Saya punya love and hate relationship dengan fasilitas penyeberangan. Saya menggunakannya tiap hari, tetapi sekaligus membencinya. Dengan gerigi lantainya yang aus, jembatan penyeberangan jadi licin ketika hujan sehingga berjalan dengan sneaker atau slipper di atasnya harus superhati-hati.
Belum lagi jarak tempuhnya. Saya yakin banyak warga Ibu Kota relate dengan betapa melelahkannya mendaki jembatan penyeberangan, apalagi kalau harus transit bus transjakarta (Tije) di Bendungan Hilir.
Pengalaman itu membuat saya penasaran, apakah warga DKI Jakarta lain punya pengalaman dan kendala yang sama ketika menggunakan fasilitas penyeberangan?
Apa yang mereka lakukan untuk mengatasi kendala dan apa usulan mereka untuk fasilitas penyeberangan di DKI Jakarta yang lebih baik?
Per 13 Juni 2023, jumlah pengguna Tije mencapai 1 juta per hari. Sementara itu, jumlah penumpang KRL sepanjang 2022 mencapai 215 juta. Bersama dengan pejalan kaki, komuter adalah pengguna penting fasilitas penyeberangan.
Sangat penting untuk menjaring pendapat dan pengalaman mereka. Bukan hanya untuk mengkritik pemerintah kota, melainkan juga untuk melibatkan warga dalam pencarian solusi dari desain fasilitas penyeberangan.
Lalu, saya mengontak tim Produk Kompas.com. Selama ini, mereka bicara tentang desain web, aplikasi, dan game. Namun, dengan pendidikan dan pengalaman dalam riset pengguna (user experience), mereka pasti punya insight tentang metode menjaring pengalaman warga memakai fasilitas penyeberangan.
Saya juga menjangkau Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) yang selama bertahun-tahun meriset masalah transportasi dan pembangunan berkelanjutan. Mereka memberi perspektif penting dalam memandang masalah fasilitas penyeberangan secara lebih inklusif dan komprehensif.
Selain itu, saya juga mengajak tim desk Megapolitan Kompas.com yang sehari-hari berada di lapangan untuk bekerja sama. Mereka adalah salah satu pihak yang paling tahu tentang Jakarta.
Kami bertiga kemudian merancang proyek peliputan dengan mengadopsi pendekatan riset desain sebagai metode menjaring pendapat.
Dari proses diskusi, kami memutuskan bahwa tujuan liputan ini bukan sekadar mencari win-win solution atau membandingkan keefektifan antar-fasilitas penyeberangan.
Mengapa?
Sebab, selama ini upaya itu sebenarnya telah berjalan, tetapi ujungnya justru merugikan pejalan kaki.
Jembatan penyeberangan, misalnya, dianggap solusi karena memungkinkan pejalan kaki menyeberang tanpa mengganggu arus kendaraan. Namun, sebenarnya fasilitas itu merugikan pejalan kaki karena harus menempuh jarak seberang 90 persen lebih jauh serta mengeluarkan energi lebih besar. Ini jadi masalah terutama bagi lansia dan penyandang disabilitas.
Dalam liputan ini, kami lebih mengutamakan kepentingan pejalan kaki. Dengan perspektif tersebut, liputan ini menjadi lebih inklusif dan mendukung pembangunan berkelanjutan.