INDONESIA
DI PUNCAK DUNIA

“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.”

- Soekarno
Penyambung Lidah Rakyat

Catatan sejarah membuktikan bahwa perubahan sosial selalu digerakkan oleh orang-orang muda. Tengoklah cerita tentang negeri ini.

Perubahan Indonesia sejak era kemerdekaan hingga tumbangnya rezim orde baru adalah cerita tentang orang-orang muda yang menggerakkan zaman.

Di tengah berbagai catatan muram tentang negeri ini, setidaknya ada lima pemuda yang kiprahnya layak membuat Indonesia bangga.

Mereka ada di puncak dunia, pada bidang mereka masing-masing, “bertarung” mewujudkan mimpi. Usia mereka belum mencapai kepala tiga.

Ada Joey Alexander, bocah berusia 12 tahun yang menjadi orang Indonesia pertama sekaligus orang termuda di dunia yang masuk sebagai nominee Grammy, penghargaan musik tertinggi di jagad ini.

Ada pula Rio Haryanto. Usianya baru 23. Ia menjadi pebalap Indonesia pertama yang berhasil menembus ajang balap paling bergengsi Formula 1.

Di Hollywood, pusat lahirnya film-film kelas dunia, kita mendapati Livi Zheng. Arek Malang berusia 26 tahun ini menjadi orang Indonesia pertama yang berkiprah sebagai sutradara di sana.

Film pertamanya masuk dalam daftar layak Oscar 2015. Sebuah catatan yang gemilang mengingat setiap tahun ada 50 ribu film yang diproduksi di Hollywood.

Dari panggung kecantikan putri sejagad ada Maria Harfanti, 24 tahun. Ia membukukan prestasi sebagai wanita Indonesia pertama yang meduduki peringkat tertinggi dalam ajang tersebut. Maria menjadi juara 3 Miss World 2015.

Sementara, tak banyak yang tahu, di sudut Silicon Valley, Andreas Senjaya (26) tengah berjibaku mengikuti kelas pengembangan start up bersama ratusan pengembang dari seluruh dunia.

Badr Interactive, perusahaan miliknya, menjadi perusahaan Indonesia pertama yang masuk dalam program inkubasi 500 Startups accelator.

Mereka bukan sekadar pemimpi. Mereka adalah orang-orang yang berjuang mewujudkan mimpi-mimpi itu. Jiwa-jiwa macam merekalah yang dibutuhkan untuk mengubah Indonesia.

Joey Alexander Bocah 12 Tahun di Panggung Grammy

AFP / ROBYN BECK
KOMPAS TV
Video ini pernah ditayangkan Kompas TV dalam program Bedah Peristiwa

Joey mengenal piano ketika usianya baru 6 tahun. Hanya dari mendengarkan, dia langsung bisa menangkap melodi lagu-lagu jazz standar dari koleksi ayahnya.

"Sejak masih dalam kandungan sudah mendengarkan jazz," kata Joey dalam wawancara dengan program Today Show di NBC.

Tokoh-tokoh jazz dunia menyebutnya jazz prodigy. Meskipun berterima kasih atas julukan itu, Joey sebenarnya menolak julukan itu.

"Saya hanya ingin disebut musisi jazz," kata Joey dalam beberapa kesempatan.

Pemain trompet jazz kenamaan Wynton Marsalis-lah yang memperkenalkan Joey ke panggung dunia.

Marsalis mengundangnya tampil pada acara Lincoln Center Gala, New York, pada Mei 2014.

Joey memilih membawakan salah satu komposisi sulit karya Thelonious Monk bertajuk "Round Midnight".

Joey menolak disebut jazz prodigy atau anak ajaib. "Saya hanya ingin disebut musisi jazz."

Begitu Joey selesai, semua penonton dan pemain orkestra berdiri dan bertepuk tangan. Sebuah standing ovation bagi bocah berumur 10 tahun asal Indonesia itu

Mendapat sambutan begitu meriah, Joey terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia membungkuk dengan tangan menangkup di dada.

Ketika Joey hendak keluar dari panggung, host gala, yakni aktor Billy Crystal, memanggilnya kembali.

"Jangan pergi, Joey, jangan pergi dulu. Terimalah (aplaus) ini. Kembali ke sini. Joey Alexander," kata Crystal.

Joey pun membungkuk lagi, sebelum kembali berjalan ke belakang panggung.

Belakangan, Joey mengaku tidak berharap mendapatkan standing ovation seperti itu.

Konser itulah yang mengubah hidupnya. Demi sang putra, Denny dan Fara menjual bisnis mereka di Bali dan pindah ke New York, Amerika Serikat.

Anak hiperaktif

Dalam percakapan dengan Anderson Cooper untuk program 60 Minutes CBS, sang ayah Denny Sila, menuturkan waktu kecil Joey tergolong hiperaktif.

Ia pun membelikan sebuah keyboard untuk dimainkan Joey. Harapan Denny dan istrinya, Fara, alat musik itu bisa menyalurkan energi berlebih anak tunggal mereka itu.

Kevork Djansezian/Getty Images/AFP
Joey Alexander saat tampil di panggung Grammy Music Awards di Los Angeles, 15 Februari 2016.

"Pada saat yang sama, kami ingin tahu apakah dia punya bakat musik atau tidak. Karena kami berasal dari keluarga penyuka musik," jawab Denny kepada Cooper.

Itulah kali pertama Joey memainkan keyboard. Usianya saat itu baru 6 tahun.

Tidak ada yang mengajari Joey bermain piano. Dia mendengarkan musik lalu memainkannya. Musikalitasnya terasah karena terbiasa mendengarkan karya Duke Ellington, Charlie Parker, dan Thelonious Monk, dari koleksi ayahnya.

Keluarga Sila pernah mendatangkan guru piano untuk mengajari Joey musik klasik seperti Chopin dan Tchaikovsky.

Hasilnya tidak bagus karena Joey ingin berimprovisasi. Joey ingin bebas berekspresi. Musik jazz-lah yang memungkinkan hal itu.

