Pada Pengujung Kuasa

Kejatuhan (daripada) Soeharto

Pada Pengujung Kuasa

11 Maret 1998

Tepuk tangan membahana di dalam “gedung kura-kura” kompleks DPR/MPR pada Senin siang itu. Riuh terjadi setelah anggota dewan yang terhormat baru saja mengikuti proses pembacaan sumpah Haji Muhammad Soeharto sebagai presiden periode 1998-2003 dalam Sidang Umum MPR.

Pembacaan sumpah dilakukan setelah kemarin, 10 Maret 1998, peserta sidang menyetujui penunjukan Soeharto sebagai presiden. Saat itu presiden adalah mandataris MPR.

Dengan mengandalkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), birokrat, dan Golkar sebagai pemenang Pemilu 1997 atau ABG, bukan hal sulit bagi Soeharto untuk kembali memimpin. Apalagi, Rapat Pimpinan Golkar III yang dipimpin Harmoko pada 1996 menegaskan penunjukan Soeharto sebagai presiden mendatang.

Padahal, desakan pergantian kepemimpinan nasional muncul di masyarakat, yang semakin bergema menjelang Pemilu 1997.

Aspirasi itu juga disuarakan saat Sidang Umum MPR berlangsung. Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia bertemu Fraksi ABRI pada 5 Maret 1998, untuk menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto. Namun, aspirasi itu tak didengar.

Kembali ke ruang rapat paripurna, setelah pembacaan sumpah jabatan, Sidang Umum MPR mengagendakan pembacaan pidato perdana oleh Soeharto yang baru dipilih.

Ruangan sontak hening saat Soeharto naik ke podium. Setelah mengenakan kacamata dan membuka map yang berisi salinan naskah, Soeharto yang saat itu berusia 76 tahun membacakan pidato, yang menandai tahun ke-32 dia berkuasa.

Seluruh peserta sidang diam, tanpa protes, tanpa interupsi. Suasana begitu khusyuk saat Soeharto membacakan pidato.

Riuh baru terdengar setelah pidato selesai dibacakan. Tepuk tangan kembali membahana memenuhi ruangan. Soeharto lalu turun dari podium dan duduk di kursi yang disiapkan.

Tidak lama kemudian, Harmoko yang saat itu menjabat Ketua DPR/MPR berusaha menguasai ruangan dan meminta perhatian peserta sidang.

Setelah menjalani sejumlah agenda yang melelahkan, yang puncaknya proses pemilihan presiden hingga pengambilan sumpah, Harmoko tentunya ingin segera mengakhiri Sidang Umum MPR 1998.

Setelah perhatian peserta tertuju ke pimpinan sidang, Harmoko mengetukkan palu tiga kali untuk menutup sidang yang berlangsung sejak 1 Maret 1998 tersebut.

Tok, tok,... Tidak ada yang istimewa dalam dua ketukan pertama. Namun, pada ketukan ketiga, peristiwa bersejarah terjadi. Tok... kepala palu itu patah.

"Palu itu ketika diketukkan 'melesat'. Bagian kepalanya patah, terlempar ke depan di hadapan jajaran anggota-anggota MPR yang terhormat," kenang Harmoko, dalam buku Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko (2008) yang ditulis Firdaus Syam.

Saat mendampingi Soeharto meninggalkan ruang sidang, Harmoko berupaya minta maaf. Namun, Soeharto hanya tersenyum. "Barangkali palunya kendor," tutur Soeharto.

20 Mei 1998

Presiden Soeharto segera masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, begitu menerima surat dari ajudan, Kolonel Sumardjono. Dilansir dari Kompas, surat yang diterima pukul 20.00 WIB itu berisi penolakan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin). Mereka tidak mau terlibat dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle nantinya.

Soeharto sangat terpukul menerima surat yang ditandatangani 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita. Betapa tidak, Komite Reformasi dan reshuffle memang dipersiapkan Soeharto sebagai solusi atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk menuntut pergantian kepemimpinan nasional. Selain itu, alinea pertama surat itu secara implisit juga meminta "Jenderal yang Tersenyum" itu untuk mundur.

Penolakan 14 menteri itu menambah deretan penolakan. Sebelumnya, tokoh seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid juga tidak bersedia terlibat dalam Komite Reformasi.

Kondisi saat itu memang tidak menguntungkan Soeharto. Aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi berubah menjadi tragedi setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh pada 12 Mei 1998. Kerusuhan bernuansa rasial pun meletus pada 13-15 Mei 1998, yang membuat Jakarta terasa lumpuh.

Tuntutan agar Soeharto mundur semakin kencang. Aksi demonstrasi mahasiswa juga semakin besar hingga bergerak masuk dan menguasai kompleks parlemen pada 18 Mei 1998. Kondisi ini menyebabkan Harmoko, yang beberapa bulan sebelumnya meminta Soeharto jadi presiden, kini malah meminta Soeharto mundur.

Soeharto merasa ditinggalkan. Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi. Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.

"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.

"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan ‘tinggal gelanggang colong playu’. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.

Adik Soeharto, Probosutedjo, mengungkapkan bahwa Bapak Pembangunan itu terlihat gugup dan bimbang pada Rabu malam itu.

"Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujar Probosutedjo.

Jelang tengah malam, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadilah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Soeharto berbulat hati untuk mundur esok hari, 21 Mei 1998. Kekuasaan akan diserahkan kepada Wapres BJ Habibie.

Kekuasaan selama 32 tahun itu runtuh. Soeharto jatuh.

Mengapa Soeharto Dijatuhkan?

