Pekerjaan Hijau, Pekerjaan untuk Masa Depan Berkelanjutan

Sama seperti orang lain, saat bertemu teman, saya kerap kali bicara soal pekerjaan. Pertanyaan yang sering muncul adalah: Bagaimana nasib pekerjaan kita pada masa depan? Apakah keahlian kita masih dibutuhkan di masa depan?
Setelah berkali-kali berdiskusi, saya menyadari bahwa mayoritas obrolan pekerjaan berfokus pada dampak teknologi digital. Obrolan sering mengabaikan tantangan besar lain yang sebenarnya berpotensi mendisrupsi dunia kerja kita saat ini, yaitu tantangan lingkungan.
World Meteorological Organization (WMO) dalam laporannya pada Mei 2022 menyebutkan, ada 66 persen kemungkinan bahwa dalam lima tahun ke depan, suhu rata-rata tahunan Bumi bakal mencapai 1,5 derajat lebih tinggi dari masa sebelum era industri.
Kenaikan suhu itu tak lepas dari emisi karbon dioksida yang terus meningkat. Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan, terhitung sejak 1850 saja, manusia sudah menghasilkan emisi karbon sebesar 1,5 triliun gigaton.
Dalam jangka panjang, kenaikan emisi dan suhu itu akan membuat bencana hidrometeorologi makin ekstrem, mendorong kepunahan massal sejumlah spesies hewan dan tumbuhan, hingga tenggelamnya sebagian wilayah seperti Jakarta dan kota-kota besar di Jawa.

Tantangan lingkungan yang terjadi melahirkan sejumlah inisiatif. Dalam pemenuhan energi, misalnya, lahir gagasan soal energi bersih dan terbarukan. COP 28, pertemuan internasional soal perubahan iklim pada 2023 di Dubai, menghasilkan kesepakatan mengakhiri batu bara dan beralih ke energi terbarukan.

Bahkan, sebelum kesepakatan itu terjadi, inovasi teknologi terkait energi telah dimulai. Dalam riset, ilmuwan Indonesia, Eniya Listyani Dewi, dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan peraih Habibie Science and Technology Awards 2018 menggagas material maju untuk fuel cell energi terbarukan.

Solar Impulse, pesawat berawak satu dan sepenuhnya diterbangkan dengan tenaga surya yang diinisasi oleh 2 orang berkebangsaan Swiss, Andrea Borschberg dan Bertrand Piccard, terakhir berhasil terbang 16 jam nonsetop. Krisis lingkungan berpotensi memicu inovasi teknologi lain dan disrupsi dalam di dunia kerja. Carl Benedikt Frey, Associate Professor Kecerdasan Buatan dan Kerja di Universitas Oxford, mengatakan bahwa tandanya sudah terlihat kini. Teknisi listrik pun dituntut bisa memasang panel surya.

Pekerjaan sebagai perekayasa dalam pertambangan batu bara yang saat ini dibanggakan bakal obsolete. Sebaliknya, kata Frey, profesi peneliti dan perekayasa energi terbarukan akan menjadi pekerjaan idola masa depan. Munculnya permintaan periset energi terbarukan dan teknisi pemasangan panel surya memberi petunjuk bahwa disrupsi yang terjadi karena tantangan lingkungan–kiranya bisa disebut green disruption–bakal mendorong terciptanya pekerjaan yang lebih ramah lingkungan, green jobs.

Apa Itu Green Jobs dan
Apakah Sudah Ada?

Ini pertanyaan yang tricky. Definisinya belum jelas saat ini. International Labor Organization (ILO) dan United Nation for Environmental Programme (UNEP) pada tahun 2007 mendefinisikan green job sebagai pekerjaan layak yang bertujuan melestarikan dan memulihkan lingkungan.

Aktivis lingkungan jelas merupakan green jobs. Namun, bagaimana dengan pakar teknologi informasi? Jerman tak mengklasifikasikannya sebagai green jobs dan itu problematik. Bagaimana jika pakar itu berkonsentrasi pada upaya mengurangi emisi dalam proses digitalisasi?

Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, mengadopsi definisi ILO. Sektor-sektor yang diidentifikasi menawarkan green jobs, antara lain energi terbarukan, pertanian, urbanisasi, pariwisata, industri, dan teknologi. Akan tetapi, identifikasi menurut sektor bisa memicu masalah yang sama seperti di Jerman.

