Haruskah Tiket Pesawat Mahal?

Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden. (Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauanmu)

Scroll Down

Industri penerbangan Indonesia kembali mendapat sorotan publik. Bukan karena prestasi atau pelayanan, tapi soal peningkatan tarif yang melonjak secara signifikan. Ujungnya tiket pun mahal.

Pada awal 2019, seluruh maskapai penerbangan dalam kategori di Indonesia tidak lagi menggratiskan bagasi untuk penumpang. Kemudian publik menyoroti maskapai yang tidak kunjung menurunkan harga tiket penerbangan dalam negeri.

Setelah mendapat tekanan dari publik, mulai keluhan di media sosial hingga petisi online, perusahaan penerbangan mulai buka suara soal kebijakan mereka yang menurunkan harga tiket. Beberapa perusahaan mengungkapkan kini mereka sedang punya masalah keuangan.

Tak pelak, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan instansi terkait harus ikut turun tangan soal mahalnya tiket pesawat ini.

Plane Sejarah Industri Penerbangan Indonesia

dutch-aviation.nl
dutch-aviation.nl

Penerbangan Pertama

Layanan penerbangan di Indonesia dirintis pada awal abad ke-20, yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Sebagaimana dikutip dari situs Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, penerbangan pertama di Indonesia dimulai pada 1913.

Pada 19 Februari 1913, seorang penerbang asal Belanda bernama J.W.E.R Hilger berhasil menerbangkan sebuah pesawat jenis Fokker dalam pameran yang berlangsung di Surabaya. Penerbangan tersebut tercatat sebagai penerbangan pertama di Hindia Belanda, meski berakhir dengan terjadinya kecelakaan namun tidak menewaskan penerbangnya.

dutch-aviation.nl
dutch-aviation.nl
Penerbangan Amsterdam-Batavia

Penerbangan Antar Negara

Pada 1 Oktober 1924, sebuah pesawat jenis Fokker F-7 milik maskapai penerbangan Belanda mencoba melakukan penerbangan dari Bandara Schiphol Amsterdam ke Jakarta yang saat itu masih bernama Batavia. Penerbangan penuh petualangan tersebut membutuhkan waktu selama 55 hari dengan berhenti di 19 kota untuk bisa sampai di Batavia.

Pesawat itu mendarat di Cililitan yang sekarang dikenal dengan Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Rute Amsterdam - Batavia
  • Amsterdam - Praag
    846 km
  • Praag - Belgrado
    920 km
  • Beigrado - Konstantinopel
    1008 km
  • Konstantinopel - Angora
    475 km
  • Angora - Aleppo
    820 km
  • Aleppo - Bagdad
    812 km
  • Bagdad - Basra
    575 km
  • Basra - Bushire
    425 km
  • Bushire - Bender Abbas
    695 km
  • Bender Abbas - Charbar
    520 km
  • Charbar - Karachi
    675 km
  • Karachi - Multan
    910 km
  • Multan - Ambala
    600 km
  • Ambala - Allahabad
    850 km
  • Allahabad - Calcutta
    770 km
  • Calcutta - Akyab
    710 km
  • Akyab - Rangoon
    570 km
  • Rangoon - Bangkok
    790 km
  • Bangkok - Sengora
    865 km
  • Sengora - Medan
    563 km
  • Medan - Muntok
    1000 km
  • Muntok - Batavia
    500 km
  • Total
    15899 km

Perusahaan Penerbangan Terbentuk

Pada 1 November 1928, di Belanda telah berdiri sebuah perusahaan patungan bernama Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij yang terbentuk atas kerja sama Deli Maatschappij, Nederlandsch Handel Maatschappij, KLM, Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan dagang lainnya yang mempunyai kepentingan di Indonesia.

Dengan mengoperasikan pesawat jenis Fokker-F7/3B, KNILM membuka rute penerbangan tetap Batavia-Bandung sekali seminggu. Selanjutnya, dibuka juga rute Batavia-Surabaya dengan transit di Semarang sekali setiap hari.

Setelah perusahaan ini mampu mengoperasikan pesawat udara yang lebih besar seperti Fokker-F 12 dan DC-3 Dakota, rute penerbangan pun bertambah yaitu Batavia-Palembang-Pekanbaru-Medan bahkan sampai ke Singapura seminggu sekali.

KOMPAS/Kartono Riyadi
KOMPAS/Kartono Riyadi
Pesawat Dakota RI-001 Seulawah

Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh

Transportasi udara, pesawat, mulai digunakan untuk mengangkut penumpang di Indonesia. Pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno melakukan lawatannya ke Aceh. Kesempatan ini digunakan Soekarno untuk berorasi dan membangkitkan jiwa nasionalisme rakyat Aceh.

