Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.54 WIB kerak bumi di bawah Daerah Istimewa Yogyakarta bergolak.
Guncangan gempa selama 57 detik tersebut membuat ribuan bangunan rusak dan rata dengan tanah. Sekitar 5.800 orang tewas dan 20.000 luka-luka. Banyaknya jumlah korban membuat gempa Yogyakarta tercatat sebagai gempa di Jawa yang paling mematikan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagaimana United States Geological Survey (USGS) mencatat, gempa berkekuatan M 6,3 itu berpusat pada 7,962 Lintang Selatan dan 110,43 Bujur Timur dengan kedalaman hanya 10 km.
Daerah yang mengalami kerusakan dan kerugian terparah terletak di sepanjang Patahan Opak (Opak Fault).
Patahan Opak merupakan garis patahan memanjang yang membentuk lembah Opak. Patahan sepanjang 30 km itu berpangkal di Sanden, Kabupaten Bantul, DIY, dan berujung di Tulung, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Lihat peta di bawah untuk mengetahui kondisi lokasi yang terdampak bencana kala itu.
Peta Yogyakarta dan Kondisi Lokasi yang Terdampak Bencana.
Kini 10 tahun sudah berlalu sejak kejadian tragis itu. Apa kabar Yogyakarta? Foto-foto ini bisa memberi gambaran.
Warga Yogyakarta pun berjuang meneruskan hidup, melupakan kejadian yang merenggut nyawa pasangan hidup, orang tua, anak, maupun sanak keluarga dan teman.
Beberapa warga Yogyakarta harus berpindah menempati rumah dan lingkungan yang sama sekali baru. Salah satunya adalah mereka yang kini menghuni rumah dome.
Bagi ilmuwan, gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 pagi bukan saja momen kesedihan, tetapi peristiwa penuh teka-teki yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan secara gamblang.
Beberapa saat setelah gempa, ketika warga dan para relawan masih sibuk dengan evakuasi korban gempa, dunia ilmiah sudah diwarnai kontroversi.
Para ahli meyakini, gempa Yogyakarta dipicu aktivitas sesar Opak. Namun kontroversi awal yang muncul adalah di mana pusat gempa Yogyakarta? Setidaknya ada lima versi pusat gempa berdasarkan analisis dari berbagai lembaga dunia.
Wajar saja jika hasil analisis nampak berbeda. Hal ini karena masing-masing menggunakan dasar, model, dan perangkat yang berbeda. Setiap analisis bisa saja benar namun tetap memiliki dampak secara ilmiah.
Lihat tabel skenario dari masing-masing lembaga di bawah ini.
United States Geological Survey
Berdasarkan analisis USGS, pusat gempa Yogyakarta 2006 berada pada 7.962°LS, 110.458°BT, tenggara kota Yogyakarta, dekat wilayah Dlingo, Bantul, atau sebelah timur pusat kerusakan gempa.
USGS menyatakan, gempa berkekuatan M 6,3 dengan pusat gempa pada kedalaman 10 kilometer. Artinya, gempa termasuk gempa dangkal.
Pernyataan USGS bisa saja benar. Episentrum gempa Yogyakarta menurut USGS berdekatan dengan episentrum beberapa gempa-gempa setelah 27 Mei 2006.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Bila pusat gempanya berada jauh ke timur, bagaimana mungkin pusat kerusakan akibat gempa berada pada jarak jauh di barat?
Harvard Centroid Moment Trensor
Harvard CMT menyatakan, pusat gempa Yogyakarta berada pada koordinat 8.03 LS dan 110.54 BT, mendekati wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kekuatan gempa menurut Harvard CMT adalah M 6,4. Pusat gempa pada kedalaman 21,7 kilometer, masih masuk gempa dangkal namun lebih dalam dari perkiraan USGS.
Jika Harvard CMT benar, akan muncul banyak pertanyaan. Sebab, pusat gempa menurut Harvard CMT berada jauh di timur dari pusat kerusakan dan pusat gempa-gempa sesudagh 27 Mei 2006.
Bagaimana mungkin pusat gempa berada jauh di timur sementara kerusakannya berada jauh di barat? Pusat gempa Harvard CMT berada jauh di timur sesar Opak, mungkinkah gempa Yogyakarta disebabkan oleh sesar lain yang belum diketahui?
U.S. National Earthquake Information Center Fast-Moment-Tensor
Menurut NEIC-FMT, pusat gempa Yogyakarta berada pada koordinat 8.007 LS, 110.286 BT, berada di wilayah pantai, berdekatan dengan muara sungai Opak.
Gempa diperkirakan berkekuatan M 6,5. Pusat gempa berada pada kedalaman 28 kilometer, masih masuk gempa dangkal tetapi lebih dalam dari perkiraan USGS dan Harvard CMT.
Pusat gempa perkiraan NEIC FMT yang sejalur dengan sesar Opak bisa saja benar bila dilihat pusat kerusakan akibat gempa yang berada di sekitar sungai Opak.
Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan gempa-gempa susulan sesudagh 27 Mei 2006. Mengapa lokasinya di timur sesar Opak?
