Indonesia Merebut Freeport

Langkah pemerintah mengambil alih 51 persen saham PT Freeport melalui PT Indonesia Aluminium (Persero) terus menjadi sorotan. Ini karena banyak sekali isu yang menyertai keberadaan perusahaan tambang yang sebagian sahamnya dikuasai oleh Freeport McMoran tersebut.

Tak hanya persoalan ekonomi. Isu politik juga turut menjadi bumbu dalam proses pengambilalihan saham Freeport Indonesia. Bahkan, hadirnya perusahaan ini disebut-sebut turut mempengaruhi suksesi penguasa di Indonesia.

Sebelum menginjak ke pembahasan lebih lanjut, ada baiknya sejenak melihat sekilas sejarah hadirnya Freeport Indonesia.

Penemuan
Gunung Emas

Mengutip Wikipedia, penemuan lokasi tambang emas dan tembaga di Mimika ini sebelumnya diawali oleh sebuah ekspedisi penelitian pada 1904-1905 yang ingin membuktikan adanya pegunungan bersalju di Papua.

Ekspedisi tersebut dilakukan oleh lembaga swasta dari Belanda, Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda.

Hal yang mendorong ekspedisi tersebut adalah catatan yang ditorehkan Kapten Johan Carstensz pada 16 Februari 1623. Dalam catatannya, Carstensz menyatakan bahwa saat dia berlayar di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba melihat pegunungan yang teramat tinggi yang beberapa bagiannya tertutup oleh salju.

Dalam ekspedisi KNAG tersebut, para peneliti tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz.

  • KOMPAS/Agus Susanto
  • KOMPAS/Aris Prasetyo
  • KOMPAS/ARIS Prasetyo
  • KOMPAS/Nobertus Arya Dwiangga Martiar
  • Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda yang bekerja di perusahaan minyak NNGPM, Colijn dan Jean Jacques Dozy Dozy, berencana menaklukkan puncak Cartensz. Dozy dalam petualangannya di 1936 menemukan cadangan Ertsberg atau disebut “Gunung Tembaga”. Data batuan dari gunung tersebut selanjutnya dibawa ke Belanda.

    Sementara mengutip laporan yang ditulis Lisa Pease dalam Majalah Probe edisi Maret – April 1996 yang berjudul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur disebutkan bahwa pada 1959 seorang petinggi perusahaan tambang Belanda bernama Jan van Gruise selaku Managing Director East Borneo Company bertemu dengan seorang seorang sahabatnya bernama Forbes Wilson selaku kepala eksplorasi Freeport Sulphur Company.

    Dalam pertemuan itu, Gruise membawa laporan yang disusun oleh Dozy mengenai “Gunung Tembaga”. Laporan yang disusun Dozy tersebut sebelumnya tertimbun bertahun-tahun di sebuah perpustakaan di Belanda selama serangan Nazi.

    Saat pertemuan itu, Freeport Sulphur tengah menghadapi situasi yang sangat tidak mengenakkan. Bisnis tambang nikel yang dijalankan di Kuba tak memiliki masa depan, karena pemerintah Kuba yang dipimpin Fidel Castro mengancam akan menasionalisasi Freeport Sulphur.

    Tingkat mineralisasi yang luar biasa tinggi … Ertsberg mengandung 40-50 persen besi dan 3 persen tembaga... Tiga persen cukup tinggi untuk deposit tembaga ... Ertsberg juga mengandung perak dan emas dalam jumlah yang lebih sedikit.

    Freeport kemudian meneken kontrak eksplorasi dengan East Borneo Company pada 1 Februari 1960. Saat kontrak diteken, Irian Barat masih dalam genggaman Belanda.

    Namun yang selanjutnya terjadi adalah perubahan angin politik. Pasukan Indonesia mendarat di Irian Barat untuk merebut tanah yang selama ini dikuasai Belanda. Selain itu, tak berselang lama setelah kontrak diteken, John F Kennedy diangkat sebagai Presiden AS. Di mana Kennedy mengambil kebijakan yang sangat berbeda dengan pendahulunya. Dia juga punya hubungan yang dekat dengan Soekarno.