Rakyat aceh diminta untuk memberikan sumbangan (patungan). Dana sumbangan ini akan digunakan untuk membeli pesawat angkut pertama di Indonesia.

Salah satu yang menjadi penyumbang saat itu adalah Nyak Sandang. Saat bertemu Jokowi 2018 lalu, Nyak Sandang mengisahkan, ia dan orangtuanya menjual sepetak tanah di kampungnya yang ditanam 40 batang pohon kelapa dan menyerahkan 10 gram emas.

Hartanya waktu itu dihargai Rp 100 dan diserahkan kepada negara bersama sumbangan warga Aceh lainnya. Setelah dana terkumpul, Indonesia dapat menghadirkan pesawat jenis Dakota DC-03 yang dinamakan Dakota RI-001 Seulawah.

Kehadiran pesawat Dakota mendorong dibukanya jalur penerbangan Sumatera-Jawa, dan bahkan ke luar negeri. Pada awalnya, penerbangan ke berbagai daerah menggunakan pesawat Seulawah dioperasikan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

KOMPAS/DJ Pamoedji
KOMPAS/DJ Pamoedji
Pesawat DC-10 Garuda

Asal Mula Garuda Indonesia Airways

Pada 26 Januari 1949, dilakukan penerbangan komersial pertama dari Kalkutta, India, menuju Rangoon, Burma, menggunakan pesawat DC-3 Dakota dengan nomor registrasi RI 001 dan bendera Indonesia. Penerbangan ini diawaki pilot dan awak pesawat Angkatan Udara RI.

Setelah melakukan perjalanan dari Rangon, dua hari selanjutnya dibentuk Indonesian Airways, yang merupakan cikal bakal Garuda Indonesia. Dilansir dalam situs web Garuda Indonesia, pada tahun yang sama, tepatnya 28 Desember 1949, pesawat DC-3 lainnya terdaftar sebagai PK-DPD dan dicat dengan logo “Garuda Indonesian Airways”.

Pesawat terbang dari Jakarta ke Yogyakarta untuk menjemput Presiden Soekarno. Penerbangan ini merupakan penerbangan pertama ketika menggunakan nama Garuda Indonesian Airways. Nama Garuda diambil Soekarno dari sajak berbahasa Belanda karya penyair Noto Soeroto.

”Ik ben Garuda, Vishnoe’s vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog bovine uw einladen” (Saya Garuda, burung Vishnu yang melebarkan sayapnya tinggi di atas kepulauan Anda).

Garuda Indonesia Bertransformasi

Era tahun 1962-1970 maskapai penerbangan mulai bermunculan di Indonesia Maskapai Merpati Nusantara Airlines milik pemerintah didirikan untuk melayani penerbangan perintis dengan pesawat kecil. Maskapai ini menghubungkan kawasan-kawasan terpencil di Nusantara.

Pada 1969, penerbangan swasta di Indonesia mulai tumbuh dengan didirikannya Mandala Airlines, disusul dengan Bouraq pada 1970.

Maskapai penerbangan swasta ini secara langsung bersaing dengan Garuda dan Merpati yang merupakan penerbangan milik pemerintah (BUMN).

Maskapai BUMN dan Swasta Kian Bersaing

Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan deregulasi penerbangan yang memungkinkan perizinan yang lebih mudah untuk mendirikan maskapai penerbangan baru. Kebijakan ini bermaksud untuk merangsang investasi transportasi dan meningkatkan bisnis penerbangan di dalam negeri, juga menggairahkan industri pariwisata di kawasan.

Dampaknya, maskapai-maskapai penerbangan baru pun tumbuh dan bermunculan, antara lain Lion Air pada 1999, Sriwijaya Air pada 2003, Adam Air pada 2002, dan Batavia Air pada 2002. Kebijakan deregulasi ini merangsang tumbuhnya layanan maskapai berbiaya hemat di Indonesia.

Plane Maskapai yang Pernah Menghiasi Indonesia

Ketatnya persaingan dan tingginya biaya operasional perusahaan membuat sejumlah maskapai tumbang alias gunung tikar.

Setidaknya ada enam perusahaan maskapai penerbangan yang tumbang seiring perjalanan zaman. Industri penerbangan Indonesia memiliki sejarah yang cukup dinamis. Hingga saat ini, banyak maskapai yang sudah beroperasi melayani penerbangan di wilayah udara Nusantara, ada yang masih beroperasi dan ada pula yang sudah ”pensiun”.

Plane Rumitnya Bisnis Penerbangan

KOMPAS.com/Andreas Lukas Altobeli
KOMPAS.com/Andreas Lukas Altobeli

Industri penerbangan Indonesia sempat tumbuh subur pada medio 2000 hingga 2009. Hal itu seiring dengan deregulasi di industri penerbangan.

