LGBT
Diskriminasi, Miskonsepsi, dan Misinformasi tentangnya dalam Makalah Komunitas Ilmiah Indonesia
Cek Laporannya ...Prolog
Komunitas ilmiah memiliki tugas mulia untuk memberi pencerahan lewat riset. Namun, hasil analisis Kompas.com pada 145 riset tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menunjukkan hal sebaliknya. Banyak anggota komunitas ilmiah mendorong diskriminasi dan kriminalisasi lewat makalah-makalahnya. Bukannya mencerahkan, mereka justru memburamkan dengan menyebarkan miskonsepsi dan misinformasi. Sayangnya, banyak dari makalah tersebut tak dikritik sama sekali.
Noda
Sekitar delapan tahun lalu, AP yang waktu itu menjabat sebagai staf Knowledge Management & Information, Communication Technology (Kompas.com menyertakan inisial nama dan jabatan sesuai permintaan narasumber) di organisasi advokasi LGBT Arus Pelangi menerima sebuah surat elektronik.
Surat itu berasal dari Novi Andayani Praptiningsih. Kala itu dia merupakan mahasiswa doktoral Universitas Padjadjaran. Surat itu menerangkan bahwa Novi akan melakukan riset etnografi komunikasi untuk memahami pola interaksi para gay yang sudah melela (coming out) dalam komunitasnya.
“Waktu itu, kita semangatnya ingin membuka diri ke masyarakat. Khususnya perguruan tinggi dan mahasiswa yang ingin memahami komunitas LGBT. Jadi, kalau ada yang mau penelitian, kita akan bantu. Asal ikuti aturannya,” kata AP, 25 Oktober 2022 lalu.
Arus Pelangi memiliki empat syarat, yaitu riset harus bebas dari bias nilai peneliti (seperti nilai agama dan adat), peneliti harus menandatangani kesepakatan etik, riset harus menghormati hak asasi manusia komunitas LGBT, serta dilakukan secara partisipatif.
Sebagai wujud partisipasi, Arus Pelangi meminta hak untuk memberi komentar konstruktif guna mencegah kesalahkaprahan, dilibatkan dalam menginterpretasikan hasil riset, serta menerima naskah riset sebelum dipublikasikan.
“Kalau sudah menandatangani kode etik, kami akan hubungkan setiap peneliti ke anggota komunitas kami. Setelah semua langkah dalam riset dipenuhi, termasuk saat kami menerima naskah, kami akan berikan surat bahwa peneliti telah menyelesaikan risetnya sesuai etika,” terang AP.
Dalam tahap awal, Novi berinteraksi dengan baik terhadap anggota Arus Pelangi. Dia menerangkan kebutuhan datanya, menandatangani lembar kode etik, dan melakukan pengumpulan data. Namun, setelah itu Novi menghilang.
Tiba-tiba pada 2016, AP membaca pemberitaan tentang riset Novi di media dengan judul yang diskriminatif. Di situs web Universitas Padjadjaran, misalnya, dimuat artikel dengan judul “Novi Andayani Raih Gelar Doktor Komunikasi, Gay Bukan Turunan, Bisa Disembuhkan”.
AP mengaku kaget saat membacanya. “Saya coba cari-cari lagi kontaknya waktu itu. Saya e-mail beberapa kali dan tidak dibalas, lalu saya coba WhatsApp. Baru setelah beberapa kali, dia mengirimkan disertasinya,” kata AP.
Membaca disertasi Novi, AP makin terkejut. Ada sejumlah hal yang menurutnya bermasalah. Narasi bahwa gay bisa sembuh dinilai diskriminatif dan mencerminkan anggapan bahwa gay adalah penyakit. Klaim itu juga muncul hanya dari kasus dua gay yang ingin menikah.
“Kita harus tahu bahwa bagi sebagian besar gay, menikah itu tuntutan. Kita bisa memenuhi tuntutan itu, tetapi bukan karena kita menginginkannya, hanya karena misalnya oleh orangtua kita dituntut untuk melakukannya. Ini tidak dilihat oleh Novi,” ujar AP.