Dua adegan pembuka di atas memperlihatkan dua sisi yang berbeda di akhir kekuasaan Soeharto. Di satu sisi, Soeharto terlihat begitu piawai dalam mempertahankan jabatan. Di sisi lain, terlihat sisi rapuh Soeharto yang merasa “dikhianati” orang-orang terdekat.

Adegan kedua terlihat seperti kisah yang menghadirkan empati dan simpati saat dia diminta mundur. Akan tetapi, 32 tahun kekuasaan Soeharto bisa dibilang tak didominasi oleh adegan yang melahirkan empati dan simpati masyarakat.

Sejumlah kontroversi bahkan telah muncul saat Soeharto dinilai “mengambil alih kekuasaan” dari Presiden Soekarno dengan bermodalkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Sejak resmi menjadi presiden pada 1967, kebijakan yang dibuat Soeharto memang banyak menuai polemik.

Anak petani dari Dusun Kemusuk, Yogyakarta itu dianggap melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan. Kebijakan yang dibuat dinilai hanya menguntungkan keluarga dan orang-orang dekat Soeharto.

Berikut sejumlah catatan yang menjadi momentum jatuhnya Soeharto, sejak 1996 hingga 1998:

Momentum 27 Juli 1996
KOMPAS/Eddy Hasby

Dikenal dengan sebutan “Kuda Tuli” (Kerusuhan 27 Juli), peristiwa ini merupakan momentum munculnya gerakan perlawanan terhadap Soeharto.

Peristiwa penyerangan terhadap kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia ini sendiri bermula dari dualisme di tubuh PDI, antara kubu Megawati Soekarnoputri dengan Soerjadi.

Pemerintah melegalisasi kepengurusan Soerjadi yang dipilih dalam Kongres Medan pada 22 Juni 1996. Padahal, saat itu Megawati masih menjadi ketua umum periode 1993-1998 berdasarkan hasil Kongres Surabaya.

Sikap pemerintah itu kemudian ditentang pendukung Megawati yang mengadakan mimbar bebas di depan kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Sejumlah aktivis demokrasi juga ikut berorasi, mengkritik intervensi pemerintah. Apalagi, dualisme itu terjadi menjelang pemilu.

Menurut Komnas HAM, kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Pemerintah kemudian menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang di balik Tragedi Sabtu Kelabu itu.

Penculikan dan Hilangnya Aktivis
KOMPAS/Rakaryan Sukarjaputra

Setelah menuduh PRD sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996, pemerintah menyatakan “perburuan” terhadap aktivis dan simpatisan PRD. Akan tetapi, hal yang terjadi berikutnya adalah laporan mengenai hilangnya sejumlah aktivis demokrasi.

Tim Ad Hoc Penyelidikan Penghilangan Orang secara Paksa yang dibentuk Komnas HAM menyatakan, kejadian yang terjadi pada 1997-1998 ini tak bisa dilepaskan dari Pemilu 1997 dan tuntutan agar Soeharto mundur.

Selain itu, Tim Ad Hoc juga menyebut dugaan keterlibatan militer yang menggunakan fasilitas negara dalam pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Dari 20 orang yang menjadi korban, 10 orang hingga kini belum kembali. Dalam laporannya pada 2006, Tim Ad Hoc memang tidak menyebut nama yang bertanggung jawab atas kejahatan itu.

Namun, pada 1998, kejadian itu melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Apalagi, pemerintahan Orde Baru dianggap memiliki catatan buruk soal pelanggaran HAM berat pada tahun-tahun sebelumnya.

Isu HAM menjadi salah satu pemicu semakin maraknya aksi demonstrasi menuntut reformasi dan pergantian kepemimpinan nasional.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
KOMPAS/Hariyadi Saptono

Salah satu tuntutan reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tuntutan ini dilatarbelakangi dugaan bahwa kebijakan pemerintahan Orde Baru hanya menguntungkan Soeharto, keluarga, dan orang-orang dekatnya.

Dilansir dari dokumentasi Kompas, Soeharto pernah membuat sejumlah peraturan presiden atau keputusan presiden yang menguntungkan tujuh yayasan yang dipimpinnya.

Setelah mundur, Soeharto pun diseret ke pengadilan sebagai terdakwa atas penyelewengan dana yayasan. Dikutip dari Hukum Online, dakwaan jaksa menyebut bahwa dana dari enam yayasan itu mengalir ke sejumlah perusahaan yang terafiliasi keluarga Cendana atau orang dekat Soeharto.

Meski demikian, menurut Jaksa Agung Marzuki Darusman, Soeharto diadili bukan sebagai presiden, tapi ketua yayasan. Dengan demikian, keppres atau perpres yang dibuat tak dipermasalahkan.

Namun, persidangan antiklimaks karena dihentikan dengan alasan kesehatan Soeharto yang memburuk.

Selain kasus yayasan, keluarga Cendana juga dianggap menikmati kekuasaan Soeharto dengan kebijakan yang dikeluarkan. Salah satunya, berdirinya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang menyebabkan monopoli cengkeh yang menguntungkan putra Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy).

Terkait nepotisme, kritik terhadap Soeharto juga dilancarkan saat anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), ditunjuk menjadi menteri sosial pada 1998.

Kondisi Ekonomi yang Buruk
KOMPAS/Johnny TG

Kondisi ekonomi yang diwarnai naiknya harga bahan pokok dan turunnya nilai rupiah menjadi salah satu faktor yang turut menggoyahkan kekuasaan Soeharto.

Krisis moneter ini terjadi sebagai dampak krisis Thailand sejak Juli 1997. Dalam periode 1997-1998 rupiah tercatat anjlok ke titik terdalam yakni Rp 16.800 per dollar AS.

Pertumbuhan ekonomi pun terpuruk ke angka -13,7 persen. Kondisi itu diperparah adanya rush, atau para nasabah yang menarik dananya dari bank.