    Belanda bersikeras tak mau melepaskan Irian Barat. Bagaimanapun, Irian Barat merupakan warisan terakhir Kerajaan Belanda. Sementara bagi Indonesia, wilayah tersebut menjadi simbol terakhir penjajahan Belanda. Sehingga, mau tak mau harus direbut.

    Dalam perjalanannya, AS menekan Belanda di balik layar untuk mengalah kepada Indonesia. Melalui pemungutan suara, PPB menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, dengan ketentuan bahwa sebelum tahun 1969, rakyat Irian Barat akan diberi kesempatan untuk memilih apakah akan tetap menjadi bagian Indonesia atau memisahkan diri.

    Bantuan Kennedy dalam memediasi perundingan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat menjadi pukulan telak bagi Freeport Sulphur. Bagaimanapun, Freeport telah menjalin hubungan yang baik dengan Belanda lantaran telah mengizinkan misi eksplorasi awal ke Irian Barat.

    Tahun 1962 merupakan tahun yang benar-benar sulit bagi Freeport. Di Kuba, fasilitas produksi mereka dinasionalisasi. Di Irian Barat, Freeport Sulphur tak bisa melakukan bisnis meskipun sudah berhadapan dengan besarnya potensi mineral yang ada. Harapan mereka benar-benar kelabu.

    Pada 22 November1963 Kennedy terbunuh. Berbagai kebijakan yang dijalankan Kennedy untuk Indonesia berubah secara dramatis. Salah satu perubahan jangka pendek adalah pembatalan segera paket bantuan kepada Indonesia yang telah disetujui Kennedy. Pemerintahan Soekarno mulai limbung.

    Freeport yang tengah dirundung masalah dan tipisnya harapan untuk bisa berproduksi di Irian Barat, mulai mendapatkan angin segar. Perubahan rezim dari Soekarno ke Soeharto membuat perusahaan tambang ini mulai bisa bernafas lega.

    Dengan dibantu oleh Julius Tahija sebagai perantara, Freeport mulai memproses perizinan. Karena Julius juga, pejabat Freeport bertemu dengan Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia, Ibnu Sutowo di Amsterdam.

    Tambang Ertsberg dan Kontrak Karya I

    Pada tahun 1967, pemerintah merilis UU Penanaman Modal Asing guna menarik investor asing masuk ke Indonesia. Inflasi yang mencapai 600-700 persen membuat perekonomian nasional terseok-seok. Sehingga, masuknya modal asing diharapkan bisa membantu memperbaiki perekonomian nasional yang saat itu tengah porak-poranda.

    Saat UU Penanaman Modal Asing disahkan, Freeport mendapat giliran pertama kali meneken Kontrak Karya.

    Kontrak Karya diteken oleh Menteri Pertambangan Indonesia Slamet Bratanata, Presiden Freeport Sulphur Robert Hill, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Forbes Wilson.

    Kontrak Karya tersebut memberi hak kepada Freeport Indonesia untuk operasional selama 30 di Ertsberg dengan luasan lahan mencapai 10.908 hektar.

    Pada Kontrak Karya I ini, poin-poin yang disepakati meliputi royalti untuk Pemerintah Indonesia 1,5 persen dari harga jual apabila harga tembaga kurang dari 0,9 dollar AS/pound. Sementara itu apabila harga jual tembaga menyentuh 1,1 dollar AS per pound, royalti yang dibayarkan ke Indonesia 3,5 persen.

    Sedangkan untuk emas dan perak, besaran royalti ditetapkan sebesar 1 persen dari harga jual. Royalti yang diberikan ke Indonesia tersebut sangat kecil tentunya.

    Tak hanya royalti yang sangat tipis, Freeport Indonesia dalam Kontrak Karya I betul-betul dimanjakan pemerintah melalui insentif fiskal. Perusahaan tambang ini memperoleh tax holiday selama 3 tahun pertama saat mulai produksi.

    Setelah masa tax holiday habis, Freeport Indonesia hanya dikenakan pajak 35 persen selama 7 tahun setelahnya. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75 persen.

    Sebelum beroperasi, Freeport mengandeng Bechtel-McCone, perusahaan AS yang bergerak di bidang konsultan internasional.

    Bechtel-McCone company merupakan perusahaan yang dibentuk oleh Steve Bechtel Sr dan Direkrut CIA, John McCone pada kurun waktu 1960an.

