Media massa tak bisa dimungkiri kerap berjasa dalam memperkenalkan sebuah kata kepada masyarakat. Salah satu contohnya adalah kata "dangdut", yang diperkenalkan oleh Tempo.
Melalui tulisan Putu Wijaya pada Tempo edisi 27 Mei 1972, istilah dangdut muncul untuk menggambarkan lagu "Boneka dari India" sebagai "campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan 'dang-ding-dut' India".
"Karena terlalu panjang, akhirnya Tempo meringkasnya menjadi dangdut," kata Redaktur Bahasa Tempo Uu Suhardi saat ditemui Kompas.com, Selasa (18/10/2016).
"Sebelumnya, memang belum ada. Awalnya musik 'dang-ding-dut', lama-lama ditulis 'dangdut'. Benar-benar bikin sendiri walau tidak sengaja," ucapnya.
Kata lain yang dipopulerkan media massa adalah "petahana" untuk menggantikan "incumbent". Kata yang dipopulerkan Kompas ini merujuk kata dasar "tahana" yang berarti kedudukan atau martabat.
Akan tetapi, tidak semua media massa menggunakan kata tersebut. Tempo, misalnya, menggunakan kata "inkumben", serapan yang dekat dengan kata aslinya. Sementara itu, Republika memilih menggunakan kata "pejawat", dari kata dasar "jawat" yang berarti "pegang" atau "ulur".
Setiap redaktur bahasa, editor bahasa, atau penyelaras bahasa di media massa tentu memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan kata yang digunakan. Lalu, seperti apa pertimbangan yang digunakan?
Berikut cerita mengenai dinamika yang terjadi saat memutuskan penggunaan suatu kata tersebut dari tiga ruang redaksi yang berbeda.
Kompas, upaya jadi panutan
Sebagai media cetak terbesar di Tanah Air, Kompas berupaya untuk menjadi panutan. Langkah ini pun dilakukan terkait penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Yang paling mendasar adalah Kompas itu surat kabar berbahasa Indonesia, bukan berbahasa Inggris. Oleh karena itu, kami berusaha agar kata-kata yang berasal dari bahasa Inggris itu dapat diindonesiakan," kata Supervisor Penyelaras Bahasa Kompas Nur Adji saat ditemui Kompas.com, Rabu (19/10/2016).
Semangat itulah yang membuat Kompas sekuat mungkin mencari padanan kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Kompas pun berusaha konsisten saat akhirnya memilih kata dalam bahasa Indonesia, misalnya, "petahana".
Adji menjelaskan, usulan mengenai penggunaan kata tidak hanya datang dari tim penyelaras bahasa. Setidaknya, ada tiga pihak yang terkait dalam keputusan penggunaan sebuah kata.
Dua pihak yang paling awal dalam pembahasan kata adalah tim penyelaras bahasa dan manajer produksi.
"Ini karena setiap hari yang menghadapi persoalan bahasa adalah kami (penyelaras bahasa) dan manajer produksi," ucap Adji.
Pihak ketiga adalah editor di desk atau kompartemen. Ini disebabkan editor kompartemen merupakan pihak yang setiap hari bergelut dengan kata dan istilah khusus. Misalnya, editor ekonomi yang berhadapan dengan istilah ekonomi setiap hari.
"Editor desk juga punya hak untuk menentukan kata apa yang akan digunakan," kata dia.
Biasanya, Kompas mengundang pakar sesuai keahliannya untuk membahas istilah tertentu. Konsultasi pun dilakukan dengan ahli bahasa, tidak cuma bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa yang menjadi dasar serapan, seperti bahasa Inggris atau bahasa Arab. Ini dilakukan agar pemilihan kata benar-benar sesuai dengan konteksnya.
Saat menentukan sebuah kata, alasan sosial pun menjadi pertimbangan. Misalnya, kata sapaan "Basuki" kerap digunakan ketimbang "Ahok" untuk menyebut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
"Untuk menghargai orang, gunakan saja nama aslinya," tutur Adji.