Pasar penerbangan domestik yang tadinya hanya untuk BUMN pun mulai dibuka untuk swasta. Saat itulah, maskapai berbiaya hemat (Low Cost Carrier/LCC) mulai masuk ke industri penerbangan domestik, walau belum secara resmi diatur oleh pemerintah.

Indonesia pun menjadi salah satu negara dengan pangsa pasar terbesar se-Asia Pasifik untuk segmen penerbangan LCC.

Data CAPA menunjukkan, Indonesia adalah satu dari tujuh negara di Asia dengan penetrasi maskapai LCC pada industri penerbangan domestik di atas 50 persen.

PT Lion Mentari Airlines menjadi salah satu punggawa maskapai berbiaya hemat (Low Cost Carrier/LCC) di Indonesia. Didirikan pada 1999, kini Lion Air merajai pangsa LCC Indonesia, bahkan menjadi perusahaan maskapai penerbangan berbiaya hemat terbesar di Asia bersama dengan AirAsia.

Setelah Lion, ada perusahaan lain yang mencoba peruntungan di ceruk LCC ini. PT Adam SkyConnection Airlines pun didirikan pada 19 Desember 2003.

Namun nahas menimpa maskapai ini, yakni jatuhnya pesawat Adam Air KI 574 di perairan Majene saat terbang menuju Manado, Sulawesi Utara pada 1 Januari 2007. Sebanyak 102 orang penumpang dan kru seluruhnya tewas dan tak ditemukan hingga hari ini.

Pada 18 Maret 2008, izin terbang Adam Air dicabut. Aircraft Operator Certificate (AOC) maskapai ini pun dihapus pada 19 Juni 2008, sekaligus menandai berakhirnya operasi Adam Air.

Selain Adam Air, Batavia Air menjadi maskapai lain yang mencoba peruntungan bisnis LCC. Namun sayang, maskapai bernama PT Metro Batavia yang mulai beroperasi pada 5 Januari 2002 dinyatakan pailit pada 30 Januari 2013.

Agen Perjalanan Mencoba Peruntungan

Menjamurnya bisnis maskapai, terutama maskapai berbiaya murah kala itu disebabkan sebagian besar pemilik maskapai adalah pengusaha travel agent yang mencoba peruntungan di bisnis penerbangan. Namun, para pengusaha itu tidak menyadari betapa rumit menjalankan bisnis maskapai.

Hingga kemudian, pemerintah pun mengeluarkan Undang-undang nomor 1 tahun 2009 untuk merespons banyaknya bisnis maskapai yang buka tutup dan menyisakan masalah mulai buruknya kinerja ketepatan waktu hingga safety record.

Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa untuk angkutan penerbangan niaga berjadwal harus mengoperasikan setidaknya 10 pesawat dengan setidaknya 5 pesawat dimiliki oleh maskapai yang bersangkutan.

Syarat ini menjadi barrier agar pengusaha yang punya uang tidak asal sewa pesawat kemudian mengoperasikan airline. Hal ini yg membuat investor asing juga berpikir, sebab untuk mengoperasikan pesawat minimal 10 itu bukan hal yang mudah.

Di dalam undang-undang tersebut, untuk pertama kalinya pemerintah juga mengatur mengenai maskapai berbiaya hemat, atau LCC.

Harga Tiket Mahal di Akhir 2018

Bisnis maskapai LCC di Indonesia pada akhirnya memasuki babak baru. Tepatnya di Oktober 2018, pelaku bisnis sektor ini menaikkan harga tiketnya.

Melonjaknya harga tiket pesawat secara tiba-tiba itu membuat publik berteriak. Di media sosial, warganet terus memperbincangkan permasalahan itu.

Mereka mempermasalahkan soal harga tiket untuk rute domestik lebih mahal dibanding rute internasional. Bahkan, ada warga asal Aceh yang hendak ke Jakarta harus terlebih dahulu ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Hal tersebut dilakukan untuk menyiasati harga tiket yang mahal. Sebab, harga tiket penerbangan langsung dari Banda Aceh ke Jakarta bisa mencapai Rp 3.000.000.

Sedangkan tiket pesawat dari Banda Aceh ke Jakarta via Kuala Lumpur terlebih dahulu hanya berkisar Rp 700.000.

Keuangan berdarah-darah

Memang, tak ada pilihan lain bagi maskapai untuk bertahan, selain menaikkan harga tiketnya. Rupanya selama ini pelaku bisnis penerbangan menjual harga tiket di bawah harga keekonomian.

Alasannya lantaran ingin mendorong volume penjualan sebanyak-banyaknya. Teorinya, meski margin sangat tipis namun hal itu bisa diperbesar dengan memperbanyak volume penjualan.

