Menjadi seorang polisi wanita (polwan) mungkin bukan cita-cita yang umum terbayang di benak kaum perempuan.
Profesi polwan selama ini dianggap lekat dengan laki-laki karena bidang pekerjaannya yang maskulin dan keras.
Belum lagi anggapan mengenai sulitnya pendidikan yang harus ditempuh untuk menjadi seorang polwan.
Tak ayal, jumlah polwan di institusi Polri tak sebanding dengan polisi laki-laki.
Hingga 2018, jumlah polwan di Indonesia mencapai 24.029 orang, atau setara dengan 5,7 persen dari anggota kepolisian secara keseluruhan.
Kendati demikian, berkarier sebagai polisi tetap membuka peluang bagi wanita dalam mengembangkan diri.
Setidaknya, sejumlah polwan berhasil mengukir prestasi yang mengharumkan nama Korps Bhayangkara.
Dengan menekuni bidang yang menjadi ketertarikannya, lima polwan ini berhasil mencetak prestasi.
Mereka adalah Bripka Indria Pujiastuti, AKP Hasiati Lawole, Iptu Kristin Prasetyaningsih, Kompol Vivick Tjangkung, dan AKBP Pergunan Tarigan.
Bagi Indria Pujiastuti, ada kebahagiaan yang tak tergantikan setiap kali menerbangkan dan mendaratkan helikopter yang dikendalikannya. Kebahagiaan inilah yang menjadi alasan Indria memilih jadi penerbang helikopter.
"Saya lebih bahagia terbang langsung ketemu orang-orang, landing di lapangan kecil di-dadahin masyarakat. Itu rasanya enggak terbayar dengan apa pun,” kata Indria, siang itu.
Wanita 30 tahun berpangkat brigadir polisi kepala itu menjadi satu-satunya polisi wanita di Indonesia yang dapat mengendalikan helikopter.
Selain Indria, sebenarnya ada tiga polwan lainnya yang dapat menerbangkan pesawat.
Namun, dari keempat polwan tersebut, hanya Indria yang menjadi penerbang pesawat tipe rotated wing itu.
Bagi Indria, menerbangkan helikopter tak sama dengan menerbangkan pesawat tipe fixed wing (sayap tetap).
Meskipun jangkauannya tak begitu jauh, penerbang helikopter harus memiliki kelincahan lebih untuk dapat berpindah dari satu titik ke titik lainnya dan melakukan pendaratan mendadak di lokasi tertentu dalam keadaan darurat.
Dengan berbagai risikonya itu, tak banyak polwan yang mau menerbangkan helikopter.
"Terbangin helikopter itu susah dan kerjanya panas-panasan. Untuk wanita berat lah, biar saya aja, he-he-he," ujar Indria berseloroh.
Pramugari pesawat polisi
Indria memulai karir sebagai polisi wanita saat usianya 18 tahun atau pada tahun 2006. Belum lama menjadi polisi, Indria dipromosikan sebagai pramugari pesawat polisi.
Setelah melalui rangkaian seleksi dan pendidikan khusus, Indria akhirnya mulai menekuni profesi sebagai pramugari pada tahun 2013.
Wanita berperawakan tinggi tegap dan berparas ayu ini kemudian tertarik menjajal pengalaman baru sebagai seorang pilot.
Ia pun memutuskan untuk melanjutkan sekolah di sekolah penerbangan. Hingga akhir tahun 2015, Indria lulus dan berkesempatan bergabung dengan Direktorat Kepolisian Udara Baharkam.
"Punya kesempatan mengemudikan helikopter adalah mimpi saya. Kalau saya tidak memiliki basic di kepolisian tentu akan sulit bagi saya untuk menjadi kopilot helikopter Polri," tutur Indria.
Untuk menjadi seorang penerbang helikopter, Indria harus menjalani sejumlah tes, yaitu psikotes penerbang, tes Bahasa Inggris, dan tes bakat terbang.
"Jam terbang saya memang belum cukup banyak, baru sekitaran Jabodetabek, tetapi mengendalikan helikopter itu butuh keterampilan mobilitas yang tinggi, dan itu tantangan bagi saya," kata dia.
Tugas penting
Selama menerbangkan helikopter Direktorat Kepolisian Udara Baharkam (Badan Pemeliharaan Keamanan), Indria beberapa kali mengemban tugas penting.
