Baduy
Kembali

Cover Slide

Perjalanan suku Baduy di tengah perubahan zaman

Bagian 1

Baduy Hari ini

kompas.com | Kristianto Purnomo

Pagi-pagi benar Sarpin sudah berjalan kaki dari kampungnya di Balingbing ke Ciboleger, wilayah yang disebut sebagai pintu gerbang Baduy. Seperti layaknya orang-orang Baduy, dia mengenakan baju dan celana hitam, walau tujuannya ke sana adalah untuk berkantor sebagai kepala seksi pemerintahan desa.

Kantor desa itu tak jauh dari Terminal Ciboleger, terminal yang menjadi titik temu antara orang-orang Baduy dengan orang-orang luar.

Seperti hari-hari biasanya, Sarpin menyaksikan banyak orang Baduy Dalam maupun Baduy Luar, turun dari kampung-kampung mereka ke terminal sambil membawa hasil bumi. Hanya saja, dari tahun ke tahun pakaian yang dikenakan orang-orang di terminal itu makin berwarna-warni.

Orang Baduy Dewasa
Orang Baduy Kecil
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Sarpin ingat, dulu di masa mudanya, laki-laki di wilayah itu hanya mengenakan pakaian hitam- hitam dengan ikat kepala biru sebagai penanda anggota Baduy Luar, atau pakaian putih kecoklatan karena usang yang menjadi pakaian adat orang Baduy Dalam.

Kini di terminal, mudah baginya menemukan remaja mengenakan jeans dan kaos beraneka ragam. Mulai kaos seragam klub sepakbola hingga gambar wajah penyanyi tenar. Sepatu-sepatu sneakers sudah menutupi kaki-kaki yang dulu telanjang, smartphone dalam genggaman menggantikan golok, dan topi menggusur ikat kepala.

Terminal Ciboleger yang berada di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten menjelma menjadi “metropolitan kecil” bagi orang Baduy.

Di terminal yang merupakan perbatasan dengan Baduy Luar ini, mini market sudah menggantikan pasar dan kebiasaan barter nenek moyang orang Baduy. Namun setidaknya tempat ini masih dipatuhi sebagai akhir dari perjalanan menggunakan kendaraan roda empat.

Bagi Sarpin, anak-anak muda Baduy di Ciboleger sudah tak dikenali identitasnya dari pakaian karena mereka sudah mengenakan pakaian “modern” yang dipakai orang kebanyakan di luar tanah keramat mereka.

Orang Baduy Dewasa
Orang Baduy Kecil
Orang Baduy Kecil
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Kini, bila kita berkunjung ke Ciboleger di pagi hari, kita bakal menjumpai aktivitas orang dewasa dan anak-anak memikul hasil bumi dari “atas”. Kata ini merujuk pada desa-desa Baduy di pedalaman. Mereka membawa barang dagangan berupa pisang, durian, kayu, gula merah, dan lain-lain.

Namun ada pula warga Baduy yang ke Ciboleger hanya untuk “cuci mata” melihat dunia luar. Sebagian lainnya melakukan kegiatan yang tak lazim dilakukan di masa lalu, yakni nongkrong di warung.

Orang Baduy Kecil
(Kompas.com / Roderick Adrian Mozes)

Nah, yang sungguh berbeda adalah orang-orang Baduy yang dijumpai Sarpin naik angkutan untuk menuju ke Rangkasbitung atau tempat lain. Hal ini merupakan “palanggaran” karena warga Baduy sebenarnya pantang naik kendaraan. Dahulu, ke mana-mana mereka jalan kaki. Bahkan bila harus menempuh jarak puluhan kilometer.

Ciboleger seolah menjadi ruang pertemuan antara warga Baduy dengan modernitas, termasuk bertemu dengan angkutan roda empat yang diharamkan bagi mereka. Di sini, identitas Baduy sedikit bisa ditanggalkan, digantikan dengan identitas baru.

Bagaimana tidak? Mobil-mobil angkutan umum yang menjadi pantangan, sejak pagi telah bersiap untuk membawa hasil bumi dari tanah Baduy. Di sekitar terminal Ciboleger itu pula, toko-toko yang menjual barang-barang modern mulai bermunculan.