"Bagi saya, jazz itu kebebasan untuk berekspresi. Jazz membuat saya bahagia, suka cita, dan bersyukur," kata Joey di acara Today Show.

Ketika ditanya perasaan bermain di hadapan banyak orang, Joey menjawab, "Happy. Mungkin sedikit gugup. Tetapi saya ingin penonton merasa senang ketika saya bermain."

Pada usia 8 tahun, Joey tampil di depan musisi jazz Herbie Hancock yang tengah berkunjung ke Indonesia.

Dua tahun kemudian, ia bermain di berbagai pertunjukan jazz di Jakarta dan Copenhagen, Denmark. Ia pun memenangi penghargaan

Joey berlatih dua hingga tiga jam setiap hari. Di New York ia menempuh pendidikan secara homeschooling. Jadwal manggungnya pun padat. Kadang-kadang ia tampil hingga larut malam.

AFP / ROBYN BECK
Joey Alexander saat tampil di panggung Grammy Music Awards di Los Angeles, 15 Februari 2016.

Panggung Grammy

Pada Mei 2015, Joey merilis album debutnya. Ia memberinya judul "My Favorite Things".

Media-media besar pun melirik Joey. Pada Selasa, 12 Mei 2015, versi online dari New York Times menulis "Joey Alexander, an 11-Year-Old Jazz Sensation Who Hardly Clears the Piano's Sightlines".

Versi cetak media yang sama menulis "He’s a Jazz Virtuoso Who Can Barely See Over a Baby Grand".

The Telegraph memberitakan Joey dengan artikel "The 11-year-old taking jazz world by storm", sementara NBC News dengan artikel "Pint-Sized Prodigy Joey Alexander: 'Jazz is About Freedom'".

Album itulah yang membawanya ke ajang Grammy Award 2016. Ia mendapat dua nominasi Grammy.

Bagi saya, jazz itu kebebasan untuk berekspresi. Jazz membuat aku bahagia, suka cita, dan bersyukur

Dua nominasi Grammy itu pada kategori Best Jazz Instrumental Album untuk album solo debutnya, My Favorite Things (2015), dan Best Improvised Jazz Solo untuk lagu berjudul "Giant Steps" dari album tersebut.

Dengan pencapaian ini, Joey menjadi pianis jazz pertama dari Indonesia yang masuk nominasi Grammy Awards. Ia juga menjadi orang termuda yang masuk nominasi Grammy. Usianya baru 12 tahun.

Joey memang belum beruntung mendapatkan Grammy tahun ini. Namun ia tetap memukau nama-nama besar di dunia musik.

Joey tampil di dua panggung Grammy. Masing-masing di Grammy Award Premiere Ceremony di Microsoft Theater, Los Angeles, pada Senin (15/2/2016) siang dan Grammy Award di Staples Center, pada malam harinya.

Joey Alexander telah membuka mata dunia bahwa Indonesia memiliki talenta yang mampu bersaing di dunia internasional.

  • Biodata
  • Nama: Josiah Alexander Sila
  • Nama panggilan: Joey Alexander
  • Tempat, tanggal lahir: Denpasar, 25 Juni 2003
  • Orangtua: Denny (ayah) dan Fara Leonora Sila (ibu)
AFP / ROBYN BECK

Rio Haryanto Cerita tentang Mimpi, Tahajud, dan Kerendahan Hati

SAM BLOXHAM
KOMPAS TV

“Ketika seseorang punya keinginan kuat untuk menggapai sesuatu, maka seluruh alam semesta akan berkonspirasi untuk mewujudkannya.” - Raja Tua (Sang Alkemis, Paulo Coelho)

Kamis, 18 Februari 2016, dunia balap internasional guncang. Seorang pebalap asal Indonesia berhasil menembus daftar line-up lomba balap mobil paling bergengsi di dunia, Formula 1.

Sosok itu adalah Rio Haryanto (23). Dia menjadi orang Indonesia pertama yang berlomba di adu pacu jet darat tersebut.

Keberhasilan menembus line-up F1 merupakan buah perjuangan panjang Rio selama 17 tahun. Dia mulai mengenal dunia balap dari ayahnya, Sinyo Haryanto, yang memang juga seorang pebalap. Dia merupakan juara nasional gokart pada 1981 dan 1991.

“Sungguh, saya ingin melihat dia menjadi pebalap besar kelak, bahkan kalau bisa masuk F1,” ucap Sinyo seperti dilansir dari Majalah Bobo, 16 Juli 2000

Sinyo lantas menularkan kecintaan terhadap dunia balap kepada anak-anaknya. Sebagai bungsu dari 4 bersaudara, Rio mengikuti jejak dua kakaknya, Roy dan Ryan Haryanto. Cuma Ricky yang tak meneruskan jejak sang ayah di lintasan balap.

“Peran kedua orangtua saya sangat besar. Mereka selalu memberikan dukungan, di dalam maupun di luar trek,” ucap Rio.

Sungguh, saya ingin melihat dia menjadi pebalap besar kelak, bahkan kalau bisa masuk F1,” ucap Sinyo seperti dilansir dari Majalah Bobo, 16 Juli 2000
KOMPAS/WAWAN H. PRABOWO
Rio Haryanto (tengah) bersama kedua orangtuanya Sinyo Haryanto dan Indah Peniwati di Halaman Kantor Redaksi Kompas Jakarta, Jumat (11/6/2011).

Balapan sejak usia 6 tahun

Pada usia 6 tahun, Rio sudah mulai ikut lomba karting. Pada 2000, saat berusia 7 tahun, dia ikut dalam kejurnas kelas kadet 60 cc di Sentul yang diperuntukkan bagi pebalap berusia 8-12 tahun. Dua tahun berselang, dia pun mencicipi gelar juara nasional kelas kadet.

Terjun di dunia adu kecepatan, Rio sudah sadar dengan risiko yang dihadapi. Bahkan, pada usia yang masih sangat belia, sosok yang pernah gembuk karena gemuk itu sudah pernah merasakan patah tangan.

