Genggam Kembali Senjata Tradisional Indonesia

Scroll Down
KOMPAS.com/Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Dari Alat Buru Menjadi Benda Koleksi

Senjata merupakan salah satu unsur budaya manusia yang usianya hampir sama dengan munculnya peradaban manusia. Senjata tradisional juga bisa dilihat sebagai produk budaya yang menandai kemajuan ilmu dan teknologi metalurgi masyarakat Nusantara di masa lalu.

Senjata dengan bentuk tradisional dirancang oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tradisional menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Di sisi lain, senjata juga digunakan untuk berladang dan berburu hewan untuk memenuhi kebutuhan makan.

Senjata tradisional secara dominan dikuasai laki-laki. Hal itu tak lepas dari budaya masyarakat yang menganut paham paternalistis alias menjadikan sosok laki-laki sebagai pemimpin. Hal itu yang membuat mengapa mempunyai senjata seolah menjadi suatu keharusan bagi seorang laki-laki.

Kebiasaan-kebiasaan masyarakat, kemudian akhirnya menjadi budaya Musni Umar

Dalam budaya Jawa, misalnya, ada pandangan bahwa seorang laki-laki harus memiliki curigo (keris), turonggo (kuda), wisma (rumah), wanito (istri), dan kukilo(burung/kesenangan). Hal serupa juga terdapat dalam budaya masyarakat di berbagai daerah lainnya di Indonesia.

Indonesia sendiri sangat kaya dengan berbagai jenis senjata tradisional. Tiap daerah mempunyai jenis dan bentuk senjata yang khas.

Seiring perkembangan zaman, fungsi senjata tradisional mulai bergeser karena kemunculan senjata modern. Yang terjadi kemudian, masyarakat banyak yang menjadikan senjata tradisional sebagai benda koleksi.

KOMPAS.com/Teuku Muhammad Guci Syaifudin

"Sekarang ini, benda-benda itu dimanfaatkan justru untuk menguatkan budaya-budaya," sebutnya.

Dalam hal mengoleksi, ada yang melakukannya karena memang menyukai nilai historisnya. Ada juga yang menyimpan karena kepercayaan pada sisi mistisnya. Ada kalangan yang mempercayai senjata yang disimpannya dapat memberikan pengaruh pada kehidupannya, mulai dari memberikan keuntungan, perlindungan, ketenangan, hingga kesehatan.

Musni menyebut, keyakinan senjata tradisional memiliki kesakralan sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di Indonesia.

Tragisnya, meski senjata tradisional Indonesia jumlahnya banyak, justru hanya sedikit yang mendapatkan perhatian.

"Kalau menurut saya, memang bangsa ini cenderung tidak menghargai kearifan masa lalu," sebut Musni.

Seiring modernisasi, bangsa Indonesia lupa untuk mengambil pelajaran dari para pendahulu yang mampu memproduksi senjata, meski dengan segala keterbatasannya. Musni menyatakan, cara masyarakat dahulu menciptakan senjata ini harusnya bisa diterjemahkan bahwa Indonesia bisa mandiri.

"Jangan hanya melihat ini barang kunonya, tetapi filosofi di balik itu. Dengan segala keterbatasan, mereka menciptakan sesuatu, dan sebenarnya itulah yang kita harus warisi, bagaimana bangsa kita, masyarakat kita, itu (bisa) menjadi bangsa produsen dalam segala hal," katanya.

Untuk menjaga eksistensi senjata tradisional, Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta, itu menyarankan pemerintah untuk melakukan edukasi di lembaga pendidikan dengan intensif. Pemerintah juga disarankan menuliskan referensi yang akurat mengenai senjata tradisional di Tanah Air.

"(Pemerintah bisa) memberi makna baru senjata tradisional itu, tidak hanya melihat senjatanya, tetapi bagaimana kehebatan orang-orang dahulu yang bisa memproduksi senjata untuk mendapatkan kehidupan, membela diri, dan sebagainya," ujar dia.

Hal senada disampaikan Ketua Umum Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) Fadli Zon.