    Steve Bechtel Sr adalah salah satu sahabat Augustus C.Long yang dikenal dengan panggilan Gus Long. Gus Long pernah beberapa tahun menjadi petinggi Texaco dan Caltex.

    Pengembangan tambang Ertsberg benar-benar menyedot modal. Hal ini lantaran lokasi tambang ini berada di 4.100 meterdi atas permukaan laut. Untuk bisa mengakses lokasi tersebut, dibangunlah jalan sepanjang 116 km, sebuah airstrip, pembangkit listrik, dan pelabuhan.

    Pada Maret 1973, Presiden Soeharto meresmikan tambang Ertsberg. Saat itu pula, Soeharto memberi nama wilayah yang dikembangkan Freeport tersebut “Tembagapura” yang berarti Kota Tembaga.

    Pada Desember 1973 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang.

    Memasuki tahun 1977, tambang Ertsberg sempat diserang oleh kelompok Gerakan Papua Merdeka. Menggunakan dinamit, para penyerang menyabotase lokasi tambang dan pipa saluran mineral mentah yang mengarah ke pelabuhan.

    Tambang Grasberg dan
    Kontrak Karya II

    Pada sekitar tahun 1988, Freeport mulai mengeksplorasi cadangan yang ada di sekitar Ertsberg. Apalagi, produksi tambang Ertsberg mulai berkurang.

    Menuju arah utara dari tambang Ertsberg, Freeport mendapatkan “jackpot” saat mengeksplorasi Gunung Grasberg. Wilayah tambang tersebut saat itu ditaksir memiliki cadangan tembaga dengan nilai lebih dari 40 miliar dollar AS.

    Tambang Grasberg ini adalah satu-satunya tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Tambang ini berlokasi di 12.000 kaki di atas permukaan laut dan mencakup wilayah yang cukup luas.

    Menyusul penemuan cadangan yang sangat besar Pada tahun 1988, Freeport menemukan cadangan baru di pegunungan Grasberg. Dari temuan tersebut, Freeport terus mengupayakan perjanjian kontrak kerja baru. Alasannya, investasi yang dilakukan untuk operasi Grasberg sangat besar.

    Alhasil, pada 30 Desember 1991 Kontrak Karya/KK (generasi kedua, atau yang terakhir) antara Freeport dan Pemerintah Indonesia diteken untuk masa berlaku selama 30 tahun, hingga berakhirnya tahun 2021. Padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.

    Pihak Indonesia diwakili oleh Ginandjar Kartasasmita selaku Menteri Pertambangan dan Energi dan pihak Freeport diwakili oleh Hoediatmo Hoed selaku Presiden Direktur.

    Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2 persen dari luas Irian Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.

    Adapun isi KK tersebut mengatur antara lain soal royalti dan divestasi. Disebutkan bahwa royalti, atau iuran atas produksi, yang harus dibayarkan oleh Freeport ke Pemerintah Indonesia adalah sebesar 1-3,5 persen (tergantung harga pasar) untuk Tembaga dan 1 persen untuk Emas (atau logam mulia ikutan lainnya seperti Perak).

    Ketentuan Divestasi

    Tentang divestasi disebutkan bahwa selambatnya 10 tahun setelah penandatangan KK, atau pada tahun 2001, Freeport sudah harus melepas sahamnya sebesar 10 persen kepada pihak Indonesia.

    Kemudian, untuk 10 tahun berikutnya, atau pada tahun 2011, Indonesia sudah harus memiliki 51 persen saham Freeport. Dalam ketentuan disebutkan bahwa cara penjualan saham ditentukan oleh Pemerintah Indonesia.

    Masih dalam dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi, disebutkan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih.

    Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat.

    Kehadiran Indocopper
    dan Rio Tinto


    Dalam proses divestasi saham Freeport Indonesia, penambahan saham yang dikuasai oleh pihak Indonesia dilakukan melalui pengambilalihan saham Indocooper dan Rio Tinto, dan bukan mengambil alih saham yang dikuasai Freeport McMoran. Kok bisa?