“Kejadiannya saat saya berlatih di Bandara Adi Sumarno. Tiba-tiba, ada motor (balapan liar) yang nyelonong dan benturan tak terhindarkan. Saya mengalami patah tulang di lengan,” kata Rio saat itu.

Tekad kuat untuk menjadi pebalap profesional membuat penggemar Michael Schumacher ini lemah ketika tertimpa musibah. Tak ingin mengecewakan sang ayah, dia hanya berpikir untuk memacu sekencang-kencangnya gokart yang dikendarai.

Lima belas tahun setelah bertemu Schumacher, Rio mulai menapaktilasi jejak idolanya sekaligus mewujudkan impian sang ayah.
AFP / ADEK BERRY

"Melihat talenta dan keinginan kuat itu, kami sebagai orangtua terus mendukung dia sejak kecil hingga tercapai cita-citanya," kata ibunda Rio, Indah Pennywati.

Saat berusia 8 tahun, Rio diajak oleh orangtuanya menonton langsung lomba balap F1 ke sirkuit. Dari sinilah, tekad Rio untuk berlaga di F1 berkembang.

"Kami ingin menunjukkan serunya balapan F1 sambil menyaksikan aksi Schumacher. Saat itu, Rio sempat berfoto bersama Schumacher," kata ibunda Rio.

"Setelah itu, dia tiba-tiba saja mengatakan ingin tampil di F1 suatu saat nanti. Sebagai orangtua, saya amini saja. Terkadang cita-cita anak bisa tercapai jika orangtua mengamini," tutur Indah.

Ucapan Raja Tua dari novel “Sang Alkemis” karya Paulo Coelho seperti tertera pada pembuka artikel itu tampaknya terbukti pada kiprah Rio. Lima belas tahun setelah bertemu Schumacher, Rio mulai menapaktilasi jejak idolanya sekaligus mewujudkan impian sang ayah.

KOMPAS TV

Rendah hati

"Saya lega... Akhirnya saya bisa tampil di Formula 1 dengan membawa bendera Merah Putih. Tanpa dukungan semua pihak, saya tak bisa sampai di sini," ucap Rio seusai diumumkan menjadi pebalap tim Manor Racing.

Tidak ada nada kesombongan dalam ucapan Rio itu. Sikap rendah hati itu memang tidak dibuat-buat.

Untuk seorang pebalap, Duta Komodo ini dikenal santun dan tak pernah mengumbar kesombongan, termasuk saat naik ke podium dan meraih kemenangan.

Kerendahan hati ini tak lepas dari didikan kedua orangtuanya. Sejak kecil, Rio ditanamkan sikap untuk selalu berbagi.

Sebuah panti asuhan warisan kakeknya di Solo menjadi bukti kepedulian sosial pebalap kelahiran 22 Januari 1993 itu.

Rio ini selalu menyempatkan diri menghibur para penghuni panti asuhan. Penggemar pecel ini membagikan kisah dan pengalamannya, seperti seorang kakak bercerita kepada adik-adiknya.

2008
2008
2009
2009
2010
2010
2010
2010
2011
2011
2012
2012
2012
2014
2015
2015
KOMPAS/CAESAR ALEXEY
Rio Haryanto (depan) saat bertanding pada Kejuaraan Nasional Karting Seri I di Sirkuit Cemara Asri Medan, Minggu (23/3/2008). Rio keluar sebagai juara di kelas Rotax Maz FR 125 Junior.
KOMPAS/IRVING NOOR
Rio Haryanto saat tampil sebagai juara dalam lomba kesepuluh lomba balap mobil Formula Asia 2.0, Sabtu (6/12/2008) di Sirkuit Internasional Shanghai, China. Peringkat kedua diduduki Felix Rosenquist (Swedia) dan diikuti Zhu Dai Wei (China) di urutan ketiga.
DOK. KOMPAS/MANAJEMEN TIM MERITUS
Rio juara ketiga Formula BMW Pasific di Sirkuit Internasional Sepang, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (3/4/2009).
KOMPAS/ PRASETYO EKO PRIHANANTO
Rio Haryanto memacu mobilnya pada lomba Formula Renault Asia di Sirkuit Shanghai, China, Sabtu (23/5/2009). Rio berhasil finis kedua pada kategori internasional di bawah pebalap Israel, Alon Doy. Untuk kategori Asia, Rio menjadi yang tercepat.
KOMPAS/TOMY TRINUGROHO
Rio Haryanto saat menjadi pebalap GP3 Series, di Sirkuit Catalunya, Spanyol, Minggu (9/5/2010).
KOMPAS/TOMY TRINUGROHO
Rio Haryanto (kiri), berdiskusi dengan mekanik Tim Manor menjelang latihan resmi GP3 Series di Sirkuit Catalunya, Barcelona, Spanyo, Jumat (7/5/2010).
DOK. KOMPAS/KIKY RACING
Rio Haryanto (tengah), mengangkat trofi setelah memenangi balapan kedua GP3 Series di Istanbul Park, Istanbul, Turki, Minggu (30/5/2010). Rio mengalahkan Miki Monras (kiri) yang finis kedua dan Alexander Rossi yang finis ketiga.
KOMPAS/ RAKARYAN SUKARJAPUTRA
Rio Haryanto, keluar dari padok untuk mencoba mobil Formula 1 milik Virgin Racing di trek balap Yas Marina, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Selasa (16/11/2010).
DOK. KOMPAS/SINYO HARYANTO
Rio Haryanto merebut podium pertama pada balapan GP3 Series di Sirkuit Nurburgring, Jerman, Sabtu (23/7/2011) sore atau Minggu dini hari WIB.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Rio Haryanto, Minggu (31/7/2011), naik podium setelah menjuarai balapan seri kedua GP3 Series di Sirkuit Hungaroring, Budapest, Hongaria. Rio menjuarai balapan itu dalam kondisi lintasan basah dan kian mengukuhkan julukannya sebagai jawara penakluk hujan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Rio Haryanto berpose di mobil balap GP2 dalam acara konferensi pers di Jakarta, Selasa (20/3/2012). Tahun 2012 Rio mulai berkiprah di ajang balap mobil GP2.
KOMPAS/CAESAR ALEXEY
Rio Haryanto sedang mendiskusikan kondisi mobilnya dengan seorang anggota tim mekanik sebelum berlaga di balapan pertama GP2 series Valencia, Sabtu (23/6/2012).
RAKARYAN SUKARJAPUTRA
Rio Haryanto kurang beruntung pada balapan hari pertama GP2 series di Sirkuit Hungaroring, Budapest, Hongaria, Sabtu (28/7/2012). Setelah terlempar ke posisi paling belakang karena disenggol pebalap lain, Rio akhirnya menyusul 12 pebalap dan menyelesaikan balapan pada posisi ke-12.
DOK KOMPAS/ARSIP GP2
Pebalap tim Campos Racing asal Indonesia, Rio Haryanto yang bergabung dengan Campos Racing menjuarai seri keempat Grand Prix 2 di Sirkuit Red Bull Ring, Spielberg, Austria, Minggu (21/6/2014).
DOK. KOMPAS/SAM BLOXHAM
Rio Haryanto menjadi juara kedua pada lomba kedua atau sprint race GP2 Seri Rusia, Minggu (11/10/2015).
KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA
Rio Haryanto berbincang dengan manajernya, Piers Hunnisett, di garasi tim Campos Racing setelah balapan terakhir GP2 musim 2015 di Sirkuit Yas Marina, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Minggu (29/11/2015). Di musim itu Rio duduk di peringkat ke-4 balap mobil GP2.