Bantuan International Moneter Fund (IMF) pada 15 Januari 1998 kepada Indonesia tidak memperbaiki keadaan. Permintaan IMF agar subsidi bahan bakar minyak dipangkas yang dipatuhi pemerintah, menyebabkan harga bahan pokok semakin meroket.

Krisis itu berdampak pada kepercayaan terhadap pemerintah yang semakin lemah. Dilansir dari buku Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998 (2016), mahasiswa mulai menggelar demonstrasi.

Pada 16 Januari 1998, mahasiswa Institut Teknologi Bandung beraksi di dalam kampus, menuntut pemerintah menurunkan harga. Aksi mahasiswa ITB itu merembet ke kampus lain.

Berawal dari tuntutan perbaikan ekonomi, mahasiswa di sejumlah kota mulai menyuarakan reformasi. Aksi yang awalnya dilakukan di dalam kampus, kemudian mulai dilakukan di luar kampus.

Hingga kemudian pada 12 Mei 1998, aksi demonstrasi itu berubah menjadi tragedi akibat tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Tragedi itu disusul dengan terjadinya kerusuhan pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998.

Kerusuhan itu menyebabkan desakan agar Soeharto mundur semakin besar. Hingga kemudian mahasiswa menguasai kompleks parlemen pada 18 Mei 1998. Aksi mahasiswa menguasai kompleks parlemen kemudian menjadi ikon yang menandai runtuhnya kekuasaan Soeharto.

Potret Kehidupan Soeharto

Empat Wajah Soeharto

Soeharto merupakan sosok yang disegani bahkan ditakuti di masa jayanya. Meskipun demikian, ia selalu tampil dengan senyum di wajah, membuatnya dikenal dengan sebutan “The Smiling General”. Berikut Empat Wajah Soeharto yang melekat hingga sekarang.

Anak Petani dari Dusun Kemusuk
  • Lahir 8 Juni 1921 di Dusun Kemusuk, Godean, Yogyakarta.
  • Ayahnya, Kertosudiro, adalah petugas desa pengatur air. Ibunya, Sukirah, merupakan istri kedua Kertosudiro.
  • Orangtuanya bercerai lima minggu setelah Soeharto lahir.
  • Memiliki adik tiri bernama Probosutedjo.
  • Membantah sebagai keturunan keraton dari Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono II.
  • Mengaku masa kecilnya "penuh penderitaan yang sulit dibayangkan dialami oleh orang lain".
  • Sewaktu kecil diasuh kakeknya, Atmosudiro.
Pengemban Supersemar
  • Pangkatnya sebagai Mayjen dan menjabat Panglima Kostrad menyebabkannya mengemban Surat Perintah 11 Maret 1965 dari Presiden Soekarno untuk menjaga ketertiban masyarakat.
  • Bermodal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI. Kader dan simpatisan ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan. Tak setuju, Soekarno kemudian mencoba membatalkan Supersemar dengan membuat Surat Perintah 13 Maret 1965 (Supertasmar) tapi tidak efektif.
  • Menahan sejumlah pendukung Soekarno dengan tuduhan terlibat G30S.
  • Ditunjuk sebagai pejabat presiden oleh MPRS pada 12 Maret 1967, kemudian dilantik sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
  • Sejarawan Asvi Warman Adam menilai langkah Soeharto sebagai “kudeta merangkak”.
  • Soeharto mengubah kebijakan Soekarno dengan kembali jadi anggota PBB. Normalisasi hubungan dengan Malaysia dilakukan.
Bapak Pembangunan
  • Memiliki kebijakan yang berorientasi pada pembangunan: rencana pembangunan nasional jangka panjang selama lima tahun (REPELITA).
  • Meyakini bahwa masyarakat adil dan makmur akan terbentuk jika industri dan agraria berjalan seimbang.
  • Menggunakan utang untuk mempercepat proses pembangunan.
  • Berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen dan GDP 9,6 persen pada 1980.
  • Mendapat gelar sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
  • Mendapat penghargaan dari FAO pada 1985 karena Indonesia berhasil swasembada beras.
  • Menerima penghargaan United Nations Population Awards di New York atas keberhasilan program keluarga berencana pada 8 Juni 1989.
  • Diabadikan dalam uang kertas pecahan Rp 50.000 emisi 1993 dan 1995 sebagai Bapak Pembangunan.
The Smiling General
  • Memulai karir militer dengan masuk Tentara Kerajaan Hindia Belanda dan mengikuti ikatan dinas pendek atau Kortverband di Gombong. Lulus sebagai yang terbaik.
  • Karier militernya semakin cemerlang pasca-Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
  • Pada 1959 nyaris dipecat atas tuduhan penyelundupan bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Soeharto membantah memperkaya diri dan mengaku melakukan itu untuk kepentingan negara.
  • Menjadi Panglima Kostrad dengan pangkat Mayjen pada 1963. Posisi ini cukup strategis, terutama setelah tujuh jenderal TNI AD tewas dalam peristiwa G30S.
  • Pasca-G30S, Soeharto diangkat menjadi Letjen pada 14 Oktober 1965. Setelah dapat Supersemar, berpangkat Jenderal pada 28 Juli 1966.
  • Biografi Soeharto berjudul The Smiling General terbit pada 1969. Ditulis oleh wartawan Jerman, Rolf OG Roeder.
  • Memiliki gaya kepemimpinan selayaknya memimpin sebuah perusahaan dengan menciptakan aturan dalam satu komando.
  • Menerapkan dwifungsi ABRI, memberi kesempatan bagi militer untuk berpolitik sekaligus mempertahankan negara.
  • Menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar pada 29 September 1997.

