Perjuangan Lifter Mengangkat Harkat Bangsa

Kawah
Candradimuka

Kawah candradimuka para lifter belia itu berada di Pringsewu, Lampung. Di sebuah padepokan angkat besi bernama Gajah Lampung, anak-anak berusia 10-12 tahun digodok untuk menjadi lifter profesional kelas dunia.

Inilah jalan panjang seleksi alam untuk mencari bibit atlet angkat besi.

Sore itu, awal Desember 2015 lalu, matahari memancarkan semburat keemasan menyepuh langit Pringsewu, Lampung. Hari yang cerah selaras dengan keceriaan anak-anak berusia 10-12 tahun yang tengah berlatih di padepokan angkat besi Gajah Lampung.

Padepokan itu telah berusia 48 tahun. Siapa pun boleh datang karena padepokan sangat terbuka  bagi siapa saja yang ingin berlatih angkat besi. Mereka yang datang selalu diterima dengan tangan terbuka.

Inilah yang membuat anak-anak itu nyaman bermain barbel bersama atlet-atlet profesional. Keriuhan anak-anak itu menghidupkan padepokan.

Tawa, canda, dan obrolan khas anak-anak berbaur dengan denting barbel yang beradu dan suara barbel yang mendarat di atas papan kayu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Siapa pun yang mencoba untuk beristirahat siang itu pasti gagal total. Suara brak dan bruk hingga lengkingan terdengar riuh seperti menembus tembok-tembok padepokan seluas 2.600 meter persegi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kebisingan itu menjadi warna tempat lifter Indonesia menempa kemampuan untuk tampil di pentas angkat besi dunia. Padepokan ini telah mempersembahkan berbagai medali, termasuk perunggu Olimpiade Sydney 2000 yang diraih oleh lifter putri Sri Indriyani dan Winarni.

Prestasi itu diraih melalui proses panjang seperti yang sedang dirintis oleh sekitar 20-an anak usia sekolah dasar kelas 4, 5, 6 yang sering datang ke padepokan.

Mereka disambut oleh asisten pelatih Misdan Yunip yang dengan sabar memperagakan gerakan snatch dan clean and jerk. Dua gerakan itu wajib dikuasai untuk menjadi lifter profesional.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anak-anak itu bergiliran mencoba gerakan yang dicontohkan oleh Misdan, mantan lifter. Mereka hanya mengangkat tongkat tanpa beban barbel. Ucok, panggilan akrab Misdan, membimbing anak-anak itu. Dia telaten memperbaiki posisi kaki, tangan, dan lekuk pinggang yang masih berantakan. Begitu berulang-ulang.

“Anak-anak SD ini datang ke padepokan ini setelah kejuaraan nasional PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan pelakar) akhir November 2015 lalu. Mereka rata-rata menyatakan tertarik dengan angkat besi. Tertarik untuk bisa dikenal dan bisa jalan-jalan,” ujar Ucok.

Namun, jalan menjadi lifter tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Usia SD kelas 4, 5, 6 memang menjadi awal yang bagus untuk membentuk seseorang menjadi lifter. “Saat mencoba mendapatkan materi baru, kami akan memperagakan gerakan-gerakan angkat besi supaya anak-anak itu juga mau mencoba,” ujar Ucok.

Saat para siswa SD bergantian belajar membuat gerakan dan mengangkat beban, tim pencari bakat dari Padepokan Gajah Lampung akan memperhatikan tungkai dan kestabilan gerakan. Begitu juga saat mereka mulai mengangkat beban, tim pemantau mencermati tenaga alam anak-anak itu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

“Begitu seorang anak memenuhi syarat-syarat itu, harus segera diambil dan ditawari berlatih dan tinggal di padepokan,” ujar pelatih angkat besi sekaligus mantan lifter, Eddy Santoso.

Namun, Eddy juga tidak mau terburu-buru. Jika ada anak yang potensial, Eddy akan menyelami motivasi anak itu melalui obrolan ringan.

Dia ingin memastikan anak itu tidak patah di tengah jalan karena proses panjang ini membutuhkan niat besar dari si anak, termasuk dorongan orangtua.

Eddy pernah memiliki atlet muda berbakat yang cepat menguasai teknik dan memiliki tenaga besar. Namun, anak itu sebenarnya tidak suka angkat besi dan hanya mengikuti perintah orangtuanya. Dia kini tidak pernah lagi berlatih, padahal Eddy melihat masa depan cerah menanti anak itu.

Faktor terbesar ada pada niat anak itu sendiri. Karena itulah, di awal saya biarkan saja mereka berlatih. Nanti akan ada seleksi alam, biasanya sepekan sudah mrotholi (berguguran), tidak datang latihan.
.

