Kisah tragis orangutan di Kalimantan
Hari itu, Kamis (14/1/2016), seperti biasa, air Sungai Mangkutub di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, tampak berwarna kecoklatan. Warna khas sungai di pedalaman Kalimantan yang melewati hutan gambut.
Mesin perahu kelotok dinyalakan, delapan orang dengan peralatan berburu yang lengkap sudah bersiap-siap. Mereka akan berburu. Bukan untuk menembak burung atau hewan lain, melainkan menangkap orangutan yang berada di hutan pinggiran Sungai Mangkutub.
Sepanjang perjalanan, di pinggiran sungai terlihat beragam jenis pohon yang rimbun. Namun, terlihat pula pohon-pohon setinggi 15-20 meter terbujur kaku tanpa daun. Kebakaran selama tiga bulan sebelumnya telah menciptakan pemandangan tersebut.
Perahu kayu baru berjalan 20 menit, Sugiharto (47) langsung melihat satu individu orangutan atau Pongo pygmaeus jantan dengan berat kira-kira 50 kilogram (kg). Orangutan itu berpegangan pada sebuah dahan hendak meraih daun di sekitarnya untuk dimakan.
Tanpa disuruh, Sugiharto dengan sangat hati-hati berjalan mengitari orangutan liar tadi dan mengambil posisi di belakangnya. Selama dua menit suasana berubah hening. Sepuluh detik kemudian….dor!, terdengar letusan senapan.
Peluru Sugiharto tepat bersarang di punggung si orangutan. Rekan Sugiharto, Maryos Tandang, berteriak kepada rekan-rekannya. “Lima menit. Kalau belum tidur, tembak lagi,” katanya.
Delapan petugas tersebut bukanlah pemburu ilegal yang akan membunuh kera besar tersebut. Mereka merupakan tim gabungan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Nyaru Menteng yang akan menyelamatkan orangutan.
Meskipun badan setengah tenggelam, Sugiharto tetap tenang. Tatapannya tajam, ia kembali membidik. Empat detik setelah itu, pelatuk ditarik, tembakannya tepat di bokong. Akhirnya, sang orangutan itu tampak lunglai tak berdaya.
Lima menit pertama lewat, si orangutan belum juga tidur. Sugiharto kembali membidik bokong orangutan. Dor…!
Orangutan tersebut akan dipindahkan ke hutan lain di Kalimantan Tengah yang lebih bagus habitatnya untuk dilepasliarkan. Operasi tersebut merupakan lanjutan dari operasi yang dilakukan akhir tahun lalu.
Pada November 2015, terdapat 39 orangutan yang berhasil dipindahkan ke Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Operasi kedua dilaksanakan sejak tanggal 4 Januari sampai 15 Januari 2016 dan tim berhasil menyelamatkan 38 individu orangutan.
Rinciannya, tiga teknisi BOS, satu dokter hewan dari BOS, satu petugas BKSDA, dan tiga orang warga sekitar Sungai Mangkutub. Sugiharto adalah penembak jitu andalan BOS, sedangkan Maryos Tandang adalah seorang dokter hewan.
Peluru yang mereka gunakan bukanlah peluru tajam, melainkan peluru yang berisi obat bius. Maryos Tandang, dokter hewan yang sudah tujuh tahun bekerja mengurusi orangutan itu mengambil kotak obat.
Dengan sigap Maryos mengambil sampel darah orangutan, menyuntikkan obat, memeriksa sekujur tubuh, dan mencabut kembali peluru bius yang masih menancap di punggung dan bokong orangutan.
Salah satu orangutan yang ditembak bius dan akan diselamatkan itu diberi nama Grepy. Grepy merupakan orangutan dewasa berumur sekitar 17 tahun.
Ia tampak terkulai lemas saat digendong para petugas Yayasan BOS. Dua peluru bius tampak menancap tepat di bokong dan punggungnya.
Grepy dibawa ke perahu kelotok, tubuhnya dibaringkan di atas jaring dan kumpulan dedaunan agar nyaman. Dadanya kembang kempis tanda masih bernafas dengan baik. Jantungnya bergerak agak cepat. Matanya meninggalkan titik fokus tanda mengantuk.