Tahajud

Sikap rendah hati atau tawadhu itu pun tak lepas dari pendidikan agama yang diberikan oleh orangtuanya. Saat deg-degan menunggu pengumuman siapa pebalap kedua Manor, Rio lebih memilih berserah kepada-Nya.

“Saya (per) banyak tahajud,” kata Rio saat ditanya apa yang dilakukannya sambil menunggu pengumuman resmi Manor.

Sisi religius dia juga bisa terlihat dari kokpit mobil balap yang dikemudikannya. Sejak masih menjadi pebalap di Formula Asia 2.0 pada 2008, Rio selalu menempatkan tulisan ayat kursi di ruang kemudinya. Menurut dia, hal itu bisa menghadirkan ketenangan saat berlomba.

“Rencananya, dia juga akan melakukan hal serupa di Manor. Namun, harus mendapatkan izin terlebih dahulu,” ucap Indah Pennywati.

“Sisi rohani Rio cukup kuat dan siap. Salatnya masih rutin. Dia juga rajin tahajud,” ujar sang ibunda.

Kerendahan hati itu pun ditunjukkan Rio saat menghadapi kritik yang menerpanya sejak berencana memulai karier di F1.

Menghadapi kritik terkait kemungkinan penggunaan uang negara dalam membiayai balapannya, Rio tak mau melawannya dengan kata-kata. Dia hanya berjanji agar bisa membalasnya dengan prestasi demi mengibarkan Sang Merah Putih.

“Sekarang, giliran saya berjuang untuk memberikan prestasi lebih kepada Indonesia,” kata pebalap dengan nomor mobil 88 ini.

Berada di balik kemudi F1 barulah puncak pertama dari karier seorang pebalap. Puncak kedua tentu saja menjadi juara dunia, seperti halnya Schumacher, di ajang tersebut.

Jalan Rio masih panjang...

AFP / ADEK BERRY
  • Biodata
  • Nama: Rio Haryanto
  • Tempat, tanggal lahir: Solo, 22 Januari 1993. Anak ke-4 dari 4 bersaudara
  • Pendidikan: Business Management at FTMS Global Singapore University
  • Prestasi:
    • Juara Nasional Gokart kelas kadet (2002)
    • Juara Nasional Gokart (2008)
    • Peringkat ke-3 Formula Asia 2.0 (2008)
    • Juara Formula BMW Pacific (2009)
    • Peringkat ke-5 GP3 (2010)
    • Peringkat ke-7 GP3 (2011)
    • Peringkat ke-14 GP2 (2012)
    • Peringkat ke-19 GP2 (2013)
    • Peringkat ke-15 GP2 (2014)
    • Peringkat ke-4 GP2 (2015)

Livi Zheng Arek Malang Penakluk Hollywood

Dok. Livi Zheng
Dok. Livi Zheng
Trailler Brush With Danger

Bergelut dalam dunia seni peran tidak membuat Livi Zheng (26) dengan mudah menghilangkan gugup. Suaranya kerap bergetar saat menjadi pembicara di hadapan publik, termasuk saat berbicara di hadapan ratusan peserta Kongres Ke-3 Diaspora Indonesia di Jakarta, Agustus 2015 silam.

Namun, saat berbagi pengalaman mengenai film, gugup saat berbicara di hadapan publik itu menyurut. Bagi perempuan kelahiran Blitar pada 3 April 1989 itu, film seperti memiliki efek kapilaritas, yang menyerap gugupnya.

Film memang menjadi wahana bagi Livi Zheng untuk menorehkan prestasi. Melalui debut laga Brush with Danger (2014) Livi menembus industri film Hollywood.

Sambutan terhadap film itu terbilang istimewa. Pemutaran perdananya dihadiri sejumlah tamu penting di Hollywood. Salah satunya, Gubernur Academy of Motion Pictures and Arts (Oscar) Don Hall.

Dok. Livi Zheng
Livi saat tengah menyutradarai film “Brush with Danger”.
Kamu mewakili segala hal yang menjadikan kamu sulit untuk sukses di Hollywood: Asia, perempuan, dan muda.

Malahan, film yang juga dibintangi Livi bersama adiknya, Ken Zheng, juga masuk daftar layak nominasi Oscar 2015.

"Setiap tahun ada sekitar 50.000 judul film dan kami ada di daftar terpilih itu,” ujar Livi.