Namun strategi ini tak selalu berhasil. Naiknya komponen biaya yang ditanggung membuat maskapai justru semakin menderita kerugian ketika mereka menjual tiket murah dalam volume yang sangat besar.

Beberapa komponen biaya yang naik di antaranya kenaikan harga avtur dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

“Jadi memang trigger-nya karena peak season. Tapi, margin memang dikarenakan adanya kenaikan variabel-variabel, avtur, kemudian kurs dan pinjaman. Karena semua airlines ada utang segala macam kan,” ujar Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra.

Sementara, publik yang terbiasa dengan harga tiket pesawat yang murah, terus meradang. Mereka menyuarakan keberatannya itu melalui media sosial.

Sektor Lain Menjadi Korban?

Di saat yang sama, jumlah penumpang pesawat terus merosot seiring naiknya harga tiket pesawat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penumpang angkutan udara domestik pada Februari 2019 hanya 5,6 juta orang, atau anjlok 18,5 persen dari Februari 2018 yang sebanyak 6,9 juta.

Jika dibandingkan dengan Januari 2019, jumlah penumpang domestik juga turun 15,46 persen. Penurunan tersebut lebih besar daripada tahun sebelumnya. Pada Februari 2018, penumpang pesawat hanya turun 9,2 persen.

Tak hanya itu, mahalnya harga tiket pesawat juga memicu terjadinya inflasi. Berdasarkan data BPS, pada Maret 2019 terjadi inflasi sebesar 0,11 persen. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya harga tiket pesawat.

Bahkan, tingkat keterisian hotel pun terkena dampaknya. Okupansi hotel berbintang hanya 40 persen setelah maskapai beramai-ramai menaikkan harga tiket.

Plane Otak-atik pemerintah turunkan harga tiket

Melihat dampak yang begitu luas, pemerintah pun akhirnya angkat bicara. Pemerintah meminta para maskapai menurunkan harga tiketnya.

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memberi ultimatum kepada maskapai penerbangan agar penurunan tiket pesawat di semua rute terhitung pada awal April 2019. Pasalnya, kenaikan harga tiket pesawat ini telah mengakibatkan sektor pariwisata terkena dampak.

Pemerintah sempat menduga kenaikan harga tiket pesawat karena mahalnya harga avtur yang dijual di Indonesia. Atas dasar itu, pemerintah berencana mengundang badan usaha lain selain Pertamina untuk menjual avtur di Indonesia.

Namun, setelah harga avtur turun, harga tiket pesawat tak kunjung kembali normal. Masyarakat terus memprotes masih mahalnya harga tiket.

KOMPAS TV

Maskapai Asing

Presiden Joko Widodo awal tahun 2019 memunculkan wacana untuk mengundang maskapai penerbangan asing ke pasar penerbangan domestik. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi harga tiket pesawat yang melambung tinggi dalam medio akhir tahun 2018 hingga pertengahan tahun 2019 ini.

Pro kontra pun menyeruak menanggapi wacana tersebut.

Saat ini hanya ada dua pemain besar di industri penerbangan domestik, yaitu Garuda Indonesia Group (GIAA) dan Lion Air Group.

Menurut hasil analisis Centre for Aviation (CAPA) pada tahun 2018, Lion Air Group merajai penerbangan domestik. Lion Air Group tercatat menguasai hampir 50 persen dari keseluruhan pasar penerbangan dalam negeri untuk pertama kalinya pada 2017 lalu.

Sementara Garuda Indonesia group meraih 33 persen pangsa pasar domestik Indonesia pada 2017, turun dari 38 persen pada tahun 2015 lalu.

Sriwijaya yang kala itu belum masuk ke dalam Garuda Indonesia Group, memiliki pangsa pasar sebesar 13 persen. Sementara Air Asia Indonesia masih tertinggal jauh dengan pangsa pasar sebesar 2 persen.

Lalu, apakah wacana presiden tersebut bisa terealisasi secara efektif?

Pengamat penerbangan sekaligus anggota Ombudsman, Alvin Lie meyakini maskapai asing enggan masuk dan beroperasi di Indonesia. Ia menyebut kondisi sektor perhubungan udara Indonesia akan menjadi pertimbangkan maskapai asing untuk mengembangkan bisnis di Indonesia.

"Coba lihat sejak 2009 apa ada yang masuk? Padahal kita tidak larang," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (19/6/2019).

"Selain AirAsia itu 51 persen sahamnya Indonesia, 49 asing maksimalnya gitu. Tak ada yang masuk. Ada yang masuk waktu itu mencoba menghidupkan Mandala Airlines, dua tahun mereka enggak kuat, cabut," sambungnya.