Keluarga Cendana

(Kiri-Kanan: Bambang, Sigit, Soeharto, Tommy, Ibu Tien, Mamiek, Titiek, Tutut)

Daftar Polemik dan Kontroversi

Kontroversi dan polemik terkait Soeharto sudah muncul sebelum dia menjabat presiden. Polemik di masa awal itu terkait peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dan tragedi yang terjadi pada 1965-1966, pasca-peristiwa G30S.

Setelah menjadi presiden, kontroversi dibuat Soeharto terkait kebijakan yang dianggap sebagai cara mempertahankan kekuasaan. Masa berkuasanya Orde Baru pun diwarnai sejumlah catatan hitam berupa pembungkaman demokrasi hingga pelanggaran hak asasi manusia.

Berikut daftarnya, terhitung sejak mendapat dia ditunjuk menjadi pejabat presiden oleh MPRS pada 12 Maret 1967:

  • 1967
    April 1967

    Soeharto menandatangani kontrak karya dengan PT Freeport selama 30 tahun. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia.

  • 1970
    4 Februari 1970

    Sekretariat Bersama Golongan Karya mengumumkan ikut Pemilu 1971 dengan bendera Golkar. Organisasi yang dibentuk pada 20 Oktober 1964 ini menjadi kendaraan politik Soeharto tiap pemilu.

  • 1971
    Juni 1971

    Pemerintah membubarkan Golongan Putih yang mendeklarasikan diri tidak mau memilih pada 1971. Sejumlah aktivis Golput bahkan ditangkap saat berdemonstrasi.

  • 1974
    1974
    KOMPAS/Avent Kuang
    15 Januari 1974

    Kerusuhan Malari terjadi saat mahasiswa menolak kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dan mewabahnya investasi asing. Mahasiswa yang demonstrasi di Jalan MH Thamrin tak tahu mengenai kerusuhan di Pasar Senen. Namun, sejumlah mahasiswa ditangkap atas tuduhan menyebabkan kerusuhan.

  • 1975
    1975

    Polemik terjadi di Timor Timur setelah masyarakatnya berusaha lepas dari cengkeraman Portugis. Indonesia kemudian masuk dengan alasan menjaga ketertiban dan keamanan melalui Operasi Seroja pada 7 Desember.

  • 1976
    1976

    Pegawai Departemen Pertanian bernama RM Sawito Kartowibowo "bergerilya" menghujat Soeharto dan kroni-kroninya atas tuduhan korupsi. Sawito kemudian ditangkap atas tuduhan makar, setelah dia beraksi mencari dukungan sejumlah tokoh.

  • 1978
    1978
    KOMPAS/Kartono Ryadi
    Januari-Februari 1978

    Pasca-Pemilu 1977, mahasiswa melakukan demonstrasi menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden. Tentara masuk kampus ITB dan membubarkan demonstrasi. Sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap. Pers pun diberedel karena memberitakan, termasuk Sinar Harapan dan Kompas.

    April 1978

    Pemerintah memberlakukan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Aturan ini upaya untuk membungkam gerakan mahasiswa.

  • 1980
    1980
    KOMPAS/Dudy Sudibyo
    1980

    Petisi 50 lahir sebagai respons atas sikap Soeharto yang dinilai mempolitisasi Pancasila. Anggotanya terdiri dari tokoh bangsa seperti AH Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Ali Sadikin, dan Mohammad Natsir.

  • 1982
    KOMPAS/Dudy Sudibyo
    1982

    Terjadi kerusuhan di Lapangan Banteng saat kampanye Golkar jelang Pemilu 1982. Tempo yang memberitakannya kemudian diberedel.

  • 1983
    1983

    Dimulainya operasi Penembakan Misterius (Petrus) yang menjadikan preman sebagai korban. Berdalih pemberantasan kejahatan, ribuan korban jiwa tewas akibat operasi Petrus. Peneliti Australia David Bourchier menyebut korban tewas mencapai 5.000 hingga 10.000 orang.

  • 1984
    12 September 1984

    Terjadi peristiwa penembakan Tanjung Priok. Tragedi ini bermula saat sejumlah jemaah menghadiri tabligh akbar yang menolak asas tunggal Pancasila. Sejumlah anggota Petisi 50 yang menulis buku putih peristiwa itu ditangkap, salah satunya AM Fatwa.

  • 1985
    1985

    UU Nomor 3/1985 mengatur partai politik dan Golkar harus berasas Pancasila. PPP yang semula berasas Islam, berubah haluan. Tanda gambar kabah diubah menjadi bintang. Hubungan Soeharto dengan kelompok Islam makin merenggang.

    1985-1991

    Pembangunan waduk Kedungombo menyebabkan ribuan kepala keluarga di Boyoali digusur. Ganti rugi dianggap tak sepadan, sehingga banyak warga menolak. Sebanyak 25 warga yang menolak penggusuran bahkan sembunyi di hutan karena dituduh PKI dan anti-pembangunan.

  • 1988
    KOMPAS/Julian Sihombing
    Maret 1988

    Soeharto memilih Sudharmono sebagai wakil presiden untuk periode 1988-1993. RE Elson menulis, pilihan ini ditentang sejumlah petinggi ABRI. Brigjen Ibrahim Saleh dari Fraksi ABRI bahkan melakukan interupsi menolak Sudharmono dalam Sidang Umum MPR 1988. Ini mengindikasikan ketidakharmonisan Soeharto dengan Jenderal LB Moerdani.

  • 1989
    Februari 1989

    Operasi militer dilakukan untuk memberantas kelompok Warsidi di Talangsari yang dituduh mengacaukan keamanan karena menolak asas tunggal Pancasila. Secara resmi, Peristiwa Talangsari disebut menewaskan 31 orang.

