Scroll

Di era digital seperti sekarang, masyarakat modern diberikan kemudahan untuk menjepret momen berharga, mengeditnya, lantas membagikannya ke media sosial dengan praktis dan instan. Tak perlu keluar modal untuk beli rol film dan mencuci rol itu untuk melihat hasilnya. Meski demikian, ada sebagian orang yang masih rindu dengan proses ruwet nan lawas. Mereka adalah para pehobi kamera film. Peredaran konten dari pehobi kamera film bisa diintip di Instagram, dengan memasukkan tanda pagar alias hashtag #indo35mm, #35mm, #35mmfilm, #35mmfilmphotography, #filmisnotdead, dan sejenisnya.

Umumnya para pehobi kamera fim adalah generasi millennial yang sejatinya lahir ketika teknologi kamera semakin canggih dan instan. Beberapa public figure pun turut meramaikan tren kamera film di Instagram.

KENAPA KAMERA FILM DIGANDRUNGI OLEH ANAK MUDA

“Menjepret dengan kamera film memberi kita kesempatan untuk berpikir dan menduga-duga hasil foto kita nantinya. Selain itu, kamera film juga memberikan kita pilihan rol film yang bisa kita gunakan sesuai kebutuhan dan keperluan masing-masing.”

Renaldy Fernando -Pendiri toko perkakas kamera film “JellyPlayground”.

Feel-nya lebih klasik dan benar-benar terasa efek nostalgianya. Kadang suka lupa pernah jepret foto tertentu, pas dicuci ada semacam efek throwback.”

Fahmy Siddiq -Pendiri ruang kreatif SAKA Space.

“Kamera film mengajarkan kita untuk lebih menghargai proses dan karya foto. Jadinya lebih berhati-hati dan berpikir kalau mau bertindak dengan kamera film,”

Azmi Mudhoffar -Fotografer freelance.

“Saya lihat hasil-hasil foto dari kamera film kok beda ya. Saya tidak merasa lebih bagus atau keren, tapi beda saja, ada rasa lain,”

Teuku Adifitrian alias Tompi -Pendiri laboratorium cuci film “Soup n Film”.

Kamera film telah menjadi bagian tak terpisahkan dari para pehobi fotografi. Lebih dari sekadar alat, kamera film yang digunakan merefleksikan karakter penggunanya. Dalam perjalanannya, tipe kamera film yang beredar terus bertambah seiring perkembangan teknologi dari masa ke masa.

Photo credit: Fahmi Siddiq
Photo credit: Fahmi Siddiq
KILAS BALIK
Metode kamera menggunakan rol film pertama kali diperkenalkan George Eastmen pada 1885. Ia kemudian mendaftarkan merek “Kodak” pada 1888 dan menyebarluaskan fotografi ke khalayak umum. Ini menjadi cikal bakal hadirnya seluloid untuk film bergerak dan berujung pada kelahiran industri film layar lebar.
Kamera film makin beragam modelnya, mulai dari yang berbentuk kotak hingga kamera lipat. Harganya pun sudah bisa dijangkau masyarakat luas sehingga fotografi tak lagi menjadi hobi elitis. Pada 1911, Oskar Barnack mengkonstruksi kamera film 35mm yang menghasilkan perbesaran gambar dengan kualitas apik sehingga disebut pula kamera full frame. Ur-Leica menjadi jenis kamera film 35mm pertama di dunia dan baru dijual luas pada 1923. Sejak saat itu, banyak perusahaan lain turut memproduksi kamera film 35mm.
Pada 1933, muncul kamera SLR (single-lens reflex) sebagai pengembangan dari kamera TLR (twins-lens reflex) yang diperkenalkan Franke dan Heidecke Rolleiflex. Pada SLR, terdapat satu lensa yang sudah dikombinasikan dengan sensor gambar untuk penangkapan foto yang lebih praktis. Kamera SLR 35mm pertama kali dirilis perusahaan bernama Asahi Optical dengan nama "Asahiflex". Pada 1950, kamera SLR banyak beredar di pasaran dengan merek Canon, Yashica, Nikon, dan lainnya.
Era ini ditandai dengan kemunculan kamera analog pada 1981. Mekanisme kamera analog adalah menangkap gambar dengan mengubah spektrum cahaya menjadi sinyal listrik (analog) kemudian dikonversi menjadi data digital lewat converter. Kamera analog pertama adalah Sony Mavica. Di era digital, kamera film sering kali disebut kamera analog padahal kamera digital sekalipun sebenarnya menangkap gambar dengan proses analog.
Masa kejayaan kamera film mulai beralih ke kamera digital sejak akhir abad ke-20 hingga sekarang. Kamera digital pertama kali dipopulerkan Fuji pada 1989. Format film digital menjadi JPEG dan MPEG. Pada 1999, muncul kamera DSLR yang diperkenalkan Nikon. Kamera ini mampu menghasilkan gambar yang sangat baik dan beresolusi tinggi.
KOMPONEN KAMERA FILM
  • 1