Ia pernah memantau peristiwa besar dari udara, salah satunya aksi damai 212. Pada 2 Desember 2016, massa menggelar aksi damai yang dikenal dengan nama “aksi bela Islam”.
Aksi yang menarik perhatian media ini menuntut proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ketika itu menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Ahok ketika itu berstatus tersangka kasus dugaan penistaan agama. Aksi besar-besaran itu membuat sejumlah ruas jalan protokol Ibu Kota menjadi lautan manusia.
"Waktu itu saya yang bawa (mengendalikan) helikopter. Di dalam heli ada polisi dari Polda Metro Jaya juga yang mengarahkan dalam operasi," ujar Indria saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Kamis (15/3/2018).
Saat itu, Indria terbang 700 kaki dari permukaan laut dan memantau jalannya aksi. Ia memantau kondisi lalu lintas titik-titik keributan.
“Kami laporkan hasil pantauan kami kepada polisi yang tengah berada di bawah," ujarnya.
Bom Thamrin
Operasi lain yang berkesan bagi Indria yakni ketika ia diminta memantau dari udara lokasi peledakan bom Thamrin.
Ketika itu, pada 14 Januari 2016, terjadi teror bom dan penembakan di Kawasan Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakara Pusat. Waktu itu, kondisi sangat darurat.
“Saya diperintahkan untuk ke TKP untuk melakukan pantauan udara saat kondisi di TKP sedang tidak stabil," ujar Indria.
Sebagai penerbang baru ketika itu, tentunya tugas ini menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Indria.
Dengan helikopter tipe Enstrim 480 B, ia terbang berputar-putar di sekitar TKP untuk membantu pengintaian polisi yang bertugas di bawah.
Hasiati Lawole, namanya tercatat sebagai atlet nasional sejak 1985. Sederet prestasi diraih Hasiati dalam ajang lomba jalan cepat.
Pada tahun 1985, Hasiati meraih medali perunggu untuk lomba jalan cepat 10 kilometer dalam ajang Sea Games di Thailand.
Kemudian, saat Sea Games di Malaysia tahun 1989, ia meraih medali emas untuk jenis lomba yang sama.
Dalam ajang PON, sejak tahun 1985, dia sudah mengumpulkan medali emas untuk lomba jalan cepat 10 kilometer dan 5 kilometer.
Perolehan medali emasnya pada ajang PON tercatat sampai dengan PON 1996 di Jakarta.
Kini, Hasiati berseragam polisi. Dia menjadi penyidik di Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Meski tak lagi menjadi bintang di lapangan, Hasiati tak melupakan hobinya dalam bidang atletik itu. Darah atletnya tetap mengalir di balik seragam cokelat polisi.
Kelebihan Hasiati dalam bidang atletik ini membawa keuntungan sendiri baginya dalam menjalankan tugas sebagai polwan. Hasiati merasa lebih cetakan dan kemampuan fisiknya tak kalah dari laki-laki.
“Kan ini (polisi) dunianya anak laki semua. Kapan pun jalan sama anak laki, ya yang kepakai (kemampuan) fisik (dan) disiplinnya juga. Lebih aktif dan lincah. Ke mana-mana sudah bisa ngedahuluin. Benar-benar bermanfaat banget,” kata Hasiati.
Dari situ, Hasiati termotivasi untuk membuktikan kepada teman seprofesinya bahwa kemampuan atletik dan didikan sebagai atlet tersebut berdampak positif dalam pekerjaannya sebagai polwan.
“Saya tuh atlet pengin menunjukkan, ‘Ini loh, bukan cuma di lapangan, tapi juga bisa di pekerjaan’. Apalagi melekat ‘Wah atlet nasional’. Saya ingin mempertahankan fisik dan disiplinnya,” kata dia.
Hasiati menyadari minatnya di bidang atletik sejak kecil. Ketika itu, ia masih tinggal di Buton (sekarang Wakatobi).
Untuk menyalurkan minatnya, Hasiati mendaftarkan diri ke klub atletik di lingkungan tempat tinggalnya.
"Alhamdulillah sudah ada bakat. Kalau lihat dari SD, mainnya sama laki-laki terus suka lari, disuruh orang tua ke warung belanja juga lari. Akhirnya ada wadah masuk ke klub," ujar Hasiati.