  • 1991
    Januari 1991

    Pemerintah menetapkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sebagai pelaksana tata niaga cengkeh. Lembaga yang dipimpin Tommy Soeharto ini dianggap memonopoli industri cengkeh.

    April 1991

    Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membentuk Forum Demokrasi bersama sejumlah tokoh nasional. Pemerintah bersikap hati-hati merespons Forum Demokrasi. Kemendagri membuka dialog.

    12 November 1991

    Penembakan Santa Cruz di Dili yang menewaskan demonstran pro-kemerdekaan Timor Timur. ABRI menyebut terdapat 19 korban tewas dan 92 luka. Namun, versi lain menyebut korban tewas mencapai lebih dari 200 orang. Indonesia dikecam dunia setelah video rekaman penembakan itu beredar.

  • 1993
    1993

    Soeharto kembali terpilih sebagai presiden, meski sudah muncul permintaan agar dia tidak maju. RE Elson menulis, Soeharto menginginkan BJ Habibie sebagai wapres, namun ABRI menolak. Akhirnya, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dipilih menjadi wapres.

  • 1994
    1994
    KOMPAS/Bambang Wahyu Wahono
    Juni 1994

    Tempo, Detik, dan Editor diberedel karena pemberitaan yang dianggap menyerang pemerintah.

    1994-1995

    Pemerintah Orde Baru menangkap sejumlah orang yang kritis terhadap pemerintah dengan tuduhan penghinaan, seperti Sri Bintang Pamungkas, Mukhtar Pakpahan, dan Nuku Sulaiman.

  • 1995
    1995
    KOMPAS/Kartono Ryadi
    1995-1996

    Sri Bintang Pamungkas mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia dan mengaku siap jadi calon presiden penantang Soeharto. Mulai muncul wacana menduetkannya dengan Ketua PDI Megawati Soekarnoputri dengan sebutan “Mega-Bintang”.

  • 1996
    Juni 1996

    Pemerintah menggulingkan Megawati sebagai ketua umum PDI dan mengesahkan kepemimpinan Soerjadi yang dipilih dalam Kongres Medan.

    27 Juli 1996

    Peristiwa Sabtu Kelabu, penyerangan terhadap kantor DPP PDI yang dikuasai pendukung Megawati. Komnas HAM menyebut ada 5 korban tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Pemerintah menuduh Partai Rakyat Demokratik sebagai dalang kerusuhan.

    1996-1997

    Periode terjadinya penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Komnas HAM menyebut 20 orang jadi korban, hingga kini 10 orang belum kembali. Adapun yang menjadi korban adalah aktivis demokrasi yang merupakan simpatisan PRD dan Mega-Bintang.

  • 1997
    KOMPAS/JB Suratno
    1997-1998

    Terjadi krisis ekonomi di Asia Tenggara yang ikut melemahkan rupiah. IMF mulai memberi bantuan pada Oktober 1997 hingga pada 15 Januari 1998 Soeharto menandatangani letter of intent yang memaksa Indonesia mematuhi ketentuan IMF.

  • 1998
    1998
    KOMPAS/Arbain Rambey
    1-11 Maret 1998

    Soeharto terpilih kembali menjadi presiden dengan didampingi BJ Habibie sebagai wapres. Padahal, aksi menolak Soeharto semakin membesar, terutama di kampus-kampus. Lima mahasiswa UI bahkan bertemu Fraksi ABRI untuk menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto.

    16 Maret 1998

    Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana dipilih sebagai menteri sosial.

    Mei 1998

    Demonstrasi mahasiswa yang menolak Soeharto sejak awal tahun semakin membesar. Puncaknya pada 12 Mei 1998, yang berujung tragedi tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Kemudian, pada 13-15 Mei 1998 terjadi kerusuhan bernuansa rasial yang membuat Ibu Kota lumpuh. Soeharto pun mundur pada 21 Mei 1998.

Turunkan Soeharto untuk melihat daftar polemik.

Upaya Mengadili Soeharto

Kejatuhan Orde Baru tak dapat dilepaskan dengan dugaan korupsi Presiden Soeharto. Pada 1998, istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) begitu melekat pada sosok Presiden kedua RI tersebut.

Setelah 20 tahun reformasi, mungkin tak banyak yang mengingat perjalanan kasus hukum terkait dugaan korupsi Soeharto. Tidak banyak yang mengetahui bahwa pria yang populer dengan sebutan "The Smiling General" itu pernah menyandang status tersangka bahkan terdakwa. Berikut perjalanan kasus dan persidangan Soeharto yang penuh liku:

Juni
2006
27 28 29 30 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 1
12 Juni 2006

PN Jakarta Selatan membatalkan SP3 Soeharto dan menyatakan bahwa tuntutan dugaan korupsi atas Soeharto harus dilanjutkan. Saat itu penerbitan SP3 digugat ke praperadilan.

Mei
2006
30 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 31 1 2 3
11 Mei 2006

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan SP3 kasus Soeharto melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

September
2000
27 28 29 30 31 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
14 September 2000

Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.

Agustus
2000
29 30 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 31 1 2
3 Agustus 2000

Soeharto resmi menyandang status terdakwa. Penyidik Kejagung melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Beberapa hari kemudian, berkas perkara diterima PN Jakarta Selatan. Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra mengarahkan agar peradilan digelar di gedung Departemen Pertanian.

Juli
2000
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 1 2 3 2
15 Juli 2000

Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.

Mei
2000
30 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 31 1 2 3
29 Mei 2000

Soeharto dikenakan tahanan rumah.