Karena mengincar segmen menengah ke atas, Kompas juga jarang menggunakan kata-kata tidak baku. Tentu saja aturan itu tidak kaku. Kata atau kalimat populer yang tidak baku masih bisa digunakan, begitu juga kata dalam bahasa Inggris, untuk tulisan santai.
"Biasanya, ada di tulisan feature," ucap Adji.
Namun, jika perdebatan mengenai kata berujung kebuntuan, siapa yang mengambil keputusan dalam memilih kata?
"Yang membedakan Kompas dengan media lain, tim bahasa Kompas diketuai oleh direktur bisnis. Begitu dia sudah 'berfatwa', sudah, yang lain mengikuti," kata Adji.
Tempo, demokrasi untuk kata
Selama ini, Tempo dapat dibilang sebagai media yang rajin menggunakan kata dalam bahasa Indonesia yang terdengar asing. Kata itu bisa jadi telah ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Misalnya, Tempo menggunakan kata "risak" untuk mengganti "bully" atau "gawai" untuk menyebut "gadget".
Namun, suatu kata dapat juga dipilih karena lebih mudah dan sering didengar di masyarakat. Alasan itulah yang membuat Tempo menggunakan "inkumben" ketimbang "petahana".
"Awalnya, redaktur senior memakai kata inkumben karena menurut dia kata 'petahana' tidak enak," kata Redaktur Bahasa Tempo Uu Suhardi saat ditemui Kompas.com, Selasa (18/10/2016).
Ruang redaksi memang menjadi "medan Kurusetra" bagi wartawan dan staf bahasa Tempo dalam menentukan kata. Gagasan mengenai kata yang akan digunakan dapat dimunculkan, bahkan diadu, sebelum akhirnya disepakati untuk digunakan.
Hal ini terjadi juga saat membahas konsep peluluhan kata dasar berhuruf awal K, P, S, dan T dalam pembentukan imbuhan. Tempo memilih untuk tidak menggunakan peluluhan itu secara kaku. Ada kata tertentu yang tetap dimunculkan dan tidak luluh. Menariknya, pemilihan itu dilakukan secara voting.
"Untuk bentukan kata, kami banyak yang berbeda. Misalnya, untuk kata 'memengaruhi', dalam proses voting, banyak yang memilih 'mempengaruhi', dan 'mempesona', bukan 'memesona'," ujarnya.
Uu menjelaskan, salah satu faktor Tempo memilih bentukan kata tersebut ialah karena pertimbangan nilai rasa dan bunyi.
"Anton Moeliono (Guru Besar FIB Universitas Indonesia) pun membolehkan hal itu. Tidak perlu kaidah yang kaku, asal teratur. Intinya konsisten," tuturnya.
Konsistensi memang menjadi kunci dalam gaya bahasa atau selingkung yang dimiliki Tempo. Dalam beberapa hal Tempo akan menggunakan kata yang tak sesuai KBBI secara konsisten. Akan tetapi, saat menggunakan kata yang sesuai KBBI, maka Tempo juga akan menggunakannya secara konsisten.
Dalam suatu waktu, konsistensi ini pernah menimbulkan polemik, yaitu saat Tempo memilih memakai kata "Cina" sesuai dengan kaidah KBBI, bukan "China" atau "Tiongkok".
Uu membantah pemilihan kata itu bermaksud menyinggung etnis tertentu.
"Pendapat soal penulisan Cina terkesan merendahkan, kami tidak ada maksud merendahkan, tergantung penggunaannya karena setiap kata itu netral," ucapnya.
Menurut Uu, suatu kata bisa saja dipilih selama ada rujukan dan referensinya.
"Rujukan yang kami pakai ialah KBBI, KUBI, Kamus Dewan Malaysia, Tesaurus Bahasa Indonesia, dan kamus Badudu-Zain (Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun JS Badudu dan Sutan Mohammad Zain)," kata Uu.
Republika, kedekatan dengan pembaca
Tahun lalu, Republika mencetuskan kata "pejawat" sebagai padanan kata dari "incumbent" untuk mengacu kepada orang yang mempunyai posisi dan masih aktif menjabat. Kata ini agak berbeda dari kata "petahana" dan “inkumben”.
