Di tengah-tengah tren harga smartphone kelas atas yang makin lama makin mahal, segmen ponsel dengan harga lebih murah sebenarnya tak kalah menarik. Bahkan, pasaran entry-level hingga mid-range bisa dibilang mewah untuk para pabrikan dari segi penjualan dan keuntungan.
Konsumen pun dimanjakan dengan banyaknya pilihan yang tersedia. Para vendor China seperti Oppo, Xiaomi, dan Vivo berlomba menarik pembeli dengan menelurkan jagoan masing-masing di 2019
Seolah tak mau kalah, Samsung sepanjang tahun ini telah meluncurkan tak kurang dari tujuh model seri Galaxy A terbaru yang mengisi berbagai segmen harga, dari Galaxy A10 hingga Galaxy A70. Belum lagi seri Galaxy M yang juga terdiri dari beberapa model.
Gempuran dari aneka sub-merek pun tahun ini mulai banyak mengemuka dari vendor China. Oppo menelurkan Realme, Xiaomi memisahkan Redmi menjadi brand mandiri, lalu ada juga Honor yang sudah lama bergerak terpisah dari Huawei dan belakangan mulai merangsek ke Indonesia.
"Pasar menengah memang yang paling gemuk saat ini, makanya perang di segmen itu gila-gilaan," ujar Djatmiko Wardoyo Direktur Pemasaran Erajaya Group, salah satu perusahaan distributor dan peritel ponsel terbesar di Indonesia.
Mengapa pasaran menengah yang jadi sasaran vendor? Risky Febrian, analis dari lembaga riset pasar IDC Indonesia, mengatakan bahwa secara bisnis, segmen ini lebih menguntungkan bagi para pabrikan smartphone dibanding segmen low-end.
Sebabnya tak lain karena selisih margin yang lebih besar. Rizky menyebutkan produk-produk ponsel di papan bawah hanya mampu memberikan margin yang tipis sehingga sulit memberikan keuntungan.
"Beda dengan mid-range, mereka (vendor ponsel) bisa mendapatkan margin yang lebih besar sehingga bisa belanja lebih besar pula untuk keperluan promosi, marketing, dan lain-lain," papar Rizky. "Artinya, vendor ini punya budget yang lebih besar untuk pasar menengah."
IDC membagi smartphone kelas bawah dan menengah menjadi beberapa kategori berdasarkan rentang harga dalam dollar AS.
Di urutan terbawah ada segmen "ultra low-end" dengan kisaran di bawah 100 dollar AS (Rp 1,4 juta), diikuti "low-end" dengan jangkauan 100-200 dollar AS (Rp 1,4 juta-Rp 2,9 juta). Lalu, ada segmen "mid-range" antara 200-400 dollar AS (Rp 2,9 juta-Rp 5,7 juta).
Tak seperti pasaran kelas atas yang hanya dikuasai segelintir pemain, segmen smartphone menengah-bawah memang jauh lebih hiruk pikuk. Lomba inovasi mewarnai persaingan ketat di antara para pabrikan.
Di segmen ini, para vendor saling bersaing dalam hal spesifikasi dan harga untuk meningkatkan daya tarik ke konsumen. Aneka fitur baru diumbar, dari kamera selfie “pop-up” hingga pemindai sidik jari di layar.
Risky mengatakan konsumen Indonesia memang suka mengikuti perkembangan tren terbaru di dunia ponsel. IDC, misalnya pernah mengadakan survei tahun lalu untuk mengetahui seperti apa animo masyarakat terhadap smartphone kekinian yang tampil dengan layar lebar berponi (notch).
Ternyata, menurut Risky, 70 persen responden survei menyatakan smartphone dengan notch tampil lebih modern dan up-to-date dibanding smartphone tanpa notch.
"Konsumen Indonesia lebih menyukai hal-hal baru. Selain spesifikasi, mereka juga kritis soal desain," jelasnya.