April
2000
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 1 2 3 29 30
3 April 2000

Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Pemeriksaan ditunda karena mendadak Soeharto sakit.

Maret
2000
29 30 28 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31 1
31 Maret 2000

Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.

Februari
2000
29 30 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 1 2 3 4
14 Februari 2000

Kejaksaan Agung kembali memanggil Soeharto untuk diperiksa sebagai tersangka. Soeharto tidak hadir dengan alasan sakit. Dua hari kemudian, Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.

Desember
1999
29 30 1 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31 2
8 Desember 1999

Kelanjutan proses hukum terhadap Soeharto belum berhenti. Hanya berselang dua bulan setelah penyidikan ditutup, Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman, mencabut SP3. Hal itu diperkuat penolakan praperadilan yang diajukan Soeharto atas pencabutan SP3.

Oktober
1999
30 1 2 3 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31
11 Oktober 1999

Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah. Kejaksaan menyatakan kasus dugaan korupsi Soeharto tidak terbukti.

Juli
1999
29 30 2 3 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31
9 Juli 1999

Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia, dan Deddy Darwis yang dikenal dekat dengan Soeharto menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi atas sejumlah yayasan yang dikelola Soeharto.

Mei
1999
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 29 30 1 2
30 Mei 1999

Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar 9 miliar dollar AS dan melacak harta Soeharto lainnya. Namun, Muladi menyampaikan bahwa tidak ditemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.

Maret
1999
30 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 31 1 2 3
11 Maret 1999

Pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadap Soeharto. Beberapa hari kemudian, Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.

Februari
1999
30 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 1 2 3 1 2 3
4 Februari 1999

Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto. Dia diperiksa selaku Bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.

Desember
1998
29 30 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 31 2 3
2 Desember 1998

Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tentang Pengusutan Kekayaan Soeharto. Inpres ditindaklanjuti dengan pemanggilan Soeharto oleh Jaksa Agung pada 5 Desember 1998.

Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan, yaitu sejumlah yayasan memiliki kekayaan Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar. Sebesar Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektar atas nama Keluarga Cendana.

Oktober
1998
29 30 1 3 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31
22 Oktober 1998

Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Soeharto. Hal itu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data tanah peternakan Tapos milik Soeharto oleh tim Intelijen Kejaksaan Agung.

September
1998
29 30 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 1 2 3
1 September 1998

Kejaksaan Agung mulai menelusuri kasus korupsi Soeharto terkait penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan milik Soeharto. Yayasan itu yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.

Agustus
2006
29 30 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 31 1 2
1 Agustus 2006

Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan SP3 Soeharto adalah sah menurut hukum.

Pasca-Soeharto

Pasca Soeharto turun dari jabatannya, masyarakat lambat laun mulai melihat perubahan yang diusung atas nama reformasi. Berikut perubahan yang terjadi di bidang politik, hukum, dan ekonomi, serta terbentuknya komisi baru untuk memberantas isu yang melekat pada orba: KKN.

Perubahan di Ranah Politik
KOMPAS/Pingkan Elita Dundu

Setelah Soeharto mundur, tuntutan reformasi tetap disuarakan masyarakat. Apalagi, banyak yang menilai rezim Orde Baru belum jatuh meski Soeharto mundur. Sorotan terhadap BJ Habibie sebagai presiden pengganti tetap tajam.

Setelah membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, BJ Habibie berupaya membuktikan bahwa dia menjalankan amanah reformasi. Langkah pertama yang dilakukan adalah membebaskan tahanan politik dan memberikan kebebasan pers.

Meski dinilai berhasil memperbaiki kondisi ekonomi, Habibie dianggap tak dapat menjalankan amanah reformasi terkait pengadilan untuk Soeharto, keluarga, dan kerabatnya. Sebab, Habibie dianggap bagian dari pemerintahan Orde Baru.

Merespons ketidakpercayaan itu, Habibie pun memastikan bahwa pemerintahannya menyiapkan agar Pemilu 1999 berjalan baik. Pemilu 1999 sendiri kemudian dimenangkan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekanoputri.

Pasca-Pemilu 1999, sejumlah perubahan pun mulai terjadi. Berikut catatan perubahan di bidang politik selama 20 tahun reformasi berjalan:

  • Lepasnya Timor Timur

    Referendum digelar 30 Agustus 1999, hasilnya 78,5 persen warga Timtim ingin merdeka. MPR lalu mencabut TAP MPR Nomor VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.

  • Pemilu 1999

    Pemilu pertama di era reformasi, diikuti 48 partai politik. PDI-P menang dengan perolehan suara 33,74 persen.

  • Amandemen UUD 1945

    Era reformasi menghasilkan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Perubahan signifikan terdapat pada mekanisme pemilihan presiden, pembatasan periode jabatan presiden/wapres, dan persyaratan presiden.

  • Reformasi TNI

    Setelah amandemen, dwifungsi tak berlaku, ABRI dipecah menjadi TNI dan Polri. ABRI tak lagi berpolitik.

  • Presiden Gus Dur
    (KOMPAS/Arbain Rambey)

    Abdurrahman Wahid menjadi presiden pertama yang dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Gus Dur diusung Poros Tengah yang merupakan sintesis dari perseteruan PDI-P vs Golkar pada Pemilu 1999. Kebijakan diskriminatif di era Orde Baru mulai dihapus Gus Dur.

  • Otonomi Daerah

    Berlaku setelah amandemen UUD 1945, yaitu Pasal 18 yang mengakui kedaulatan pemerintahan daerah. Otonomi daerah diperkuat berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

  • Presiden Megawati
    (KOMPAS/Agus Susanto)

    Gus Dur dijatuhkan setelah berbagai dinamika politik yang terjadi, terutama kasus Bulog Gate meski tanpa melalui pengadilan. Wapres Megawati kemudian diangkat sebagai presiden, Hamzah Haz ditunjuk menjadi wapres.

