 pertandingan siap dimulai. Perempuan –perempuan pembawa papan ronde sudah selesai merias wajahnya. Penonton berjejal. Pembawa acara sudah berada di atas ring. Semua petinju sudah hadir, kecuali satu orang, Giga Volt!

Giga dan bapaknya baru muncul ketika partai pertama siap dipertandingkan. Baju keduanya basah oleh keringat, dan mereka masuk sambil menenteng helm.

Rupanya mereka berangkat dari Kemandoran ke Karawaci berboncengan mengendarai motor. “Jauh juga nih. Saya tadi masih harus nyari lokasinya,” ujar Irianto, bapak Giga. “Butuh waktu 2 jam untuk ke sini,” katanya.

Untung Giga bertanding di partai ke empat dari enam partai. Dia punya waktu sebentar untuk duduk dan mempersiapkan diri. Bermotor dua jam di siang yang panas tentu lumayan mengurangi tenaganya.

Zepnat Tamaelasapal alias Ale sudah siap sejam lalu. Sarung tinju sudah terpasang dan mukanya sudah licin diolesi krim. Ia melompat-lompat memanaskan tubuhnya, sambil sesekali meninju angin.

Setiap orang yang lewat diberinya senyuman. Saat pembawa acara menyebut namanya, ia bergegas naik ke atas ring di sisi merah.

Nong Jony, lawannya yang bertubuh lebih pendek namun gempal menyusul naik di sudut biru. Juri-juri duduk di empat sisi ring, dan wasit melangkah menuju tengah ring.

Nama Ale disebut lagi saat ia jongkok berdoa di sudutnya. Sedangkan Nong Jony di sudut lain mengatupkan tangannya yang berbungkus sarung tinju. Ia juga menyebut nama Tuhan dan memohon kemenangan.

Kedua petinju kemudian saling menyentuhkan tangannya, dan mundur selangkah. Wasit berseru, “Box” dan Ale secepat kilat melepaskan jab-nya ke wajah Nong Jony. Keduanya kemudian saling memancing dengan pukulan jab, dan memasukan straight setiap kali ada ruang terbuka.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Di tengah sorak sorai penonton dan teriakan pelatih, keduanya mulai mengkombinasikan pukulan. Bukan hanya wajah, perut pun menjadi sasaran. Walau pukulan datang bertubi-tubi, mata keduanya tetap awas.

Saya jadi teringat ucapan Muhammad Ali,

"Float like a butterfly, sting like a bee. The hands can't hit what the eyes can't see."
-Muhammad Ali.

Bel berakhirnya ronde pertama berbunyi. Ale dan Nong Jony kembali ke sudutnya. Duduk terengah-engah. Air ditumpahkan di kepala mereka. Instruksi pelatih dijawab dengan anggukan.

Seorang gadis tinggi semampai, berambut panjang naik ke ring. Papan ronde dia angkat. Lengan putihnya kontras dengan gelapnya kulit para petinju. Namun sorakan penonton tidak semeriah saat dua petinju berlaga, walau gadis bercelana ketat itu berjalan melenggak-lenggok penuh gaya.

Pada ronde dua dan tiga, Ale dan Nong Jony makin ganas saling menyerang. Keduanya ingin segera menjatuhkan lawan. Namun hingga ronde ke empat berakhir, kedua petinju masih berdiri. Kini perhitungan juri yang akan jadi penentu.

Juri pertama menyebut angka 99-98 untuk Ale. Si Belalang tersenyum. Juri kedua memberi nilai yang sama, juga untuk Ale. Juri ketiga pun sepakat, Ale lebih unggul.

Mendengar keputusan itu, Ale menunduk dan memejamkan mata, berdoa, lalu melompat girang. Sarung tangannya dilepaskan, sebelum ia menghampiri Nong Jony dan memeluknya.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Setelah Ale turun ring, giliran Surya Panjaitan berlaga. Lawannya bernama Fardian Fairus dari Crazy Bull Boxing Camp. Seperti Ale, ini adalah pertandingan profesional pertama Surya. Dominggus sang pelatih membawa anak-anak perempuannya untuk mendukung Surya.

Berbeda dengan Surya yang tidak banyak bicara, pendukungnya begitu gencar menyemangatinya. Sepanjang ronde mereka berteriak, “Jab, ayo jab... jab..”

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Berkali-kali Surya berhasil memasukkan pukulannya ke wajah dan tubuh Fardian. Namun di ronde ke-tiga, pukulan hook Fardian mendarat di ulu hati Surya. Pemuda itu limbung, nafasnya seperti terhenti, dan ia jatuh di kanvas ring.

Dominggus segera melompat ke dalam ring, mengeluarkan pelindung yang menyumpal mulut Surya, dan mengangkat tangannya agar ia bisa bernafas lebih mudah. Anak-anak perempuannya terdiam, sementara kubu Fardian bersorak atas kemenangannya.