Senada dengan IDC dan Erajaya, para vendor sepakat bahwa mereka memang mengincar “kue” di segmen menengah pasaran smartphone. PR Manager Oppo Aryo Meidianto mengatakan salah satu sebabnya adalah pasaran papan tengah dinamis, konsumennya bisa berasal dari segmen di bawahnya atau berpindah brand.
“Segmen menengah ini terus berubah-ubah, pembelinya bisa saja dari pengguna kelas mid to low kami yang berpindah perangkat, bisa juga memang benar-benar pengguna baru, atau pengguna dari pemakai merek lain sebelumnya,” katanya.
Aryo menilai segmen menengah penting bagi para pabrikan smartphone lantaran masih memungkinkan para pemainnya untuk saling merebut jatah “kue”. Soal ini, dia mengklaim Oppo menguasai sekitar 45 persen pasaran smartphone di kisaran harga Rp 3-5 juta.
Vivo, pabrikan lain dari China, mengatakan pihaknya juga mengincar pangsa produk di kisaran harga yang sama dengan terus berinovasi untuk menawarkan produk menarik. PR Manager Vivo Indonesia Tyas K. Raramurti mengatakan persaingan akan makin memanas karena para vendor smartphone sudah banyak meluncurkan produk baru di 2019.
Sementara itu, ada pabrikan smartphone yang belakangan meroket posisinya di kancah persaingan smartphone Indonesia menurut pengamatan IDC, yakni Xiaomi. IDC mencatat, pada tahun 2018, Xiaomi telah menjadi pabrikan smartphone terbesar kedua di Indonesia, membayangi posisi Samsung di nomor satu.
Xiaomi yang sering disebut sebagai “Apple dari China” menyatakan akan terus berkomitmen mendorong bisnis ponselnya di pasaran Indonesia. Dari segi harga produk, Xiaomi memastikan masih konsisten mengejar pasar smartphone menengah dan bawah.
“Permintaan terbesar masih dipegang oleh smartphone low-end dengan harga di bawah 200 dollar AS (Rp 2,9 juta) dan mid-range dengan harga 200-400 dollar AS (Rp 2,9 juta-Rp 5,8 juta),” ujar Country Head Xiaomi Indonesia Steven Shi, menerangkan alasannya.
Pernyataan Xiaomi seirama dengan data IDC yang menunjukkan segmen smartphone kelas menengah mengalami peningkatan pesat selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2015, misalnya, porsi smartphone papan tengah (200-400 dollar AS) dari keseluruhan angka pengiriman di Indonesia tercatat hanya 7,4 persen dari total 29,3 juta unit. Di 2018, “kuenya” telah naik drastis menjadi 29,9 persen dari total pengiriman 34,8 juta unit.
Pada kurun waktu yang sama, porsi smartphone murah meriah dengan kisaran harga di bawah 100 dollar AS menyusut jauh dari 52,5 persen di 2015 menjadi hanya 24,5 persen di 2018. Artinya, konsumen Indonesia makin melirik produk papan tengah yang berharga lebih tinggi.
Persaingan panas di papan tengah ikut mempengaruhi Samsung selaku vendor yang masih memegang predikat pabrikan smartphone terbesar di Indonesia. Pabrikan ponsel yang identik dengan warna biru ini pun bereaksi dengan menggabungkan lini smartphone mid-range Galaxy J dan low-end Galaxy On serta Galaxy C menjadi satu lini Galaxy A.
Risky dari IDC mengatakan perampingan tersebut tak lain dilatarbelakangi oleh kompetisi di pasaran. “Dilihat dari kuartal-kuartal sebelumnya, Samsung banyak kehilangan market share di segmen low-end dan ultra low-end karena seri J tidak bisa bersaing di pasar,” ujarnya.
Pihak Samsung melalui Senior Product Marketing Manager Samsung Indonesia Selvia Gofar mengatakan konsumen lini ponsel Galaxy J memang sudah menipis, khususnya di kota-kota besar.
Selvia menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh karakter konsumen yang berubah. Dulu, Galaxy J menggaet para pengguna feature phone yang hendak pindah ke smartphone dan tidak terlalu memperhatikan spesifikasi perangkat. Kini, konsumen sudah lebih “melek” sehingga tren kebutuhan bergeser ke spesifikasi mumpuni dan fitur kekinian.