  • Berdirinya MK

    Mahkamah Konstitusi berdiri sebagai amanah Amandemen UUD 1945. Ide pembentukan MK merupakan terobosan pemikiran hukum di Indonesia. Eksistensi MK diperkuat dengan disahkannya UU Nomor 24/2003.

  • Pilkada Langsung

    Proses demokrasi ini merupakan konsekuensi berlakunya UU Pemerintahan Daerah. Pertama kali dilakukan pada 2005, kemudian berproses menjadi pilkada serentak mulai 2015.

  • Perdamaian Aceh
    (Jenni-Justiina Niemi/Crisis Mana)

    Bencana tsunami yang terjadi pada akhir 2004 menghasilkan hikmah proses perdamaian di Aceh. Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani MoU Helsinki di Finlandia pada 15 Januari 2005.

  • Pilpres Langsung

    Pilpres langsung menjadi tonggak sejarah pasca-reformasi. Hal itu diawali dengan amandemen UUD 1945 Pasal 6A. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi presiden-wapres pertama yang terpilih secara langsung.

Catatan Hitam di Bidang Hukum
(KOMPAS/Agus Susanto)

Sejumlah kekerasan yang terjadi tak lama setelah Soeharto mundur menjadi tantangan besar di masa transisi reformasi. Sebagian besar kekerasan itu berupa konflik yang dilatarbelakangi isu suku, agama, ras, dan antargolongan.

Tidak hanya itu, kekerasan dan konflik juga masih terjadi di periode setelah Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo memimpin.

Kali ini, catatan hitam itu terkait masalah intoleransi hingga aksi terorisme. Berikut catatannya:

  • Tragedi Semanggi I-II

    Demonstrasi mahasiswa yang terjadi di era Habibie masih ditangani dengan kekerasan oleh aparat keamanan. Akibatnya, sejumlah mahasiswa menjadi korban tewas. Hingga saat ini penanganan kasusnya dianggap belum tuntas.

  • Konflik Ambon
    (KOMPAS/Yunas Santhani Azis)

    Bentrok antarkelompok pada 19 Januari 1999 meluas menjadi konflik berbasis agama. Kontras menduga ada provokasi yang menyebabkan keributan ini semakin meluas dan gagal ditangani negara.

  • Konflik Sampit

    Konflik antaretnis ini terjadi pada pada Februari 2001. Berawal dari perkelahian kelompok yang menewaskan seorang warga, konflik meluas menjadi pertentangan antara kelompok Dayak dengan Madura.

  • Aksi Terorisme
    (KOMPAS/Lasti kurnia)

    Indonesia menjadi sorotan dunia saat terjadinya aksi teror Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang. Peristiwa itu sendiri merupakan salah satu dari rangkaian aksi teror sejak 2000 hingga 2016.

  • Pembunuhan Munir

    Aktivis HAM Munir tewas dalam perjalanan menuju Belanda di atas pesawat Garuda Indonesia pada 7 September 2004. Muncul dugaan bahwa pembunuhan melibatkan Badan Intelijen Negara. Namun, tidak ada pejabat BIN yang dihukum atas kasus ini.

  • Kekerasan di Papua

    Kekerasan masih saja terjadi di Papua selama 20 tahun terakhir. Peristiwa itu antara lain kasus pembunuhan Ketua Dewan Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka. Selain itu, sejumlah pelanggaran HAM juga masih terjadi terhadap warga Papua atas tuduhan makar.

  • Kekerasan berbasis keyakinan

    Sejumlah intimidasi dan aksi kekerasan berbasis keyakinan mewarnai 20 tahun reformasi berjalan. Umumnya, minoritas yang menjadi korban. Kekerasan yang terjadi antara lain terhadap jemaah Ahmadiyah, Syiah, Gereja Yasmin, Gereja HKBP Filadelfia, dan umat Muslim di Tolikara.

  • Ancaman kebebasan berekspresi

    DPR membuat sejumlah undang-undang yang dianggap diskriminatif dan mengancam kebebasan berekspresi dan membungkam kritik terhadap pemerintah. Sejumlah UU yang menuai polemik antara lain UU Pornografi dan Pornoaksi, UU ITE, UU MD3, hingga Rancangan KUHP.

Tantangan dan Pencapaian di Bidang Ekonomi
KOMPAS.com/Garry Andrew Lotulung

BJ Habibie memiliki pekerjaan rumah yang tak mudah saat menggantikan Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Tugas berat terutama untuk mengatasi krisis ekonomi yang menerpa Asia Tenggara sejak 1997.

Sejumlah perubahan pun dilakukan Habibie, yang secara perlahan memulihkan perekonomian Indonesia di masa transisi.

Setelah era Habibie berlalu, Indonesia bisa dibilang masih menghadapi sejumlah krisis. Namun, krisis keuangan dunia yang juga menimpa Indonesia pada 2008 juga berhasil dilewati Indonesia.

Berikut catatan perjalanan bidang ekonomi selama 20 tahun terakhir:

  • Restrukturisasi Perbankan

    Pada 21 Agustus 1998, Pemerintahan Habibie mengeluarkan paket restrukturisasi untuk membangun kembali perbankan yang sehat. Beberapa bank dimerger untuk memperkuat pendanaan, salah satunya menjadi Bank Mandiri.

  • Independensi Bank Indonesia
    (KOMPAS/Alif Ichwan)

    Habibie mengambil keputusan besar dengan memisahkan BI dari pemerintah. BI yang lebih independen menjelma otoritas terpercaya di sektor moneter.