Di samping itu, AP menilai Novi menggeneralisasi bahwa setiap gay mempunyai pengalaman traumatis tanpa menyertakan referensi. Dalam disertasi, ada pula klaim bahwa banyak gay terperangkap dan nyaman menjadi homoseksual. Lagi-lagi, tanpa bukti.
Dede Oetomo, sosiolog Universitas Airlangga yang menjadi narasumber kunci dalam riset Novi, pun memberi respons yang sama saat mengetahui riset Novi terbit. Menurut dia, ada lompatan proses dalam riset tersebut.
"Seharusnya, dia menunjukkan teks hasil wawancara sebelum naskah riset dibuat dan dirilis. Cek dan ricek. Dia juga harus membagikan naskah riset ke lembaga tempat narasumber kunci bekerja. Itu semua tidak dilakukan," kata Dede.
Dina Listiorini, peneliti komunikasi serta gender dan seksualitas dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), mengungkapkan bahwa disertasi doktoral Novi dan publikasi yang lahir darinya secara substansi problematik.
“Masalahnya ada pada perspektif. Kalau ingin mengetahui pola komunikasi gay bisa saja, tetapi tidak perlu menghubungkan dengan perspektif agama. Dalam riset Novi, di bagian awal sudah ada kutipan dari kitab suci Islam dan Kristen bahwa gay dilaknat secara agama, rasanya itu tendensius. Lalu ada kesimpulan gay bisa berubah. Ini masalah,” katanya 16 Oktober 2022 lalu.
Masalah lainnya ada pada surat persetujuan untuk sebagai informan. Surat seharusnya menjabarkan secara gamblang risiko yang mungkin dihadapi seseorang ketika menjadi informan serta cara peneliti memitigasinya.
“Dalam surat consent yang disertakan di lampiran disertasi Novi, tidak ada hal itu. Surat hanya berisi permintaan untuk jujur selama wawancara. Surat seperti ini hanya menguntungkan peneliti tanpa memperhatikan risiko informan. Padahal dalam riset LGBT, itu perlu karena mereka rentan,” jelasnya.
Peristilahan yang muncul dalam kuesioner Novi pun berpotensi menyesatkan. Misalnya, ada pertanyaan soal “gay orientation” dengan pilihan “gay sissy”, “gay manly”, “gay bisexual”. “Istilah gay orientation ini cukup membingungkan. Lalu “gay bisexual” itu yang seperti apa? Gay kok biseksual,” kata Dina.
“Riset ini gagal secara etika. Kami sebenarnya waktu itu ingin gugat disertasi ini, tetapi kami sadar waktu itu belum punya staf yang punya kapasitas melakukannya,” kata AP. Di samping itu, riset Novi keluar pas saat Menristek Dikti Moh Nasir memicu perdebatan panas soal LGBT tidak boleh masuk kampus.
Tak ada pula akademisi yang mengkritik saat itu. Akhirnya riset Novi tetap dipublikasikan di Prosiding Kolokium Doktor dan Seminar Hasil Penelitian Hibah 2016 dan disebarluaskan lewat sejumlah podcast dan wawancara.
Bahkan, Novi mendapatkan pendanaan tambahan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (kini Ristek/BRIN) lewat skema multi-tahun Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) untuk riset lanjutannya soal dramaturgi gay.
Sejak Juli 2022, Kompas.com telah menghubungi Novi yang kini mengajar di Universitas Muhammadiyah Dr Hamka, Jakarta. Dia awalnya merespons, memberi penjelasan via WhatsApp dan surat elektronik soal tesisnya, sekaligus menegaskan bahwa riset doktoralnya tidak bertujuan mendiskriminasi.
Namun, Novi kemudian meminta semua pernyataannya ditarik ketika Kompas.com berusaha meminta penjelasan ulang karena perbedaan antara pernyataan dalam wawancara dan naskah tertulis dalam naskah tesis.
Kompas.com memutuskan untuk tidak menayangkan pernyataan Novi, tetapi tetap mengkaji risetnya. Alasannya, setiap riset berhak dan perlu dikomunikasikan, diapresiasi, ataupun dikritik dengan atau tanpa persetujuan penelitinya.