Menurut dia, eksistensi senjata tradisional di Tanah Air terus tergerus. Di sejumlah daerah, keris bahkan mulai terlupakan. Generasi muda pun seakan kurang menaruh minat pada warisan budaya ini.

Hal tersebut, menurut dia, terjadi karena tak banyak referensi yang mengupas dan memperkenalkan senjata tradisional Indonesia.

Informasi dan edukasi yang kurang, membuat orang juga tidak terlalu melakukan pengoleksian atau apresiasi terhadap senjata-senjata tradisional yang cukup banyak dibuat oleh para nenek moyang Fadli Zon

Peran pemerintah untuk melestarikan senjata tradisional juga masih minim. Dia menilai, perlu ada peningkatan, misalnya membuat buku atau mendirikan museum khusus. Buku tentang senjata tradisional, menurut Fadli, banyak dibuat pribadi-pribadi, bukan pihak pemerintah.

Sementara itu, museum senjata tradisional atau keris, kata dia, baru dibuka di Solo, tetapi dengan koleksi yang terbatas.

"Di Museum Nasional saya kira cukup banyak artefak keris. Jumlahnya ribuan sebetulnya. (Ada) juga senjata tradisional lain, cuma mungkin perlu ada display yang menarik, kemudian jenisnya, dan perlu ada satu buku yang menjelaskan senjata-senjata tradisional di Nusantara," ucap Wakil Ketua DPR RI itu.

Senjata tradisional Indonesia yang kaya akan varian merupakan aset nasional yang bisa membentuk identitas bangsa. Untuk itu, diperlukan kemauan pemerintah untuk meningkatkan upaya pelestarian senjata tradisional Indonesia ini.

Beberapa Senjata Tradisional Indonesia

klik image untuk melihat artikel
  • Keris
  • Kujang
  • Rencong
  • Mandau
  • Badik

Perajin Keris Keturunan Empu Majapahit

KOMPAS.com/Teuku Muhammad Guci Syaifudin
KOMPAS.com/Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Di sebuah bangunan berukuran 6 x 4 meter yang disebut besalen, tiga pria tengah menempa besi. Mereka yang masing-masing berusia di atas 40 tahun itu terlihat mengenakan koko hitam. Satu di antaranya terlihat memakai ikat di kepalanya.

Pria dengan ikat di kepalanya itu bernama Sungkowo Harumbrojo. Pria berusia 63 tahun ini bukanlah seorang pandai besi biasa, melainkan seorang empu. Dia merupakan generasi ke-17 dari Empu Supadriyo, perajin keris dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14.

Sungkowo adalah putra dari Empu Djeno Harumbrodjo. Empu Djeno sendiri dikenal sebagai perajin keris ternama di DI Yogyakarta. Salah satu karyanya pun dimiliki Sultan Hamengkubuwono IX.

KOMPAS.com/Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Meski Sungkowo memiliki darah keturunan empu, gelar itu tak serta-merta didapatkannya begitu saja. Gelar itu ia peroleh setelah menekuni profesi sebagai perajin keris. Sungkowo sendiri mulai serius menekuni profesi tersebut sejak 1995.

Sebelum menempa, Sungkowo mengaku bekerja di balai batik. Namun, meski memiliki pekerjaan lain, dia tetap membantu Empu Djeno ketika sedang membuat keris. Kala itu, dia hanya bertugas sebagai panjak atau asisten pembantu empu. Tugasnya adalah menempa besi panas sesuai perintah empu, mengatur bara api, membantu proses pengikiran keris, dan lainnya.

"Selama menjadi panjak, selama itu saya terus diberi bimbingan," kata Sungkowo. Sungkowo mulai terjun sebagai empu secara total pada 2006 setelah ayahnya mangkat. Dia pun terus berkarya sampai saat ini untuk meneruskan jejak ayahnya membuat keris.

“Jumlah pastinya saya lupa, tetapi sudah ratusan,” kata Sungkowo.