Saat Surya dibawa keluar dari ring, Rio Nainggolan sudah bersiap untuk bertanding. Celananya bertuliskan Filipi 4:13, seperti celana yang sering dipakai Evander Holyfield. Menurut kitab suci, ayat itu berbunyi, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Rio adalah petinju yang lincah. Kakinya sering digerakkan maju mundur seperti gaya Muhammad Ali. Berulang kali ia menghindar dari pukulan John Belu Yohanes Hans dengan menunduk, bergeser ke samping, atau menyorongkan wajahnya ke belakang.

Karena gayanya itu, kubu John Belu dibuat kesal. Teriakan, “Hei jangan main-main..” berulang kali terdengar. Namun Rio tetap menggunakan gaya itu, memancing emosi lawan.

John Belu dibuatnya mengejar terus. Tapi Rio mencuri kesempatan berulang kali dengan memasukkan pukulannya. Pada ronde ke-tiga, emosi John Belu membuatnya membabi buta memukul. Rio memanfaatkan itu dengan memukul perut John, membuatnya tumbang. John masih tergeletak saat hitungan wasit berakhir di angka sepuluh. Rio menang.

Pertandingan selanjutnya adalah antara Giga Volt melawan Jackson Koel Lapie, petinju asal Wamena , Papua. Saat namanya disebut, Giga pun bergegas naik ke atas ring. Namun terjadi pembicaraan dengan juri selama beberapa saat, dan Giga turun lagi.

Giga kemudian menghampiri Ale. Ternyata celana tinjunya dianggap tidak memenuhi syarat sehingga ia harus meminjam celana pada Ale.

Menurut Irianto, ayah Giga, celana yang dibawa Giga adalah celana baru yang dia belikan untuk pertandingan ini. “Harganya Rp 40 ribu. Tapi ternyata dibilang tidak cocok,” kata Irianto.

Celana Giga memang lebih mirip celana basket yang dijual di lapak-lapak. Celana itu mudah melorot. Akhirnya Giga memakai celana Ale yang berwarna merah, dan naik lagi ke atas ring.

Di sana Jackson Koel Lapie sudah menunggu. Petinjuyang wajahnya dihiasi cambang itu sudah tujuh kali bertanding di kancah profesional. Rekornya empat kali menang dan tiga kali kalah. Sedangkan Giga baru pertama kali maju ke dunia pro.

Berhadapan dengan Jackson, Giga seperti anak-anak yang berhadapan dengan orang dewasa. Ini bukan soal umur, tapi masalah penampilannya. Wajah Giga polos seperti remaja kebanyakan, sementara Jackson terkesan lebih matang.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Saat wasit memberikan aba-aba, Giga segera merangsek maju. Dia mengandalkan kekuatan pukulan, sementara Jackson lebih paham soal teknik.

Seruan-seruan mendukung lebih banyak diteriakkan kubu Jackson, karena memang ia datang dengan rombongan besar. Sedangkan teriakan dukungan bagi Giga hanya berasal dari ayahnya seorang. Mereka hanya berdua menghadiri laga itu.

Menurut ayahnya, Giga mempersiapkan ronde awal untuk menerima pukulan. “Tenaganya saya suruh simpan untuk ronde lima dan enam. Di situ dia saya suruh memukul jatuh lawan,” kata Irianto.

Namun rencana itu tidak berjalan mulus. Kondisi di atas ring berbeda dengan skenario. Soal itu si leher beton Mike Tyson pernah berujar:

"Everyone has a plan 'till they get punched in the mouth"
-Mike Tyson.

Di atas ring petinju harus menyesuaikan dengan langkah lawannya. Ia harus memiliki banyak strategi, seperti orang bermain catur. Setiap langkah lawan, harus dihadapi dengan taktik yang sesuai.

Nah, karena perubahan situasi itu, perhatian Giga terpecah, antara harus menyimpan tenaga atau balas gencar menyerang. Pada ronde ketiga, ia berusaha mengubah permainan, namun posisinya menjadi lebih terbuka. Pada satu titik, Jackson berhasil menyarangkan pukulannya ke rusuk Giga, dan membuat teknisi AC itu roboh.

Giga turun dari ring dengan beberapa lebam di mukanya. Wajahnya kecewa, dan sorot matanya seolah berkata ia masih ingin bertanding. Namun wasit sudah memutuskan ia kalah KO. Dalam perbincangan kemudian, ia berharap bisa bertanding lagi.

Masih ada satu pertandingan lagi sebelum partai utama antara Jansen Hebi Marapu melawan Jack Dolu. Pada saat itulah mantan juara dunia Ellyas Pical datang ke tempat pertandingan. Om Elly, begitu para petinju memanggilnya, segera mendatangi Jansen.