Belanga
Temuan Kompas.com menunjukkan bahwa tesis doktoral Novi di Universitas Padjadjaran hanya setitik nila dalam belanga riset LGBT Indonesia yang penuh noda. Ia bukan satu-satunya yang bermasalah dari sisi perspektif dan isi.
Kompas.com mengulik makalah ilmiah yang diunggah oleh komunitas ilmiah Indonesia (dosen ataupun mahasiswa) ke platform Garuda milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pencarian dengan kata kunci “LGBT” menunjukkan ada 434 makalah yang terbit antara 2012-2022. Satu makalah diretraksi.
Kompas.com kemudian menyaring makalah yang ada. Sejumlah makalah diunggah dua atau bahkan tiga kali, sedangkan publikasi lain bukan dalam bentuk riset, melainkan hanya tulisan opini yang kadang tanpa disertai referensi. Jenis tulisan tersebut dikecualikan.
Kompas.com juga mengecualikan makalah yang bagian isinya berbahasa Inggris. Alasannya, sejumlah makalah berbahasa Inggris hanya terjemahan dari bahasa Indonesia-nya. Sejumlah lain terbit di jurnal internasional sehingga mempunyai lebih banyak peluang untuk dikritik ilmuwan secara global.
Dari hasil penyaringan, Kompas.com mendapatkan 145 makalah yang bisa dikategorikan riset. Artinya, makalah tersebut mempunyai tujuan untuk menjawab pertanyaan tertentu, menerangkan metodologi untuk menjawab pertanyaan, dan mencantumkan hasil riset.
Setelah mengalihformatkan dari PDF ke Excel, Kompas.com mengategorikan bidang riset, jenis metodologi, serta subyek penelitian. Langkah selanjutnya adalah mengekstrak kata kunci, memetakan jaringan antar-kata kunci, dan melihat narasi yang dibangun dengan kata kunci dominan.
Secara umum, hasil analisis menunjukkan adanya kata-kata tendensius yang digunakan dalam makalah. Terminologi yang tendensius banyak ditemukan pada abstrak, pendahuluan, serta simpulan dan saran dari makalah.
Analisis dari bagian abstrak saja sudah menunjukkan adanya aspek normatif dalam riset LGBT Indonesia. Hal itu terlihat dari adanya kata kunci “mencegah LGBT”, “perilaku seksual menyimpang”, “perilaku LGBT”, dan “masalah sosial”.
Kata kunci yang menunjukkan pandangan subyektif peneliti juga ditemui pada bagian pendahuluan. Studi hukum memiliki kaitan erat dengan kata “penyimpangan”, sedangkan sejumlah studi psikologi secara konsisten menggunakan kata “pelaku LGBT” dari pendahuluan hingga kesimpulan.
Jurnal Riset Psikologi dan Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak merupakan dua jurnal yang paling banyak menerbitkan riset tentang LGBT. Empat makalah pada Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak terkait dengan upaya meluruskan dan mencegah LGBT.
Studi media memiliki kompleksitas tersendiri. Ada hubungan “LGBT” dan “ideologi”. Dalam narasi riset, media yang berupaya meliput secara lebih inklusif dengan menghadirkan narasumber LGBT, misalnya, dibilang memiliki “ideologi tersembunyi”, “tidak netral”, dan “berpihak pada LGBT”.
Dede menilai, sejumlah kata kunci tendensius tersebut menunjukkan bahwa “banyak riset LGBT sudah salah dari awalnya. Terlepas dari pandangan pribadi, peneliti seharusnya bersikap terbuka dalam riset. Kalau sudah bilang menyimpang dan perlu diluruskan, itu sudah bias.”
“Penggunaan kata pelaku LGBT itu juga bermasalah. Ini seolah-olah kan LGBT itu kriminal sehingga dilabeli dengan kata pelaku,” ungkap penulis buku Memberi Suara Pada yang Bisu ini ketika dihubungi Kompas.com, 12 Oktober 2022.
Analisis menunjukkan bahwa banyak kajian LGBT muncul setelah tahun 2019. Hal itu bisa terkait dengan wacana Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi ekspresi seksual LGBT.