Tim dokter mengambil delapan peluru angina yang masih bersarang di tubuh Grepy. Tampak hidungnya patah, bekas pukulan benda tajam, mata sebelah kanan memerah, dan di wajahnya terdapat lima bekas luka tembak.
Derita Grepy itu bukan akibat ditembak peluru bius, melainkan karena ulah manusia lain yang sebelumnya pernah menemukan Grepy. Di areal perkebunan, kehadiran orangutan memang dianggap hama sehingga sering menjadi sasaran pembunuhan manusia.
Luka Grepy bisa juga karena harus melarikan diri dari kepungan kebakaran hutan, atau lari dari areal yang telah ditebang hutannya. Nasib Grepy adalah potret buruk yang menimpa orangutan pada umumnya. Habitatnya selalu digusur manusia dengan cara paling keji.
"Pada saat ditemukan luka tembak masih basah, peluru juga masih bersarang di tubuhnya," kata Maryos.
Maryos mengambil jarum suntiknya. Ia mulai mengambil sampel darah, menyuntikkan chip berukuran sangat kecil ke tubuh Grepy, memeriksa bagian-bagian tubuhnya, lalu membiarkan Grepy tetap tidur.
Grepy hanyalah satu bukti konflik manusia dengan orangutan yang tak pernah usai. Karena lukanya yang serius, Grepy dikirim dulu ke Nyaru Menteng, rumah sakit dan panti rehabilitasi orangutan di Palangkaraya, untuk diobati dan diperiksa lebih lanjut.
Jumat (15/1/2016) subuh pukul 06.00 WIB, tim penyelamat kembali melakukan pencarian lagi. Masih di jalur sungai dan hutan yang sama. Udara dingin menusuk dada, angin semilir membuat bulu kuduk berdiri. Koordinator Operasi Penyelamatan Orangutan, Kisar Odom, menghirup udara pagi di atas perahu kayu sambil memegang tas ranselnya.
Ia mulai bercerita masa kecilnya, berburu, memakan buah-buahan, dan mencari kayu bakar. Namun, aktivitas itu tidak lagi bisa dilakukannya kini.
Di dalam hutan, kayu-kayu setinggi 15-20 meter terbujur kaku. Akar mereka menghitam, daun-daun berjatuhan. Kering. Di atas kayu-kayu kering itu, tampak ranting-ranting berkaitan dengan tumpukan daun di atasnya.
“Itu bekas rumah orangutan, kalau mereka sudah tidak nyaman, mereka akan pindah mencari tempat baru,” kata Kisar Odom. Kebakaran hutan, pembalakan liar, dan ekspansi perkebunan sawit adalah penyebab utama tergusurnya rumah orangutan, sang penjaga rimba.
Hampir setiap perjalanan di sungai, para penyelamat orangutan harus berhenti karena terganggu kayu-kayu illegal tersebut dialirkan melalui sungai.
Kayu-kayu potong tersebut dibentuk menjadi sebuah rakit. Satu rakit besar berisi sekitar 100-150 potong.
Hari itu, sepanjang 30 kilometer dari Sungai Mangkutub ke Mantangai terdapat puluhan rakit besar kayu-kayu habis potong. Bahkan, beberapa kelotok atau sampan harus mematikan mesin dan menahan laju agar tidak tertabrak rakitan kayu.
Beragam jenis kayu liar, mulai dari Maranti, Mahadingan, dan Tarangtang, berasal dari hutan lindung di sisi-sisi Sungai Mangkutub dan Mantangai. Diameter kayu juga beragam, mulai dari ukuran 23-35 sentimeter (cm).
“Habitat mereka rusak. Mereka mau tinggal di rumah mana? Kalau dipaksakan tinggal di sekitar Mangkutub, cuma memberikan kesempatan manusia membunuh mereka lebih banyak lagi,” kata Kisar Odom.