Hal itu karena iklim bisnis maskapai di Indonesia masih banyak menyimpan masalah dan ada kebijakan yang kontraproduktif. Salah satunya terkait kenaikan tarif batas bawah di satu sisi, dan penurunan tarif batas atas pesawat belum lama ini.

Kebijakan itu membuat maskapai tidak leluasa memasang tarif. Padahal maskapai sedang dihantam persoalan keuangan akibat beban operasional yang tinggi.

Pemerintah sendiri telah menerapkan beberapa persyaratan maskapai asing bisa masuk ke dalam negeri, yaitu berbadan hukum Indonesia dan 51 persen saham dimiliki oleh Indonesia.

"Pasar transportasi udara Indonesia ini kalau attractive pemodal asing sudah masuk dari kemarin-kemarin, karena memang tidak dilarang," ujar dia.

Tarif Batas Atas

Mendengar keluhan dari masyarakat, akhirnya pemerintah mengeluarkan jurus keduanya. Pada Mei 2019, Pemerintah memutuskan untuk menurunkan tarif batas atas tiket pesawat sebesar 12 hingga 16 persen.

Penurunan 12 persen ini akan dilakukan pada rute-rute gemuk seperti rute-rute di Jawa, sedangkan penurunan lainnya dilakukan pada rute-rute seperti rute penerbangan ke Jayapura.

Peraturan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang ditandatangani pada Rabu, 15 Mei 2019.

Dengan peraturan tersebut, maskapai penerbangan nasional wajib menurunkan tarif batas atasnya sebanyak 12 hingga 16 persen. Penurunan itu harus dilakukan paling lambat pada Sabtu 18 Mei 2019.

Setelah keputusan itu diterbitkan, maskapai nasional pun menurunkan harga tiketnya.

Namun, rata-rata maskapai tetap membanderol harga tiketnya di ambang tarif batas atas yang telah ditentukan.

Lagi-lagi, masyarakat masih merasa harga tiket pesawat terlampau mahal meski tarif batas atasnya telah diturunkan sebesar 12 hingga 16 persen.

KOMPAS TV

Jalan Tengah

Akhirnya, setelah jurus ketiga baru sekedar wacana, pemerintah langsung bergerak untuk mengeluarkan jurus selanjutnya. Pemerintah memutuskan menurunkan harga tiket pesawat maskapai berbiaya hemat atau Low Cost Carrier (LCC) di waktu tertentu.

Mulai Kamis 11 Juli 2019, Maskapai LCC diwajibkan menerapkan tarif 50 persen lebih murah dari Tarif Batas Atas (TBA) yang telah ditentukan pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu untuk jadwal penerbangan pukul 10.00 sampai 14.00 waktu setempat.

Namun, diskon itu hanya berlaku untuk 30 persen dari total keseluruhan kursi yang tersedia dalam satu pesawat.

Setelah penurunan harga itu permasalahan mengenai ketersediaan tiket pesawat murah bagi masyarakat belum selesai. Masyarakat masih mengeluhkan soal kesulitan membeli jatah tiket murah tersebut karena terbatasnya alokasi.

Wacana: Pemberian Insentif Pajak

Pemerintah pun kini tengah memutar otak kembali agar tiket penerbangan murah bisa dinikmati masyarakat kapan pun. Rencananya, pemerintah akan membuat aturan soal pemberian insentif kepada maskapai.

Keputusan memberikan diskon pajak itu disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Darmin Nasution. Diskon pajak itu diberikan antara lain terhadap pajak jasa persewaan, perawatan dan perbaikan pesawat udara.

Pemerintah juga memberikan diskon pajak terhadap jasa persewaan pesawat udara dari luar daerah pabean, dan memberikan diskon dari jasa impor dan penyerahan atas pesawat udara, dan suku cadangnya.

Plane Hitung-hitungan Tarif Tiket Pesawat

Maskapai nasional berdalih terpaksa menaikkan harga tiketnya lantaran biaya operasionalnya terus membengkak.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia telah “kecanduan” dengan harga tiket pesawat yang murah. Atas dasar itu, keputusan para maskapai menaikkan harga tiket pesawat dirasa membebani masyarakat.

Di tengah “kegaduhan” itu, timbul pertanyaan bagaimana sebuah maskapai menetapkan harga tiket untuk setiap rute penerbangannya?.