Toko-toko itu menjajakan peralatan atau kebutuhan sehari-hari bagi warga sekitar, termasuk Baduy. Beberapa toko bahkan merupakan milik warga Baduy.

Sarpin tidak menyalahkan perubahan itu. Ia di masa mudanya bahkan menjadi bagian anak-anak yang menyempal dari tradisi. Ia pun mahfum menyaksikan anak-anak muda Baduy yang pandai membaca gelagat zaman, kini menjalin relasi dengan orang kota secara intensif. Transfer pengetahuan pun berlangsung dengan mulus.

Hasil dari relasi itu, muncul beberapa pengusaha muda Baduy yang mengelola bisnis kain tenun dan kerajinan tangan dalam partai besar. Barang-barang itu didistribusikan hingga ke kota seperti Jakarta. Mereka mengirim produk-produk kerajinan melalui jejaring sosial maupun melalui berbagai bazaar.

Orang Baduy Kecil
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Arsid, Lamri, Musung, Sapri, Ucal, Arkam, adalah beberapa nama pengusaha muda Baduy yang punya jangkauan perdagangan hingga ke Jakarta.

Sambil berbisnis, mereka masih setia berladang menanam padi, jagung, dan sayuran. Sebagian masih mencari ikan di sungai dengan pancingan, bubu, atau dengan tangan kosong. Aktivitas ini menjadi bagian dari pelaksanaan sembilan rukun yang harus dijalani sebagai orang Baduy.

Yang sedikit mengganggu pikiran Sarpin adalah kenyataan bahwa orang-orang Baduy kini lebih tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan praktis dan gampang dijangkau. Misalnya sebagai porter para wisatawan atau pengangkut hasil bumi. Ada rasa kuatir identitas Baduy mereka akan musnah bila perubahan ini tidak disikapi dengan arif.

Tangtu dan Panamping

Siapakah orang Baduy itu? Apa identitasnya? Mengapa mereka berbeda? Ada banyak teori soal asal-usul orang Baduy. Beberapa menyebut mereka berasal dari Pajajaran. Ada juga yang menyebut mereka penduduk asli Banten. Namun banyak penelitian menyebutkan orang-orang Baduy ini adalah sisa-sisa rakyat Pajajaran yang menyingkir ke wilayah Pegunungan Kendeng.

kompas.com / Roderick Adrian Mozes

Mereka pindah lantaran daerah Jawa Barat masa itu diperintah oleh Maulana Hasanudin. Orang- orang yang memiliki keyakinan Sunda Wiwitan ini ingin mempertahankan cara hidup dan keyakinannya sendiri.

Orang Baduy sendiri menganggap leluhur mereka, bersama Nabi Adam, adalah orang pertama di dunia. Tanah mereka adalah pusat dunia (pancer bumi) di mana semuanya berasal. Maka tanah itu dikeramatkan, dan mereka yang mendiami wilayah itu haruslah menjaga kemurniannya. Bersawah di sana dilarang, karena itu berarti membolak-balik bumi dengan cangkul.

Menurut keyakinan orang Baduy, manusia awalnya tinggal di Cikeusik, lalu Cikertawana, kemudian Cibeo. Nah, mereka yang mendiami tiga lokasi itu disebut Tangtu atau Urang Tangtu Tilu atau Urang Girang. Merekalah yang dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Karena berada di pusat dunia, Urang Tangtu paling ketat menjaga amanat leluhur dengan sikap dan tindakan yang teu wasa, “menjadikan diri mereka tak berdaya” melanggar pantangan adat atau buyut. Inilah salah satu ajaran dari sunda wiwitan, agama orang Baduy.

Jumlah warga Baduy Dalam saat ini diperkirakan 1.500 jiwa.
Baju Adat Baduy

TELEKUNG

ikat kepala, kadang disebut koncer atau roma, hasil tenun masyarakat Baduy

KUTUNG

baju putih berlengan panjang tanpa kerah, juga disebut jamang sangsang

BEUBUER

ikat pinggang berupa selendang kecil

SAMPING AROS

sarung warna nila bergaris putih dipakai sebatas dengkul

Sumber: wacananusantara.org | Design : Anggara Kusuma

Sedangkan Panamping adalah masyarakat yang tinggal di luar wilayah tanah suci. Mereka disebut juga urang kaluaran atau Baduy Luar.