Sembari bercerita, petugas lainnya berteriak, “Itu kayaknya orangutan,” sambil menunjuk ke arah sungai sekitar 80 meter dari perahunya. Ia menunjuk seonggok bulu yang mengapung di tengah-tengah sungai.
Benar saja, baru 30 menit berjalan, tim sudah melihat orangutan. Tetapi, kali ini berbeda, orangutan itu tidak bisa berenang ke tengah sungai. Ia tampak telungkup dengan wajah menghadap air, tak bergerak.
Para penyelamat orangutan tersentak karena yang mereka temukan adalah bangkai. Perahu semakin dekat, petugas pun dengan cepat meraih si orangutan. Maryos kembali memeriksa.
Benar saja, orangutan betina berumur sekitar 15 tahun itu sudah mati. Duka terasa menyelimuti. Ada lubang bekas peluru yang cukup besar dan sampai tembus punggung. Tidak mungkin senapan angin.
Setelah pembedahan, tim dokter BOS Nyaru Menteng menduga penyebab kematian karena luka tusuk benda tajam yang hampir menembus punggung orangutan. Waktu kematian diperkirakan dua sampai tiga hari sebelum penemuan bangkai.
Selain luka tusuk, terdapat pula luka di bagian punggung berbentuk garis dengan panjang sekitar 10-15 cm yang diduga bekas tebasan senjata tajam.
“Ini kan gila, kemarin kami lewat sini, tidak menemukan apa-apa. Artinya memang bangkainya baru dibuang ke sungai dengan sengaja,” kata Odom. Keji!
Kisah tragis balita-balita orangutan yang yatim atau yatim piatu tak hanya melanda orangutan di Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Timur, kebrutalan manusia menyumbang derita tiada tara bagi masa depan kera besar ini.
Senin (15/2/2016) lalu, Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur Samboja Lestari (BOS Foundation di Kalimantan Timur) menyelamatkan individu orangutan berumur 1 hingga 2 tahun. Balita itu ditemukan oleh pengelola Taman Nasional Kutai (TNK) dari permukiman warga di sekitar kebun sawit di pinggir TNK.
Saat ditemukan, bayi orangutan yang diberi nama Choki itu memiliki luka lebar menganga di batok kepalanya juga di lengan kiri. "Luka itu kira-kira baru berumur satu pekan," kata Hafiz U Riandita, seorang dokter hewan di BOS Foundation.
Choki stres berat. Ia agresif pada siapa saja yang mendekati. "Tanpa induk. Dipastikan induknya sudah mati. Bisa juga karena dibunuh," kata staf komunikasi BOS Samboja Lestari, Suwardi, Selasa (16/2/2016).
BOS segera membawa Choki ke Samboja Lestari dan menempatkannya di kandang karantina. Sikapnya mulai lebih tenang dan bisa makan. Ia mulai tak terganggu dengan kehadiran beberapa orang di sekitarnya.
Di Program Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng (BOS Kalimantan Tengah) juga pernah ditemukan bayi orangutan dalam kondisi terikat rantai yang melebihi berat badannya. Kejora, begitu nama yang diberikan BOS, ditemukan mengenaskan di depan barak karyawan perusahaan pembibitan kelapa sawit di Palangkaraya, Kalteng, awal Februari 2016.
"Orangutan ini dirantai selama 6 bulan di situ," kata staf komunikasi BOS Naru Menteng, Monterado Friedman. BKSDA Kalteng menyita orangutan itu dari perusahaan pembibitan sawit di Palangkaraya. Orangutan itu langsung dititipkan ke Program Reintroduksi Orangutan Kalteng di BOS Nyaru Menteng untuk direhabilitasi.
Ia segera diisolasi sebagai bagian dari tahap karantina dan dilakukan pemeriksaan medis lengkap. Diketahui terdapat luka bekas goresan benda tajam di dahinya dan luka bekas rantai besi di kedua sela paha kaki kiri dan kanannya.
Kejora tampak trauma atau ketakutan terhadap setiap orang yang mendekatinya. "Ia bergerak mundur ke belakang seolah mencari tempat untuk bersembunyi dan mengeluarkan suara tangisan," kata pria yang lebih sering disapa Agung ini.