Setelah Brush with Danger masuk daftar layak nominasi Oscar 2015, kiprah Livi Zheng semakin dilirik. Pasar untuk film yang mengambil latar di Seattle dan Los Angeles itu semakin luas. Peluang untuk Livi juga berkembang.

”Sebulan setelah film itu tayang di AS, saya dikirimi script yang jumlahnya sampai 800. Produser dan kru juga berdatangan. Sebelumnya, sulit luar biasa untuk itu semua sebagai pemula di Hollywood,” kata dia.

Di persimpangan

Persentuhan Livi Zheng dengan dunia sinema tidak tiba-tiba. Perempuan asal Malang itu malah lebih dulu menggeluti bela diri.

Kecintaan itulah yang membuat Livi berangkat ke Beijing China pada usia 15 tahun, bersama adiknya, Ken, yang saat itu 9 tahun.

Livi dan Ken mantap berlatih bela diri di Shi Cha Hai Sports School, yang juga menghasilkan aktor laga dunia, Jet Lee.

Meski begitu, pendidikan formal tidak ditinggalkan. Usai menamatkan SMA di Beijing, Livi memilih kuliah ekonomi di University of Washington di Seattle, Amerika Serikat.

  • Livi saat kuliah di University of Southern Carolina (USC), USA .
  • Livi saat menjuarai turnamen bela diri di Amerika.

  • Livi saat berbicara di Kongres Ke-3 Diaspora Indonesia di Jakarta, Agustus 2015 silam.
  • Livi saat berbagi cerita di hadapan mahasiswa di kampus Universitas Surabaya, November 2015, tentang kiprahnya di Hollywood.
Dok. Livi Zheng

Uniknya, kelindan jalan Livi Zheng di dunia sinema justru dimulai saat dia kuliah ekonomi. Dia mulai paham mengenai industri film, dengan mengerjakan apa saja, dari asisten produksi, bahkan wardrobe.

"Saat kuliah ekonomi memang mulai bantu-bantu di lokasi syuting," tuturnya.

Cintanya terhadap film semakin menumbuh. Usai lulus kuliah ekonomi. Hatinya berada di persimpangan.

"Melanjutkan kuliah ekonomi atau film," ujar Livi, yang mengaku penggemar film Ada Apa dengan Cinta saat masih di bangku SMP.

Meski Livi lulus berpredikat excellence di ekonomi, film jadi pilihan. Gadis itu pun memilih melanjutkan kuliah di University of Southern Carolina (USC).

USC bukan sekolah yang bisa dipandang sebelah mata. Sekolah itu merupakan kawah chandradimuka yang menghasilkan sutradara kelas dunia seperti Robert Zemeckis (sutradara Back to the Future dan Forest Gump), Brian Grazer (sutradara A Beautiful Mind), serta George Lucas (pembuat Star Wars).

Dok. Livi Zheng

Berkarya, berkarier, dan cari uang boleh di AS, tetapi kewarganegaraan saya akan tetap: Indonesia

32 kali ditolak

Bela diri ternyata memiliki banyak pengaruh positif untuk Livi. Tidak hanya menorehkan 26 medali dan trofi dalam berbagai kompetisi di AS, filosofi bela diri juga diterapkan Livi.

Hidup dimaknai sebagai sebuah perjuangan. Sebab, industri sinema memang bukan sebuah jalan yang mudah.

Saat berprofesi sebagai stuntwoman, Livi pernah bercerita akan mimpinya di dunia sinema kepada seorang teman, stunt coordinator bernama David L Boushey. Boushey kemudian memberi jawaban yang dianggap Livi sebagai sebuah "tamparan keras".

"Kamu mewakili segala hal yang menjadikan kamu sulit untuk sukses di Hollywood," demikian Livi menuturkan ucapan Boushey.

Adapun tiga hal itu adalah orang Asia, perempuan, dan muda.

Boushey tidak sembarang bicara. Reputasinya di Hollywood cukup dikenal. Sebab, dia pernah menangani koreografi sejumlah aktor besar, termasuk Denzel Washington, William Hurt, dan Tommy Lee Jones.

Ucapan Bousehy mulai dirasakan Livi saat dia mulai mengalami penolakan. Bahkan hingga 32 kali. Namun, lagi-lagi filosofi bela diri membuatnya positif dalam menanggapi kegagalan.

"Di bela diri, seperti tinju saja misalnya, untuk belajar satu pukulan saja kan hingga ribuan kali," ucap penggemar Bruce Lee itu.

KOMPAS.COM

Nasib baik mulai menghinggapi Livi Zheng saat bertemu seorang produser eksekutif di sebuah sekolah bela diri. Setelah bercerita mengenai "janin" Brush with Danger, Livi diminta untuk menyerahkan skenario film itu.

Tetap saja prosesnya tidak mudah. Saat pertama kali diserahkan, skenario yang dibuat itu dianggap harus diperbaiki hingga 80 persen. Banyak bagian yang dianggap sulit untuk diangkat ke film, karakter di film pun masih kurang kuat.

Livi yang dibantu adiknya, Ken, terus bekerja keras agar film itu terwujud. Hingga kemudian kerja keras itu menorehkan hasil.

Produksi Brush with Danger dimulai, yang berlanjut dengan distribusi, tayang di bioskop, dan sambutan meriah yang didapat Livi Zheng.

Livi Zheng kini menjadi salah satu anak muda kebanggaan Indonesia di luar negeri. Meski demikian, dia tetap sadar diri dan tidak akan melupakan Indonesia.

”Berkarya, berkarier, dan cari uang boleh di AS, tetapi kewarganegaraan saya akan tetap: Indonesia,” ujar Livi, yang mengaku sangat bangga menjadi arek Jawa Timur.