    Rewinding Crank/
    Tuas penggulung

  • 2

    Kenop pemilih kecepatan sinkronisasi shutter dengan lampu flash

  • 3

    Accessory shoe/
    untuk memasang aksesori seperti lampu flash

  • 4

    Winding lever/
    Tuas pengokang film

  • 5

    Kenop pengatur kecepatan shutter

  • 6

    Shutter release/
    Tombol untuk melakukan exposure

  • 7

    Counter jumlah frame yang tersisa dari rol film yang terpasang

  • JENIS KAMERA FILM
    Kamera film 135 (35mm, full frame)
    • Paling umum digunakan dan mulai dipopulerkan perusahaan kamera asal Jerman, Leica, pada awal abad ke-20.
    • Ukuran fisiknya lebih kecil dibanding kamera lain pada masa itu.
    • Memiliki beberapa jenis, seperti rangefinder, kamera saku (compact), SLR, dan kamera instan (Polaroid).
    Kamera film 120 (62mm, medium format)
    • Ukuran kameranya lebih besar
    • Satu rol film 120 biasanya berisi 12 atau 16 frame.
    • Pengolahannya lebih sulit dan lebih jarang ditemukan dibandingkan film 135.
    Kamera sheet film (large format)
    • Biasanya film berukuran terbesar ini hanya digunakan di view camera/land camera tua, yang ukurannya sangat besar dan mesti duduk di atas tripod.
    Photo credit: Fahmi Siddiq
    TIPE ROL FILM
  • Film negatif (print film)
  • Film negatif menghasilkan warna-warna yang terbalik dibandingkan scene aslinya di dunia nyata. Area gelap menjadi terang, hitam menjadi putih, dan seterusnya. Saat dicetak, film negatif melalui proses inversi untuk “membalik” warna agar tampil sesuai aslinya. Film negatif biasanya memiliki warna dan kontras yang halus, serta rentang tonal (dynamic range) yang luas sehingga lebih toleran terhadap kesalahan exposure.

  • Film positif (reversal/slide)
  • Film positif atau slide menghasilkan gambar yang sedari awal memiliki warna-warna sesuai scene aslinya sehingga tidak perlu diinversi seperti film negatif. Selain dicetak, iframe dari film ini bisa langsung dipasang di slide untuk proyeksi. Film positif cenderung memiliki saturasi warna dan kontras yang tinggi, tapi rentang tonalnya tidak seluas film negatif sehingga lebih rentan terhadap kesalahan exposure.

    ISTILAH-ISTILAH KAMERA FILM
  • A
    Aperture atau F-stop
    ap·er·ture [ap-er-cher]
    1 dari 13
  • D
    Darkroom [dahrk-roo m]
    text
    2 dari 13
  • D
    Depth of Field [depth-of-feeld]
    text
    3 dari 13
  • D
    Developer [dih-vel-uh-per]
    text
    4 dari 13
  • F
    Focal length [fō'kəl-lengkth]
    text
    5 dari 13
  • F
    Film [film]
    text
    6 dari 13
  • F
    Film Winder [film-wahyn-der]
    text
    7 dari 13
  • F
    Fixer [fik-ser]
    text
    8 dari 13
  • G
    Grain [greyn]
    text
    9 dari 13
  • I
    ISO atau ASA
    text
    10 dari 13
  • L
    Lightmeter [lahyt-mee-ter]
    text
    11 dari 13
  • S
    Shutter [shuht-er]
    text
    12 dari 13
  • S
    Stop Bath [stop-bahth]
    text
    13 dari 13
  • Bukaan pada lensa (entrance pupil) yang dilalui oleh cahaya untuk mencapai sensor (kamera digital) atau film (kamera film). Lebar bukaan ini bisa diatur. Semakin lebar, maka akan semakin banyak cahaya yang masuk.

  • Ruangan yang sengaja dibuat kedap cahaya dan digunakan untuk mengembangkan, memproses, serta mencetak foto dari rol atau lembaran film.

  • Area tajam saat benda-benda dalam frame akan tampil fokus (tajam dan tidak buram). Luas area tersebut biasanya bergantung pada pengaturan aperture atau bukaan diafragma kamera.