Setelah bergabung dengan klub, ia memilih cabang jalan cepat. Ia pun semangat berlatih bersama pelatih dan teman-teman di klub.
Hasiati mengikuti latihan jalan cepat untuk jarak tempuh seperti yang dipertandingkan, mulai dari 5.000 kilometer hingga 10.000 kilometer.
Semangatnya makin membara saat mendengar pengumuman adanya pertandingan tahunan di ibu kota Jakarta.
Bawa pulang kemenangan
Tak hanya karena ingin pergi dari Wakatobi ke Jakarta, ia juga ingin membawa pulang kemenangan ke kampung halaman.
Hasiati pun sukses meraih kemenangan. Satu per satu medali ia kumpulkan di bidang jalan cepat.
Sesuai dengan tujuan awalnya membantu keuangan keluarga, Hasiati menyisihlan penghasilannya sebagai atlet untuk orangtuanya.
"Alhamdulillah sekolah sudah punya gaji, bisa bantu orang tua. Dulu masih kirim pakai wesel. Pelatnas (Pelatihan Atlet Nasional) tahun 1984 itu masih Rp 57.500, saya bisa bagi dua kirim ke orangtua," kata Hasiati.
Rasa bahagianya memuncak tak hanya karena mampu membantu keuangan keluarga, tetapi juga karena bisa kembali ke kampung halaman dengan membawa prestasi. Bagi Hasiati, ada tiga kata kunci untuk keberhasilannya, yaitu bakat, disiplin, dan doa.
Meskipun sibuk dengan pekerjaannya sebagai polisi wanita, Hasiati tak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu dari dua anak dan sebagai seorang istri dalam rumah tangga.
Ia pun harus memutar otak agar dapat membagi perhatiannya seadil mungkin.
Sesekali, Hastiati membawa anak-anaknya ke kantor saat bekerja pada akhir pekan. Hasiati dan keluarga pun kerap menghabiskan akhir pekan dengan berolah raga bersama.
“Anak-anak kadang komplein ‘Mama kok hari libur masuk?’ Di satu sisi kan anak butuh waktu sama mamanya, tapi ‘Iya nih mama lagi ada kegiatan, sayang. Ayo ikut mama, habis itu kita jalan,” kata Hasiati meniru percakapannya dengan sang anak.
Sang suami yang seorang pekerja swasta juga sempat terheran-heran akan pekerjaan Hasiati. Namun begitu, sang suami tetap mendukung kegiatannya.
“Dulu pertama kali baru nikah, jam malam memang harus ke lapangan. Pokoknya ada kegiatan yang mendadak harus ada kehadiran polwan. Kata suami ‘Ma, emangnya enggak ada lagi polwan di Polda Metro (Jaya)’. Lama-lama dia ngerti,” kata Hasiati.
Menurut Hasiati, pekerjaannya sebagai polisi wanita di reserse cukup padat. Ia harus selalu siap kapan pun dibutuhkan, meskipun harus memakai waktu liburnya. Sebab, bagi Hasiati, itu merupakan konsekuensi pekerjaannya.
“Harus tetap semangat lari. Kita kan ngurus anak (dan) suami. Kita boleh di luar, wah polisi. Tapi kita pulang ke rumah kembali sebagai kodratnya. Mau masak, nyuci, ngepel,” ujar Hasiati.
Meskipun demikian, Hasiati tetap menjaga kemampuan atletiknya. Ia bergabung dengan Persatuan Atletik Master Indonesia (PAMIH) yang merupakan wadah atlet untuk pertandingan dalam dan luar negeri.
“Memang besarnya di olahraga, untuk ninggalin olahraga ya sangat-sangat enggak mungkin,” ucap dia.
Kemenangan Jalan Cepat
Medali emas untuk 3.000 meter di Indoor Olympiade Negara Muslim di Iran (1993)
Peserta Asean Games 1990 di Beijing, China
3.000 meter
10.000 meter
Menjadi seorang polwan, bukan berarti boleh nyaman akan tugas sebaga pengurus seremonial kepolisian semata. Bagi Iptu Kristin Prasetyaningsih, polwan memiliki peran lebih dari itu.
Seorang polwan pun harus menunjukkan kekuatan mereka. Kristin lantas memilih berkarier sebagai perwira pengendali pasukan penunggang kuda besi di Kepolisian RI.
Ia menjadi perwira paling senior di satuan brigade motor polwan Polda Metro Jaya.