Meski begitu, dari definisi ILO, kita bisa menurunkan definisi green jobs dari dua kata kunci, yaitu “layak” dan “untuk lingkungan”. “Layak” berarti pekerjaan itu mampu memenuhi hak asasi manusia, inklusif atau bisa ditekuni siapa pun, dan mampu menyejahterakan.

Adapun “untuk lingkungan” berarti pekerjaan itu bisa melindungi serta memulihkan ekosistem dan melestarikannya, mendukung adaptasi pada perubahan iklim, meminimalkan limbah dan polusi, serta membatasi emisi gas rumah kaca.

“Ada dua kata kunci terkait green jobs. “Layak” dan “Untuk Lingkungan.” “layak” berarti inklusif dan menyejahterakan. “Untuk lingkungan” berarti bisa melindungi dan mengatasi tantangan iklim, limbah, biodiversitas, dan lainnya.

Tanpa kita sadari, green jobs sebenarnya sudah ada. Saat mencari di LinkedIn, misalnya, kita akan menemukan pekerjaan seperti “Sustainability Manager” yang berperan memastikan praktik produksi sebuah industri memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Pekerjaan itu bisa dikatakan green jobs.
Ada pula green start-up yang berkonsentrasi pada perbaikan praktik perikanan dari hulu ke hilir dengan bantuan teknologi digital. Sesuai tujuannya, secara umum, pekerjaan yang dinaungi oleh perusahaan rintisan itu bisa dikatakan green jobs.

Green jobs saat ini juga tersedia di sektor informal. Seiring dengan maraknya pertanian organik dan urban farming, muncul pula peran baru seperti produsen pupuk organik serta penjual online sayuran dan buah organik. Dua pekerjaan itu bisa disebut green jobs.
Di Yogyakarta dan Flores, sejumlah perempuan membentuk koperasi ataupun perusahaan kreatif untuk menghasilkan batik dan tenun dengan pewarna alami untuk mengurangi limbah tekstil berbahaya. Maka dari itu, mereka bisa disebut green entrepreneurship.

Jadi, green jobs saat ini sudah ada dan sangat luas cakupannya. Beberapa adalah bidang atau peran yang sama sekali baru, seperti “sustainability manager” dan “perekayasa teknologi digital rendah emisi.”

Namun, beberapa pekerjaan sebenarnya merupakan bidang yang sudah lama ada.

Dengan adanya inisiatif hijau, green jobs bisa berarti pekerjaan konvensional yang di-upgrade, di-update, dan diperluas perspektif kerjanya.
Disrupsi dan Green Jobs:
Kasus Sektor Energi

Bakal seluas apa sih dampak green disruption akibat inisiatif pro-lingkungan saat ini? Berapa pekerjaan yang berpotensi hilang? Bagaimana dengan prospek ketersediaan green jobs pada masa depan, khususnya di Indonesia?

Untuk menjawabnya, mari kita lihat komposisi tenaga kerja dalam bidang-bidang yang diidentifikasi negara-negara ASEAN sebagai green opportunities sesuai data Badan Pusat Statistik pada tahun 2021 ini.

Mengasumsikan bahwa green jobs adalah jenis pekerjaan konvensional yang telah mendapatkan perspektif lingkungan, prospek ketersediaan green jobs – sekaligus dampak green disruption yang mungkin terjadi – paling tidak ialah sebesar jumlah tenaga kerja saat ini.

Gambaran green disruption dan prospek green jobs akan lebih jelas jika kita melihat sektor energi. Hal itu karena target dunia dan Indonesia dalam sektor tersebut, meski tak bisa dibilang sempurna, sudah lebih jelas: meninggalkan energi fosil seperti batu bara dan beralih ke energi terbarukan.

Tabel di bawah ini memberi gambaran lapangan kerja di sektor energi fosil.

Sementara itu, tabel ini memberi gambaran ketersediaan pekerjaan pada sektor energi terbarukan pada 2019. Perlu dicatat, data itu hanya mencakup tenaga kerja teknik, meliputi feasibility study (FS), basic design, EPC, dan operational & maintenance (O&M).

Tahun 2050, Pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 31 persen dan pertambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 167 gigawatt.

Koaksi Indonesia menghitung dampak kebijakan itu pada prospek ketersediaan lapangan kerja bidang teknik untuk energi terbarukan. Hasilnya, tahun 2030 saja, jumlah lapangan kerja bakal mencapai sekitar 432.000, 10 kali lipat lebih dari tahun 2019, melebihi jumlah tenaga kerja energi fosil saat ini.