Dok. Livi Zheng
  • Biodata
  • Nama: Livi Zheng
  • Tempat, tanggal lahir: Blitar, 3 April 1989
  • Pendidikan formal:
    • SMP Pelita Harapan, Banten
    • SMA di Western Academy of Beijing
    • S1 Ekonomi di University of Washington- Seattle.
    • Sedang menepuh S2 Perfilman, University of Southern California, AS
  • Pendidikan nonformal:
    • Belajar wushu di Martial Arts in Beijing's Shi Cha Hai Sports School (almamater Jet Li)
    • Bergabung dalam tim karate Washington dan memenangkan lebih dari 26 kejuaraan beladiri regional dan nasional AS.
  • Kegiatan: Sutradara, pemain film, penulis naskah, pemeran pengganti (stuntwoman), produser film

Maria Harfanti Kecantikan Indonesia yang Mendunia

TRIBUNNEWS/JEPRIMA

Maria Harfanti (24) tak pernah menyangka bahwa ia akan menorehkan prestasi di kontes kecantikan internasional.

Selama ini, Maria memandang dirinya sebagai gadis yang tomboy. Bisa dibilang, kemampuan modelingnya nol besar.

Tanpa dukungan dari orangtua dan temannya, Maria mungkin tidak pernah mencoba untuk mengikuti kontes Miss Indonesia, apalagi Miss World.

“Tapi saya tidak pernah mau (ikut kontes kecantikan) karena saya adalah anak tomboy, akademik, dan sosial banget. Ketika kuliah saya mengajar sebagai asisten dosen. Tahun 2012 saya juga dikirim ke Tiongkok untuk mengajar. Memang, saya punya passion di bidang edukasi,” kata Maria seperti dikutip Kompas, 17 Januari 2016.

Namun, Maria ternyata mampu membuktikan bahwa seorang gadis tomboy pun bisa meraih prestasi pada ajang kecantikan internasional.

Wanita kelahiran 20 Januari 1992 itu berhasil meraih peringkat ketiga (runner-up kedua) dalam kontes Miss World yang berlangsung di Beauty Crown Grand Tree Hotel, Sanya, Tiongkok, Sabtu (19/12/2015).

Maria tepat berada di bawah Miss Rusia, Sofia Nikitchuk di posisi runner-up pertama dan kontestan asal Spanyol Mireia Lalaguna Royo sebagai pemenang Miss World 2015.

Bukan hanya itu, Miss Indonesia 2015 ini memboyong dua gelar lainnya, yakni Beauty With A Purpose, dan Miss World Continental Beauty Queen of Asia 2015 dalam ajang tersebut.

KOMPAS TV

Prestasi yang ditorehkan Maria ini bukan main-main. Ini adalah prestasi tertinggi yang pernah diraih Indonesia dalam kontes kecantikan dunia.

Keberhasilan Maria juga membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki wanita yang berkualitas.

Wanita yang menguasai tiga bahasa asing ini, mampu menunjukkan bahwa kecantikan tidak hanya terpancar dari fisik, tetapi juga dalam hati dan pikiran.

Menyumbangkan diri kepada masyarakat

Selain dorongan dari orangtua dan temannya, Maria menemukan sendiri alasannya untuk ikut dalam kontes Miss Indonesia.

Gadis berdarah Jawa itu merasa perlu menyumbangkan dirinya kepada masyarakat. Maria berpikir, dengan menjadi Miss Indonesia, ia bisa membawa perubahan lebih besar lagi.

“Ketika saya menjadi Maria Harfanti, saya bisa melakukan sebesar ini misalnya, tapi ketika menjadi Miss Indonesia, saya pasti bisa membuat impact yang lebih besar,” kata Maria.

Karena Miss Indonesia selalu fokus pada dunia sosial, Maria berpikir untuk melakukan project sosial yang berkaitan dengan sanitasi dan air bersih, seperti yang ia lakukan di Pandeglang, Banten.

”Banyak sekali masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, fasilitasnya tidak memadai dan yang paling memprihatinkan banyak sekali orang yang tidak bisa mengonsumsi air bersih,” katanya.

Ide ini berawal dari kunjungan Maria ke sebuah perkampungan di China. Di kampung itu, ia mendapati sanitasi yang buruk.

Tidak ada toilet di kampung itu sehingga warga hanya mandi saat hujan turun. Kondisi ini membuat Maria merasa prihatin.

Gao lin
Maria Harfanti (ketiga dari kiri) di panggung Miss World 2015 di Tiongkok.

Ia lalu teringat akan kondisi di Indonesia. Apabila di China masih ada kampung dengan kondisi seperti itu, di Indonesia mungkin kondisinya bisa lebih parah.

Dari situ, Maria tergerak untuk memperbaiki sanitasi kampung-kampung di Indonesia. Ia pun banyak melakukan riset di sejumlah kampung di Jawa Barat.

Gadis penyuka gudeg ini memilih untuk sementara tidak keluar dari Jawa karena ingin memprioritaskan daerah yang lebih dekat, sebelum melebarkan sayap ke wilayah yang lebih jauh.

Ide Maria tersebut kemudian terwujud ketika ia menjadi Miss Indonesia. Ia berhasil mengerjakan proyek pembangunan sanitasi dan fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) di Kampung Kamancing, Pandeglang, Banten.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti ini terlibat secara aktif mulai dari proses survei, penggalangan dana, hingga pengerjaan pembangunan fasilitas sanitasi dan MCK di kampung tersebut.

Dalam laman Facebook Miss World-Indonesia, Maria menuliskan pengalamannya memperjuangkan sanitasi dan pengadaan air bersih di Kampung Kamancing.

“Keadaan desa ini gersang dan tingkat sanitasinya sangat buruk. Desa Kamancing tidak memiliki satupun MCK dan para penduduk terbiasa untuk buang air di sembarang tempat,” tulisnya.

Gao lin
Miss World 2015 dari Spanyol Mireia Lalaguna Royo diapit Miss Rusia Sofia Nikitchuk sebagai juara dua (kiri) dan Maria Harfanti sebagai juara tiga (kanan).

“Krisis air bersih juga merupakan masalah yang belum terselesaikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Desa Kamancing selama ini menggunakan air keruh yang berasal dari kubangan yang terletak di dekat pemukiman,” kata Maria dalam tulisannya.