Mereka berada di 64 kampung (3 kampung baduy dalam dan 61 kampung baduy luar) dalam wilayah Desa Kanekes Kaduketug, Balingbing, Marengo, Gajeboh, adalah kampung-kampung yang akrab di telinga para wisatawan yang pernah berkunjung ke Baduy.

Jumlah penduduk Baduy Luar berkisar di angka 11.657 jiwa.

Meski demikian, Tangtu dan Panamping tetap dalam satu kesatuan ekonomi, sosial, politik, religi, dan sistem nilai yang sama.

Masyarakat Baduy memiliki aturan adat yang mutlak harus mereka jalani dalam kehidupan sehari- hari. Aturan itu disebut pikukuh.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Pikukuh merupakan petunjuk bagaimana seharusnya orang Baduy menjalani hidup sesuai amanat karuhun, nenek moyang. Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktivitas-aktivitas religi masyarakat Baduy.

Secara aturan, hingga kini pikukuh Baduy tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang. Namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua orang Baduy mematuhi pikukuh dan menjauhi pantangan (Buyut) ketika mereka dihadapkan pada dunia yang berbeda dan menjanjikan kesenangan dalam bentuk berbeda.

Buyut sendiri tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya.

Idealnya, pikukuh sudah terpatri dalam hati setiap orang Baduy karena ajaran itu ditanamkan sejak mereka lahir dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pengingat, memang ada tulisan pikukuh pada sebuah papan yang hingga kini masih tertempel di Kampung Cijahe, pintu gerbang menuju Cikeusik, salah satu kampung yang dihuni masyarakat Baduy Dalam.

Namun melihat gempuran modernitas yang menjangkau hingga Baduy Dalam, muncul pertanyaan adakah pikukuh itu masih dihayati dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy? Atau tinggal papan nama yang tidak berarti apa-apa?

(Kompas.com / Kristianto Purnomo)
9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
1. Nyacar / Nebang

Nyacar atau nebang adalah kegiatan pertama meladang. Orang Baduy membuka lahan dengan cara menebang Kemudian membiarkan pohon dan semak-semak yang telah ditebang hingga mengering.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
2. Ngaduruk / Membakar

Setelah pohonan dan semak-semak itu telah mengering, kegiatan berikutnya adalah membakarnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan humus agar tanah yang hendak ditanami menjadi subur.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
3. Ngaseuk / Melobangi tanah untuk menanam bibit

Setelah tanah menjadi subur, kemudian mereka melobangi ladang mereka dengan kayu runcing untuk menyemai bibit padi.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
4. Ngored / Menyiangi rumput

Seiring dengan tumbuhnya tanaman, muncul pula rumputan yang akan menghambat pertumbuhan padi. Untuk itulah Orang Baduy wajib menyiangi rumput agar tanaman mereka tumbuh dengan baik.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
5. Dibuat / Memetik padi

Setelah menunggu sekira enam bulan, padi yang ditanam pun tua dan menguning. Saat itulah Orang Baduy memanen padi.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
6. Kalanjakan / Berburu

Pada saat tidak ada kegiatan di ladang, Orang Baduy, terutama yang laki-laki wajib berburu ke hutan. Binatang buruan mereka biasanya kancil, bajing, atau rusa.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
7. Kapundayan / Mengambil ikan di kali

Kegiatan mencari ikan adalah juga aktivitas warga Baduy ketika sedang tidak ada kegiatan di ladang. Hasil buruan binantang maupun tangkapan ikan, selain dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga, juga untuk kebutuhan upacara.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
9 Rukun Wajib Orang Baduy
8. Kawalu / Melaksanakan puasa dan nyepi

Inilah hari suci Orang Baduy yang berlangsung hingga tiga bulan. Tahun ini berlangsung sejak bulan Februari hingga Mei. Orang Baduy, terutama mereka yang berada di Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana atau disebut Baduy Dalam, tidak boleh bepergian selama bulan Kawalu ini.

9 Rukun Wajib Orang Baduy
9. Ngalaksa / Melaksanakan hari raya

Setelah Kawalu, tibalah saatnya bagi mereka untuk merayakan Ngalaksa, atau seperti lebaran bagi orang Islam. Mereka berkumpul dan makan bersama.