“Sekarang smartphone di bawah Rp 2 juta itu juga dirasa kurang bagi konsumen. Itu yang memicu kenapa porsi segmen menengah menjadi lebih tinggi,” ujar Selvia. “Karena ada kompetisi juga, kami melakukan revolusi lewat lini Galaxy A dengan banyak perubahan spesifikasi yang cukup menjawab kebutuhan konsumen sekarang.”
Perubahan strategi Samsung langsung diimplementasikan tahun ini. Sepanjang 2019 hingga sekarang, Samsung telah menelurkan tak kurang dari 7 perangkat Galaxy A baru untuk segmen bawah dan menengah, mulai dari Galaxy A10 hingga Galaxy A70. Lalu ada juga seri Galaxy M yang khusus ditujukan untuk pasaran online.
Di tingkat global, CEO Samsung Mobile DJ Koh mengatakan bahwa Samsung akan lebih fokus ke produk papan tengahnya dengan menambah fitur-fitur andalan dan teknologi baru untuk memberikan diferensiasi dari pesaing. Produk papan tengah macam ini, kata dia, bisa jadi akan dirilis lebih sering dari sebelumnya.
Pernyataan Koh diamini oleh Head of Product Marketing Samsung Indonesia Denny Galant. “Entry-level tidak akan ditinggalkan, tapi produk kelas menengah akan lebih banyak,” ujarnya.
IDC berpendapat strategi baru Samsung cukup membuahkan hasil. Risky dari IDC mencatat ada kenaikan angka pengiriman untuk ponsel Samsung pada kuartal pertama 2019. “Sejauh ini bisa mempertahankan market share Samsung,” katanya.
Bukan hanya pabrikan smartphone Android yang sibuk berkecimpung di pasaran menegah. Pada 2013, Apple yang dikenal sebagai pembuat ponsel mahal pun rela "turun" dengan merilis iPhone 5C yang dijual lebih murah dari seri iPhone reguler.
Meski demikian, harga iPhone 5C sebenarnya tidak murah-murah amat, yakni 549 dollar AS atau hanya berselisih 100 dollar AS dengan iPhone 5S ketika itu.
Harga lebih rendah ditawarkan lewat iPhone SE yang meluncur pada 2016 dengan banderol mulai 399 dollar AS. Beberapa tahun berkiprah memberi alternatif murah untuk para peminat iPhone, Apple mengatakan produksi iPhone SE dihentikan pada September 2018.
Namun, awal tahun ini, iPhone SE malah sempat dijual lagi dengan disertai diskon dan kabarnya langsung ludes diserbu peminat dalam waktu hanya dua hari. Apple diduga akan menelurkan penerus iPhone SE pada 2019.
Google belakangan mengikuti langkah Apple dengan merilis duo ponsel Pixel 3a dan Pixel 3a XL. Keduanya baru saja resmi diperkenalkan dalam ajang konferensi developer Google I/O di Amerika Serikat, awal Mei lalu.
Seperti iPhone SE, harga Pixel 3a dipatok 399 (Rp 5,8 juta) dollar AS atau hanya setengah harga Pixel 3 "reguler" yang berbanderol mulai 799 dollar AS (Rp 11,5 juta). Adapun Pixel 3a XL dihargai 479 dollar AS (Rp 6,9 juta), jauh di bawah Pixel 3 XL "reguler" yang berbanderol mulai 899 dollar AS (Rp 12,9 juta).
Tentu, harga murah berarti ada kompromi yang dibuat. Biasanya sejumlah spesifikasi hardware disunat demi menekan biaya produksi. iPhone SE, misalnya, hanya memiliki layar berukuran 4 inci yang terbilang sangat kecil untuk ukuran sekarang. Sementara, seri Pixel 3a berbodi plastik, alih-alih logam atau kaca.