Sering tampil memukau di berbagai acara kenegaraan, Kristin jago berakrobat di atas motor bermesin besar.
Sehari-hari, ia juga siap mengawal pejabat dan tamu negara membelah jalanan Ibu Kota yang macet.
Kehebatan Kristin dalam menunggang kuda besi tak datang dengan sendirinya. Ia memulainya seperti orang kebanyakan, yakni belajar dari nol sampai lancar.
Lahir sebagai anak tentara pada tahun 1978, Kristin tak pernah dikenalkan terhadap sepeda motor. Kata almarhum ayahnya, sepeda motor tak aman untuk dikendarai.
"Benar-benar sama Bapak saya anak-anaknya enggak ada yang dikasih motor. Kami cuma bisa bawa mobil," kata Kristin.
Ia mulai belajar mengendarai sepeda motor setelah masuk sekolah polwan. Kristin masuk sekolah polwan sebagai angkatan 1996-1997.
Karena di sekolah polwan ada pelajaran mengendarai motor, mau tak mau Kristin pun mencoba menunggangi kendaraan roda dua tersebut.
Di sekolah polwan, Kristin baru belajar naik motor bebek. Setelah lulus, Kristin yang ditempatkan di Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya itu tertarik ikut seleksi brigade motor polwan yang dibuka pada 2004.
Para polwan yang mendaftar harus pas tinggi badannya, berat badan, panjang kaki, hingga kekuatan mendorong motor gede.
Kebetulan, saat Kristin bergabung dengan brigade motor polwan, saat itu pula didatangkan 20 unit Harley-Davidson.
Kedatangan motor Harley-Davidson ini menjadi momen bersejarah bagi brigade motor polwan.
"Kalau dulu senior kami menggunakan kategori motor besar itu dengan (Yamaha) CC 250, dan semakin bertambah berkembangnya kemajuan zaman dan teknologi, di tahun 2004 kita bisa menggunakan Harley dengan CC 1.300," kata dia.
Kristin dan tiga rekannya lolos seleksi dan mulai mengawaki moge. Hingga kini, hanya Kristin serta Iptu Martha yang masih bertahan dan menjadi perwira pengendali.
Mereka mengemban tanggung jawab besar untuk meneruskan regenerasi.
Tak patah arang
Selama bertahun-tahun mengawaki moge, Kristin mengalami banyak insiden. Kecelakaan terparah yakni ketika ia jatuh dan mengalami patah tulang.
Namun, insiden tersebut tak membuat Kristin patah arang. "Kita enggak boleh merasakan pada saat sakit. Saya pun pernah merasakan patah tulang, tetapi berlalunya waktu, sudah tidak membuat kita kapok. Intinya mental kita sudah terdidik," ujar dia.
Meskipun begitu, Kristin sempat berhenti mengendarai motor, yakni ketika ia hamil anak kedua pada 2017.
Mulanya , Kristin tak menyadari kehamilannya. Ia masih berakrobat di atas motor gede dalam kondisi hamil muda.
"Saya baru tahu setelah acara ternyata sudah usia enam minggu kehamilan. Langsung sama suami saya dilarang," kata dia.
Karena larangan suami, Kristin pun berhenti mengendarai moge hingga melahirkan anak keduanya.
Setelah itu, ia kembali melaju dengan mogenya. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi Kritin ketika satuannya diapresiasi.
Di antara teman-teman seangkatan, satuan polwan moge dianggap tak kalah keren dari unit lainnya.
Begitu juga saat satuan polwan moge turun ke jalan dan memukau bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-anak.
"Kalau kita lagi patroli, mereka kadang ngacungi jempol, salut begitu kan," ucap dia.
Kini, Kristin membina 20 polwan muda yang tertarik mengawaki moge. Ia pun berharap, satuan ini bisa diperkuat, salah satunya dengan diberi unit moge tambahan.
Kristin juga berupaya agar adik-adik asuhnya ini tak kapok dan mau terus belajar.
Menurut dia, menjadi bagian dari satuan polwan moge merupakan perjuangan mengharumkan kaum perempuan.
Aksi-aksi polwan moge di atas motor membuktikan bahwa wanita tak kalah hebat dari pria.
"Apa pun yang bisa dimiliki sama laki-laki, kita mampu, kita sanggup untuk menjalankan semua itu," ujar Kristin.