Perubahan zaman

Sare tamba hanteu tunduh, madang tamba teu lapar, make tamba teu talanjang. Tidur sekadar pelepas kantuk, makan cukup pelepas lapar, berpakaian sebatas tidak telanjang. Begitulah prinsip hidup warga Baduy. Mereka lebih mengutamakan ibadah –dalam hal ini bekerja-- daripada sibuk mempercantik diri atau memanjakan badan.

kompas.com | Kristianto Purnomo

Selain dalam kehidupan sehari-hari, kesederhanaan itu juga diwujudkan dalam cara berpakaian. Orang Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian putih yang ditenun sendiri dengan potongan sederhana. Sedangkan orang Baduy Luar mengenakan pakaian hitam atau biru.

Mereka menghasilkan tenunan yang indah dalam warna-warna lain, tapi pakaian mereka sendiri polos. Di tanahnya dihasilkan berbagai macam umbi dan buah-buahan, namun orang Baduy makan seperlunya. Maka hampir tak ada orang Baduy yang gemuk.

Tapi itu dulu. Baduy harus diakui memang sudah berubah. Lihatlah pada gapura pintu masuk kampung Kaduketug, kampung pertama dari arah Ciboleger.

Gerbang yang sebelumnya hanya berupa tiang-tiang kayu dengan atap daun yang dikeringkan. Kini sudah menjadi gapura besi dengan tulisan sponsor sebuah bank.

Ketika liburan tiba, perkampungan Baduy menjadi tujuan wisatawan. Para pedagang makanan dan minuman dari luar Baduy bisa dengan mudah ditemui di tengah hutan untuk memenuhi kebutuhan para pejalan kaki yang sedang berjalan kaki dari Ciboleger menuju Cibeo, salah satu wilayah Baduy Dalam.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Fikri Hidayat)
Orang Baduy Kecil
Orang Baduy Kecil
(Kompas.com / Roderick Adrian Mozes)

Bahkan di antara pedagang itu, ada yang masuk hingga wilayah Baduy Dalam untuk memenuhi kebutuhan para pelancong. Akibatnya, ada juga warga Baduy Dalam yang tergoda untuk jajan rokok atau mengudap mi instan.

Entah apa yang akan terjadi pada Baduy sepuluh tahun mendatang. Mungkin saja ladang-ladang orang Baduy bakal tak terurus lagi lantaran kian banyak pemuda yang harusnya berladang kini lebih suka menjadi porter untuk wisatawan, atau kuli panggul yang membawa hasil kebun milik para juragan.

Sebagian rumah orang-orang Baduy hari ini juga cenderung terang di malam hari. Lampu matahari atau solar cell telah menemani malam-malam orang Baduy. Itulah sebabnya, jika siang tiba, orang-orang Baduy menjemur lampu-lampu itu untuk menyerap tenaga dari sinar matahari.

Kini, secara diam-diam, juga telah muncul kesadaran untuk bersekolah di kalangan warga Baduy. Mereka menempuh pendidikan Kejar Paket atau ujian persamaan. Bahkan menurut seorang warga Baduy, sekarang setidaknya ada 52 orang Baduy sedang mengikuti Kejar Paket A di Kecamatan Leuidamar.

Yang mencolok, kini warga Baduy semakin banyak yang berorientasi pada ekonomi. Mereka mencari pendapatan sebanyak-banyaknya dan menginvestasikannya terutama pada emas. Maka kini para perempuan Baduy senantiasa berhias kalung emas besar di lehernya sebagai simbol kemakmuran.

Entah karena alasan ekonomi atau alasan lainnya, beberapa orang Baduy keluar dari sukunya. Ada yang karena menikah dengan masyarakat luar Baduy, ada yang jadi pedagang, dan bahkan ada yang karena alasan politis mengantarkan orang tersebut menjadi anggota DPR utusan golongan.

Bagian 2

Metamorfosis Keluarga Baduy

(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Menyaksikan orang Baduy hari ini kita seperti sedang melihat seekor ulat yang sedang berubah menjadi kepompong, sebelum akhirnya terbang menjadi kupu-kupu. Anak-anak muda Baduy-- terutama Baduy Luar, seperti sedang bergegas mengejar ketertinggalan dengan apa yang telah dicapai oleh pemuda dari suku atau komunitas masyarakat lainnya.