Perhitungan itu didasarkan pada kebutuhan tenaga teknik pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021—2030. Itu adalah RUPTL hijau pertama dengan porsi energi terbarukan lebih besar daripada energi fosil dengan persentase 51,6 persen dan 48,4 persen.

Sesuai rencana PLN, kapasitas pembangkitan energi terbarukan pada 2030 adalah 20,9 gigawatt, sedangkan energi fosil 19,6 gigawatt. Selisih kapasitasnya tak begitu besar. Namun, ketersediaan pekerjaan teknik dalam bidang energi terbarukan diperkirakan 10 kali lipat dari energi fosil.

Berdasarkan data tersebut, prospek green jobs bukan hanya isapan jempol. Green disruption berpeluang menciptakan lebih banyak pekerjaan dari yang dihilangkan. Secara tidak langsung, disrupsi tersebut bisa meningkatkan ekonomi dengan menyediakan jumlah lapangan kerja yang lebih besar.

Koaksi Indonesia memerinci, sektor lapangan kerja dalam bidang energi terbarukan mencakup distribusi peralatan, pengembangan proyek, konstruksi dan instalasi, operasional dan manajemen, serta bidang lintas sektor, seperti hukum dan komunikasi.

Meski secara teknologi sektor energi terbarukan terbilang advance, green jobs sebenarnya cukup inklusif. Orang dari beragam bidang dan tingkat pendidikan bisa menekuninya, tak harus berpendidikan tinggi.

Mengantisipasi Disrupsi Hijau

Menurut Koaksi Indonesia, kemampuan pemetaan potensi energi terbarukan serta merangkai dan memelihara komponen pembangkit menjadi keahlian yang dibutuhkan. Teknik lingkungan dan teknik mesin menjadi bidang keilmuan yang dipandang bisa mempersiapkan manusia dengan keahlian tersebut.

Sayangnya, dengan inovasi hijau yang makin advance, green skills dalam bidang-bidang tersebut masih kurang. Bahkan, awareness soal disrupsi hijau dan green jobs sendiri secara nasional masih rendah.

Sejumlah negara sudah berusaha menjawab tantangan itu. Filipina memiliki Green Jobs Act. Pemerintah negara itu memberi insentif hingga 50 persen untuk pelatihan dan riset. Menteri ketenagakerjaannya berkomitmen ikut serta mengembangkan kurikulum dan memberikan sertifikasi green jobs.

Sementara itu, Amerika Serikat memiliki Inflation Reduction Act, produk perundangan untuk melawan inflasi dan memberi insentif pada green jobs. Misalnya, insentif keringanan pajak pada industri tenaga surya dan perusahaan yang melakukan in-house hiring green jobs.

India memiliki Skill Council for Green Jobs (SCGI), lembaga independen yang salah satu tugasnya adalah memberikan pelatihan soal green skills. Lembaga itu punya target jelas: 7.500 pelatih bersertifikat, 2 juta pelatihan upskilling di semua sektor, dan 1 juta pelatihan teknologi hijau.

Indonesia sebenarnya juga memiliki aturan yang bisa mendorong green jobs, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Pembangunan Rendah Karbon yang dikeluarkan Kementerian PPN/Bappenas.

Kelemahannya, Indonesia belum memiliki payung hukum khusus yang mengatur soal green jobs. Ini menghalangi inisiatif lain, seperti pemberian insentif pada industri untuk membuka peluang, penyadartahuan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia terkait green jobs.

Dalam Indonesia Green Jobs Conference yang diselenggarakan pada November 2023, Bappenas menyampaikan kepada publik bahwa mereka sedang melakukan finalisasi terhadap “Peta Jalan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang Mendukung Green Jobs/Pekerjaan Hijau.” Sinkronisasi aturan perundangan, komunikasi tentang green jobs, dan penciptaan tenaga ahli menjadi sasaran utama.

Bappenas menargetkan,

Indonesia bisa mencapai net-zero pada 2060, green jobs berkontribusi pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di angka 6,5 persen, serta mampu memberikan lapangan kerja hingga 1,8 juta orang pada 2045.

Inisiatif Bappenas bisa jadi awal. Ke depan, pemimpin baru baik di tingkat presiden maupun menteri perlu serius mengimplementasikan peta jalan yang telah disusun. Peningkatan kesadaran tentang green jobs adalah langkah pertama yang harus dilakukan.