  • Cairan kimia yang digunakan untuk menghilangkan lapisan pertama pada film dan membuat gambar laten yang terekam di dalamnya kelihatan. Selama cairan kimia ini masih menempel di film, maka proses pengembangan gambar, seperti menaikkan kontras, terus berlangsung.

  • Jarak antara titik fokus dengan film atau sensor kamera, ketika lensa diatur pada posisi fokus infinity. Semakin kecil angkanya, maka cakupan bidang pandang lensa semakin lebar (wide). Sebaliknya, semakin besar angkanya, maka cakupan bidang pandang lensa akan semakin sempit (tele).

  • Istilah ini mengacu pada lembaran yang digunakan sebagai alat sekaligus wadah merekam gambar. Film menggunakan reaksi kimia perak halida yang sensitif cahaya untuk menangkap gambar laten di tiap frame yang terekspos. Gambar laten ini lantas perlu diproses lewat "pencucian" menggunakan bahan kimia lain untuk membuatnya menjadi permanen.

  • Alat ini ada dalam bodi kamera film dan berfungsi untuk memutar roll fan. Proses pemutaran rol tersebut bisa dilakukan manual atau otomatis, tergantung jenis kamera yang digunakan.

  • Bahan kimia yang digunakan dalam proses cetak film. Tujuannya membuat film atau hasil cetak kehilangan sensitivitas terhadap cahaya. Dengan demikian gambar yang sudah dicetak tidak akan berubah. Tahap ini dilakukan setelah film melalui proses developing dan stop bath.

  • Tekstur bintik-bintik kecil yang muncul dalam hasil cetakan kamera film. Butiran-butiran grain berasal dari partikel kimia yang bereaksi terhadap cahaya.

  • ISO dan ASA adalah tingkat sensitivitas medium perekaman gambar terhadap cahaya. Pada kamera digital, istilah yang biasa digunakan adalah ISO sedangkan pada kamera analog, biasanya disebut juga sebagai ASA.

  • Perangkat untuk mengukur asupan cahaya, sehingga membantu fotografer menentukan apakah pengaturan kameranya sudah sesuai atau bakal membuat foto jadi over exposed (terlalu terang) maupun under exposed (terlalu gelap).

  • Perangkat serupa "tirai" dalam kamera yang mengatur keluar masuknya cahaya untuk mengekspos film. Durasi terbukanya shutter bisa diatur dan akan mempengaruhi hasil pemotretan. Semakin cepat waktunya, maka gerakan benda-benda yang tertangkap kamera akan tampak tajam dan jelas.

  • Tahap ini berguna untuk menghentikan proses pembentukan gambar yang dimulai oleh cairan kimia developer. Proses ini biasanya menggunakan air atau carian dengan kandungan asam asetat, tergantung kebutuhan pengembangan film tersebut.

  • KAMERA DIGITAL vs KAMERA FILM
    Bentuk hasil akhir
    Digital
    Film
    Credit: Co founder Soup n Film, Jerry Surya

    Hasil akhir kamera film berupa gambar laten di lembaran film yang mesti dimunculkan dan dibuat permanen lewat proses development dengan sejumlah cairan kimia, kemudian diperbesar (enlarge) sesuai kebutuhan untuk dicetak di kertas film. Jumlah frame foto film yang bisa disimpan dalam satu media (rol film) jauh lebih sedikit dibandingkan kamera digital (kartu memori). Satu rol film 135 misalnya, hanya berisi 36 frame.

    “Noise” dan “grain”

    Di hasil jepretan kamera digital dan film kadang muncul “tesktur” berupa bintik-bintik. Di foto digital, bintik-bintik ini lazim disebut noise. Asalnya dari gangguan sinyal yang dihasilkan oleh sirkuit elektronik penangkap gambar, entah karena panas atau perubahan sinyal listrik. Tekstur bintik-bintik serupa di jepretan kamera film disebut sebagai grain. Sebabnya bukan berakar dari gangguan sinyal, melainkan partikel-partikel kimia dalam lembaran film.

    Dynamic range

    Kemampuan dynamic range salah satunya menentukan apakah subyek foto yang mengalami backlight akan gelap total atau masih terlihat raut wajahnya. Semakin tinggi dynamic range, semakin baik pula kemampuan sensor kamera digital atau film untuk menangkap semua detil foto di area gelap dan terang. Dynamic range kamera digital awalnya tertinggal dari film. Namun sensor digital modern kini sudah mampu menghasilkan dynamic range yang bisa menandingi atau melewati kemampuan film.