Maka, wajah-wajah anak muda Baduy pun sekarang sulit dibedakan dengan pemuda dari masyarakat di luar suku yang mendiami lereng Pegunungan Kendeng itu. Celana jeans, smartphone, motor, mobil, dan kelengkapan hidup lainnya yang jamak dipakai oleh masyarakat modern, telah pula mereka miliki.

Tapi di sebalik perubahan itu, ada juga yang masih setia menjaga tradisi, terutama kalangan orang tua. Di luar orang Baduy Dalam yang relatif masih erat menjaga pikukuh, maka kalangan para orang tua Baduy Luar masih banyak pula yang menjaga tradisi dengan perilaku yang menyiratkan kesetiaan mereka terhadap pikukuh karuhun.

Misalnya, mereka masih mengenakan pakaian hitam-hitam. Taat pada larangan buyut, dan lain- lain.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Dua situasi yang berseberangan itu kini berjalan beriringan di Baduy. Ada kekhawatiran suatu saat kelak, ketika para generasi tua itu telah tiada, Baduy sebagai sebuah entitas budaya akan tinggal kenangan, lantaran generasi penerus Baduy lebih tertarik dengan persoalan dunia ketimbang menjaga dan merawat tradisi.

Mereka lebih tertarik dengan ilmu pengetahuan yang selama ini menjadi pantangan, karena menurut pikukuh, pengetahuan bisa membuat orang pintar, dan setelah pintar justru "minterin" orang lain.

Keluarga Nasina, rasanya bisa mewakili metamorfosis yang sedang berlangsung di Baduy. Nasina yang mengaku telah berusia 99 tahun, mewakili generasi tua yang masih memegang teguh pikukuh.

Putra bungsunya yang bernama Sarpin dan isterinya Misnah, mewakili generasi Baduy terpelajar. Sedangkan Arsid, cucu Nasina yang menjadi pengusaha kain tenun Baduy, mewakili generasi Baduy yang memiliki visi bisnis dan kemampuan membangun jejaring untuk mendukung bisnisnya.

Misnah, menantu Nasina, berkeyakinan para sesepuh seharusnya tidak usah khawatir dengan kesadaran generasi muda Baduy yang bersemangat menuntut ilmu melalui kejar paket. Menurut Misnah, kalau orang Baduy pintar, justru bisa menjaga tradisi dengan baik.

Nasina, sang perintis bisnis

Orang tua yang tinggal di Gajeboh ini boleh disebut sebagai salah satu pelopor bisnis di kalangan orang Baduy. Ketika masih muda dan perkasa, tiap bulan Nasina pergi ke Jakarta membawa barang dagangan berupa pakaian khas Baduy, madu, dan kerajinan tangan Baduy lainnya.

kompas.com | Kristianto Purnomo
Sedemikian intensnya Nasina membangun jejaring bisnisnya, terutama di kalangan pekerjaa media, sampai-sampai dirinya sangat dikenal di kalangan wartawan.

Don Hasman, Rudy Badil, Ucok, Mulyawan Karim, adalah nama-nama wartawan yang masih diingat Nasina hingga kini. Dari kedekatan inilah, Nasina dan Baduy menjadi bagian tak terpisahkan dari romantisme wartawan yang beberapa di antaranya kerap melakukan kunjungan balasan ke Gajeboh, kampung tempat Nasina bermukim.

Selanjutnya, hubungan Nasina dan beberapa wartawan itu bukan lagi antara pedagang dan pembeli, melainkan hubungan kekerabatan yang erat, lengkap dengan romantismenya. Ucok misalnya, mantan fotografer Tabloid Bola ini bersedia mengantar Nasina untuk operasi katarak.

Walaupun usia sudah renta, namun Nasina termasuk orang yang tak anti pada perubahan. Ia bahkan tak melarang jika orang Baduy memakai telepon seluler.

Kini Nasina telah renta, raganya tak segagah dulu lagi untuk mendaki dan menuruni bukit sepanjang 6 km pulang balik dari kampungnya di Gajeboh menuju Ciboleger.

Paling banter kini Nasina pergi ke rumah Pulung, anak perempuannya yang berada di kampung Marengo yang berjarak 600 meter. Atau ke rumah Sarpin, anak bungsunya yang berada di kampung Balingbing. Atau, jika merasa sehat, sesekali dia pergi ke Ciminyak, berkunjung ke salah satu anaknya di sana.