Miskinnya infrastruktur, minimnya air bersih, dan kotornya lingkungan di kampung tersebut menjadikan warga mudah terserang penyakit, mulai dari diare hingga penyakit kulit.

Kondisi yang memprihatinkan tersebut justru mendorong Maria untuk mengubah nasib warga kampung yang lokasinya bisa dibilang masih berdekatan dengan ibu kota negara itu.

Melihat perjuangannya ini, tak heran apabila Maria menyabet gelar Beauty with a Purpose dalam kontes Miss World 2015.

Untuk kategori ini, setiap kontestan dinilai berdasarkan ketulusan dan aktivitasnya dalam kegiatan sosial.

Pencapaian Maria ini tentu membuat Indonesia bangga. Maria pun bersyukur akan pencapaiannya tersebut.

”Ini luar biasa. Pertama kali sempat tidak menyangka apalagi pada awalnya target saya adalah bisa masuk 10 besar dan bisa memenangi Beauty With A Purpose. Tetapi, saya bener-bener tidak menyangka bisa mencapai sejauh itu. Ini merupakan sesuatu yang tidak akan saya lupakan,” ujar dia.

Ketika saya menjadi Maria Harfanti, saya bisa melakukan sebesar ini misalnya, tapi ketika menjadi Miss Indonesia, saya pasti bisa membuat impact yang lebih besar.
TRIBUNNEWS/JEPRIMA

Pekerja Keras

Tentunya, pencapaian Maria tersebut bukanlah tanpa kerja keras. Untuk meraihnya, Maria harus bekerja keras dan mencurahkan seluruh energinya agar bisa memberikan hasil terbaik.

Tak hanya untuk mewujudkan project sosialnya, Maria juga mencurahkan energinya untuk melalui berbagai persiapan menuju Miss World 2015.

Ia belajar public speaking, modeling, dan character building.

”Jadi persiapan menuju Miss World itu adalah waktu di mana saya harus memberikan diri saya seutuhnya. Mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar bisa membanggakan Indonesia,” kata Maria.

Maria juga melatih kemampuannya dalam bernyanyi dan bermain piano agar dapat tampil memukau pada malam final Miss World 2015.

Malam itu, Maria menunjukkan dirinya kepada dunia. Ia menampilkan sosok gadis Indonesia yang tak hanya cantik, namun juga berbakat dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Indonesia patut berbangga hati memiliki Maria, sang penyandang gelar ketiga Miss World yang mengharumkan nama bangsa.

TRIBUNNEWS/JEPRIMA
  • Biodata
  • Nama: Maria Harfanti
  • Tempat, tanggal lahir: 20 Januari 1992
  • Pendidikan: Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Magister Manajemen Universitas Indonesia
  • Prestasi: Miss Indonesia 2015, Miss World Continental Beauty of Asia 2015, 2nd Runner Up Miss World 2015, Beauty With A Purpose, Miss World 2015

Andreas Senjaya Berjuang di Silicon Valley

Dok. Andreas Senjaya

Nama lengkapnya Andreas Senjaya (26). Ia lebih akrab disapa Jay. Pembawaannya sangat kalem dan terkesan pemalu. Namun kalau sudah membicarakan soal startup digital, ia bisa sangat bersemangat dan berapi-api.

Jay merupakan pendiri Badr Interactive, sebuah perusahaan teknologi di Depok, Jawa Barat, sejak 2011 lalu. Saat tulisan ini dibuat, Jay sedang menjalankan sebuah program akselerasi di Silicon Valley selama 4-5 bulan.

Program yang diikutinya adalah program akselerasi dari 500 Startups sebuah venture capital global yang berbasis di Silicon Valley dengan aset lebih dari 200 juta dollar AS.

Program yang sedang dijalani Jay memang tidak biasa. Program ini terbilang panjang dan dijamin melelahkan sekaligus bisa mendatangkan banyak pelajaran dan jaringan.

Jay berada di Silicon Valley lewat layanan iGrow yang dikembangkannya bersama tim Badr Interactive. Layanan itu telah diakui di berbagai kompetisi, mulai dari kompetisi di tingkat Asia yang diadakan di Jakarta hingga meraih juara dua di kompetisi tingkat internasional di Istanbul, Turki.

Layanan iGrow menghubungkan petani dengan pemilik lahan dan pemilik modal. Ibaratnya, iGrow adalah game Farmville dengan tanaman sungguhan, yang memungkinkan pengguna menanam pohon dan meraup hasil dari pohon itu melalui aplikasi.

Akselerasi di Silicon Valley

Lewat berbagai prestasinya itu, Jay dan iGrow mendapatkan tawaran mengikuti program 500 Startups Accelerator, sebuah program inkubasi dan percepatan yang diadakan di Mountain View dan San Francisco, California.

Wilayah yang lebih dikenal dengan julukan Silicon Valley. Ini merupakan pertama kalinya sebuah perusahaan Indonesia mengikuti program tersebut.

Setiap startup yang mengikuti program ini akan mendapatkan investasi sebesar 125.000 dollar AS dengan imbal balik saham 5 persen dari setiap peserta.

500 Startups memang bukan nama asing di Indonesia. Selama ini mereka telah berkiprah lewat investasi di beberapa perusahaan rintisan digital, termasuk YessBoss, BukaLapak dan MalesBanget.

Program lain yang melibatkan startup Indonesia dan Silicon Valley adalah Google Launchpad yang diikuti delepan perusahaan, yatu: Jojonomic, Kakatu, HarukaEdu, Setipe, Kerjabilitas, Kurio, eFishery dan Seekmi.

Ada juga Startup Sprint yang merupakan bagian dari program Start Surabaya. Kompetisi itu mengirimkan Delihome, sebuah startup pengiriman makanan dari Surabaya ke Silicon Valley.