Meski sejumlah kata kunci yang merujuk pada praktik diskriminatif muncul, ada sejumlah kata kunci yang lebih inklusif, misalnya “perlindungan” dan “kekerasan” dalam studi hukum dan sosial. Studi media banyak melihat liputan media dalam kasus LGBT, terbukti dengan adanya kata kunci “pemberitaan”.
representasi
Analisis pada bagian metodologi menunjukkan bahwa sebagian besar riset merupakan studi pustaka, sedangkan studi lainnya lebih empiris dengan metode yang secara umum bisa dikategorikan sebagai kualitatif dan kuantitatif.
Subyek dan obyek riset dalam riset kualitatif justru lebih banyak pakar atau ahli daripada kalangan LGBT itu sendiri. Sebuah riset bahkan berupaya mengonstruksi narasi bahwa LGBT menyimpang dengan cuma mengumpulkan tokoh dari beragam agama dan meminta pendapatnya.
Representasi LGBT dalam studi kuantitatif lebih besar. Namun demikian, banyak studi tersebut tak menjelaskan secara spesifik gender dan orientasi seksual mana yang dijadikan obyek studi serta cara merekrutnya. Hal ini bisa berkontribusi pada kuat lemahnya kesimpulan riset.
Secara umum, analisis mengungkap bahwa aktor-aktor lain yang disebut sebagai pakar, ilmuwan, dan pemuka agama dianggap lebih penting dalam menarasikan mengenai LGBT dibandingkan kalangan gender itu sendiri.
Dede menuturkan, riset tentang LGBT memang menantang, terutama jika menggunakan metode kuantitatif, karena responden relatif menutupi orientasi seksualnya. “Akhirnya bisa saja peneliti merekrut sedapatnya, lalu minta isi kuesioner. Ada bias yang terbuka lebar di sini,” katanya.
Selama menekuni isu seksualitas, Dede melihat bahwa banyak peneliti bahkan tidak memahami LGBT itu sendiri. Ia menyatakan pernah menjumpai riset yang bicara soal gay, tetapi yang dijadikan obyek studi justru transgender.
Ketidakpahaman tersebut salah satunya berkaitan dengan minimnya referensi soal LGBT. Sangat sedikit buku teks tentang gender tersebut. Banyak riset mengutip buku populer, sumber online yang bukan akademik.
Dalam analisis ini, Kompas.com menemukan ada hubungan antara “LGBT” dan “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”. Hal itu bisa jadi petunjuk bahwa peneliti mendefinisikan LGBT berdasarkan kamus.
“Sebagai peneliti, kita harus memahami state of the art dari bidang yang kita tekuni, obyek yang kita tekuni. Dan itu ada pada buku-buku teks, publikasi terkini. Jadi kamus tidak bisa menjadi sumber, apalagi kamus itu sendiri definisinya bisa bermasalah,” ungkap Dede.
Minimnya referensi tentang LGBT bisa terjadi karena jumlah penelitinya terbatas. Dari jumlah yang terbatas itu, lebih sedikit lagi yang menerbitkan buku teks. Kemungkinan lain, ada represi untuk menerbitkan buku teks minoritas gender.
“Jadi walaupun banyak yang meneliti LGBT itu bias, saya kadang berpikir bagus juga masih ada yang meneliti. Sebab, saya bahkan pernah dengar bahwa meneliti LGBT itu dianggap aib. Orang berdosa kok diteliti,” jelasnya.
Minimnya referensi yang berujung pada ketidaktahuan peneliti itu mungkin yang berkontribusi pada gagalnya peneliti merepresentasikan LGBT itu sendiri serta menerapkan standar etika tertinggi dalam risetnya.
miskonsepsi
Dalam makalah-makalah komunitas akademik Indonesia, kata “LGBT” kerap dihubungkan dengan “HAM” atau hak asasi manusia dengan variasi kata “hak asasi internasional” dan “hak asasi nasional”. Kata HAM sendiri terkait dengan “agama”, menunjukkan banyak yang membahas paralel kedua isu tersebut.