Tiap kali diajak ke Jakarta, Nasina selalu menolak. Katanya, takut di tengah jalan nanti dirinya bakal dibuang.

Embung, engke abdi dibuang. Atos jadi aki-aki goreng, Nasina bercanda.

Nasina adalah riwayat panjang lelaki Baduy luar dalam mempertahankan hidup. Nasina memilih berniaga sebagai jalan hidupnya, sambil berladang sebagai bentuk ibadahnya selaku orang Baduy.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Sarpin, memberontak untuk maju

Sarpin adalah anak Nasina dan Icot. Sarpin bungsu dari tiga bersaudara. Kini dia bekerja sebagai perangkat Desa Kanekes.

Sarpin yang tinggal Kampung Balingbing ini mengaku, dirinya adalah anak yang memberontak. Sebetulnya sang ayah mengehendaki Sarpin jadi pedagang, untuk meneruskan usaha sang ayah.

Tapi, Sarpin lebih memilih pekerjaan bidang sosial. Bisa jadi, ini berkait dengan kebiasaannya berhubungan dengan para peneliti dari berbagai kampus seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (UNPAD), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Diponegoro (UNDIP), yang kerap datang ke kampungnya.

Pertama belajar membaca dan menulis usia 13 tahun dari Sailan, orang Baduy Luar. Dialah yang memberi pelajaran huruf A sampai Z.

Orang Baduy Kecil
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

"Tapi belum komplet, belum ada huruf F, Q, Z, X. Saya dikasih huruf di luar itu. Tiap malam bawa buku kecil, dua atau tiga orang belajar bersama. Sudah kenal huruf tapi belum bisa membaca. Bisa baca enam bulan. Kami belajar di rumah, kumpul satu rumah dengan teman-teman sambil belajar," kenang Sarpin.

"Kalau belajar angka, saya belajar dari siapa saja. Seketemunya orang. Sering berbagi ilmu sama Pak Idik, setelah saya bisa belajar membaca. Di rumah Pak Idik berkumpul 10 orang di Gajeboh," kata Sarpin. Pak Idik adalah tetangga Sarpin yang berjasa mengenalkan angka kepada putra bungsu Nasina ini.

Tinggal di Kampung Balingbing sejak 1994, Sarpin pernah bekerja sebagai kader kesehatan. Tugasnya membantu bidan-bidan untuk penyuluhan dari Puskesmas, juga aktif sebagai panitia Pemilu.

"Sejak 2007, oleh Pak Sekdes saya ditarik ke desa sebagai Kasi Pemerintahan yang terkait dengan data penduduk, pelayanan bikin KTP, kartu keluarga, laporan lahir mati penduduk, dan kegiatan kepala desa," kata Sarpin.

Dari pergaulannya dengan kalangan intelektual itulah, Sarpin jadi beroleh pengetahuan yang luas. Karena kemampuan intelektualnya itulah, untuk kedua kalinya Sarpin menjadi "pemberontak". Kali ini dia berontak terhadap kaumnya yang melarang anak-anak Baduy bersekolah. Bagi Sarpin, pendidikan adalah sarana mutlak bagi orang Baduy untuk menghadapi zaman yang bergerak cepat.

Beruntung Sarpin memiliki Misnah yang dinikahinya tahun 1990. Keluarga ini bahu membahu ingin mencerdaskan kaumnya. Maka, secara gerilya mereka mendorong orang-orang Baduy untuk melek baca dan tulis. Kata Misnah, adalah keliru jika pendidikan itu akan menghancurkan tradisi.

Menurut Misnah, justru pendidikan dan ilmu itulah yang akan menyelamatkan tradisi Baduy. Waktu telah membuktikan, betapa pengaruh luar itulah yang mengubah wajah Baduy. "Jika kita bodoh, mana bisa membendung pengaruh yang jelek dan menyerap yang baik," ungkap Misnah.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Sarpin dan Misnah dikarunia dua orang anak yaitu Mulyono (22) dan Marno (13). Mulyono sekarang sedang mengambil Kejar Paket C, sementara Marno sekolah di SMP 4 Kalang Anyar, Rangkasbitung.