    Sedikit flashback ke belakang, saat Freeport menemukan cadangan di Grasberg, perusahaan tersebut mengajukan Kontrak Karya II. Pemerintah bersedia memberikan izin tersebut dengan catatan Freeport menambah porsi kepemilikan kepada pihak Indonesia. Freeport setuju. Enam bulan kemudian, 30 Desember 1991, akhirnya kontrak karya yang baru untuk FI diteken. Bersamaan itu pula pemerintah memperoleh jatah 9,36 persen saham. Sementara itu pihak swasta nasional yang berkesempatan membeli saham Freeport adalah Bakrie Group melalui PT Indocopper Investama dengan besaran yang sama dengan yang dikuasai pemerintah. Pembelian dilakukan pada Januari 1992. Mengutip laporan Kontan, dana pembelian saham oleh Bakrie tersebut kabarnya juga disediakan Freeport.

    Tahun 1997, Bakrie melepas sahamnya di Indocopper Investama kepada PT Nusamba Mineral Industri. Nusamba adalah perusahaan yang terafiliasi dengan pengusaha Bob Hasan. Untuk pembelian itu, Nusamba menggunakan dana pinjaman dari sejumlah bank yang dipimpin Chase, nilainya 254 juta dollar AS. Lagi-lagi Freeport berbaik hati menjadi penjamin pinjaman itu. Krisis moneter membuat dollar AS naik signifikan. Sehingga Nusamba kesulitan membayar utang-utangnya. Hingga pada 2002, Freeport sebagai penjamin melunasi utang Nusamba sekaligus mengambil alih saham Indocopper. Bahkan Freeport juga menyerap habis saham Indocopper yang ada di publik. Menguasai 100 persen saham Indocopper sama halnya Freeport mencaplok kembali 9,36 saham yang sebelumnya dilepas ke pihak swasta Indonesia.

    Sehingga alur kepemilikan saham Freeport Indonesia adalah:


    Dalam kesempatan terpisah, pada Mei 1995 Freeport McMoran, Freeport Indonesia, dan Rio Tinto membentuk usaha bersama (joint venture). Dalam kerja sama itu Rio Tinto setuju mendanai biaya eksplorasi Freeport Indonesia senilai 100 juta dollar AS.

    Tak hanya itu, Rio Tinto juga menyatakan kesanggupan untuk turut serta mendanai ekspansi Freeport di masa depan dalam porsi 40 persen. Sebagai imbal hasil, Rio Tinto berhak menerima pendapatan hasil produksi tambang yang diambil di muka sebesar porsi 40 persen. Inilah yang dimaksud dengan participating interest.

    Untuk bisa mendapatkan jatah tersebut, Freeport menetapkan sejumlah syarat, yakni jika produksi Freeport di atas 118.800 ton per hari, maka Rio Tinto akan mendapatkan bagiannya. Saat itu, produksi Freeport mencapai 125.000 ton per hari.

    Meski perpanjangan Kontrak Karya belum bisa dipastikan waktu itu, kedua pihak sudah mengantisipasi skenario lanjutan. Setelah 2021, Rio Tinto akan memperoleh 40 persen hasil penjualan bahan tambang produksi Freeport, tanpa ada batasan volume minimal produksi lagi.

    Dengan demikian, skema kepemilikan saham Freeport Indonesia dan hak Rio Tinto atas hasil produksi Freeport adalah sebagai berikut:


    Dalam perkembangannya, Indocopper dan Rio Tinto menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk menguasai 41 persen saham Freeport Indonesia. Khusus untuk Rio Tinto, participating interest tersebut kemudian dikonversi menjadi saham.

    Tarik-Ulur
    Kepentingan

    Memang tak dimungkiri, berlarat-laratnya proses divestasi saham Freeport Indonesia ke pihak Indonesia karena ada tarik-ulur kepentingan. Apalagi setelah lahirnya UU Minerba tahun 2009, tarik-ulur kepentingan itu kian terasa dalam beberapa kali perubahan Peraturan Pemerintah sebagai turunan pelaksanaan UU tersebut.