Dalam menetapkan harga tiketnya, para maskapai harus mengacu kepada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tuslah

Tarif jarak = tarif dasar yang dikeluarkan maskapai x jarak tempuh

Tarif dasar = biaya operasional pesawat yang terdiri dari biaya pokok per satuan unit produksi + keuntungan

Harga pokok dipengaruhi oleh

Biaya langsung

meliputi:

  • Biaya penyusutan/sewa pesawat udara
  • Biaya asuransi
  • Biaya gaji tetap crew
  • Biaya gaji tetap teknisi
  • Biaya pelumas
  • Biaya bahan bakar
  • Biaya tunjuangan crew
  • Biaya overhaul/pemeliharaan
  • Biaya jasa kebandarudaraan
  • Biaya jasa pelayanan navigasi penerbangan
  • Biaya jasa ground handling penerbangan
  • Biaya catering penerbangan
Biaya tidak langsung

meliputi:

  • Biaya organisasi
  • Biaya pemasaran/penjualan

Kemenhub sendiri telah menentukan tarif jarak penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri untuk setiap rutenya. Aturan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 tahun 2019.

“Jadi yang tadinya Mekanisme Formulasi dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Tarif Batas Bawah ada di dalam satu Peraturan Menteri (PM 14 Tahun 2016), sekarang terpisah menjadi Peraturan Menteri (Nomor 20 tahun 2019) dan Keputusan Menteri (Nomor 72 tahun 2019),” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub, Hengki Angkasawan pada Maret 2019 lalu.

Dalam aturan itu dijabarkan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) harga tiket pesawat dalam setiap rutenya. Misalnya, rute Jakarta-Yogyakarta memiliki TBA seharga Rp 998.000 dan TBB-nya Rp 349.000.

Lalu, rute Jakarta-Surabaya memiliki TBA seharga Rp 1.372.000 dan TBB-nya Rp 480.000. Selanjutnya, untuk rute Jakarta-Makassar memiliki TBA seharga Rp 2.144.000 dan TBB-nya Rp 750.000.

Namun, harga tersebut belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran asuransi dan tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U).

Jika ingin mengetahui harga tiket pesawat per kilometernya, bisa dilakukan dengan cara TBA/TBB dibagi dengan jarak tempuh per rutenya. Misalnya, TBA rute Jakarta-Yogyakarta seharga Rp 998.000 dibagi jarak antara Jakarta dengan Yogyakarta yang sejauh 578,8 kilometer. Hasilnya, jarak per kilometer untuk rute Jakarta-Yogyakarta adalah Rp 1.724.

Selanjutnya, untuk tarif perkilometer Jakarta-Surabaya, yakni sebesar Rp 1.696. Angka itu didapatkan berdasarkan pembagian TBA rute Jakarta-Surabaya sebesar Rp 1.372.000 dibagi jarak tempuh Jakarta-Surabaya, yakni 808,8 kilometer.

KOMPAS TV

Plane Dampak Mahalnya Tiket Pesawat

1. Penumpang Anjlok

Berdasarkan data BPS, jumlah penumpang pesawat domestik mencapai 24 juta orang pada Januari-April 2019, anjlok 20,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, penurunan jumlah penumpang pesawat domestik disebabkan harga tiket yang mahal.

Bandara Kualanamu, Medan Turun  0%
Bandara Internasional Juanda, Surabaya Turun  0%
Bandara Internasional Hasanuddin, Makassar Turun  0%
Bandara Internasional Soekarno-Hatta Turun  0%
Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali Turun  0%
Bandara lainnya Akumulasi anjlok
hingga  0%

2. Shifting Pemudik

Kementerian Perhubungan mencatat terjadinya penurunan pemudik yang menggunakan pesawat sebesar 27,4 persen di angkutan Lebaran 2019. Angkanya hanya 3.522.585 pemudik yang menggunakan pesawat.

Padahal pada musim mudik Lebaran tahun lalu, sejak H-7 hingga H+7 lebaran, tercatat ada 4.850.028 pemudik yang menggunakan moda transportasi udara.

Menurut Kepala Badan Litbang Perhubungan Sugihardjo, penurunan jumlah pemudik yang menggunakan pesawat disebabkan mahalnya harga tiket pesawat.

Banyak para pemudik akhirnya memilih pulang kampung melalui jalur darat naik kereta api atau kendaraan bus atau pribadi seiring infrastruktur darat kian baik dengan adanya Jalan Tol Trans-Jawa.

Hal ini terlihat dari data pemudik yang menggunakan moda transportasi darat mengalami kenaikan sebesar

0%
Tahun lalu Jumlah Pemudik
0 juta
Tahun ini naik, menjadi
0 juta

Sedangkan pemudik yang menggunakan kereta api naik sebesar

0%
Tahun lalu Jumlah Pemudik
0 juta
Tahun ini naik, menjadi
0 juta

3. Hotel Sepi

Kenaikan harga tiket pesawat juga mempengaruhi tingkat hunian hotel. BPS mencatat tingkat rata-rata hunian kamar hotel hanya 53,9 persen pada April 2019, turun 3,53 persen poin dibandingkan April 2018.

