Tepuk tangan membahana di dalam “gedung kura-kura” kompleks DPR/MPR pada Senin siang itu. Riuh terjadi setelah anggota dewan yang terhormat baru saja mengikuti proses pembacaan sumpah Haji Muhammad Soeharto sebagai presiden periode 1998-2003 dalam Sidang Umum MPR.
Pembacaan sumpah dilakukan setelah kemarin, 10 Maret 1998, peserta sidang menyetujui penunjukan Soeharto sebagai presiden. Saat itu presiden adalah mandataris MPR.
Dengan mengandalkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), birokrat, dan Golkar sebagai pemenang Pemilu 1997 atau ABG, bukan hal sulit bagi Soeharto untuk kembali memimpin. Apalagi, Rapat Pimpinan Golkar III yang dipimpin Harmoko pada 1996 menegaskan penunjukan Soeharto sebagai presiden mendatang.
Padahal, desakan pergantian kepemimpinan nasional muncul di masyarakat, yang semakin bergema menjelang Pemilu 1997.
Aspirasi itu juga disuarakan saat Sidang Umum MPR berlangsung. Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia bertemu Fraksi ABRI pada 5 Maret 1998, untuk menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto. Namun, aspirasi itu tak didengar.
Kembali ke ruang rapat paripurna, setelah pembacaan sumpah jabatan, Sidang Umum MPR mengagendakan pembacaan pidato perdana oleh Soeharto yang baru dipilih.
Ruangan sontak hening saat Soeharto naik ke podium. Setelah mengenakan kacamata dan membuka map yang berisi salinan naskah, Soeharto yang saat itu berusia 76 tahun membacakan pidato, yang menandai tahun ke-32 dia berkuasa.
Seluruh peserta sidang diam, tanpa protes, tanpa interupsi. Suasana begitu khusyuk saat Soeharto membacakan pidato.
Riuh baru terdengar setelah pidato selesai dibacakan. Tepuk tangan kembali membahana memenuhi ruangan. Soeharto lalu turun dari podium dan duduk di kursi yang disiapkan.
Tidak lama kemudian, Harmoko yang saat itu menjabat Ketua DPR/MPR berusaha menguasai ruangan dan meminta perhatian peserta sidang.
Setelah menjalani sejumlah agenda yang melelahkan, yang puncaknya proses pemilihan presiden hingga pengambilan sumpah, Harmoko tentunya ingin segera mengakhiri Sidang Umum MPR 1998.
Setelah perhatian peserta tertuju ke pimpinan sidang, Harmoko mengetukkan palu tiga kali untuk menutup sidang yang berlangsung sejak 1 Maret 1998 tersebut.
Tok, tok,... Tidak ada yang istimewa dalam dua ketukan pertama. Namun, pada ketukan ketiga, peristiwa bersejarah terjadi. Tok... kepala palu itu patah.
"Palu itu ketika diketukkan 'melesat'. Bagian kepalanya patah, terlempar ke depan di hadapan jajaran anggota-anggota MPR yang terhormat," kenang Harmoko, dalam buku Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko (2008) yang ditulis Firdaus Syam.
Saat mendampingi Soeharto meninggalkan ruang sidang, Harmoko berupaya minta maaf. Namun, Soeharto hanya tersenyum. "Barangkali palunya kendor," tutur Soeharto.
Presiden Soeharto segera masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, begitu menerima surat dari ajudan, Kolonel Sumardjono. Dilansir dari Kompas, surat yang diterima pukul 20.00 WIB itu berisi penolakan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin). Mereka tidak mau terlibat dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle nantinya.
Soeharto sangat terpukul menerima surat yang ditandatangani 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita. Betapa tidak, Komite Reformasi dan reshuffle memang dipersiapkan Soeharto sebagai solusi atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk menuntut pergantian kepemimpinan nasional. Selain itu, alinea pertama surat itu secara implisit juga meminta "Jenderal yang Tersenyum" itu untuk mundur.
Penolakan 14 menteri itu menambah deretan penolakan. Sebelumnya, tokoh seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid juga tidak bersedia terlibat dalam Komite Reformasi.
Kondisi saat itu memang tidak menguntungkan Soeharto. Aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi berubah menjadi tragedi setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh pada 12 Mei 1998. Kerusuhan bernuansa rasial pun meletus pada 13-15 Mei 1998, yang membuat Jakarta terasa lumpuh.
