Kala itu, manusia dan gajah liar tak bersahabat. Gajah liar berulang kali memasuki lahan pertanian dan memakan hasil pertanian warga. Warga merasa geram karena hasil panen terus menurun akibat serangan para gajah liar ini.
Mereka melakukan berbagai cara untuk mengusir kawanan gajah liar. Namun terkadang cara-cara yang dilakukan warga menyakiti gajah. Padahal, para gajah terpaksa memasuki lahan pertanian warga untuk mencari variasi makanan yang jumlahnya terus menipis di habitat aslinya.
Konflik ini terjadi bertahun-tahun hingga Elephant Response Unit (ERU) hadir. Pusat konservasi gajah di kawasan Taman Nasional Way Kambas, Lampung mencoba mendamaikan keduanya. ERU melatih gajah-gajah untuk membantu warga menghalau gajah liar yang ingin memasuki lahan pertanian. Para gajah berdiplomasi sehingga tak ada yang tersakiti.
Konflik gajah dengan manusia telah terjadi sejak lama. Pada 1980-an, seorang warga bernama Atmo Parigi mengalami kejadian yang tak akan dia lupakan sepanjang hidupnya. Ketika itu dia hampir kehilangan nyawa untuk menyelamatkan hasil panennya. Atmo merupakan warga Desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, Lampung. Desa itu terletak dekat Taman Nasional Way Kambas yang menjadi habitat gajah liar.
"Saat itu saya menanam padi dan sudah waktunya panen. Saya sudah selesai memotong padi dan menumpuknya di tepi sawah. Tiba-tiba datang empat ekor gajah dan mendekati tumpukan panen saya," cerita Atmo.
Dia lantas berusaha mengusir gajah-gajah tersebut menggunakan obor untuk menyelamatkan panennya. Namun tak disangka, keempat gajah itu justru balik mengejar Atmo yang kala itu hanya seorang diri.
"Waktu itu sungai-sungai belum ada lampu, saya tidak tahu di depan saya ada sungai dan saya tercebur saat kondisi air sedang banjir dan saya tenggelam," kata dia. Ia pun berenang untuk meraih batang pohon dan naik ke tepian sungai. Namun, Atmo amat terkejut karena kawanan gajah masih menunggunya.
"Saya takut sekali dan berusaha memanjat pohon yang batangnya hanya sebesar paha saya. Di bawah gajah menggeram. Kalau dia dorong batang pohon yang saya panjat, sudah pasti saya akan jatuh dan jadi bulan-bulanan si gajah," kenangnya.
"Saya memanjat pukul 22.00 dan gajah baru pergi pukul 04.00 subuh. Saya langsung pulang dan menemui keluarga saya. Keluarga saya menangis, dikira saya sudah mati," tambah dia.
Di Lampung, Atmo dan istrinya menjadi petani dan menanam berbagai jenis palawija untuk mendapatkan pundi rezeki di tanah rantau. Selama bertahun-tahun, Atmo dan keluarganya kerap ketakutan dengan datangnya gajah liar ke area pertaniannya.
Kini, Atmo tak lagi merasakan serangan gajah liar semenjak hadirnya ERU. Menurutnya, ERU mengajarkan cara menghalau dengan cara yang tak menyakiti gajah-gajah tersebut.
“Saya juga sering ikut blokade, semacam ronda malam di tanggul untuk mencegah gajah masuk lahan pertanian. Jadi sebelum gajah masuk, kami dan para gajah yang sudah dilatih sudah dapat menggiring gajah kembali ke kawasan Taman Nasional Way Kambas," ujarnya.
Atmo juga sering meminta bantuan para gajah terlatih untuk merobohkan pohon di area pertanian.
Upaya gajah memasuki area pertanian warga kerap melukai mereka. Salah satunya Elena yang kaki kirinya terluka karena terkena jerat. Anak gajah itu berjalan tertatih dengan menyeret kaki belakang sebelah kiri. Akibatnya, Elena tak dapat mengikuti langkah induknya yang meninggalkannya dan semakin jauh dengan rombongan.