Mereka yang bertahan 2-3 bulan latihan angkat besi, diarahkan oleh Eddy ke angkat berat. Ini untuk mengetahui ketekunan mereka.

Angkat berat memiliki pamor sedikit di bawah angkat besi. Jika mereka melewati ujian ketekunan itu, Eddy akan langsung menangani anak-anak itu dengan program yang terukur.

Ini dia lakukan pada Fina, lifter putri yang awalnya datang sendiri ke padepokan. Dia rajin berlaih selama tiga bulan. Fina cepat menguasai treknik angkatan dan memiliki tenaga besar.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Bergerilya
MencariBibit

Mencari bibit angkat besi bukan pekerjaan mudah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Empat tahun lalu, Eddy memimpin tim padepokan bergerilya di sekitar Lampung. Upaya selama tiga hari dengan menyeleksi hampir 1.500-an anak di Kalianda, Lampung Selatan, itu hanya membuahkan hasil lima potensi baru.

Mereka dibina di Padepokan Gajah Lampung. Namun, jarak sejauh 150-an km yang membentang antara Kalianda dan Pringsewu menjadi halangan serius.

“Saat anak-anak itu pamit untuk liburan, kami mengizinkan. Ternyata mereka tidak kembali lagi ke Pringsewu,” ujar Eddy.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Akhirnya, Eddy menyadari bahwa sejauh atau sekeras apapun untuk mendapatkan materi, jika itu tidak berasal dari niat si anak, tidak akan berhasil. Ini seleksi alam.

Lifter Okta Dwi Pramita, misalnya, menjadi salah satu atlet hasil dari seleksi alam itu. Pada tahun 2000, lifter putri asal Wonosobo, Lampung, yang saat itu masih duduk di bangku SMP hanya ikut-ikut temannya berlatih di Pringsewu.

Lambat laun, ia jatuh cinta pada cabang yang sangat menuntut tenaga, kekuatan, dan kecepatan itu.

Semula ikut-ikutan teman, kemudian saya suka. Jadilah saya menekuni olahraga ini.

Cinta Okta pada angkat besi bisa menginspirasi puluhan anak SD yang mulai berlatih di padepokan Gajah Lampung.

Ketekunan dan perjuangan para atlet senior untuk meraih prestasi bisa menumbuhkan motivasi menjadi Herkules bagi mereka yang awalnya ikut-ikutan teman atau disuruh orangtua.

“Sekali lagi, tidak mudah mendapatkan lifter. Kita lihat saja perkembangan anak-anak ini dalam beberapa waktu ke depan,” ujar Eddy.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

MengelolaSemangat
GenerasiPenerus

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Adelia Prasasti (12) menatap barbel berbobot 45 kg yang ada di hadapannya. Sejenak ia bersiap melakukan angkatan ketiga clean and jerk.

Tangannya mencengkram batang barbel dan dalam satu tarikan napas, lifter putri termungil di kelas 36 kg itu mengangkat barbel dan menahannya di dada.

Sedetik kemudian, dengan satu entakan, barbel itu ia angkat tinggi-tinggi di atas kepala dan ia tahan selama 10 detik. Keringat mengalir di tubuhnya yang susah payang menopang berat barbel.

Wasit menyatakan, angkatan clean and jerk Adelia sah. Gemuruh tepuk tangan dari pelatih, teman, dan penonton pertandingan pun pecah.

Angkatannya itu membawa Adelia menjadi juara pertama Kejuaraan Angkat Besi Antar-pelajar yang digelar di Padepokan Gajah Lampung, Pringsewu, Provinsi Lampung, akhir 2015 lalu.

Ia total mengangkat 76 kg, 31 kg dari snacth dan 45 clean and jerk. Tiga medali emas dan gelar sebagai lifter terbaik kejuaraan ia rebut sekaligus.

Keberhasilan Adelia mengangkat barbel 45 kg tampak muskil buat orang awam. Bayangkan, dengan berat badan hanya 24 kg, ia bisa mengangkat beban 45 kg atau nyaris dua kali lipat dari berat tubuhnya.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Tapi begitulah hasil dari ketekunannya berlatih angkat besi sejak ia duduk di kelas III SD di Padepokan Gajah Lampung yang telah melahirkan puluhan lifter hebat, seperti Sri Indriyani dan Winarni (peraih perunggu Olimpiade Sydney tahun 2000), Supeni (peraih perak Asian Games), Ponco Ambarwati, dan Jadi Setiadi (peraih perunggu Asian Games).

Beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin Adelia mengikuti jejak para lifter Gajah Lampung menjadi juara di mana-mana. Apalagi, ia memiliki motivasi besar, yakni mengangkat martabat keluarga lewat angkat besi.

Ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan selalu berpesan agar Adelia bisa menjadi orang sukses. Ibunya yang hanya lulusan sekolah menengah atas pun ingin Adelia punya gelar sarjana. Adelia yang masih belia tahu bahwa pesan orangtuanya itu bisa ia wujudkan lewat angkat besi.

Saat ini, setidaknya ia sudah bisa membiayai sendiri sekolahnya. Ia membeli peralatan sekolah, seperti buku, dari uang pembinaan Padepokan Gajah Lampung.

Saya ingin sukses seperti atlet senior di sini. Mereka bisa membantu keluarga dan keliling dunia.

Nasib yang berbeda dialami Joneri Pandia (11). Jon, sapaan Joneri, kehilangan kepercayaan diri begitu kakinya melangkah ke panggung. Penonton yang membeludak meruntuhkan mental siswa kelas V SD 3 Podomoro, Pringsewu, Lampung itu.

Barbel 37 kg, yang biasa dia angkat saat latihan, terasa jauh lebih berat. Dia hanya bisa mengangkat barbel 32 kg untuk angkatan snatch.

Jika Jon bisa mengalahkan rasa takut di atas panggung, lifter cilik ini bisa meraih emas dengan angkatan 37 kg.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Jon akhirnya meraih perunggu di kelas ekshibisi 38 kg dalam kejuaraan nasional angkat besi antar-Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) pada akhir 2015 lalu.

Jon merasakan ujian terberat untuk menjadi atlet angkat besi profesional, yaitu harus mengalahkan diri sendiri.

Mental harus kuat karena kekuatan fisik dan teknik matang tidak cukup untuk membawa pulang medali emas. Dia memetik pelajaran berharga.

Dia belum memiliki mental juara, padahal lomba itu digelar di rumahnya sendiri, Padepokan Gajah Lampung, Pringsewu.

Ini lomba pertama saya, rasanya grogi karena dilihat banyak orang.

Jon mulai menekuni angkat besi saat bulan puasa, Juni 2015. Dia berkembang pesat bersama teman seumurannya, Dedi Kurniawan. Dua atlet cilik itu menjadi pasangan saat latihan. Mereka berlatih mengejar angkatan 60 kg untuk clean and jerk dan 45 kg untuk snatch.

Itu target panjang karena Jon dan Dedi kini baru di level 40 kg. Mereka sebenarnya sudah bernafsu ingin naik ke 42 kg.

Namun, pelatih Eddy Santoso tidak mau terburu-buru. Eddy, mantan lifter, ingin fisik dan mental dua jagoan ciliknya lebih matang.

Eddy ingin melihat seberapa besar keinginan mereka untuk menggapai mimpi menjadi olimpian. Jon mengidolakan lifter senior, Jadi Setiadi, yang meraih peringkat kelima di kelas 56 kg Olimpiade London 2012. Itu mimpi besar yang dia pupuk di Padepokan Gajah Lampung.

Jon dan atlet-atlet cilik lain harus melalui ujian panjang ketekunan dan disiplin. Pelajaran mental itu dijalani setiap hari sebelum matahari terbit hingga menjelang tidur di padepokan milik mantan lifter dunia, Imron Rosadi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Padepokan angkat besi yang telah berusia 48 tahun itu sudah menggeliat sebelum azan subuh.

Denting logam dari barbel yang beradu dan gedebuk barbel yang dijatuhkan di atas papan kayu memecah keheningan di pagi hari. Sekitar 20 lifter yang tinggal di padepokan sibuk menyiapkan alat untuk latihan pagi. Ritual yang sama dilakukan menjelang sore hari.

”Ya, memang begini yang diajarkan Pak Imron kepada kami saat awal-awal kami masuk padepokan,” ujar Doni (25), salah satu lifter angkat berat.

Masuk dan bergabung di Padepokan Gajah Lampung yang didirikan dan dikelola Imron bersama keluarganya bukan hal mudah. Ada syarat penting yang mesti dipenuhi.

Para lifter dan calon lifter harus menunjukkan kemampuan dan potensi di cabang angkat besi, serta tekad untuk berlatih dan disiplin.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lifter peraih emas SEA Games Okta Dwi Pramita mengatakan, kegiatan beres-beres di pagi, siang, atau petang seusai dengan latihan, serta dua kali dalam seminggu beres-beres besar, menjadi cara Imron mengajarkan tanggung jawab, disiplin, kebersihan, kerapian, serta rasa memiliki terhadap padepokan. Apalagi padepokan ini juga menjadi rumah bagi para lifter.