Bahkan pada Februari 2019, rata-rata tingkat hunian hotel hanya 52,4 persen, atau turun 3,8 persen poin dibandingkan periode yang sama 2018.

Sementara itu Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut penurunan tingkat hunian hotel akibat mahalnya tiket pesawat sebesar 20-40 persen.

4. Memukul Pariwisata

Imbas mahalnya harga tiket pesawat membuat pergerakan wisatawan domestik menurun. Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, pergerakan wisatawan domestik turun sampai 30 persen karena harga tiket pesawat yang melambung tinggi.

Penurunan wisatawan domestik paling terjadi pada destinasi di luar Jawa. Sementara di Jawa relatif bertahan karena wisatawan bisa memilih menggunakan perjalanan darat.

5. Inflasi Melonjak

Inflasi bukanlah hal aneh dalam ekonomi Indonesia. Andilnya bisa disumbang oleh bahan makanan, makanan jadi hingga sandang.

Namun sejak November 2018 hingga April 2019, terjadi hal yang tak biasa. Sebab harga tiket pesawat terus menerus menyumbangkan inflasi. Akibatnya inflasi ikut melonjak.

Pada November 2018 hingga April 2019, tiket pesawat menyumbang inflasi masing-masing 0,05 persen (November) 0,19 persen (Desember), 0,02 persen (Januari), 0,03 persen (Februari), 0,03 persen (Maret) dan 0,03 persen (April).

Plane Tips Membeli Tiket Pesawat dengan Harga Murah

KOMPAS.com/Garry Andrew Lotulung
KOMPAS.com/Garry Andrew Lotulung

Mahalnya tiket pesawat membuat masyarakat menempuh berbagai cara untuk mencari tiket murah. Memang, beberapa maskapai telah menurunkan tiket dan memberikan diskon untuk perjalanan tertentu. Tapi, pencarian tiket murah tetap menjadi tren di beberapa kalangan.

1. Manfaatkan Travel Fair

Perencana keuangan Eko Endarto menyarankan Anda untuk memanfaatkan momentum travel fair. Ya, travel fair biasanya menawarkan banyak tiket murah plus tujuan wisata dengan diskon besar-besaran.

Eko mengatakan, adanya travel fair bisa masuk ke perencanaan keuangan dari jauh-jauh hari sebelum Anda berangkat rekreasi.

"Kalau ada travel fair sangat membantu, itukan sebenarnya bisa masuk ke perencanaan," kata Eko Endarto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (4/8/2019).

Eko menyarankan, gunakan momentum travel fair untuk kebutuhan tiket jangka panjang, bukan jangka pendek. Pasalnya, banyak masyarakat yang justru datang ke travel fair tanpa punya perencanaan keuangan dan perencanaan liburan. Akhirnya, yang awalnya tak berniat liburan, justru termakan diskon yang tersedia.

"Salahnya orang Indonesia travel fair digunakan untuk mencari tiket murah jangka pendek. Padahal, travel fair bisa digunakan untuk jangka panjang (perencanaan). Maksudnya, beli sekarang untuk berangkat kemudian, seharusnya seperti itu," ujar Eko.

"Kebanyakan orang Indonesia beli tiket untuk bulan besok, sehingga banyak dari mereka yang berutang dulu, bayar belakangan, pakai kartu kredit pula," pungkas dia.

Untuk itu, pastikan momentum travel fair digunakan sebaik-baiknya. Artinya, Anda harus memiliki perencanaan matang dan memiliki keuangan yang memadai sebelum pergi ke travel fair.

"travel fair memang benar digunakan sebagai ajang mencari tiket murah. Tapi harus ada uangnya dulu. Harus nabung dulu sebenarnya," jelas Eko.

2. Buat Perencanaan

Eko menjelaskan, mahal atau tidaknya tiket pesawat sebenarnya tergantung kantong masing-masing. Bila berkantong tebal, otomatis tiket semahal apapun tetap dianggap murah. Untuk itu, dia menyarankan untuk membuat perencanaan agar tiket yang kerap dianggap mahal bisa terbeli.

"Perencanaan itu misalnya, kita mau rekreasi Idul Adha atau 17 Agustusan tahun ini. Kita rencanakan setahun sebelumnya, kalender juga kan sudah diproduksi dan keluar jadi tanggal merahnya sudah tahu. Bahkan kalau mau cari yang 10 tahun ke depan pun sudah ada sehingga bisa dipersiapkan," ungkap Eko.

Soal perencanaan keuangan, ada baiknya Anda menaruh uang liburan di produk investasi, seperti emas, reksadana pasar uang, atau deposito.

"Sisihkan uang tiap bulan, masuk ke ranah investasi emas atau reksadana pasar uang lebih aman. Bisa juga ambil deposito yang Rp 5 juta. Sisihkan uang per bulan Rp 500.000 setahun kemudian sudah terkumpul," rinci eko.