    Sensitivitas terhadap cahaya

    Di kamera film, rating sensitivitas hanya bisa diubah dengan mengganti film karena masing-masing film memiliki rating sensitivitas individual yang berbeda, misalnya ASA 50 dan ASA 400. Film modern biasanya tersedia dalam rating sensitivitas ISO 50 hingga 3.200.

    Karakter
    Digital
    Film
    Credit: Co founder Soup n Film, Jerry Surya

    Film memiliki “karakter” tampilan yang berbeda-beda antar-merek dan jenisnya. Film slide Fujifilm seri Velvia, misalnya, dikenal menghasilkan warna dengan saturasi dan kontras tinggi sehingga tampak mencolok dan sesuai untuk foto-foto pemandangan. Film negatif Kodak Portra cenderung menghasilkan warna dan kontras lebih halus yang cocok untuk dipakai memotret orang. Sementara, film negatif hitam-putih Kodak Tri-X memiliki karakter kontras dan grain yang terlihat agak kasar tapi banyak disukai.

    Sensor kamera digital pun memiliki karakter, tergantung tipe dan konstruksi sensor, serta software pengolah gambar yang digunakan untuk menghasilkan foto akhir. Masing-masing pabrikan kamera digital punya “resep” olahan gambar sendiri untuk menghasilkan tampilan yang khas.

    Photo credit: Fahmi Siddiq
    TIPS MENJEPRET DENGAN KAMERA FILM
    Menurunkan tempo memotret

    Ketika memotret digital, tempo cenderung cepat karena bisa mengambil foto sebanyak mungkin lalu memilih satu yang paling bagus. Menurut fotografer profesional, Haryanto R. Devcom, prinsip tak berlaku pada penjepretan dengan kamera film. “Eksposur mesti diperhitungkan dengan baik, dipertimbangkan mana yang mau dibuat gelap, gelap sekali, gelap tapi abu-abu dan lainnya. Setelah itu baru dijepret,” kata dia.

    Memahami pengukuran cahaya

    Masih menurut Haryanto, pehobi kamera film harus bisa mengukur cahaya, baik menggunakan lightmeter dari kamera atau smartphone. Kuncinya adalah lighmeter itu mesti konsisten, sehingga bisa ditebak ukurannya. "Setelah mulai slow down, mengenal eksposur dan bisa menghasilkan foto yang “kelihatan”, maka baru mulai mendalami berbagai teknik lain. Misalnya mulai mempelajari komposisi, lalu cara memberikan mood dan cerita pada sebuah foto,” ia menuturkan.

    Konsisten dan sabar

    Menurut Tompi, pehobi kamera film yang masih awal sebaiknya konsisten menggunakan satu jenis rol. Jangan serta-merta ingin bereksperimen dengan banyak rol film sekaligus. Kalau sudah menguasai satu jenis rol film, barulah mulai mencoba jenis lain.

    MODAL MEMULAI HOBI KAMERA FILM
    KAMERA POKET
    Fujifilm DL-7
    Rp 258.000
    Olympus Superzoom 110
    Rp 300.000
    Olympus XB 700
    Rp 300.000
    Olympus Stylus 140
    Rp 450.000
    Olympus MJU III 150
    Rp 700.000
    Canon WP-1
    Rp 950.000
    MJU I f3.5
    Rp 1.250.000
    SLR
    Nikon FM10
    Rp 650.000
    Nikon FM2
    mulai Rp 2 juta
    Nikomat FT2
    Rp 3,3 juta
    Nikon EM
    Rp 1,2 juta
    Yashica FX-3
    Rp 575.000 hingga Rp 875.000
    Canon QL GIII
    Rp 575.000 hingga Rp 659.000
    FILM
    Kodak Ektar 100
    Rp 113.000 - Rp 120.000 per roll
    Kodak Gold 200
    Rp 70.000
    Kodak Pro Image 100
    Rp 38.000 per roll
    Kodak T-Max 400
    Rp 110.000 per roll
    Kodak ColorPlus 200
    Rp 50.000 per roll
    Kodak Ultramax 400
    Rp 100.000
    Ilford XP2 Super 400
    Rp 115.000 per roll
    Ilford FP4 Plus
    Rp 100.000 per roll
    Ilford HP5 Plus
    Rp 70.000 - Rp 100.000 per roll
    Fujifilm Superia 200
    Rp 65.000
    Fuji Superia X-TRA 400
    Rp 75.000 per roll
    Fuji Superia X-TRA 800
    Rp 65.000 per roll
    Fujicolor C200
    Rp 55.000 per roll (isi 1)
    CUCI CETAK

    Biaya mencetak film tentunya memiliki tarif yang berbeda, tergantung dari jenis film yang akan dicetak. Menurut pantauan KompasTekno, harga dari cuci cetak film dimulai dari Rp 50.000 hingga Rp 120.000 per rol.