    Berikut adalah timeline tarik-ulur kepentingan terkait besaran divestasi saham yang wajib dilakukan pasca-UU Minerba:

    Wajib Divestasi

    UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba disahkan. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi kepada pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, serta swasta setelah 5 tahun berproduksi. Untuk besarannya, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)

    Wajib Divestasi Minimal 20%

    PP no 23/2010 menyebutkan penanam modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 tahun berproduksi wajib divestasi minimal 20 persen. Jika mengacu PP ini, Freeport tak perlu repor-repot mendivestasi sahamnya hingga 51 persen sebagaimana yang tertuang dalam Kontrak Karya II. Artinya, saham yang selama ini telah dilepas ke pihak Indonesia setidaknya sudah memenuhi ketentuan dalam PP ini.

    Wajib Divestasi Minimal 51%

    PP 24/2012 atau perubahan pertama PP 23/2010 menyebutkan bahwa PMA pemegang IUP dan IUPK wajib divestasi ke entitas Indonesia minimal 51 persen di tahun ke-10. PP ini merevisi ketentuan yang ada di PP sebelumnya, di mana jumlah divestasi hanya minimal 20 persen. Sekaligus, nilai divestasi yang ada di PP ini sama besar dengan yang ada di ketentuan KK II Freeport.

    Wajib Divestasi Minimal 30%

    PP no 77/2014 ini diteken sebulan sebelum Presiden Joko Widodo menjabat sebagai Presiden. Sekaligus menjadi perubahan ketiga PP 23/2010. Dalam PP tersebut ada satu poin yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK yang melakukan penambangan bawah tanah dan penambangan terbuka harus melakukan divestasi minimum 30 persen di tahun ke-10. Artinya, lebih rendah dari ketentuan sebelumnya yang mencapai 51 persen. Sejauh ini hanya ada satu perusahaan tambang yang beroperasi di bawah tanah yaitu Freeport Indonesia. Dengan adanya PP ini, Freeport cukup melakukan divestasi 30 persen saham.

    Wajib Divestasi Minimal 51%

    PP no 1/2017 ini merevisi ketentuan sebelumnya. Dalam PP ini pemerintah kembali menegaskan bahwa divestasi saham untuk pemegang KK, IUP, dan IUPK asing harus melakukan divestasi minimum 51 persen di tahun ke-10. Artinya. Semua perusahaan tambang yang dimiliki pemodal asing, termasuk Freeport, harus melepas sahamnya ke pihak Indonesia minimal 51 persen.

    Perjuangan Caplok
    51 Persen Saham
    Freeport Indonesia

    Setelah negosiasi yang alot pada awal 2017, memasuki bulan Agustus tahun yang sama tercapai kesepakatan awal antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran. Kesepakatan mencakup:

    Berikut adalah timeline tarik-ulur kepentingan terkait besaran divestasi saham yang wajib dilakukan pasca-UU Minerba:

    • Freeport Indonesia berubah dari perusahaan pemegang Kontrak Karya menjadi IUPK
    • Pemerintah memberi jaminan fiskal dan regulasi untuk operasional Freeport Indonesia
    • Freeport Indonesia bersedia membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun
    • Freeport McMoran bersedia mengurangi kepemilikan sahamnya di Freeport Indonesia sehingga pihak Indonesia bisa menguasai 51% saham Freeport Indonesia.

    Setelah tercapai, Pemerintah Indonesia memberi perpanjangan masa operasi untuk Freeport Indonesia selama 20 tahun, terhitung sejak 2021 hingga 2041.

    Setelah kesepakatan tersebut, pembicaraan antara berbagai pihak yang terkait, digelar. Terutama menyangkut akuisisi participating interest Rio Tinto untuk dikonversi menjadi saham Freeport Indonesia.

    Pemerintah Indonesia melalui Inalum kemudian mengidentifikasi sejumlah opsi untuk bisa menguasai 51 persen saham Freeport Indonesia. Berikut adalah simulasinya:

    Para Pihak Penguasaan saham (%) Penguasaan produksi (%)
    FCX (dan Indocopper) 90,64 54,32
    Inalum 9,36 5,68
    Rio Tinto 0 40

    Jika hanya membeli saham dari Freeport McMoran

    Para Pihak Penguasaan saham (%) Penguasaan produksi (%)
    FCX (dan Indocopper) 49 29
    Inalum 51 31
    Rio Tinto 0 40

    Jika membeli saham Freeport McMoran dan participating interest Rio Tinto

    Para Pihak Penguasaan saham (%) Penguasaan produksi (%)
    FCX (dan Indocopper) 49 49
    Inalum 51 51
    Rio Tinto 0 0

    Melihat kondisi itu, yang tentunya akan ditempuh adalah mengambil alih seluruh saham Indocopper dari Freeport McMoran serta participating interest Rio Tinto.