Jarum jam menunjukkan pukul 23.45 saat belasan petugas kepolisian bersama petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) berbaris melakukan apel di halaman Mapolres Jakarta Selatan, Sabtu akhir Maret lalu.
Tidak ada raut lelah yang terlihat dari wajah mereka. Seorang polisi wanita terlihat lugas memimpin apel persiapan razia narkotika tersebut.
Dialah Kasat Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Vivick Tjangkung. Malam itu, Vivick memimpin jajarannya bersama BNN Jakarta Selatan melakukan razia penyalahgunaan narkotika di kelab malam.
Apollo Club di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, menjadi target operasi malam itu.
Hingga dini hari berikutnya, Vivick dan pasukannya bergegas melakukan razia narkoba di Apollo Club.
Setiba di sana, Vivick langsung menunjukkan surat perintah operasi kepada petugas keamanan kelab malam.
Saat razia berlangsung, beberapa pengunjung memperhatikan balik aksi polisi.
Banyak pula yang tetap cuek dan asyik dengan kegiatan mereka masing-masing.
Vivick dan jajarannya masuk ke dalam Apollo Club, sementara petugas BNN mulai menyiapkan sejumlah alat untuk tes urine.
Saat itu, Vivick dan jajarannya menyebar di beberapa titik di dalam Apollo Club. Mereka mengamati pegawai dan para pengunjung di sana.
Setelah mengamati para pengunjung, Vivick memutuskan tidak mengetes urine para pengunjung Apollo Club.
"Kami tidak menyentuh pengunjung karena saya melihat pengunjung yang ada terlihat sehat-sehat. Untuk itu, saya hanya menyentuh para staf dari tempat ini," ujar Vivick dari atas meja bar.
Para pengunjung bertepuk tangan melihat aksi Vivick. Tepuk tangan semakin meriah saat Vivick mengimbau mereka tetap menjauhi narkotika dan mengingatkan penyalahguna narkotika akan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, polisi tetap memeriksa urine pegawai Apollo Club.
Para pegawai tampak berbaris dan mengambil tabung kecil untuk menampung urine yang akan diperiksa.
Petugas BNN Jakarta Selatan memeriksa satu per satu sampel urine para pegawai itu dengan alat yang tersedia.
Hasilnya, tidak satu pun pegawai yang positif mengonsumsi narkotika.
Operasi penyalahgunaan narkotika di tempat hiburan malam ini menjadi satu dari banyaknya agenda Vivick dan jajarannya memberantas narkotika di wilayah Jakarta Selatan.
Ada pula kerja sama dengan "Qlue", yakni membuat aplikasi "Polisi Sahabatku" yang memungkinkan masyarakat melaporkan kasus penyalahgunaan narkotika di sekitar mereka.
Berbagai program pencegahan penyalahgunaan narkotika juga digalakkan Vivick dan jajarannya.
"Kami melakukan penyuluhan di segala kelompok sekecil apa pun, baik dalam komunitas beragama, komunitas sosial, sampai kepada lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintahan," kata Vivick saat berbincang dengan Kompas.com.
Pengungkap Ratu Ekstasi
Sudah lebih kurang dua tahun Vivick menduduki jabatan Kasat Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan.
Wanita kelahiran 15 Maret 1971 itu juga pernah menjabat Kasat Reserse Narkoba Polresta Depok dan Wakil Kasat Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan.
Jauh sebelum menduduki jabatan tersebut, Vivick adalah seorang polwan yang sudah lama berkecimpung di bidang narkotika.
Banyak kasus narkotika yang ia ungkap sejak bekerja di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, termasuk pengungkapan kasus Zarima Mirafsur, artis peran yang pernah dijuluki Ratu Ekstasi di Indonesia.
Vivick mengawali karirnya sebagai polwan dengan mendaftarkan diri ke sekolah polisi selepas lulus SMA di Dili, Timor Timur.
Ia berjuang mencari sekolah gratis agar diizinkan orangtuanya sekolah di luar Dili.
Padahal, saat itu, Vivick tidak pernah bercita-cita menjadi seorang polisi. Ia justru bercita-cita menjadi seorang sekretaris dan berkarier di bidang seni.
Setelah lulus sekolah polisi, Vivick ditempatkan di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya. Saat itulah, satu per satu cita-cita Vivick direalisasikan.