National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience
NIED menyatakan, pusat gempa Yogyakarta berada pada koordinat 7,89 LS, 110,41 BT, nerada di dekat sungai Opak, berdekatan dengan pusat kerusakan gempa akibat gempa.
Kekuatan gempa diperkirakan M 6,3 dengan pusat gempa berada pada kedalaman 10 kilometer. Pernyataan NIED sama dengan USGS kecuali pada lokasi pusat gempa.
Sumber gempa NIED masuk akal. Sebab, episentrum prediksi NIED berdekatan dengan pusat kerusakan gempa. Namun, pusat gempa NIED jauh dengan pusat gempa susulan setelah 27 Mei 2006. Bagaimana bisa?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Menurut BMKG, pusat gempa berada pada koordinat 8.03 LS dan 110,32 BT. Kekuatan gempa diprediksi M 5,9. Pusat gempa berada pada kedalaman 11,7 kilometer.
Pernyataan BMKG jauh berbeda dengan lembaga-lembaga lain. Sebab, dengan koordinat yang diberikan, pusat gempa menurut BMKG berada di wilayah lautan selatan Yogyakarta.
Akan ada banyak pertanyaan yang muncul bila episentrum gempa BMKG-lah yang benar. Namun pertanyaan utamanya adalah: apakah mungkin sesar Opak yang dibilang sebagai biang gempa 27 Mei 2006 lebih panjang dari yang diduga, merentang hingga lautan?
Hingga beberapa tahun kemudian - di tengah ramainya bencana lumpur Lapindo yang diduga dipicu oleh gempa Yogyakarta - para ahli terus meneliti sumber-sumber gempa Yogyakarta.
Studi TR Walter (GeoForschungsZentrum Potsdam, Jerman) dan rekan mengungkap, pusat gempa berada pada 10-20 kilometer dari pusat kerusakan.
Gelombang gempa diperbesar saat melewati wilayah pusat kerusakan. Perbesaran terjadi karena wilayah yang banyak mengalami kerusakan tersusun atas endapan vulkanik dari Gunung Merapi.
Studi yang dilakukan Takeshi Tsuji dari Kyoto University, Irwan Meilano dari ITB, dan rekan memberi petunjuk lebih gamblang tentang episentrum gempa Yogyakarta tahun 2006.
Menurut studi itu, pusat gempa berada 10 kilometer dari sesar Opak yang diketahui selama ini. Mekanisme gempa Yogyakarta juga bukan hanya gerak sesar mendatar, tetapi juga vertikal.
Muncul pertanyaan baru. Jika sumber gempa Yogyakarta berada pada jarak 10 kilometer dari sesar Opak, lantas sesar apa yang menyebabkannya? Ada dugaan, sesar Opak tak seperti yang diduga selama ini. Sesar Opak tidak tegak lurus melainkan miring ke arah timur. Di wilayah timur, sesar opak lebih dalam.
Pengalaman pasca-gempa Yogyakarta memberikan satu pelajaran. Riset mampu mengungkap banyak hal yang belum diketahui dan perlu didukung.
Riset bukan hanya penting untuk Yogyakarta. Masih banyak sumber gempa di Nusantara yang belum dipahami. Pemahamannya penting untuk mencegah kerusakan dan kematian akibat gempa.
Sejarah mencatat tahun 1867 terjadi gempa besar yang menyebabkan kerusakan besar rumah–rumah penduduk, bangunan Keraton Yogyakarta, dan kantor–kantor pemerintah kolonial. Gempa besar juga terjadi pada tahun 1937, 1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006. Namun, gempa dengan jumlah korban besar terjadi pada tahun 1867, 1943, dan 2006.
Kini, 10 tahun berlalu sejak gempa 2006, kerak di bawah Yogyakarta tidak lantas diam, gejolak tektonik masih tetap ada. Terbukti karena hampir 100 gempa bumi yang berkekuatan lebih dari M 3,0 terus terjadi di daerah yang langganan terdampak gempa ini.
Gempa besar yang sedahsyat tahun 2006 memiliki periode tersendiri dan sangat mungkin terulang kembali di masa datang.
Gempa Yogyakarta dalam ilmu kegempaan dipicu oleh sesar daratan yang dangkal (shallow crustal), berbeda dengan gempa dan tsunami Aceh pada tahun 2004. Sesar daratan bukan hanya ada di Yogyakarta. Jadi, gempa seperti pada 27 Mei 2006 tidak hanya berpotensi terjadi di Yogyakarta.
Klik provinsi yang ingin dilihat untuk mengetahui potensi gempanya pada peta di bawah ini.
Setelah semua ini terjadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi hal serupa terulang kembali?
Bukan gempa yang membunuh, bangunan yang runtuhlah yang sebenarnya mematikan. Begitu sering dikatakan.
Sementara para ilmuwan bergelut mengungkap sumber gempa yang belum diketahui dan pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan agar lebih siap siaga bencana, ada hal yang bisa kita lakukan sendiri.
Kita bisa membangun rumah tahan gempa.
Tahun 2006, Direktorat Jenderal Cipta karya, Departemen Pekerjaan Umum, menerbitkan Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa dilengkapi dengan Metode dan cara Perbaikan Kerusakan.
Dari dokumen itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat membangun rumah.
Copyright 2016. Kompas.com