Kini kawan-kawan Sarpin bukan cuma sesama warga Baduy, tapi juga ada sosiolog Imam B Prasodjo, wartawan, antropolog Cecep Eka Permana, Isman yang dosen Universtas Inonesia, DR Kurniawan dari Universitas Padjajaran, dan lain-lain.

Kini, selain bekerja sebagai perangkat desa, Sarpin juga ditunjuk sebagai kordinator wali murid orang-orang Baduy yang sedang menuntut ilmu melalui kejar paket.

Arsid, pebisnis generasi kini

Sebetulnya Arsid yang tinggal di Gajeboh ini adalah cucu Pak Nasina dari anak sulungnya yang telah meninggal. Berhubung tidak ada yang mengasuh, maka Arsid diaku sebagai anak bungsu, menggantikan Sarpin yang sebetulnya berstatus sebagai paman si Arsid.

Lantaran kedekatannya dengan Nasina itulah, bakat berdagang Nasina tidak mengalir ke Sarpin melainkan ke Arsid. Kini, Arsid menjadi pengepul kain tenun dan penyuplai benang serta pewarna.

Pulung yang merupakan putri Nasina, juga memiliki warung kelontong di Kampung Marengo, tapi bisnisnya tidaklah sebesar Arsid.

Jika Anda bertemu Arsid di jalan, niscaya Anda tidak akan menduga sedang bertemu dengan lelaki Baduy. Arsid adalah tipikal pengusaha muda Baduy yang dilengkapi dandanan ala orang kota, dengan telepon seluler pintar tak pernah lepas dari genggaman.

Hari-hari Arsid adalah kesibukan bergumul dengan perdagangan. Itulah sebabnya, dalam satu bulan, kadang Arsid hanya beberapa hari di rumahnya di Gajeboh.

Selebihnya, dia bisa di Rangkasbitung, Bandung, Majalengka, atau Jakarta. Sisi lainnya, Arsid barangkali menjadi laki-laki Baduy tergemuk.

"Maklum, keseringan makan nasi padang dan jarang jalan kaki jarak jauh," katanya suatu saat di Museum Tekstil Jakarta, tempat Arsid biasa menginap jika berada di Jakarta.

Dari hasil kerja kerasnya itu, Arsid pun mampu memposisikan keluarganya sebagai keluarga terpandang.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Roderick Adrian Mozes)

Ia memiliki beberapa karyawan yang siap membantunya memintal benang, mencampur pewarna, hingga membawa hasil tenunan ke rumah Arsid lainnya di Ciboleger yang dijadikan sebagai gudang penampungan kain tenun.

Bagian 3

Menerawang Baduy Mendatang

Bagi para Lama di Tibet, menerawang masa depan bukanlah pekerjaan klenik. Tuesday Lobsang Rampa dalam bukunya "Mata Ketiga" menuturkan, bahwa kedatangan Jepang yang akan menjajah Tibet telah terbaca jauh sebelum bangsa pemuja Matahari itu menginjakkan kakinya di Tibet.

Bagi para Lama, masa depan adalah proyeksi masa kini. Apa yang akan terjadi di masa mendatang dapat terbaca hari ini. Pun demikian kiranya dengan apa yang akan terjadi pada orang Baduy di masa mendatang.

Beberapa tahun ke depan, dengan melihat apa yang terjadi hari ini di Baduy, maka potret masyarakat Baduy di masa mendatang pun rasanya sudah tampak jelas.

Orang-orang Baduy yang kini masih malu-malu akan semakin terbuka menggunakan piranti teknologi. Apalagi, sudah tidak ada aturan adat yang berakibat sanksi.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Maka, jika pada dua dekade lalu aparat adat dengan rajin melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah untuk mengeluarkan barang-barang berbau modern, sekarang terkesan masa bodoh, lantaran sedemikian masifnya pelanggaran yang terjadi.

Padahal menurut Jusin, mantan Sekretaris Desa Kanekes dari tahun 1984 hingga 1992, aparat desa Kanekes waktu itu sangat ketat menegakkan aturan adat.

"Di kantor Desa tidak ada alat-alat modern. Mesin ketik yang diterima dari pemerintah, dibuang. Kami hanya boleh menulis dengan tangan. Kami menolak subsidi dalam bentuk apapun, termasuk uang untuk kas desa,” papar Jusin.