Tim ERU akhirnya mengevakuasi Elena pada 28 Desember 2016. Ternyata tak hanya kaki kiri belakangnya yang terluka, bekas jerat pun tampak di kaki kanan depan. Elena kemudian dirawat di Camp Tegal Yoso oleh seorang pengasuh bernama Mbah Napi.
Mbah Napi merupakan warga sekitar Tegal Yoso yang direkrut oleh ERU untuk menjadi mahout, sebutan untuk pawang gajah. Kini relasi keduanya sudah sangat erat, Mbah Napi menganggap Elena sebagai anak gadisnya sendiri. “Saya bersihkan kandangnya, memotong-motongkan makanannya agar mudah dikunyah, memandikannya, dan mengajaknya jalan-jalan di sekitar camp,” ujar Mbah Napi.
Elena juga memiliki induk angkat bernama Dona, gajah jinak yang pernah menjadi gajah sirkus di PLG Way Kambas. Meski telah memiliki anak bernama Qory, Dona seolah tak keberatan merawat Elena. “Tapi Qory itu seperti manusia. Kadang cemburu juga kalau induknya dekat-dekat dengan Elena,” kata Mbah Napi.
Selain Elena, nasib malang juga menimpa Erin. Anak gajah ini ditemukan tim ERU dalam kondisi belalainya sudah terpotong. Belalai Erin diduga terkena jerat yang dipasang warga untuk mencegah babi dan rusa masuk ke lahan pertanian.
Saat itu kondisi tubuh Erin sangat kurus. Ia hampir mati karena terpotongnya belalai membuatnya kesulitan makan dan minum. Erin sangat lemas dan diperkirakan sudah ditinggalkan kawanannya selama 4-5 hari. Akhirnya, dengan bantuan gajah dewasa yang sudah jinak, Erin dituntun untuk berjalan sampai di mobil evakuasi.
Tim ERU yang bekerja sama dengan Pusat Latihan Gajah (PLG) kemudian merawat Erin secara intensif. Dengan bantuan dokter hewan, kondisi Erin akhirnya berangsur pulih. Kini Erin dirawat di PLG Way Kambas. Saat ini, Erin sudah berusia empat tahun dan dalam kondisi sehat.
Kini, warga tak lagi menggunakan alat-alat yang dapat menyakiti gajah. Elephant Response Unit (ERU), pusat konservasi gajah di kawasan Taman Nasional Way Kambas mencoba menghadirkan mediasi untuk konflik antara manusia dan gajah.
Nassarudin, pegawai Taman Nasional Way Kambas adalah penggagas berdirinya ERU. Dia tergerak untuk mengakhiri konflik antara kedua manusia dan gajah. Bak sebuah sekolah, melalui ERU, Nassarudin “mendidik” dan mendaulat para gajah liar menjadi agen pendamai bak seorang diplomat.
Ada “asrama” untuk para gajah binaan. Mereka tinggal di lahan terbuka dengan pagar pembatas. Gajah-gajah terlatih ini juga diajak berkeliling (diangon) dan dimandikan saat siang hari. Hal ini dilakukan untuk membuat para gajah tetap dapat berinteraksi dengan habitat aslinya.
Para gajah yang bersekolah di ERU adalah gajah-gajah yang diselamatkan. Mereka adalah gajah yang tak lagi bisa bertahan hidup di alam liar seperti Elena. Setiap mahout dan asisten mahout di ERU memiliki tugas mendeteksi keberadaan gajah liar bermasalah, kemudian mengevakuasi, dan mengubah gajah liar tersebut menjadi siswa baru.
Gajah-gajah di ERU lalu didaulat menjadi mediator antara manusia dan para gajah liar dalam mempertahankan hak masing-masing tanpa konflik. Mereka bertugas mencegah gajah liar melewati tanggul pembatas Taman Nasional Way Kambas dengan wilayah pertanian.
Gajah terlatih yang berada di camp paling dekat dengan lokasi gajah liar akan memantau pergerakan gajah. Dengan instingnya, gajah-gajah terlatih dapat menemukan lokasi gajah liar. Meski telah ditemukan rute perpindahan, waktu perpindahan gajah tidak dapat diprediksi. Gajah-gajah terlatih dibutuhkan pada tahap ini untuk melakukan monitoring.