Ia menjadi sekretaris di bagian staf pribadi pimpinan reserse. Ia juga bergabung dengan sebuah grup menyanyi untuk mengembangkan bakatnya.
Menyamar
Bertugas di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya juga membawanya mengungkap berbagai kasus dan jaringan narkotika. Tugasnya sangat berisiko, yakni melakukan penyamaran.
"Saat itu dibuat tim khusus untuk narkotika, satu-satunya wanita adalah saya. Tugas saya adalah melakukan penyamaran," kata Vivick.
Untuk menjalankan tugas tersebut, Vivick harus masuk dan berbaur dengan target operasi yang akan ditindak.
Ia harus bersikap senormal mungkin agar tidak dicurigai dan membahayakan diri sendiri.
Butuh keberanian, tekad, dan keyakinan tinggi untuk menjalankan tugas tersebut.
Saat menyamar, Vivick harus memberikan kode kepada rekan-rekannya untuk menindak jaringan narkotika tersebut.
"Saya sebagai pucuk memberikan kode kepada rekan-rekan yang melakukan penindakan lanjutan," ucapnya.
Ada satu pengungkapan kasus narkotika yang paling berkesan bagi Vivick dan menjadi prestasi tersendiri baginya.
Vivick menceritakan, pengungkapan kasus pada tahun 1998 itu bermula hanya dari sebuah nomor telepon yang diberikan pimpinannya.
Ia kemudian menghubungi nomor telepon tersebut dan bertemu dengan si pemilik nomor.
Setelah itu, Vivick meminta pimpinannya membentuk tim pengungkapan narkotika. Ia pun bergabung dalam tim itu.
Sama seperti tugas yang biasa dilakoninya, Vivick juga harus menyamar dan berbaur dengan jaringan narkotika itu.
Saat itu, pimpinannya memberi instruksi agar Vivick menjalankan tugas sesuai skenario yang sudah disusun.
"Tapi karena situasi, saya berani mengambil suatu tindakan keluar dari jalur, dalam arti bahwa saya tidak mengikuti skenario yang sudah disepakati," katanya.
Namun, berkat pilihannya yang tidak mengikuti skenario, Vivick dan timnya berhasil mengungkap jaringan narkotika dari Inggris dengan barang bukti sabu-sabu yang cukup banyak.
Ia tidak mengingat pasti berapa banyak barang bukti kasus yang terjadi 20 tahun lalu itu.
Sejak dulu, Vivick mengaku tidak pernah menceritakan pekerjaan dan risiko yang harus ia hadapi kepada keluarganya yang saat itu masih tinggal di Dili.
"Saya tidak pernah menceritakan tentang pekerjaan saya yang membahayakan karena orangtua saya benar-benar mempercayakan saya bekerja di kota besar, Jakarta ini, dengan kemampuan yang saya miliki," ujar dia.
"Dia yakin bahwa iman yang selama ini dipupuk dalam keluarga benar-benar bisa saya jalani dengan baik. Jadi, pekerjaan saya tidak lepas dari berdoa," kata Vivick.
Setelah berkeluarga, Vivick menyebut anak-anaknya memahami pekerjaan dia yang banyak menyita waktu.
Vivick sesekali mengajak anak-anaknya ke kantor untuk mengetahui pekerjaan ibu mereka. Dari sinilah, seorang anak Vivick terinspirasi dan bercita-cita menjadi polisi.
"Anak kedua saya, iya, ada keinginan dia ingin menjadi seorang polisi, tetapi saya bilang, 'Kalau kamu mau jadi seperti Mama, kamu harus lebih oke dari Mama'. Itu syaratnya," tutur Vivick.
Bintang layar kaca
Tak hanya di lapangan, Vivick pun gemilang di layar kaca. Ia punya bakat menyanyi, bahkan berakting di layar kaca.
Pada 1997, Vivick meluncurkan lagu perdana miliknya yang berjudul “Selingkuh”. Saat itu, Vivick masih berpangkat sersan satu.
Ia pun pernah membintangi beberapa sinetron dan menjadi presenter televisi ketika masih bertugas di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya.
Bagi Vivick, bekerja sebagai polwan merupakan hal yang membanggakan. Vivick berharap, polwan lainnya bisa melayani masyarakat sebagai suatu kebanggan.