Dalam pemeriksaan lanjutan diketahui orangutan itu juga menderita cacingan dan demam berdarah. "Kini ia senang dengan kehadiran kawan-kawan barunya yang sama-sama di karantina. Nafsu makan meningkat, segala buah dilahap, dihabiskannya," pungkas Agung.
Kisah tragis juga dialami Shelton, balita orangutan lainnya. Februari 2012, anak berseragam Pramuka menemukan orangutan balita penuh luka tergeletak di tepian Taman Nasional Kutai (TNK). Mereka menyerahkannya ke pengelola TNK.
Hasil mengejutkan didapati tim dokter dan petugas TNK. Terdapat banyak timah panas di tubuh si orangutan. TNK menjalin bekerja sama dengan BOS Samboja Lestari. BOS memutuskan membawa orangutan untuk menjalani perawatan intensif. Di Samboja, mereka mengoperasi dan mengeluarkan peluru dari dalam tubuh orangutan. "Kami menamai dia Shelton. Umurnya sekitar tiga tahun ketika dibawa kemari. Saat itu ada 31 peluru di tubuhnya," kata Staf Komunikasi BOSF, Suwardi, Rabu (17/2/2016).
Timah panas yang bersarang di seputar mata kanannya tak bisa diangkat karena dekat dengan otak. Operasi pengambilan peluru itu amat berisiko bagi kelangsungan hidupnya. Perlahan-lahan, jaringan penglihatan Shelton rusak dan menyebabkan matanya buta sebelah.
Suwardi mengungkapkan, hampir semua orangutan yang temukan BOSF berusia balita hingga anak-anak, tanpa induk di sekitarnya. Mereka kemudian dibawa dan menjalani rehabilitasi, sebelum kembali dilepasliarkan.
Shelton dan Choki kini menghuni di Samboja Lestari seluas 1.852 hektar. Di sana, BOS mendidik 206 individu. Mereka menjalani program rehabilitasi untuk tujuan bisadilepasliarkan kembali ke habitat mereka di hutan pada saatnya nanti.
Tidak semua bakal bisa kembali ke habitatnya. Shelton dengan kondisi nyaris buta, tentu salah satunya. Ada 40-an orangutan yang tidak akan bisa dilepaskan kembali ke habitatnya. Mereka terjangkit penyakit manusia hingga kondisi fisik yang tidak memungkinkan, seperti kondisi Shelton.
"Misal kena TBC. Ini tentu ditularkan manusia sebelum masuk kemari. Orangutan dengan sakit seperti ini tidak mungkin kita lepasliarkan karena akan menular ke yang lain. Belum lagi kondisi seperti Shelton," kata Hafiz.
Jauh sebelum Shelton dan Choki ditemukan, kisah tragis lain menguak bagaimana manusia begitu beringas pada orangutan. Kopral, orangutan jantan, masuk ke BOS pada akhir 2009. Ia datang dengan kondisi sangat mengenaskan karena kedua tangannya sudah membusuk.
Lengan kanannya, mulai dari pergelangan tangan hingga bahu, tinggal tulang tanpa ada daging sedikit pun. Adapun tangan kirinya mengalami luka bakar. Kedua kakinya punterdapat luka. Kita tak bisa membayangkan, siksaan seperti apa yang telah diterima oleh Kopral.
"Kami minta bantuan di RS Pertamina saat itu (untuk amputasi)," kata Suwardi. Kopral menderita setelah berhasil melepaskan diri dari peliharaan seorang warga di Samarinda. Dalam pelariannya, Kopral memanjat tiang listrik lalu tersengat dengan sangat parah pada kaki dan tangan.
Sang pemilik mengira Kopral akan mati. Satu pekan kemudian, Kopral masih bisa bertahan hidup. Akhirnya sang pemilik pun iba. Dia memanggil taksi dan mengantar Kopralke pusat rehabilitasi orangutan di Samboja Lestari.
"Sekarang dia sangat pintar. Makan dengan kedua kaki. Bisa melakukan apa saja. Memanjat dengan kedua kaki dan sisa tangan kiri. Dia juga menggunakan dagu kalaumemanjat," kata Hafiz.