  • Desentralisasi Fiskal

    Gus Dur mengimplementasikan desentralisasi fiskal sebagai amanah Otonomi Daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah diterapkan. Selain itu, diimplementasikan pembagian dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah.

  • Bantuan IMF Berakhir

    Presiden Megawati mengakhiri program bantuan IMF pada 10 Desember 2003. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan, serta meningkatkan investasi serta penyerapan tenaga kerja.

  • Divestasi BUMN

    Pemerintahan Megawati menjual saham BUMN untuk menambal defisit APBN. Ini dilakukan karena pemerintah sulit mendapat utang di tengah pemulihan krisis. Beberapa BUMN yang diprivatisasi antara lain PT Telkom, PT Indosat, dan PT Tambang Batubara Bukit Asam.

  • Dinamika Harga BBM

    Di era SBY-JK, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan Indonesia sebagai importir BBM ikut terdampak. Beban APBN meningkat. Kenaikan harga BBM pun dilakukan. Sepanjang 10 tahun pemerintahan SBY harga minyak naik empat kali dan turun tiga kali.

  • Indonesia Masuk G-20

    Pada masa pemerintahan SBY Indonesia masuk kelompok negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20. Ekonomi Indonesia menuai harapan.

  • Lolos Krisis 2008

    Indonesia terdampak krisis besar di sektor keuangan pada 2008. Namun, dengan daya beli masyarakat yang dijaga, ekonomi tetap tumbuh 4,6 persen pada 2009. Indonesia hanya kalah dari China (9,4 persen), dan India (8,5 persen).

  • Bailout Bank Century
    (KOMPAS/Lucky Pransiska)

    Bank Century yang gagal kliring menyebabkan BI mengucurkan dana talangan Rp 6,7 triliun. Langkah ini dilakukan BI untuk mencegah dampak sistemik. Namun, kebijakan bailout menuai polemik karena diduga terjadi penyimpangan.

  • Pembangunan Infrastruktur

    Kebijakan ini dibuat melihat potensi kemaritiman yang dimiliki Indonesia. Tindakan tegas pun dilakukan, termasuk penenggelaman kapal nelayan asing.

  • Poros Maritim Dunia

    Kebijakan ini dibuat melihat potensi kemaritiman yang dimiliki Indonesia. Tindakan tegas pun dilakukan, termasuk penenggelaman kapal nelayan asing.

  • Berdirinya OJK
    (KOMPAS/Hendra A Setyawan)

    Otoritas Jasa Keuangan berdiri pada 2012 sebagai amanah UU Nomor 21 Tahun 2011. OJK menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan. OJK juga menggantikan peran BI dalam pengaturan dan pengawasan bank, dan melindungi konsumen jasa keuangan.

  • Tax Amnesty

    Pemerintah merilis program pengampunan pajak pada 1 Juli 2016. Tujuannya, agar dana WNI di dalam dan luar negeri yang tak dilaporkan bisa masuk ke Tanah Air.

KPK dan Harapan Pemberantasan Korupsi
KOMPAS.com/Garry Andrew Lotulung

Gerakan Reformasi melahirkan semangat antikorupsi yang ditandai dengan langkah nyata pemberantasan korupsi. Lembaga negara independen pun didirikan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bebas dari kekuasaan mana pun, terutama pemerintah.

Namun, tak dipungkiri berdirinya KPK karena pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan dinilai belum efektif. Salah satunya, dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan petinggi negara, termasuk Presiden kedua RI Soeharto pasca runtuhnya Orde Baru. Berikut sejumlah pencapaian besar KPK:

  • Menjerat Menteri Aktif

    KPK mendapat kepercayaan publik karena berani menetapkan pejabat tinggi sebagai tersangka. Pejabat setingkat menteri pun dapat dijerat.

    Adapun menteri aktif yang terjerat kasus korupsi di KPK adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng (Desember 2012), Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (April 2014), Menteri Kebudayaan Pariwisata/Menteri ESDM Jero Wacik (September 2014), Menteri Agama Suryadharma Ali (Juli 2015).

  • Menjerat Ketua Lembaga Negara

    Posisinya sebagai lembaga independen membuat KPK berani menjerat ketua lembaga negara. KPK tercatat pernah menangkap Ketua MK Akil Mochtar, Ketua DPD Irman Gusman, juga Ketua DPR Setya Novanto.

  • Menjerat Ketua Umum Partai

    Ketua umum partai politik terbilang posisi yang disegani karena terkait kekuasaan. Namun, KPK juga tak segan untuk menjerat ketum parpol.

    Daftar ketum parpol yang dijerat KPK adalah Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

  • Menjerat Kepala Daerah

    Menurut data KPK, hingga Februari 2018 ada 84 kepala daerah menjadi tersangka (70 bupati/wali kota dan 14 gubernur). Kemudian, sejak 2004 hingga 2018, ada 99 perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Setelah 20 Tahun

Dua dasawarsa reformasi hanya bagian kecil dari sejarah panjang bangsa. Ada harapan bahwa sebuah era atau pemerintahan baru akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, tugas kita semua untuk menjaga semangat reformasi, dan ikut terlibat dalam upaya membangun Indonesia yang lebih sejahtera, berdaulat, dan bermartabat.

Produser
Bayu Galih
Penulis
Abba Gabrillin
Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Bayu Galih
Kristian Erdianto
Rakhmat Nur Hakim
Yoga Sukmana
Editor
Bayu Galih
Sumber Foto
Dokumentasi Harian Kompas
ANTARA FOTO
Kreatif
Lilyana Tjoeng
Moh. Khoirul Huda
Stephanie Tanata

Copyright 2018. Kompas.com