Beragam narasi muncul terkait LGBT dan HAM. Salah satu yang umum adalah wacana “lokalisasi hak asasi”. Konsep itu kerap dimaknai sebagai upaya untuk menyesuaikan penerapan hak asasi dengan tetap mengakomodasi nilai-nilai lokal.
Dalam beragam makalah, berkembang narasi bahwa sesuai konsep hak asasi yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi LGBT adalah hak asasi. Namun, karena Indonesia negara yang beragama dan pelaksanaan hak asasi bisa dilokalkan, maka menjadi LGBT bukan hak asasi.
Usman Hamid dari Amnesty International menuturkan, pemahaman bahwa praktik melokalkan hak asasi dengan mengecualikan hanya berdasarkan agama dan pandangan bahwa LGBT bukan nilai lokal adalah miskonsepsi.
“Pertama, lokal itu yang mana? Warok itu jelas lokal. Bissu itu lokal. Jadi, nilai-nilai lokal kita jelas mengakui bahwa identitas gender itu beragam, tidak hanya laki-laki dan perempuan. Justru nilai-nilai lokal itu sekarang yang terancam,” terangnya pada 17 Oktober 2022.
Dalam konsep hak asasi sendiri ada yang disebut absolute rights, limited rights, dan qualified rights. Hak hidup adalah absolute rights tanpa memedulikan ras, agama, orientasi seksual, dan identitas lainnya. Jadi, LGBT berhak hidup sebagai dirinya adalah hak asasi di mana pun dan tidak bisa dikecualikan.
Kalaupun ada hak yang ingin dikecualikan, itu harus ada dasarnya. Ada empat pertanyaan mendasar sebelum mengecualikannya, yaitu dasar legal, keperluan atau tujuan, kemungkinannya bisa dilakukan secara proporsional, serta akuntabilitas.
“Katakanlah kita mau berserikat, berkumpul. Ini bukan hak yang absolut. Tapi, apa bisa lalu dilarang negara? Tidak bisa. Apalagi kalau hanya berlandaskan mengganggu ketertiban, untuk keharmonisan, lalu kalau di Indonesia ditambah agama,” kata Usman.
Selain HAM, wacana LGBT dalam banyak makalah dihubungkan dengan Pancasila. Narasi umumnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa. Agama dianggap melarang LGBT maka menjadi LGBT di Indonesia salah.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fernando Manullang, menilai narasi tersebut bermasalah. Menurut dia, Pancasila secara filosofis sesuai yang kali pertama diungkapkan Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah kebangsaan dan gotong royong.
“Jadi, walaupun Soekarno waktu itu belum mengenal soal seksualitas, kalau kita mau melihat Pancasila dengan jujur, jangan-jangan dia tidak jijik pada LGBT. Bagi dia, yang penting kebangsaan dan kebangsaan adalah soal kemanusiaan,” terangnya.
Pancasila kerap kali diklaim sebagai keunikan bangsa Indonesia dan menjadi benteng agar tidak terpengaruh nilai-nilai asing. Namun, sejarah menunjukkan bahwa gagasan Pancasila sendiri adalah hasil interaksi Soekarno dengan nilai-nilai Barat.
Sekitar abad ke-18, Eropa mulai bosan dengan semangat aufklarung (pencerahan). Hal itu mendasari filsafat romantisisme yang kemudian melahirkan nasionalisme atau kecintaan pada bangsa yang sangat besar sebagai anak kandungnya.
“Gagasan itu sampai ke Soekarno lewat buku-buku yang dia baca. Antara semangat Soekarno waktu itu dan semangat Barat tidak ada bedanya. Jadi saya tidak percaya Pancasila itu murni dari nilai-nilai lokal. Indonesia sendiri juga bukan bangsa yang romantis,” jelasnya saat diubungi Kompas.com pada 17 Oktober 2022.
Mempertimbangkan sejarah, maka merespons kemajuan perjuangan gender dan seksualitas dengan mengayomi hak-hak LGBT adalah sesuatu yang Indonesia harus lakukan. Langkah itu bukan berarti Indonesia terpengaruh Barat, tetapi justru perwujudan semangat dasar Pancasila.