Tuntutan agar Soeharto mundur semakin kencang. Aksi demonstrasi mahasiswa juga semakin besar hingga bergerak masuk dan menguasai kompleks parlemen pada 18 Mei 1998. Kondisi ini menyebabkan Harmoko, yang beberapa bulan sebelumnya meminta Soeharto jadi presiden, kini malah meminta Soeharto mundur.
Soeharto merasa ditinggalkan. Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi. Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.
"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.
"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan ‘tinggal gelanggang colong playu’. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.
Adik Soeharto, Probosutedjo, mengungkapkan bahwa Bapak Pembangunan itu terlihat gugup dan bimbang pada Rabu malam itu.
"Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujar Probosutedjo.
Jelang tengah malam, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadilah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto berbulat hati untuk mundur esok hari, 21 Mei 1998. Kekuasaan akan diserahkan kepada Wapres BJ Habibie.
Kekuasaan selama 32 tahun itu runtuh. Soeharto jatuh.
Dua adegan pembuka di atas memperlihatkan dua sisi yang berbeda di akhir kekuasaan Soeharto. Di satu sisi, Soeharto terlihat begitu piawai dalam mempertahankan jabatan. Di sisi lain, terlihat sisi rapuh Soeharto yang merasa “dikhianati” orang-orang terdekat.
Adegan kedua terlihat seperti kisah yang menghadirkan empati dan simpati saat dia diminta mundur. Akan tetapi, 32 tahun kekuasaan Soeharto bisa dibilang tak didominasi oleh adegan yang melahirkan empati dan simpati masyarakat.
Sejumlah kontroversi bahkan telah muncul saat Soeharto dinilai “mengambil alih kekuasaan” dari Presiden Soekarno dengan bermodalkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Sejak resmi menjadi presiden pada 1967, kebijakan yang dibuat Soeharto memang banyak menuai polemik.
Anak petani dari Dusun Kemusuk, Yogyakarta itu dianggap melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan. Kebijakan yang dibuat dinilai hanya menguntungkan keluarga dan orang-orang dekat Soeharto.
Berikut sejumlah catatan yang menjadi momentum jatuhnya Soeharto, sejak 1996 hingga 1998:
Soeharto merupakan sosok yang disegani bahkan ditakuti di masa jayanya. Meskipun demikian, ia selalu tampil dengan senyum di wajah, membuatnya dikenal dengan sebutan “The Smiling General”. Berikut Empat Wajah Soeharto yang melekat hingga sekarang.
Kontroversi dan polemik terkait Soeharto sudah muncul sebelum dia menjabat presiden. Polemik di masa awal itu terkait peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dan tragedi yang terjadi pada 1965-1966, pasca-peristiwa G30S.
Setelah menjadi presiden, kontroversi dibuat Soeharto terkait kebijakan yang dianggap sebagai cara mempertahankan kekuasaan. Masa berkuasanya Orde Baru pun diwarnai sejumlah catatan hitam berupa pembungkaman demokrasi hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Berikut daftarnya, terhitung sejak mendapat dia ditunjuk menjadi pejabat presiden oleh MPRS pada 12 Maret 1967:
Soeharto menandatangani kontrak karya dengan PT Freeport selama 30 tahun. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia.
Sekretariat Bersama Golongan Karya mengumumkan ikut Pemilu 1971 dengan bendera Golkar. Organisasi yang dibentuk pada 20 Oktober 1964 ini menjadi kendaraan politik Soeharto tiap pemilu.
Pemerintah membubarkan Golongan Putih yang mendeklarasikan diri tidak mau memilih pada 1971. Sejumlah aktivis Golput bahkan ditangkap saat berdemonstrasi.
Kerusuhan Malari terjadi saat mahasiswa menolak kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dan mewabahnya investasi asing. Mahasiswa yang demonstrasi di Jalan MH Thamrin tak tahu mengenai kerusuhan di Pasar Senen. Namun, sejumlah mahasiswa ditangkap atas tuduhan menyebabkan kerusuhan.
Polemik terjadi di Timor Timur setelah masyarakatnya berusaha lepas dari cengkeraman Portugis. Indonesia kemudian masuk dengan alasan menjaga ketertiban dan keamanan melalui Operasi Seroja pada 7 Desember.
Pegawai Departemen Pertanian bernama RM Sawito Kartowibowo "bergerilya" menghujat Soeharto dan kroni-kroninya atas tuduhan korupsi. Sawito kemudian ditangkap atas tuduhan makar, setelah dia beraksi mencari dukungan sejumlah tokoh.