  • KOMPAS/Raditya Helabumi
  • KOMPAS/Raditya Helabumi
  • KOMPAS/Priombodo
  • Untuk mencaplok Indocopper, Inalum harus membayar 350 juta dollar AS. Sementara itu untuk mengambil alih 40 persen saham partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia, Inalum harus menyiapkan dana senilai 3,50 miliar dollar AS. Participating interest tersebut yang kemudian dikonversi menjadi saham.

    Membeli participating interest Rio Tinto jauh lebih murah ketimbang beli saham langsung sebesar 40 persen Freeport Indonesia dari Freeport McMoran. Selain itu, jika participating interest tersebut tidak diambil oleh Indonesia, Rio Tinto akan menjual kepada pihak lain. Sehingga hal ini akan membuat posisi Indonesia semakin sulit dalam rangka menguasai 51 persen saham.

    Pada tahun 2015, Freeport McMoran pernah menawarkan 10 persen saham Freepprt Indonesia seharga 1,9 miliar dollar AS atau jika 40 persen seharga 7,6 miliar dollar AS.

    Selanjutnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Pada tanggal 27 September 2018, perjanjian jual beli saham Freeport Indonesia antara pihak Indonesia dengan Freeort McMoran dilakukan. Dengan perjanjian tersebut, Indonesia selangkah lagi menguasai 51 persen saham Freeport.

    Setelah diakuisisi, skema kepemilikan Freeport Indonesia adalah sebagai berikut:

    Beberapa Isu

    Selain masalah pengalihan saham, ada sejumlah isu yang muncul terkait dengan Freeport Indonesia, yakni penurunan produksi dan masalah lingkungan. Dua hal ini yang sering menjadi sorotan pihak lain dalam kaitannya dengan keberadaan Freeport.

    Penurunan Produksi

    Saat ini Freeport Indonesia mulai mengembangkan tambang bawah tanah dan mulai mengurangi produksi di tambang terbuka. Implikasi dari kegiatan operasional ini, produksi Freeport Indonesia akan turun drastis sehingga arus kas diprediksi akan negatif pada periode 2019-2020. Hal ini akan menurunkan kemampuan Freeport membayar dividen atau bagi hasil keuntungan.

    Akan tetapi setelah tambang bawah tanah mulai berproduksi, kondisi keuangan Freeport akan mulai membaik. Bahkan diprediksi akan menyentuh puncaknya pada tahun 2034.

    Lingkungan

    Isu lingkungan juga terus menjadi sorotan. Hal ini terkait dengan limbah tailing yang dibuang Freeport di alam terbuka. Hal ini dinilai membahayakan lingkungan sekitar. Terkait dengan hal ini, Menteri KLHK beberapa waktu lalu telah menjatuhkan sanksi ke Freeport.

    Terkait dengan isu lingkungan ini pula, Rio Tinto ingin melepas participating interest yang ada di Freeport Indonesia. Pasalnya, perusahaan tambang tersebut ingin menjadi perusahaan yang lebih ramah lingkungan. Apalagi tahun 2008 silam, Norwegia telah melarang dana pensiunnya menginvestasikan di Rio Tinto karena perusahaan tersebut tidak ramah lingkungan.

    Tak cuma Norwegia, dana pensiun negara-negara Eropa juga melakukan hal yang serupa karena masalah tersebut.

    Produser
    Bambang Priyo Jatmiko
    Editor
    Bambang Priyo Jatmiko
    Penulis
    Akhdi Martin Pratama, Ambaranie Nadia
    Kemala Movanita, Andri Donnal Putera
    Mutia Fauzia, Putri Syifa Nurfadilah
    Sakina Rakhma Diah Setiawan
    Erlangga Djumena
    Copywriter
    Georgious Jovinto
    Graphic Designer
    Maulana Mickael
    Developer
    Nurhaman
    Supervisor
    Donald Yudi Winarso

    Copyright 2018. Kompas.com