"Polisi wanita Indonesia harus terlihat performance-nya lebih tinggi karena hal yang paling terpenting untuk membangun suatu pekerjaan kita di bidang kepolisian, kita sendiri yang membentuk. Polisi wanita Indonesia harus mampu berdiri tegak dan lebih terdepan dari pekerjaan lain," kata Vivick seraya tersenyum.
Kak Unan, demikian polisi wanita yang bertugas di Biro Sumber Daya Manusia Mabes Polri ini disapa.
Nama lengkapnya, Pergunan Tarigan. Ia lahir di Kabanjahe, Sumatera Utara pada 56 tahun lalu.
Wanita dengan perawakan tinggi, besar, dan tegap ini dikenal sebagai polwan sekaligus atlet angkat besi kelas dunia.
Nama Unan semakin mendunia setelah ia didaulat sebagai wasit angkat besi kategori internasional level 1. Ini merupakan level tertinggi untuk atlet angkat besi.
Melalui prestasinya di bidang angkat besi, Unan mengharumkan nama Kepolisian RI sekaligus menambah daftar polwan berprestasi di Indonesia.
Unan menggeluti olah raga angkat besi setelah lama mencicipi lempar cakram dan tolak peluru. Di dua bidang ini, ia berkarier sejak masih 17 tahun.
"Ini sesuai dengan postur saya yang besar, jadi cocoknya ke arah sana (lempar cakram dan tolak peluru), kemudian untuk pertama kali juga mewakili Sumatera Utara itu bertanding ke Jakarta. Itu sekitar tahun 1980-an," ujar Unan saat ditemui di Mabes Polri pada Mei 2018.
Kemudian pada 1983, Unan bergabung dengan Kepolisian RI melalui talent scouting yang diperuntukan bagi para atlet berprestasi yang berminat menjadi polisi.
Di tengah kesibukannya sebagai polisi dan atlet, Unan menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Olah Raga Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Selesai pendidikan saya langsung mengikuti pelatnas (pemusatan latihan nasional) untuk Sea Games lempar cakram tahun 1985 di Chiang Mai Thailand," kata dia.
Ia mulai terjun ke dunia olah raga angkat besi setelah mendengar adanya ekshibisi angkat besi wanita pertama kalinya di dunia dan digelar secara serentak di seluruh dunia pada 1986.
Ekshibisi ini digelar untuk mencari bakat-bakat angkat besi wanita yang akan diikutkan kejuaraan angkat besi wanita pertama di dunia pada tahun 1987.
Saat itu, kata Unan, tak banyak wanita yang tertarik untuk bergabung menjadi atlet angkat besi. Banyak yang menganggap olahraga itu berat dan terlalu berisiko.
Namun, tidak demikian bagi Unan. Olahraga berat seolah sudah menjadi kegemarannya. Otot-otot tangannya sudah terlatih sejak ia menggeluti lempar cakram dan tolak peluru.
"Karena saya suka latihan beban sama anak-anak pelatnas angkat besi pria di Senayan maka saya didekati pelatih dan ditawari sama pelatih untuk bergabung, tetapi saya tidak langsung diajak bertanding. Hanya disuruh gabung dalam ekhibisi atau pameran angkat besi pada Desember 1986," tutur Unan.
Pada saat ekshibisi, ternyata Unan mampu mengangkat besi dengan beban terberat, yakni 70 kilogram.
Performa Unan membuat pelatih terkesan dan berniat "memoles"-nya dengan berbagai teknik angkat besi yang benar.
"Sejak saat itu saya menjadi atlet angkat besi yang sering bertanding ke luar negeri. Namun, saya sampai tahun 2000 masih sempat ikut kejuaraan lempar cakram juga," kata dia.
Selama 31 tahun bergelut di bidang olahraga angkat besi, Unan meraih sederet prestasi. Namun, 27 tahun belakangan, ia lebih banyak berkiprah sebagai wasit angkat besi.
Selama bertugas di Kepolisian RI, Unan merasa tak pernah dibatasi dalam mengembangkan bakatnya sebagai atlet.
"Apalagi di kepolisian kebanyakan saya ditempatkan di biro SDM (sumber daya manusia), saya masuk divisi olahraga sehingga masih berkaitan dengan latar belakang saya sebagai seorang atlet," ucap Unan.
Kepolisian pun memberikan dispensasi kepada Unan jika ia mendapatkan tugas negara untuk mengikuti berbagai kejuaran.