3. Beli Tiket Lebih Cepat

Membeli tiket lebih cepat alias berbulan-bulan bisa menjadi salah satu opsi. Biasanya, membeli tiket lebih cepat lebih murah ketimbang waktu yang mepet dengan tanggal liburan.

"Biasanya tiket itu dibeli lebih cepat berbulan-bulan sebelum keberangkatan akan menjadi lebih murah dibanding musim high season. Bisa juga manfaatkan dengan cara seperti itu," katanya.

Plane Liburan Domestik atau Luar Negeri, Lebih Mahal Mana?

KOMPAS.com/Garry Andrew Lotulung
KOMPAS.com/Garry Andrew Lotulung

Keluhan soal tiket domestik yang mahal membuat traveller akhirnya memilih luar negeri untuk tujuan liburannya. Sebab, harga tiket pesawat ke luar negeri kerap ditemukan lebih murah atau lebih masuk akal ketimbang tiket ke dalam negeri.

Contohnya pada Januari lalu. Masyarakat Aceh lebih memilih berangkat ke Jakarta via Kuala Lumpur (Aceh-Kuala Lumpur-Jakarta) ketimbang Aceh-Jakarta karena harga tiket rute domestik tersebut lebih mahal.

Setelah dibandingkan melalui salah satu aplikasi travel online pada Minggu (13/1/2019) waktu itu, tiket penerbangan dari Banda Aceh menggunakan maskapai Air Asia pukul 11.10 WIB via Kuala Lumpur dan tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, pukul 19.30 WIB hanya Rp 716.800.

Bandingkan dengan penerbangan jam yang sama menggunakan maskapai Lion Air dari Banda Aceh pukul 06.00 WIB via Bandara Kuala Namu Medan dan seterusnya menggunakan maskapai Batik Air dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pukul 12.20 WIB dengan harga Rp 3.012.800.

Namun, apakah mahalnya tiket pesawat masih signifikan seperti Januari lalu, ataukah telah mengalami penurunan?.

Kompas.com mencoba membandingkannya lagi melalui salah satu aplikasi travel online, Minggu (11/8/2019). Tiket penerbangan dari Banda Aceh pukul 06.00 WIB via Kualanamu dan tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, pukul 10.15 WIB yang termurah Rp 1.484.000.

Bila menggunakan maskapai Garuda Indonesia, tiket berada di harga Rp 2.500.000 tanpa transit. Terbukti, tiket penerbangan domestik saat ini sudah menurun.

Untuk memastikan apakah tiket luar negeri masih lebih murah ketimbang tiket domestik, Kompas.com mencoba membandingkannya lagi dengan pilihan negara yang jaraknya masih bisa ditolerir dengan jarak antar pulau Indonesia, seperti Indonesia-Malaysia dengan Jakarta-Aceh.

Terlihat, penerbangan dari Jakarta pukul 01.30 WIB dengan ketibaan di Kuala Lumpur pukul 04.30 WIB menggunakan maskapai Lion Air berkisar Rp 740.000. Bila menggunakan maskapai Garuda Indonesia, harganya sama dengan Aceh-Jakarta maupun Jakarta-Aceh, yakni sekitar Rp 2.500.000.

Harga juga berkisar Rp 1.400.000 bila menggunakan maskapai Lion Air. Namun, harga ini masih perlu transit di Bandara Internasional Kualanamu, Medan, sehingga penerbangan akan memakan waktu 4 jam.

Sementara penerbangan Jakarta-Singapura berada di rentang harga Rp 1.500.000 hingga Rp 3.000.000. Jika dibandingkan dengan Jakarta-Gorontalo, harga berada di kisaran Rp 1.500.000 hingga Rp 3.700.000.

Jika dilihat, harga tiket antara luar negeri dengan domestik sangat bersaing. Hal ini mungkin terjadi karena jarak wilayah di Indonesia begitu luas, sama dengan jarak wilayah antara negara satu ke negara lainnya. Namun bisa dipastikan, harga tiket pesawat domestik memang telah menurun ketimbang di awal tahun 2019 dari Januari-Maret.

Bagaimana? Jadi berlibur dengan pesawat terbang?

Producer
Erlangga Djumena
Co Producer
Mutia Fauzia
Editors
Bambang Priyo Jatmiko
Erlangga Djumena
Sakina Rakhma Diah Setiawan
Writers
Akhdi Martin Pratama
Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Fika Nurul Ulya
Murti Ali Lingga
Mutia Fauzia
Yoga Sukmana
Creative
Annisa Gilang Pamekar
Maulana Mickael
Moh. Khoirul Huda

Published: 24 September 2019

Copyright 2019. Kompas.com