    MEWABAH DAN MELAHIRKAN PELUANG BISNIS
    JellyPlayground

    Renaldy Fernando Kusuma merupakan salah satu “pemain lama” kamera film di era digital. Ia memulai hobinya itu sejak 2007 dan aktif membagi karya-karyanya di sebuah blog bertajuk “Jelly Playground”.

    Renaldy mengaku gandrung pada kamera film karena kala itu harga perangkatnya lebih murah ketimbang kamera digital. “Dulu pernah beli kamera film Rp 15.000,” ujarnya pada KompasTekno.

    Lama-kelamaan para pembaca blognya bertanya-tanya di mana membeli kamera film, rol, dan perkakas-perkakas lainnya. Dari situlah ia mengubah Jelly Playground yang tadinya sebatas blog bertukar cerita dan informasi menjadi lapak jualan.

    Jelly Playground (@jellyplayground) menjual rol film, kamera film baik yang berformat pocket maupun kamera sekali pakai (disposable camera), strap kamera, serta merchandise lainnya. Bisnis yang dijalani Renaldy ini membuat dia bisa terus menghidupi hobinya.

    Menurut dia, menjepret dengan kamera film punya keunikan dari segi proses berkarya dan hasilnya. Perangkat kamera film pun modelnya beragam dan lucu-lucu. Bisa dibilang Renaldy dan Jelly Playground adalah salah satu yang membangkitkan kembali wabah kamera film di Tanah Air.

    Soup N Film

    Teuku Adifitrian (Tompi) yang mulanya lebih dikenal sebagai penyanyi jazz dan dokter bedah kulit mulai gandrung pada dunia fotografi sejak 2006. Ia secara spesifik tertarik pada kamera film sekitar tiga tahun lalu.

    Kala itu ia harus bolak-balik Singapura untuk belanja rol film dan mencuci hasil jepretannya. Pada satu titik, ia bersama tiga kawannya (Jerry Surya, Perry Margono, dan Erwin Kindangen) memutuskan membuka laboratorium cuci film bertajuk “Soup N Film” (@soupnfilm) di Jakarta pada 2016 lalu.

    Seiring dengan tumbuhnya minat kamera film di Tanah Air, orderan untuk cuci film di Soup N Film pun makin banyak. Dalam sehari, ada 100 orderan cuci film yang diterima Soup N Film di outlet mereka di STC Senayan, Jakarta.

    "Rata-rata yang main kamera film anak muda sih. Anak-anak keren lah yang senang vintage," kata Tompi.

    Soup N Film kini tak cuma menyediakan jasa cuci film, tapi juga menjual rol film dan disposable camera. Menurut Tompi, semangat membuat Soup N Film bukanlah menambah kekayaan tapi menyebarkan “virus” hobi kamera film.

    “Saat ini yang jualan film termurah ya Soup N Film. Waktu kami berempat bikin Soup N Film semangatnya satu yaitu untuk dapat film murah buat kami sendiri dan biar banyak teman yang main,” ia menuturkan.

    Kembalinya tren kamera film tak ubahnya oase di tengah kecanggihan teknologi yang serba instan. Bermain kamera film adalah melatih kesabaran, belajar menikmati proses panjang, serta menghargai hasil.

    Sebelum menjepret, pehobi kamera film harus memilih roll film sesuai kebutuhan. Setelah menjepret pun masih ada proses cuci foto dan menunggu hasilnya. Di situlah muncul kepuasan tersendiri. Kendati demikian, tren kamera analog tak serta-merta diproyeksikan bakal mengalahkan kamera digital. Pasalnya, kamera digital terus berkembang masif dengan beragam pilihan yang diberikan.

    Sejarah tak mungkin terulang kembali karena zaman pasti bergerak maju. Kamera film lebih bijak diposisikan sebagai pelengkap dan penambah referensi bagi pencinta fotografi, bukan sebagai saingan kamera digital.

    Produser
    Tini Bohang
    Penulis
    Deliusno
    Oik Yusuf
    Reska Koko
    Reza Wahyudi
    Yoga Hastyadi
    VIDEO EDITOR
    Ari Prasetyo
    VIDEOGRAFER
    FOTOGRAFER
    Andreas Lukas Altobeli
    Garry Andrew Lotulung
    Kristianto Purnomo
    COPYWRITER
    Lilyana Tjoeng
    GRAPHIC DESIGNER
    Stephanie Tanata
    Developer
    Nurhaman

    Copyright 2017. Kompas.com