Dina menuturkan, upaya mengaitkan ideologi Pancasila untuk menghambat kesetaraan LGBT itu bukan hal baru. Dalam disertasi doktoralnya, hal yang sama dilakukan oleh politikus dan direproduksi oleh media massa. “Pancasila menjadi tameng,” ujarnya
Bukan hanya terkait Pancasila dan HAM, miskonsepsi yang menarik untuk diperhatikan adalah heterofobia. Dalam disertasi Novi, misalnya, heterofobia dimaknai sebagai sikap anti LGBT pada sesamanya yang ingin mencoba menjalin hubungan dengan lawan jenis dan menikah.
Heterofobia diteliti secara saintifik, misalnya dalam sejumlah publikasi di Journal of Men and Masculinities. Namun, definisi heterofobia dalam banyak riset adalah ketakutan homoseksual untuk membaur dengan orang heteroseksual. Tujuan studi sendiri lebih untuk menemukan cara mengikisnya.
AP mengungkapkan, “Konsep heterofobia itu sendiri tidak valid. Pengalaman LGBT sudah panjang mendapatkan diskriminasi sehingga lebih menutup diri untuk lebih menghindari stigma, bukan karena heterofobia.”
misinformasi
Meski hanya termuat dalam lima paper, narasi misinformasi yang menarik dicermati adalah soal genetika dan orientasi seksual. Misinformasi ini banyak juga beredar di media sosial, disebarkan pula oleh yang mengaku ilmuwan.
Salah satu narasi menyebutkan bahwa teori gen gay telah runtuh sehingga gay bisa berubah. Narasi ini muncul pula dalam disertasi dan publikasi ilmiah Novi, serta dijadikan dasar argumen bahwa dengan pendekatan persuasif, LGBT bisa menjadi heteroseksual.
Salah satu dasar teori narasi gen gay itu adalah riset Brendan Zietsch dari University of Queensland dan Andrea Ganna dari Harvard University yang dipublikasikan pada 2019 di Science. Riset yang fokus pada gay itu menyebutkan, tak ada satu gen tunggal yang menentukan dan peran genetik tidak dominan.
Salah satu narasi menyebutkan, jika pengaruh gen kecil, maka lingkungan sosial mendominasi.
Dalam percakapan dengan Kompas.com pada 20/10/2022 lalu, Brendan mengungkapkan, pandangan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh satu gen tunggal saat ini sudah usang. Namun, orientasi seksual dalam derajat tertentu tetap dipengaruhi faktor genetik.
“Jelas dari studi pada kembar identik dan non-identik bahwa orientasi seksual pada derajat substansial dipengaruhi faktor genetik. Paper pada tahun 2019 dengan metode Genome-Wide Association Studies (GWAS) juga konsisten dengan hal itu,” terangnya.
“Apakah kemudian ini besar berubah? Ini yang belum jelas. Sifat-sifat bisa dipengaruhi oleh faktor genetik dan mungkin bisa berubah, tetapi tidak diketahui seberapa bisa berubah orientasi seksual itu,” ungkap psikolog dan peneliti genetika perilaku ini.
“Ada beberapa riset yang mengatakan bahwa lingkungan masa kecil memengaruhi orientasi seksual, tetapi asosiasi dan kausalitasnya belum punya bukti kuat. Jadi, tidak jelas sampai sekarang kaitan keduanya,” tambahnya.
Brendan melanjutkan, gen-gen yang diduga bertanggung jawab pada orientasi seksual gay sendiri tidak secara eksklusif berpengaruh pada sifat itu.
Dalam publikasi risetnya pada 2021 di Nature, Brendan menyebutkan bahwa gen-gen yang memicu sifat gay bisa jadi berperan membantu reproduksi pada heteroseksual karena dijumpai pula pada mereka yang secara eksklusif berhubungan seksual dengan lawan jenis.
Menurut Brendan, yang sains katakan adalah bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh ragam faktor dan sangat kompleks. Jika sains menemukan bahwa pengaruh genetik tidak dominan, hal itu tidak lantas menjadi pembenar gay dipengaruhi lingkungan sosial, apalagi langsung menunjuk pada pola asuh.