“Kami hanya mengandalkan iuran warga dalam bentuk padi. Tiap kepala keluarga memberi lima ikat padi untuk desa," kenang Jusin yang kini memiliki warung di mulut gang di Kampung Ciboleger.

Kian longgarnya sanksi kepada para pelanggar pikukuh, bangkitnya semangat generasi muda untuk bersekolah, berbisnis, dan pengaruh luar yang gencar, niscaya akan segera mengubah Baduy secara fisik maupun ideologi.

Beberapa perubahan itu sedang disadari anak-anak muda. Mereka mengejar ketertinggalan bukan dengan mengejar orientasi material. Meminjam perspektif Sarpin dan Misnah, mereka menganggap pendidikan adalah salah satu jalan utk bertahan dari gempuran luar.

Maka, bagi sebagian orang Baduy Luar, pendidikan bukan lagi hal yang tabu di mata mereka. Bahkan, diam-diam, warga Baduy Dalam pun pada akhirnya membutuhkan pendidikan, setidaknya agar mereka bisa membaca dan menulis.

Orang-orang Baduy hari ini adalah potret kecemasan sebuah kaum yang menghadapi zaman yang

bergerak cepat. Mereka yang masih bertahan dengan tradisi harus terseok-seok menghadapi hidup yang kian berat, hanya dengan mengandalkan hasil pertanian.

Sementara generasi muda yang ingin sejajar dengan masyarakat di luar suku mereka, seperti sedang berlomba mengejar ketertinggalan. Terbukanya dunia modern tak harus membuat jiwa- jiwa penenun yang sabar itu berubah menjadi karakter instan yang hanya mengejar hasil cepat.

Orang Baduy Dewasa
(Kompas.com / Kristianto Purnomo)

Pariwisata, barangkali yang akan segera mengubah wajah Baduy lebih berwarna. Mungkin saja kampung-kampung di Baduy akan tetap seperti sedia kala, tidak tersentuh asap kendaraan, tapi mungkin saja kampung-kampung Baduy akan kian ramai oleh bertambahnya penduduk.

Malam-malam di Baduy juga tidak akan gulita lagi. Sebab lampu matahari (solar cell) kini pun sudah menerangi malam di beberapa kampung Baduy.

Tapi bisa jadi, orang Baduy (Dalam) akan mengulangi kembali perjalanan sejarah mereka yang pernah "terusir" dari Serang saat Islam masuk ke wilayah Banten.

Konon dahulu kala, empat puluh orang Baduy "hijrah" dari Serang mencari tanah-tanah baru, tanah harapan sebelum akhirnya sampai di Kanekes karena bersikukuh mempertahankan keyakinannya sebagai pemeluk agama Sunda Wiwitan.

Maka, jika desakan peradaban baru itu tak sanggup lagi dibendung, menurut Jusin, bisa jadi mereka juga akan mencari tanah baru, hutan perawan yang belum tersentuh peradaban modern.

Cibedug, adalah kawasan yang disebut-sebut sebagai tanah masa depan warga Baduy setelah tanah tinggal mereka di Kanekes telah rusak dan sebagian besar warga Baduy telah melanggar pikukuh.

Lebak Cibedug adalah nama sebuah kampung yang masuk dalam wilayah Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Kampung ini tak dapat dipisahkan dari keberadaan sisa peninggalan zaman megalitik berupa menhir dan punden berundak yang berada dalam satu kompleks yang kini diisolasi dan dinamai situs Lebak Cibedug.

Situs Lebak Cibedug secara geografis berada di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Muncang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bayah, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Panggarangan, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.

Orang Baduy, entah ke mana mereka hendak pergi jika teknologi dan peradaban modern kian mendesak mereka. Mungkin saja orang Baduy akan tetap berada di Kanekes sebagai penonton dari kemajuan zaman.

Sosok Baduy ke depan bisa saja seperti Nasina, Sarpin, atau Arsid. Walau Nasina sudah banyak melihat dunia luar, seperti Jakarta dan Bandung, namun baginya tempat terindah dan terbaik untuk tinggal tetaplah kampung halamannya sekarang.

Atau, mungkin mereka akan menyingkir lebih jauh masuk hutan untuk menjaga kesucian ajararan Sunda Wiwitan yang mereka anut. Atau...

Kompas.com