Pasca-Pemilu 1977, mahasiswa melakukan demonstrasi menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden. Tentara masuk kampus ITB dan membubarkan demonstrasi. Sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap. Pers pun diberedel karena memberitakan, termasuk Sinar Harapan dan Kompas.
April 1978Pemerintah memberlakukan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Aturan ini upaya untuk membungkam gerakan mahasiswa.
Petisi 50 lahir sebagai respons atas sikap Soeharto yang dinilai mempolitisasi Pancasila. Anggotanya terdiri dari tokoh bangsa seperti AH Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Ali Sadikin, dan Mohammad Natsir.
Terjadi kerusuhan di Lapangan Banteng saat kampanye Golkar jelang Pemilu 1982. Tempo yang memberitakannya kemudian diberedel.
Dimulainya operasi Penembakan Misterius (Petrus) yang menjadikan preman sebagai korban. Berdalih pemberantasan kejahatan, ribuan korban jiwa tewas akibat operasi Petrus. Peneliti Australia David Bourchier menyebut korban tewas mencapai 5.000 hingga 10.000 orang.
Terjadi peristiwa penembakan Tanjung Priok. Tragedi ini bermula saat sejumlah jemaah menghadiri tabligh akbar yang menolak asas tunggal Pancasila. Sejumlah anggota Petisi 50 yang menulis buku putih peristiwa itu ditangkap, salah satunya AM Fatwa.
UU Nomor 3/1985 mengatur partai politik dan Golkar harus berasas Pancasila. PPP yang semula berasas Islam, berubah haluan. Tanda gambar kabah diubah menjadi bintang. Hubungan Soeharto dengan kelompok Islam makin merenggang.
1985-1991Pembangunan waduk Kedungombo menyebabkan ribuan kepala keluarga di Boyoali digusur. Ganti rugi dianggap tak sepadan, sehingga banyak warga menolak. Sebanyak 25 warga yang menolak penggusuran bahkan sembunyi di hutan karena dituduh PKI dan anti-pembangunan.
Soeharto memilih Sudharmono sebagai wakil presiden untuk periode 1988-1993. RE Elson menulis, pilihan ini ditentang sejumlah petinggi ABRI. Brigjen Ibrahim Saleh dari Fraksi ABRI bahkan melakukan interupsi menolak Sudharmono dalam Sidang Umum MPR 1988. Ini mengindikasikan ketidakharmonisan Soeharto dengan Jenderal LB Moerdani.
Operasi militer dilakukan untuk memberantas kelompok Warsidi di Talangsari yang dituduh mengacaukan keamanan karena menolak asas tunggal Pancasila. Secara resmi, Peristiwa Talangsari disebut menewaskan 31 orang.
Pemerintah menetapkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sebagai pelaksana tata niaga cengkeh. Lembaga yang dipimpin Tommy Soeharto ini dianggap memonopoli industri cengkeh.
April 1991Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membentuk Forum Demokrasi bersama sejumlah tokoh nasional. Pemerintah bersikap hati-hati merespons Forum Demokrasi. Kemendagri membuka dialog.
12 November 1991Penembakan Santa Cruz di Dili yang menewaskan demonstran pro-kemerdekaan Timor Timur. ABRI menyebut terdapat 19 korban tewas dan 92 luka. Namun, versi lain menyebut korban tewas mencapai lebih dari 200 orang. Indonesia dikecam dunia setelah video rekaman penembakan itu beredar.
Soeharto kembali terpilih sebagai presiden, meski sudah muncul permintaan agar dia tidak maju. RE Elson menulis, Soeharto menginginkan BJ Habibie sebagai wapres, namun ABRI menolak. Akhirnya, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dipilih menjadi wapres.
Tempo, Detik, dan Editor diberedel karena pemberitaan yang dianggap menyerang pemerintah.
1994-1995Pemerintah Orde Baru menangkap sejumlah orang yang kritis terhadap pemerintah dengan tuduhan penghinaan, seperti Sri Bintang Pamungkas, Mukhtar Pakpahan, dan Nuku Sulaiman.
Sri Bintang Pamungkas mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia dan mengaku siap jadi calon presiden penantang Soeharto. Mulai muncul wacana menduetkannya dengan Ketua PDI Megawati Soekarnoputri dengan sebutan “Mega-Bintang”.
Pemerintah menggulingkan Megawati sebagai ketua umum PDI dan mengesahkan kepemimpinan Soerjadi yang dipilih dalam Kongres Medan.