Terminologi bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor lingkungan sendiri, menurut Brendan, kerap salah dimaknai. Lingkungan bisa berarti lingkungan biologis (misalnya kondisi kandungan dan hormonal saat masa janin), tidak melulu lingkungan sosial.
Kontroversi tentang studi genetika dan orientasi seksual terus terjadi. Namun, kontroversinya bukan soal apakah orientasi seksual bisa “diluruskan”. Dasar argumen gay harus diluruskan sendiri bukan sains, tetapi kepercayaan.
Perdebatan riset genetika dan orientasi seksual adalah soal etika. Julian Savulescu dari Oxford Centre for Ethics and Humanities, misalnya, dalam makalahnya di Nature Human Behavior pada 2021 mempertanyakan tentang bagaimana harus menggunakan riset genetika dan seksualitas.
Riset-riset tersebut mendorong kekhawatiran kemungkinan menggunakan genetika sebagai basis diskriminasi. Misalnya dengan melakukan tes genetik untuk mengetahui kemungkinan sifat gay dan menggunakannya untuk penyuntingan gen, tes mendapatkan pekerjaan, dan kriminalisasi.
Sejarah menunjukkan bahwa larangan untuk melakukan riset sulit diberlakukan. Jadi, yang perlu disiapkan sekarang adalah kerangka etika untuk melakukan riset dan menggunakan hasilnya. Keadilan sosial dan masyarakat yang bebas diskriminasi menjadi syarat wajib.
Satu hal yang ditegaskan Savulescu dalam makalahnya adalah bahwa “pemenuhan hak-hak sipil kalangan LGBT tidak bisa didasarkan pada data saintifik ataupun teori seksualitas terbaru.”
Kontroversi lain terkait studi genetika dan orientasi seksual adalah metodologinya.
Studi Brendan tahun 2019 dikritik karena sampelnya yang hanya mencakup populasi Eropa dan Amerika Utara. Di samping itu, kriteria mengatakan gay adalah “paling tidak berhubungan seksual sekali dengan sesama jenis”.
Studinya tahun 2021 pun mendapat kritik yang sama karena kriteria menyatakan heteroseksual adalah “tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis sama sekali”.
Kriteria yang disusun Brendan untuk menjaring subyek dalam riset dianggap bermasalah. Seseorang yang berhubungan seksual sesama jenis sekali belum tentu gay, bisa saja seorang pekerja seks komersial.
harapan
Walaupun miskonsepsi, misinformasi, dan miskinnya perspektif gender membuat lanskap riset LGBT Indonesia tampak muram, harapan penghapusan diskriminasi dan kesetaraan LGBT tetap ada. Hal ini bisa dilihat pada penelitian yang justru paling sensitif, yaitu kajian agama.
Perspektif Islam di beberapa kalangan mulai mengakui LGBT dalam konteks sosial dan kemanusiaan.
Kompas.com menemukan adanya makalah yang menyatakan bahwa meskipun LGBT berdosa, mereka tetap bisa mendapatkan hak-hak asasinya.
Munim Sirry, peneliti teks Al Quran dari University of Notre Dame, menilai perlu adanya kajian tafsir kontekstual ayat-ayat Al Quran tentang kisah Nabi Luth.
“Kita harus bisa melihat ayat secara kontekstual,” ungkap Munim.
Ia menuturkan, narasi kenabian dalam Al Quran selalu sama. Satu nabi diutus ke kaumnya, sebagian menolak, dan yang menolak itu dilaknat.
Dalam konteks Luth, orang yang kerap dianggap tidak menuruti itu adalah homoseksual.
“Yang menarik, mengapa kisah Luth itu seolah keras pada homoseksual, itu bukan karena orientasinya. Tetapi, karena laki-laki di situ memaksa laki-laki lain yang merupakan tamu dan meninggalkan istri mereka. Kisah Luth sebenarnya soal kekerasan seksual dan perselingkuhan,” katanya.
Amar Alfikar, transpria serta penekun Islam dan seksualitas mengungkapkan, kajian queer Islamic studies di Indonesia sebenarnya sudah maju, meskipun tidak bisa dibilang mainstream. Misalnya, terbitnya buku Fiqh Seksualitas oleh Kyai Husein Muhammad dan Prof Musdah Mulia.