Dia bercerita, setelah masa Majapahit, keturunan empu Tumenggung Supadriyo melayani pembuatan keris bagi sejumlah kerajaan besar di Pulau Jawa. “Keluarga kami juga pernah menjadi empu di Kerajaan Mataram,” ucapnya.

Setelah Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, keturunan Empu Tumenggung Supadriyo ke-11 hijrah ke Yogyakarta atau tepatnya di daerah Ngento-ngento, Kecamatan Moyudan.

“Waktu rajanya Mangkubumi pertama, empunya ada tiga, yaitu dari Ngento-ngento, Balangan, dan Cebongan,” cerita dia.

Sungkowo mengaku, dirinya memang merupakan keturunan terakhir Empu Tumenggung Supadriyo yang masih menjadi empu. Dia menyebut belum ada keturunan Empu Tumenggung Supadriyo lain yang menjadi empu seperti dirinya. “Dulu pernah ada, tetapi barusan saja meninggal. Sekarang tidak ada yang melanjutkan lagi,” sebutnya..

Belum adanya regenerasi itu, kata dia, disebabkan perubahan dan perkembangan zaman. Sebab, kata dia, pekerjaan sebagai empu itu sangat berat lantaran membutuhkan kesabaran. Selain itu, menjadi empu itu juga harus akrab dan dekat dengan api.

“Jangankan keluarga kami, di Yogyakarta saja tidak ada empu lainnya. Kalaupun ada perajin, cuma bisa mengubah bentuk, bukan membuat dari awal,” kata Sungkowo.

Sebagai satu-satunya empu di Yogyakarta, Sungkowo berharap ada generasi muda di DIY yang bisa menjadi empu keris. Dia berharap demikian karena keris merupakan budaya Jawa yang harus dilestarikan. Ia memastikan, keris tak melulu berkaitan dengan hal yang berbau gaib atau yang dilarang agama.

Saya meneruskan profesi menjadi empu ini karena ingin keris yang merupakan budaya adiluhung ini tetap lestari Sungkowo

Proses Pembuatan Keris

Keris merupakan warisan budaya nenek moyang yang bukan hanya berfungsi sebagai pelengkap pakaian tradisional. Keris juga memiliki pesan, nasihat, dan makna tersendiri bagi para pemiliknya. Makna dan pesan di dalam keris itu dapat dibaca dan dipahami sebagai tuntutan yang luhur.

Itu sebabnya cara membuat senjata tradisional ini tidak bisa sembarangan. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebilah keris pun tak sebentar. Sang empu bisa menghabiskan waktu bulanan sampai tahunan untuk membuat keris yang diinginkan. Selain itu, sang empu juga harus melakoni ritual tertentu, seperti tirakat atau puasa, sebelum membuat keris.

Tak hanya itu, sang empu harus menghindari sejumlah pantangan ketika membuat keris. Hal itu dilakukan agar proses pembuatan keris bisa berjalan lancar atau tidak terjadi petaka. Tujuan lainnya juga untuk menjaga nilai-nilai tradisi dan budaya nenek moyang.

KOMPAS.COM

Ada sejumlah tahapan yang harus dilakoni sang empu dalam membuat satu keris. Tahapan itu mulai dari menyiapkan bahan (besi tua), berdoa, sampai mengoles minyak pada tubuh keris, seperti yang dilakoni Empu Sungkowo Harumbrojo, generasi ke-17 dari Empu Supadriyo, perajin keris Kerajaan Majapahit.

Dalam proses menempa keris, hal tersebut juga harus dilakukan secara berulang. Sebab, bagi sang empu, menempa juga harus dilakukan dalam keadaan emosi yang stabil.

Producer
Erlangga Djumena
Editors
Caroline Damanik
Erlangga Djumena
Farid Assifa
Writers
Abdul Haq
Masriadi
Putra Prima Perdana
Robertus Belarminus
Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Photographers
Kristianto Purnomo
Masriadi
Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Copywriter
Georgious Jovinto
Language Editor
Dimas Wahyu T
Graphic Designer
Anggara Kusumaatmaja
Developer
Moh. Khoirul Huda

Copyright 2017. Kompas.com