Meski demikian, menurut Kepala Bahasa Republika Ririn Liechtiana, pemilihan kata itu dilakukan Republika sebagai sumbangan untuk pengembangan bahasa Indonesia.
“Kami (Republika) ingin terlibat dan memberikan sumbangsih dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia,” ujar Ririn saat ditemui Kompas.com, Rabu (19/10/2016).
Ririn menjelaskan, pemilihan kata itu disebabkan aspek kemiripan secara semantik dengan kata "pejabat" atau "penjabat". Dalam KBBI, "jawat" sebagai kata dasar memiliki arti "pegang". Namun, ada juga kata "jawatan" yang merujuk "dinas" atau kata terkait pemerintahan.
"Kata 'pejawat' sendiri awalnya muncul karena kami ingin ada kata yang enak didengar dan mudah dilisankan (jumlah suku kata tidak banyak) untuk padanan kata incumbent dalam bahasa Indonesia," ujar perempuan yang lahir di Bandung ini.
Dalam proses pembentukan kata “pejawat” ini, dia menjelaskan bahwa timnya mengumpulkan data, baik dari bahasa daerah (Cirebon-an) maupun bahasa Melayu atau bahasa Arab yang memiliki kedekatan makna.
"Ada analisis, ada sumbangan ide dari para awak redaksi yang lain, juga ada konsultasi ke ahli bahasa," ujarnya.
Terkait kebijakan apakah kata itu dapat digunakan atau tidak, dia mengatakan, ada sidang tim redaksi untuk memusyawarahkan hal itu. Sidang sekaligus dilakukan untuk menetapkan sebuah kata yang akan digunakan dan disebarluaskan.
"Kata ‘pejawat’ mendapat respons positif dari kalangan internal untuk digunakan dan disebarluaskan. Kata ‘pejawat’ ini merujuk pada kedekatan makna, pembentukan sesuai pedoman atau kaidah, serta penerimaan," ujarnya.
Gambaran di atas merupakan ilustrasi bagaimana suatu kata dipilih untuk digunakan dalam sistem di Republika. Selain itu, ada pertimbangan kekhasan yang dimiliki koran dengan segmen utama kalangan Muslim ini.
Selama ini, Republika berupaya terdepan dalam proses transliterasi atau pengindonesiaan kosakata bahasa Arab. Hal tersebut, menurut Ririn, sering kali memunculkan gaya bahasa selingkung yang kemudian menjadi ciri khas Republika.
Contohnya ialah kata “shalat”, “silaturahim”, dan “Ka’bah” yang penulisannya berbeda dengan yang ada di KBBI. Salah satu alasan terkait penggunaan kata itu di antaranya ialah karena ingin merasa lebih dekat dengan pembaca.
Selain itu, dia mengatakan, tim bahasa Republika pun mempunyai niat dan semangat untuk mengindonesiakan istilah-istilah asing.
"Misalnya, untuk ‘tax amnesty’, kami konsisten memakai ‘amnesti pajak’ atau ‘pengampunan pajak’. Keduanya dipakai sebagai variasi dalam kalimat," kata dia.
Pada praktik kerjanya, yang menjadi acuan utama terkait penggunaan kata di Republika tetap KBBI. Soal penulisan nama negara, misalnya, Republika umumnya mengikuti nama-nama yang ada di KBBI.
"Kami menggunakan kata 'Cina', sesuai dengan KBBI, dan menggunakan 'Tiongkok' juga. Dalam keseharian mengedit, acuan atau referensi utama kami ialah KBBI, Tesaurus Bahasa Indonesia, dan Ragam Jurnalistik Republika (buku gaya bahasa selingkung Republika)," ujar Ririn.
Meski begitu, dinamika tentu tetap ada. Dinamika itu biasanya diselesaikan melalui diskusi dengan para wartawan.
"Itu semua didasari dengan kesepakatan dan tentu saja konsistensi dalam penggunaannya," ucap Ririn.