Di balik semua itu, Unan menyadari, gemilangnya di arena angkat besi dan di Kepolisian RI tak lepas dari peran keluarga.
Unan pun tak ingin mengensampingkan tugas utamanya sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua putera.
Saat ini, kedua buah hati Unan duduk di perguruan tinggi di Jakarta. Meskipun kedua buah hatinya sudah mahasiswa, Unan tak ingin melepaskan perhatiannya begitu saja.
"Bagi saya membanggakan negeri dengan prestasi di bidang olahraga dan kepolisian amatlah penting. Namun, keluarga bagi saya adalah hal yang paling berharga," kata Unan.
Tahukah Anda, pada awalnya, polwan dibentuk karena adanya kebutuhan akan penegak hukum perempuan untuk menangani kasus yang dilakukan anak-anak atau wanita.
Pada masa penjajahan Belanda, pejabat kepolisian sering kali meminta istri-istri mereka untuk melakukan pemeriksaan atau penggeledahan terhadap pelaku perempuan atau anak.
Keberadaaan polwan semakin diakui hingga mereka mulai ditempatkan di posisi strategis kepolisian.
Saat Jendral Anton Soedjarwo menjabat sebagai Kapolri dan Kapolda Jawa Timur dijabat oleh Mayjen Soedarmadji, sejumlah polwan terpilih menempati jabatan strategis.
Sejak saat itu, polwan bukan hanya di percaya sebagai pemegang bidang tugas pembinaan melainkan juga memegang komando bidang operasional di lapangan.
Kini, tugas polwan semakin berkembang. Tantangan yang mereka hadapi pun berbeda. Tugas polwan tak hanya menyangkut masalah kejahatan wanita, anak-anak dan remaja, narkotika, atau masalah administrasi.
Polwan juga menjadi garda terdepan dalam mengembalikan citra Polri di tengah masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap polisi.
Terkait tugasnya, seorang polwan terikat sejumlah aturan yang harus mereka taati, termasuk aturan dalam merias diri.
Aturan yang jadi standar berdandan para polwan ini dirangkum dalam buku saku panduan polwan. Jika salah berdandan, mereka bisa saja terkena sanksi yang ditetapkan.
Aturan berdandan polwan meliputi cara merias wajah, menata rambut, memakai perhiasan, dan merawat kuku.
Tak hanya soal berdandan, ada pula aturan bagi polwan dalam mengenakan baju seragam. Mereka tak bisa semaunya memadupadankan pakaian dinas harian (PDH) saat bertugas.
Aturan berseragam polwan ini terbagi dalam aturan mengenakan pakaian tugas umum, pakaian hamil, hingga bagi polwan yang mengenakan jilbab/kerudung.
Dengan aturan berbusana ini, diharapkan para polwan dapat menampilkan cara hidup disiplin sebagai aparat penegak hukum yang bertugas mengayomi masyarakat.
Para polwan juga diatur dalam bergaul di media sosial. Dalam buku saku tata tertib polwan, disebutkan bahwa media sosial dapat digunakan para polwan untuk membuat tulisan, komentar, foto, video, gambar tentang prestasi.
Selain itu, mereka dapat menggunakan media sosial untuk aktivitas pelayanan kepada masyarakat dan keberhasilan tugas maupun dalam bidang lain yang bersifat informatif, edukatif, dan aktual.
Sementara itu, ada sejumlah larangan bagi polwan dalam ber-medsos yang harus dipatuhi. Pergerakan para polwan di media sosial ini dipantau tim siber internal kepolisian.
Dalam buku saku polwan disebutkan sejumlah ancaman hukuman yang dapat diterima para polwan jika tidak menggunakan media sosial secara bijaksana.
Ancaman itu dapat berupa sanksi atas tindak pidana, sanksi disiplin, hingga sanksi atas pelanggaran kode etik yang dimuat dalam aturan sebagai berikut:
Ancaman hukuman untuk para polwan yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan secara bertingkat , mulai dari teguran tertulis, penundaan kenaikan gaji berkala (KGB), penundaan usulan kenaikan pangkat (UKP), dan penundaan pendidikan (DIK).
Kemudian, mutasi bersifat demosi atau penurunan jabatan, penempatan khusus, pidana penjara, hingga pemberhentian dengan tidak hormat.
Copyright 2018. Kompas.com