Derita orangutan seolah tak berkesudahan. Pemerintah seolah berpangku tangan melihat berbagai praktik yang mengakibatkan habitat orangutan rusak, mulai dari pembakaran hutan dan lahan, pembukaan lahan sawit, hingga pembalakan liar. Orangutan adalah warisan terakhir spesies kera besar satu-satunya di Asia yang masih tersisa.
World Conservation Union (Daftar Merah IUCN 2007/IUCN Red List 2007) telah mengklasifikasikan orangutan di Kalimantan sebagai spesies yang terancam punah (endangered), sementara di Sumatera telah diklasifikasikan sebagai spesies yang sangat terancam punah (critically endangered).
Namun, manusia dan orangutan, yang sama-sama satu kingdom animalia dengan orangutan, terus saja berkonflik, menganggap bahwa orangutan adalah hama. Menyimak kisah Grepy, juga kisah balita-balita Choki, Kejora, Shelton, dan Kopral, kitalah yang sebenarnya menjadi hama di Bumi ini. Tak lebih dari itu.
Akhir-akhir ini, sejak kebakaran hutan, BOS sering mendapatkan pasien orangutan sakit atau anak orangutan yang kehilangan induk. Saat ini, di BOS Nyaru Menteng menampung 477 individu orangutan, 471 di antaranya masih dalam kondisi perawatan, sisanya siap dilepasliarkan.
Selain itu, terdapat 24 individu anak orangutan masih dalam kondisi rehabilitasi dan tidak memiliki induk alias yatim piatu.
Program Reintroduksi Orangutan kini seolah menjadi orangtua asuh bagi ratusan orangutan penghuninya. Mereka kini dijaga dari penyakit dan disekolahkan agar setelah dilepas ke alam bebas mampu bertahan hidup.
Baik yang jinak maupun liar, sesampainya di arboretum mereka dimasukkan dalam kandang karantina. Mereka menjalani tes kesehatan terlebih dulu. Tes kesehatan pada orangutan hampir sama dengan tes kesehatan manusia. Penyakit yang didiagnosis, di antaranya hepatitis, TBC, herpes, malaria, dan tifus.
Juga diperiksa penyakit cacing Ascaris lumbricoides dan Strongi loides. Penyakit terakhir ini dikatakan sangat berbahaya. Orangutan yang disita dari lokasi prostitusi harus menjalani tes HIV dan penyakit kelamin lainnya.
Setelah menjalani tes kesehatan, yang mengidap penyakit akan dirawat dulu. Bagi yang sehat, orangutan liar langsung dilepas ke habitatnya, sedangkan yang jinak harus disekolahkan dulu.
Sekolah orangutan juga berjenjang mulai dari taman kanak-kanak (TK). Ada semacam baby school, midway school, dan terakhir di kandang sosialisasi sebelum dilepasliarkan.
Di baby school bisa sampai puluhan murid. Mayoritas murid itu adalah yatim piatu karena orangtuanya mati dibunuh. Di kelas setingkat TK ini anak-anak dilatih oleh pengasuh atau babysitter untuk pengenalan terhadap lingkungan hutan.
Mulai kecil mereka diajari cara memanjat dan memakan makanan dari hutan. Orangutan ini diasuh oleh para babysitter, merekalah yang peduli dan tertambat hatinya untuk mengasuh balita orangutan.
Mengajari orangutan bukanlah pekerjaan mudah. Pengasuh harus memberi contoh, misalnya memanjat pohon. Kadang- kadang setelah diberi contoh memanjat sampai di atas, balita-balita itu lari meninggalkan pengasuhnya di atas sendirian.
Setelah lulus baby school, sekolah berikutnya adalah midway school. Di kelas ini sudah diajari cara memanjat profesional di pepohonan, termasuk cara berayun yang baik versi orangutan di alam liar.