Kita Semua Bisa Berperan

Bagi kita, masih minimnya awareness sebenarnya juga membuka peluang green jobs. Anda yang memiliki pendidikan atau pengalaman kerja yang relevan terkait isu lingkungan bisa berperan serta meningkatkan kesadaran.

Kalau Anda berkarya di perusahaan manufaktur, ini saatnya bagi Anda mendorong praktik hijau serta membuat rencana strategis dalam pengelolaan sumber daya manusia. Adapun Anda yang berkarya dalam komunikasi bisa mempelajari isu lingkungan dan menjadi komunikator green jobs.

Kita pun berpeluang menciptakan green opportunities bagi orang lain. Mungkin lewat inisiatif, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ataupun dengan mendirikan perusahaan rintisan yang mendorong transformasi hijau.

Laporan Kompas.com mengungkapkan, warga di lereng Gunung Penanggungan di Mojokerto, Gunung Slamet di Banyumas, dan Desa Tepal di Sumbawa membuat inisiatif pengembangan energi mikrohidro. Inisiatif ini memberikan pekerjaan kepada warga lokal sekaligus manfaat penerangan dan finansial.

Green opportunities apa yang Anda bisa ciptakan? Tergantung background Anda. Kalau belajar tenaga surya, Anda bisa saja membuat lembaga kursus energi surya sehingga bisa mempekerjakan orang-orang dengan background sama dan meng-upgrade keterampilan orang-orang yang kini bekerja sebagai teknisi listrik.

Ketika bicara tentang green entrepreneurship, mungkin pertanyaan yang muncul adalah apakah jenis usaha tersebut bisa mendatangkan cuan? Tidak ada jawaban pasti. Namun, perencanaan bisnis dengan template ini mungkin membantu Anda memetakan potensi cuan.

Riset KG Media pada Mei 2022 terhadap sekitar 5.600 pembaca menunjukkan bahwa anak-anak muda menilai pentingnya produk berkelanjutan dan ingin tahu serta melihat inisiatif perusahaan untuk lebih hijau.

Statista pada tahun 2020 mencatat, secara global, 77 persen konsumen mengatakan bahwa tanggung jawab lingkungan dan praktik keberlanjutan pada perusahaan “penting” dan “sangat penting”.

Meski produk yang diberi label “sustainable” tak selalu lebih laku, statistik itu sendiri sudah menegaskan adanya peluang bagi usaha-usaha berkelanjutan. Jika mampu menciptakan produk dan jasa yang tepat, green entrepreneurship akan menuai hasil baik.
Disrupsi Hijau, Keberlanjutan, dan Kita

Jadi, menjawab pertanyaan di awal tulisan, apakah keahlian kita masih relevan pada masa depan? Jawabannya adalah: masih. Dengan mendapatkan perspektif lingkungan, kita akan survive menghadapi disrupsi hijau.

Pertanyaan yang lebih sulit dijawab adalah apakah kita akan tetap mampu bertahan dan beradaptasi? Jika kita benar-benar mendorong energi terbarukan, mengupayakan industri yang rendah emisi, mengurangi pembukaan lahan hutan untuk pertanian, Bumi akan tetap mampu mendukung kehidupan.

Masalahnya, inisiatif hijau bukan tanpa pitfall. Kalau konsultan yang menawarkan jasa audit emisi industri hanya peduli soal profit dan peningkatan image hijau klien, masalah lingkungan tidak akan teratasi. Malah mungkin makin parah.

Kendaraan listrik bisa mengatasi masalah lingkungan. Namun, jika perekayasa dan industri berinovasi tanpa berpikir soal keberlanjutan – misalnya dengan membuat baterai dari bahan yang ditambang dengan cara merusak lingkungan – maka kendaraan itu pun tak akan jadi solusi.

Yang melegakan, ada banyak inisiatif yang sudah on-track menuju keberlanjutan. Sebut saja bank sampah dan penggunaan blockchain pada pertanian kopi sehingga konsumen bisa mengetahui praktik produksi ramah lingkungannya, serta inovasi kemasan berbahan nabati.

Agar inisiatif hijau dan green jobs benar-benar berdampak, kita perlu mengantisipasinya dengan transparansi pada sektor lapangan kerja atau produk hijau yang dihasilkan, konsistensi komitmen praktik baik perusahaan, dan verifikasi klaim dan label hijau lapangan kerja atau produk yang dihasilkan.