Pak Imron juga terus menanamkan sikap rendah hati. Kalau dapat medali, memenangi satu kejuaraan tidak boleh jumawa, harus tetap bersyukur. Terus, tidak boleh boros, harus menabung dan hemat. Persis seperti Dasa Dharma Pramuka itu, Mbak.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ada alasan kuat mengapa Imron menanamkan semua nilai itu kepada lifter dan calon lifter.

Itu semua demi masa depan mereka. Padepokan ini adalah rumah dan tempat mereka meraih mimpi.

Di padepokan yang saat ini menempati area seluas 2.600 meter persegi itu, lifter-lifter usia pemula, remaja, yunior, dan senior potensial dari keluarga kurang mampu tinggal dan berlatih. Mereka ditemukan sejak usia remaja oleh tim pemantau bakat dari padepokan.

”Ya, memang jauh dari rumah, tetapi ibuku sudah meninggalkanku. Aku tinggal bersama simbah (nenek), bapak, juga mbak,” ujar Dedi Kurniawan, salah satu lifter remaja yang bergabung di padepokan dalam dua tahun terakhir.

Si mungil Dedi, dalam dua tahun terakhir, menunjukkan kemajuan, khususnya dalam teknik. Lifter kelas V SD Fajar Esuk, Pringsewu, yang berbobot 25 kg ini mampu mengangkat beban 40-an kg. Cara dia mengangkat beban pun terlihat luwes. ”Kalau aku, mauku berlatih terus sampai berhasil,” ujarnya.

Tidak hanya Dedi, lifter remaja putri Purwanti juga bertekad sama.

Kakak kandung Dedi ini menuturkan, ia seperti mendapat jalan keluar untuk meraih masa depannya. ”Kalau di rumah, paling ngapain. Ya, di rumah saja sama simbah. Tidak bisa jalan-jalan dan melihat kota lain,” ujar Purwanti.

Karena mengikuti ajakan teman untuk latihan angkat besi, Purwanti pun menjadi lifter remaja berprestasi. Tempaan pelatih Eddy dan asisten pelatih Misdan ”Ucok” Yanip membuat Purwanti merebut emas kelas 44 kg di beberapa kejuaraan nasional dan internasional.

Saya sekarang punya pengalaman jalan-jalan ke daerah atau negara lain. Saya juga punya prestasi. Kalau saya cuma di rumah, saya tidak ke mana-mana, juga tidak punya prestasi.

Lifter muda Puryadi, yang biasa dipanggil Adi, tertarik dengan angkat besi karena cerita-cerita sukses dari para lifter senior.

Mulai berlatih sejak dua tahun lalu, Adi, siswa kelas VI SD Podomoro, Pringsewu, menuturkan, menjadi lifter itu asyik. ”Bisa pergi ke kota lain untuk ikut kejuaraan. Terus bisa punya uang saku,” tutur Adi, yang di kejuaraan PPLP November 2015 merebut emas kelas 42 kg.

Adi mendapat dukungan penuh dari ayahnya yang seorang satpam dan ibunya yang pedagang sayuran. Bahkan, dari uang saku bulanan sebagai lifter remaja PPLP, Adi bisa membantu orangtuanya.

Bagi Imron, padepokan yang ia dirikan bukan sekadar padepokan untuk berlatih angkat besi, melainkan juga untuk melatih hidup. Lifter dari usia sekolah dasar sudah diajari bertanggung jawab akan hidup dan menegakkan jalan masa depan.

Sebagai pengelola, bapak, juga pelatih bagi para lifter, Imron tidak hanya melatih. Tiap lifter potensial diberi uang saku bulanan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Jika mereka berprestasi di kejuaraan, bonus yang didapat akan disimpan Imron. Bonus itu diubah menjadi tabungan atas nama lifter bersangkutan. Dari deposito itulah, para lifter bisa membeli tanah atau sawah.

”Kalau tidak begitu caranya, walah, bisa habis itu bonus-bonus,” ujar Imron.

Dengan pengelolaan itu, Imron bertekad membantu sesama, mengangkat harkat sesama yang kurang beruntung, sekaligus bisa mengangkat harkat bangsa jika sang lifter berhasil memenangkan berbagai kompetisi. Banyak anak dari keluarga berbagai kalangan datang ke padepokan itu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
"Rumah ini sudah menjadi rumah harapan bagi mereka. Angkat besi menjadi jalan mereka."
Produser
Prasetyo Eko P, Lusi Indriasari, Didit Erlangga PR
Penulis
Agung Setyahadi,  Helena Nababan,  Vina Oktavia,  Angger Putranto
Videografer
Agus Susanto
Fotografer
Agus Susanto,   Wawan H Prabowo
Kreatif
Anggara Kusumaatmaja, Lilyana Tjoeng, Bangkit Wijanarko

Copyright 2016. Kompas.com