“Jangan takut, tetap semangat, harus percaya diri,” begitu kata Ellyas Pical. Jansen pun mengangguk.

Jansen sebenarnya sudah tidak sabar ingin bertanding. Ia mondar-mandir menjaga tubuhnya tetap siap. Kadang-kadang ia melakukan shadow boxing, di kala lain ia memukul mitt punch.

Jubah hitamnya berkilat terkena sinar lampu. Seperti celananya, jubah itu bersulamkan nama “HEBI” menggunakan benang perak. Pelisir merah menghiasi tepiannya. Baik jubah dan celana itu adalah pakaian baru yang dibuat sebelum pertandingan ini.

Saat pertandingan kelima selesai, panitia ternyata memberi jeda waktu istirahat. Jansen sekali lagi harus menunggu sekitar satu jam. Beberapa kali ia bangkit dari tempat duduknya dan kembali memanaskan ototnya. Beberapa kali pula Ale menghampiri dan memijat pundaknya.

Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Waktu menunjukkan pukul 18.00 lebih. Pembawa acara meminta penonton masuk kembali. Jansen bangkit, melepas topinya,menghadap ke tembok, dan berdoa.

Ia kemudian melangkah menuju ring. Jack Dolu pun menyusul. Tapi mereka belum bisa bertanding. Partai utama itu didahului sambutan oleh beberapa tokoh.

Jansen pun kembali menunggu. Setelah sekitar 30 menit, saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pembawa acara memperkenalkan para petinju dan laga siap dimulai.

Wasit menyampaikan peraturan pertandingan pada dua petinju. Keduanya mengangguk setuju, dan “Box”, pertandingan dimulai.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Jansen melakukan pancingan dengan melempar jab-jabnya. Setiap kali Jack Dolu mengangkat tangan untuk menangkisnya, Jansen segera memasukkan hook dan uppercut ke arah perut. Bertubi-tubi pukulan Jansen ke samping rusuk Jack Dolu. Penonton bersorak ramai.

Belum sampai satu menit, uppercut kiri Jansen menohok rusuk Jack. Sempoyongan ia dibuatnya, lalu jatuh terlentang. Jansen mundur ke sudut putih saat wasit menghitung. Satu.. dua.. tiga... sampai hitungan ke sepuluh, Jack Dolu belum bisa bangun.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Wasit pun membuat tanda silang dengan tangannya, tanda pertandingan selesai. Jansen Hebi Marapu menang KO kurang dari semenit bertanding. Ia mengangkat tangannya, tersenyum lebar.

Ale segera meloncat ke dalam ring. Bertelanjang kaki, ia mengangkat Jansen dan menggendongnya berkeliling. Ale kemudian meloncat-loncat kegirangan seperti anak kecil mendapat hadiah. Ring pun penuh dengan orang yang merayakan kemenangan itu.

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO & ARI PRASETYO

Di sisi lain, dokter dan pelatih Jack Dolu berusaha memulihkan kondisi petinju tersebut. Saat Jack kemudian bisa duduk, Jansen menghampirinya, memeluk dan menepuk pundaknya.

Seperti semua pertandingan tinju, hari itu ada yang menang dan ada yang kalah. Kemenangan tidak membuat para petinju berpuas diri, sedangkan kekalahan tidak membuat mereka berhenti.

Ditemui setelah pertandingan, Giga Volt dan Surya Panjaitan mengaku tidak kapok dengan kekalahan itu. “Saya akan terus bertinju,” ujarnya.

Kekalahan hari ini, bukan berarti kekalahan dalam hidup.

Dalam kesempatan lain, mereka bisa saja menang, dan yang menang bisa jadi kalah. Sebagai petinju, menang dan kalah telah menjadi bagian hidup.

Menang dan kalah juga bagian dari hidup semua orang. Karena kehidupan tidak jauh beda dengan ring tinju. Pemenangnya bukan mereka yang memiliki pukulan paling keras, namun mereka yang meski dipukul berkali-kali tetap maju, mereka yang walau jatuh berulang-ulang tapi selalu bangkit.

Jadi apapun hasil pertandingan yang dihadapi, Jansen, Ale, Giga, Surya, dan Rio tetap akan bertinju. Mereka sudah memilih jalan ini. Jalan para petarung… jalan tinju.

"Seorang pemenang bukanlah mereka yang memiliki pukulan paling keras, namun mereka yang meski dipukul berkali-kali tetap maju, mereka yang walau jatuh berulang-ulang tapi selalu bangkit."

Produser
Agustinus Wisnubrata

Penulis
Agustinus Wisnubrata

Fotografer
Kristianto Purnomo

Video Editor
Ari Prasetyo

Kreatif
Lilyana Tjoeng,
Cassandra Etania
Bangkit Wijanarko


Copyright 2016. Kompas.com