Toh keberadaan iPhone SE dan Pixel 3a menunjukkan bahwa pasaran ponsel kelas menengah memang ada dan menggiurkan bagi vendor. Meski mapan di segmen high-end, Apple dan Google pun tak bisa membiarkan semua kue mid-range dicaplok pabrikan lain.
Di tengah gempuran vendor smartphone asing di segmen mid-range dan low-end, ada satu vendor smartphone lokal yang bertengger di 5 besar merek smartphone teratas di Indonesia, yaitu Advan.
Merek lokal ini pernah berada di peringkat 3 di tahun 2017. Namun, posisinya terus digeser oleh pabrikan smartphone China, seperti Xaomi, Oppo, dan Vivo hingga kini berada di urutan kelima.
Advan sendiri mengatakan akan terus ikut bersaing dengan para vendor asing di pasaran smartphone Indonesia. PR Manager Advan Mohamad Ilham Pratama menjelaskan bahwa pihaknya akan merilis paling tidak 8 produk smartphone dan tablet di 2019.
“Strategi lainnya, kami menguatkan kemitraan dan mengembangkan layanan purna jual. Sejauh ini sudah ada 65 service center yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua,” katanya.
Namun, batu sandungan bagi vendor lokal mungkin terletak pada aspek lain. Analis Risky Febrian dari IDC mengatakan pemain asal Indonesia seperti Advan terdesak oleh taktik pemasaran “jor-joran” yang dilakukan oleh para pabrikan asing.
"Sumber permasalahannya dari vendor lokal itu kebanyakan dari sisi budget," kata Rizky. "Jadi, mereka kesulitan mempromosikan produknya, brand awareness pun kecil dari sisi konsumen," imbuhnya.
Risky melanjutkan, vendor lokal sebenarnya mampu bersaing jika bertarung di ranah spesifikasi smartphone yang mereka tawarkan. Hanya saja, strategi pemasarannya mungkin belum seefektif para pemain asing.
Calon pembeli yang hendak meminang ponsel kelas menengah di Tanah Air saat ini akan menemui banyak model yang saling bersaing di pasaran, adu cantik dan adu canggih demi menarik perhatian.
KompasTekno mencatat setidaknya ada 35 model smartphone dengan rentang harga Rp 1 jutaan hingga Rp 5 jutaan di pasaran Indonesia sekarang. Mereknya pun beragam, dari para pabrikan besar macam Samsung, Xiaomi, Oppo, dan Vivo .
Ada pula para sub-brand pemain baru seperti Realme dari Oppo dan Redmi dari Xiaomi. Keduanya dipisahkan dari brand utama untuk mengejar pasar segmen entry hingga mid-range. Honor yang sudah lama beroperasi terpisah dari Huawei belakangan juga gencar mengincar pasar smartphone Indonesia.
Masing-masing vendor tersebut telah menelurkan model-model andalannya untuk tahun 2019, meski ada juga beberapa pabrikan yang belum terlalu aktif
KompasTekno mengumpulkan informasi seluruh ponsel keluaran 2019 yang sudah dirilis di pasaran Indonesia sebagai referensi pembaca. Untuk pengelompokkan, sebenarnya IDC membagi smartphone kelas bawah dan menengah menjadi beberapa kategori berdasarkan rentang harga dalam dollar AS.
Di urutan terbawah ada segmen "ultra low-end" dengan kisaran di bawah 100 dollar AS (Rp 1,4 juta), diikuti "low-end" dengan jangkauan 100-200 dollar AS (Rp 1,4 juta-Rp 2,9 juta). Lalu, ada segmen "mid-range" antara 200-400 dollar AS (Rp 2,9 juta-Rp 5,7 juta).
Agar lebih mudah untuk pembaca di Indonesia, KompasTekno mengkategorikan smartphone kelas entry level dan mid-range di pasaran menjadi empat kelompok harga, yakni Rp 1-2 juta, Rp 2-3 juta, Rp 3-5 juta, dan Rp 5-6 juta.
Apa saja pilihan yang ada? Berikut ponsel-ponsel menengah yang sudah diluncurkan di Indonesia pada 2019 sejauh ini.