27 Juli 1996Peristiwa Sabtu Kelabu, penyerangan terhadap kantor DPP PDI yang dikuasai pendukung Megawati. Komnas HAM menyebut ada 5 korban tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Pemerintah menuduh Partai Rakyat Demokratik sebagai dalang kerusuhan.
1996-1997Periode terjadinya penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Komnas HAM menyebut 20 orang jadi korban, hingga kini 10 orang belum kembali. Adapun yang menjadi korban adalah aktivis demokrasi yang merupakan simpatisan PRD dan Mega-Bintang.
Terjadi krisis ekonomi di Asia Tenggara yang ikut melemahkan rupiah. IMF mulai memberi bantuan pada Oktober 1997 hingga pada 15 Januari 1998 Soeharto menandatangani letter of intent yang memaksa Indonesia mematuhi ketentuan IMF.
Soeharto terpilih kembali menjadi presiden dengan didampingi BJ Habibie sebagai wapres. Padahal, aksi menolak Soeharto semakin membesar, terutama di kampus-kampus. Lima mahasiswa UI bahkan bertemu Fraksi ABRI untuk menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto.
16 Maret 1998Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana dipilih sebagai menteri sosial.
Mei 1998Demonstrasi mahasiswa yang menolak Soeharto sejak awal tahun semakin membesar. Puncaknya pada 12 Mei 1998, yang berujung tragedi tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Kemudian, pada 13-15 Mei 1998 terjadi kerusuhan bernuansa rasial yang membuat Ibu Kota lumpuh. Soeharto pun mundur pada 21 Mei 1998.
Kejatuhan Orde Baru tak dapat dilepaskan dengan dugaan korupsi Presiden Soeharto. Pada 1998, istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) begitu melekat pada sosok Presiden kedua RI tersebut.
Setelah 20 tahun reformasi, mungkin tak banyak yang mengingat perjalanan kasus hukum terkait dugaan korupsi Soeharto. Tidak banyak yang mengetahui bahwa pria yang populer dengan sebutan "The Smiling General" itu pernah menyandang status tersangka bahkan terdakwa. Berikut perjalanan kasus dan persidangan Soeharto yang penuh liku:
29 | 30 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 |
13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 |
20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 |
27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 1 | 2 |
Soeharto resmi menyandang status terdakwa. Penyidik Kejagung melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Beberapa hari kemudian, berkas perkara diterima PN Jakarta Selatan. Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra mengarahkan agar peradilan digelar di gedung Departemen Pertanian.
29 | 30 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 |
13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 |
20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 |
27 | 28 | 29 | 1 | 2 | 3 | 4 |
29 | 30 | 1 | 1 | 2 | 3 | 4 |
5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 |
12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 |
19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 |
26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 2 |
30 | 1 | 2 | 3 | 1 | 2 | 3 |
4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 |
11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 |
18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 |
25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 |
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 |
8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 |
15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 |
22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 |
29 | 30 | 31 | 29 | 30 | 1 | 2 |
30 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 |
7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 |
14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 |
21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 |
28 | 29 | 30 | 31 | 1 | 2 | 3 |
29 | 30 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 |
13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 |
20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 |
27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 2 | 3 |
Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tentang Pengusutan Kekayaan Soeharto. Inpres ditindaklanjuti dengan pemanggilan Soeharto oleh Jaksa Agung pada 5 Desember 1998.
Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan, yaitu sejumlah yayasan memiliki kekayaan Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar. Sebesar Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektar atas nama Keluarga Cendana.
29 | 30 | 1 | 3 | 1 | 2 | 3 |
4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 |
11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 |
18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 |
25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 |
29 | 30 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 |
13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 |
20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 |
27 | 28 | 29 | 30 | 1 | 2 | 3 |
Kejaksaan Agung mulai menelusuri kasus korupsi Soeharto terkait penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan milik Soeharto. Yayasan itu yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Pasca Soeharto turun dari jabatannya, masyarakat lambat laun mulai melihat perubahan yang diusung atas nama reformasi. Berikut perubahan yang terjadi di bidang politik, hukum, dan ekonomi, serta terbentuknya komisi baru untuk memberantas isu yang melekat pada orba: KKN.
Dua dasawarsa reformasi hanya bagian kecil dari sejarah panjang bangsa. Ada harapan bahwa sebuah era atau pemerintahan baru akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, tugas kita semua untuk menjaga semangat reformasi, dan ikut terlibat dalam upaya membangun Indonesia yang lebih sejahtera, berdaulat, dan bermartabat.