  • Briefing para peserta yang mengikuti 500 Startups Accelerator.
  • Para peserta dari seluruh dunia yang mengikuti briefing 500 Startups Accelerator.
  • Suasana kantor 500 Startups.
  • Black Box Connect, salah satu kegiatan Jay di San Fransisco. Acara ini mempertemukan sejumlah penggiat startup di seluruh dunia.
Dok. Andreas Senjaya

Sempat Ragu

Awalnya, Jay mengaku sempat ragu mengikuti program ini. "Keraguan mengambil program yang saya ikuti selama 5 bulan ke depan sebenarnya sudah menggelayuti sejak bulan November tahun lalu (2015-red.)," tulisnya.

Tantangan terbesarnya, ujar Jay, adalah dari sisi biaya. Apalagi selama program itu ia mengajak serta anak dan istrinya, yang berarti harus ada biaya yang ditanggung secara pribadi.

"Programnya sangat menarik karena di sana kami akan belajar langsung dengan semua network mereka di seluruh dunia dan bergabung dengan salah satu ekosistem startup terbesar di dunia," sebutnya.

Menjelang hari keberangkatan pun, Jay kembali menghadapi tantangan.

"Saya terkena Demam Berdarah sehingga harus dirawat selama lebih dari sepekan di rumah sakit sementara hari keberangkatan tinggal H-10 lagi," tulisnya.

Beruntung, tiga hari sebelum keberangkatan ia sudah bisa keluar dari Rumah Sakit. Dan di malam sebelum keberangkatan, cek trombosit menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Kini, satu bulan setelah menjejakkan kaki di Silicon Valley, Jay mengaku mendapatkan banyak manfaat. Ia pun bersyukur anak dan istrinya bisa mendampinginya selama perjalanan itu.

Berada di negeri asing, ia mengaku jadi bisa meningkatkan kualitas waktu bersama keluarga. Di rumah tempat mereka tinggal, istri Jay bahkan mengajar mengaji pada anak empunya rumah.

  • Jay bersama Istrinya Ifah dan putrinya Azima.
  • Suasana tempat tinggal Jay di San Francisco.
Dok. Andreas Senjaya

Menebar Manfaat

Jay memang dikenal sebagai sosok yang sibuk menebar manfaat. Jay juga merupakan inisiator gerakan StartupDPK (Startup Depok) bersama dengan penggerak startup lainnya di Depok seperti Lahandi Baskoro, Tommy Herdiansyah dan Firman Nugraha.

Pria kelahiran 4 September 1989 ini mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia angkatan 2007. Ia tercatat sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mapres) Utama Fasilkom dan Mapres 2 UI tahun 2010.

Semasa kuliah Jay gemar berorganisasi, ia merupakan Wakil Ketua BEM Fasilkom 2010 dan anggota Majelis Wali Amanat UI utusan Mahasiswa untuk 2011.

“Ketika lelah menyapa, kala sibuk menghampiri, kuhunjamkan selalu dalam hati: ‘Jay istirahatnya di surga aja’. Buat setiap detikmu bermakna, jadikan setiap nafasmu berarti.”

Sosok Jay menjadi semacam mentor bagi mahasiswa serta komunitas digital, terutama di Depok tempatnya menetap.

Menyusul jejaknya, beberapa startup juga lahir dari Fasilkom UI, seperti TemanJalan (yang diinisiasi Fauzan Helmi Sudaryanto dkk.), Flip (Rafi Putra Arriyan dkk.) serta Cozora (Dimas Ramadhani dkk.), ketiganya teman seangkatan yang lulus di 2015 dan kini merintis usaha mereka di Depok.

Selaku CEO Badr Interactive, Jay mendorong timnya untuk memiliki gagasan dan melahirkan produk-produk atau startup baru. Secara tidak langsung ia membuat semacam inkubator di dalam perusahaannya.

Oleh karena itu, iGrow memang bukan produk pertama Badr. Berikut adalah beberapa produk Jay dkk dari Badr Interactive sebelumnya:

Doa in Quran.
Aplikasi kumpulan doa pilihan yang bersumber dari Al Quran. Aplikasi ini juga dilengkapi dengan pelafalan dalam bahasa latin serta terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Ustadz Badr.
Aplikasi nasehat dengan sumber-sumber kitab suci Al Quran, hadits dan pendapat ulama. Pengguna bisa menyesuaikan nasehat yang diterima berdasarkan kondisi hatinya.
Masjeed.
Aplikasi ini merupakan kumpulan informasi mengenai lokasi dan aktivitas masjid terdekat. Pengguna dapat saling berjejaring dan berbagi informasi mengenai kegiatan di masing-masing masjid.
UrbanQurban.
Dimulai sejak Oktober 2012 lewat kolaborasi dua startup kreatif di Depok, D'Yours HCD dan Badr Interactive. Layanan ini menggabungkan game dan crowdfunding untuk penyaluran hewan kurban.

Di Badr Interactive, Jay selalu percaya bahwa tujuan yang terpenting adalah jangka panjang, bukan sekadar tujuan jangka pendek apalagi demi meraup materi belaka.

Seperti pernah ditulis oleh Ziliun.com, dalam kesibukannya kalimat dari ibunda Jay berikut ini selalu dijadikan pedoman: “Ketika lelah menyapa, kala sibuk menghampiri, kuhunjamkan selalu dalam hati: ‘Jay istirahatnya di surga aja’. Buat setiap detikmu bermakna, jadikan setiap nafasmu berarti.”

  • Biodata
  • Nama: Andreas Senjaya
  • Tempat, tanggal lahir: 4 September 1989
  • Pendidikan: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia
  • Prestasi: Mahasiswa Berprestasi (Mapres) Utama Fasilkom dan Mapres 2 UI tahun 2010
Dok. Andreas Senjaya

Produser
J. Heru Margianto, Amir Sodikin

Penulis
Kistyarini, Jalu Wisnu Wirajati,
Bayu Galih, Icha Rastika, Wicak Hidayat

Kreatif
Moh. Khoirul Huda, Lilyana Tjoeng,
Anggara Kusumatmaja, Maulana Mikael



Copyright 2016. Kompas.com