Sayangnya, kajian kritis itu kerap kali mendapatkan label “liberal”, “berasal dari barat”, dan dibendung. Amar menilai, hal tersebut tidak konstruktif dan substantif. “Sejak dulu Islam itu beragam, tidak satu dan terpusat. Jadi label liberal dan tradisional justru mengingkari wajah Islam,” ujarnya.
Peraih beasiswa Chevening untuk belajar teologi dan agama di Universitas Birmingham pada 2021/2022 ini mengatakan, “keberagaman Islam itu harus dirayakan dan dipandang sebagai peluang penerimaan LGBT.”
Mun’im menuturkan bahwa kebebasan akademik perlu diberikan kepada pengkaji kitab suci untuk meneliti dan menyebarluaskan tafsir-tafsir yang lebih kritis. Kajian seksualitas dan agama tidak boleh dibatasi.
“Mereka yang punya tafsir kritis harus lebih aktif. Saat ini kan yang dominan tafsir yang literal," katanya.
Sejumlah tokoh Islam yang inklusif dan menerima keberagaman mulai bermunculan. Di Kanada, misalnya, ada Mohammed Fadel.
"Di Indonesia juga ada sejumlah tokoh yang inklusif dan harus bertambah,” ungkapnya.
Amar menuturkan, visibilitas kalangan LGBT dalam kajian agama penting. Namun pada saat yang sama, keamanan LGBT yang berani terbuka dan menyuarakan pemikirannya harus dijamin. Jaminan itu kerap absen.
“Perlu ada keseimbangan antara visibilitas dan diseminasi pemikiran kritis. Sebab menjadi visible itu penuh risiko. Ini adalah proses yang melelahkan dan saya pun kerap merasa harus berjuang sendiri,” tuturnya.
Sementara perdebatan tafsir terjadi, pendekatan kemanusiaan harus terus didorong. Kalangan LGBT harus dipenuhi hak-hak dasarnya. Komunitas ilmiah mestinya berupaya merangkul, bukan justru mengalienasi.
epilog
Diskriminasi, miskonsepsi, dan misinformasi tentang sains, gender, dan seksualitas tidak bisa terus dibiarkan menyebar.
Analisis Kompas.com kali ini hanya mencakup riset-riset yang bisa diakses lewat platform Garuda. Analisis yang lebih luas perlu dilakukan untuk melihat adanya fenomena serupa pada riset yang tidak bisa diakses publik, misalnya di sejumlah repositori universitas yag tertutup.
Analisis lebih lanjut mungkin juga perlu dilakukan untuk melihat bagaimana riset-riset yang bermasalah digunakan publik ataupun akademisi untuk melakukan diskriminasi pada LGBT di media sosial. Penting pula untuk melihat bagaimana publik maupun peneliti menyebarkan informasi salah dengan memakai publikasi ilmiah.
Kasus Mila Anasanti, Ph.D dari Imperial College London, peneliti pasca-doktoral di Brunel University, London, yang menyebarkan twit bermasalah tentang genetika dan orientasi seksual, adalah salah satu contoh nyata bagaimana peneliti menyebarkan informasi salah dengan riset.
Mila mengutip riset oleh Brendan Zietsch dari University of Queensland dan Andrea Ganna yang saat itu di Harvard University untuk menjustifikasi argumen bahwa jika pengaruh genetik tidak dominan maka lingkungan sosial menjadi penentunya. Andrea Ganna meluruskan informasi salah itu.
Dalam perdebatan lain dengan warganet Twitter, Mila merujuk riset Robert Spitzer pada 2001 soal keefektifan terapi konversi homoseksual. Terungkap, riset itu bermasalah secara metodologi dan Spitzer sudah minta maaf pada 2012.
Kebebasan untuk mendiskusikan LGBT dari ragam perspektif diperlukan. Kompas.com mencatat bahwa universitas melarang diskusi LGBT. Diskusi tema itu di Institut Teknologi Bandung (2015) dibubarkan. Hal yang sama dilakukan di Universitas Airlangga pada 2021.
Komunitas ilmiah harus menyadari kewajibannya mendorong keberagaman dan inklusi.