Gajah terlatih akan memberikan kode-kode tertentu melalui perubahan langkah, kibasan telinga, dan kibasan belalai yang terangkat saat mendeteksi keberadaan gajah liar. Biasanya di sekitar lokasi gajah liar, kondisi rumput merunduk kerena terinjak kaki gajah. Kotoran gajah yang masih basah dapat juga menjadi penanda keberadaan gajah liar.
Salah satu gajah yang dilatih berdiplomasi di ERU adalah Melly. Ia akan memberikan kode ketika mencium jejak gajah liar di sekitarnya. Saat itu Melly tiba-tiba mempercepat langkahnya sambil mengibaskan telinganya yang lebar. Melly tampak gusar. Belalainya diangkat tinggi-tinggi dan mengendus ke sejumlah arah.
Benar saja, di sekitar lokasi tersebut rumput-rumput merunduk membentuk sebuah garis selebar telapak kaki gajah, lengkap dengan kotoran gajah berwarna kehijauan yang masih tampak basah. Menjelang petang, Melly, si gajah betina itu, tengah menyusuri tepian Taman Nasional Way Kambas, Kampung Timur, tepatnya di sekitar Desa Margahayu.
Melly bersama lima gajah jinak lainnya mencoba menelusuri keberadaan kawanan gajah liar. Sore itu gajah-gajah liar di kawasan Taman Nasional Way Kambas diprediksi tengah melakukan migrasi dari Desa Tegal Yoso menuju Desa Margahayu. Melly berhasil mendeteksi keberadaan gajah-gajah liar tersebut dan harus memastikan teman-temannya tidak terlibat konflik dengan penduduk sekitar.
Pada jarak sekitar 10 meter, di antara semak-semak dan cahaya sore terlihat sesosok gajah berukuran tak begitu besar tengah menikmati rerumputan dan pelepah daun kelapa. Pawang gajah yang kerap disebut mahout segera memberi kode-kode khusus kepada para gajah yang dilatihnya untuk menghalau hewan besar tersebut agar tak keluar dari kawasan Taman Nasional Way Kambas.
Melly dan kawan-kawannya mengeluarkan suara nyaring dan membuat gajah liar tersebut lari meninggalkan kawasan perbatasan. Sore itu dapat dipastikan kawasan pertanian warga aman dari serbuan gajah liar. Para gajah liar pun aman dari warga yang kemungkinan akan menghakiminya jika merasa lahan pertanian mereka terusik.
Dia didaulat untuk menjadi layaknya seorang diplomat. Gajah-gajah terlatih dibekali ilmu bernegosiasi untuk mengajak gajah-gajah liar tak melewati garis batas antara taman nasional dan kawasan pertanian warga.
Kini para gajah terlatih bersahabat dengan warga sekitar camp ERU. Kedua pihak bekerja sama memantau gajah liar. Saat gajah liar terdeteksi di dekat tanggul perbatasan, warga akan melakukan blokade di sekitar tanggul. Dengan bantuan gajah terlatih dan suara petasan yang dibunyikan warga, para gajah liar akan kembali ke kawasan taman nasional.
Melalui kerja sama antara warga dan para gajah terlatih, konflik antara warga dan para gajah liar menurun secara signifikan. Data tim ERU menyebutkan konflik gajah dengan manusia di daerah Tegal Yoso menurun dari 55 konflik di tahun 2014, kemudian menjadi 13 konflik di tahun 2016. Hal yang sama terjadi di camp Bungur. Pada tahun 2014 terjadi 22 kali konflik, dan pada tahun 2016 jumlah ini menurun menjadi 6 konflik saja.
Tak hanya itu, kini warga juga dapat meminta bantuan para gajah terlatih untuk melakukan kegiatan yang memerlukan tenaga yang besar seperti merobohkan pohon dan menarik mobil yang terjebak di tanah berlumpur. Pada akhirnya manusia dan para gajah bisa bersahabat.
Copyright 2018. Kompas.com