Pelajaran tingkat lanjut adalah cara membuat sarang dan mencari buah-buahan di hutan untuk bekal hidup nanti. Setelah semua pelajaran diserap, mereka dimasukkan ke kandang sosialisasi sebelum dilepas ke habitatnya.
Kini, para lulusan Nyaru Menteng telah menghuni di berbagai habitat alami di berbagai tempat di Kalimantan. Walaupun program reintroduksi menjadi solusi menambah stok orangutan di habitatnya, namun tingkat keberhasilannya masih bisa diperdebatkan.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, tingkat mortalitas (kematian) orangutan lepasan tidaklah rendah. Bukan karena saat pelajaran di sekolahan orangutan itu mengantuk dan tak memperhatikan pelajaran teknik mencari makanan, namun karena kebrutalan dan kerakusan manusia, salah satunya invasi kebun sawit di Kalimantan yang merenggut habitat mereka.
Maryos adalah satu dari sekian dokter hewan di BOS Nyaru Menteng yang juga mengasuh para balita orangutan. Pria lajang berumur 34 tahun itu tinggal di Nyaru Menteng, tempatnya bekerja sehari-hari.
Awalnya, Maryos mengambil jurusan kedokteran hewan karena berpikir profesi itu masih jarang di tempat asalnya, Palangkaraya. Namun, selama tujuh tahun mengurus orangutan, ada sesuatu yang ia rasa spesial dengan orangutan.
Maryos merasakan betul kepedihan anak-anak orangutan yang kehilangan induknya. Ia seolah menjadi orangtua asuh dari balita-balita orangutan.
“Tenang aja, ibumu enggak akan mati, nanti kalau udah bangun bisa main lagi ya, sekarang diperiksa dulu,” kata Maryos kepada anak orangutan yang sedang menunggu ibu orangutan siuman dari pengaruh peluru bius.
Rasa spesial yang ia tunjukkan terlihat dari cara ia mengurus bayi orangutan tersebut. Tidak hanya menggendongnya, beberapa kali anak orangutan itu diciumnya.
Anak orangutan itu masih menangis, ia bingung karena induknya tidak merespons panggilannya. Air mata jatuh ke pipi anak orangutan tersebut. Maryos pun tak bisa menahan haru. Kali ini, air mata Maryos yang jatuh.
Kisah tragis para orangutan yang telah menjadi penjaga rimba Kalimantan telah banyak ditulis. Namun, perhatian pemerintah tetap saja minim. Data tentang orangutan di Indonesia menyebutkan, populasi orangutan di Sumatera kini tinggal 6.667 individu, sedangkan di Kalimantan 36.125 individu.
Populasi itu terus menurun seiring hancurnya habitat. Dengan laju konversi hutan menjadi lahan sawit sekitar 520.000 hektar atau seluas Pulau Bali per tahun, nasib orangutan hanya menunggu soal waktu untuk punah. (Kompas, 18 November 2015).
Laporan Achim Steiner, Executive Director of the UN Environment Programme (UNEP), dalam publikasinya “The Future of the Bornean Orangutan: Impacts of Change in Land Cover and Climate (2015)”, memberi gambaran kapan orangutan bakal punah jika tak ada upaya mengerem laju kerusakan habitat orangutan.
Steiner menyebutkan, karena sifat orangutan yang soliter dan tingkat reproduksinya rendah, serta laju deforestasi yang tinggi, diperkirakan 68-81 persen habitat orangutan saat ini akan habis pada 2080. Itu berarti, orangutan di alam liar Kalimantan akan punah 64 tahun lagi.
Hanya satu cara untuk melawan ancaman punah itu: sayangi anak-anak mereka, beri kesempatan untuk hidup!
Produser
Amir Sodikin, J Heru Margianto
Penulis
Dionisius Reynaldo Triwibowo, Amir Sodikin, Dani J
Videografer
Dionisius Reynaldo Triwibowo
Fotografer
Dionisius Reynaldo Triwibowo, Amir Sodikin, Lukas Adi Prasetya
Kreatif
Lilyana Tjoeng, Moh. Khoirul Huda, Anggara Kusumaatmaja, Bangkit Wijanarko
Copyright 2016. Kompas.com