Mencegah Perkawinan Anak

Kepada Bapak Presiden,

Kasus perkawinan anak di Indonesia terus meningkat. Peningkatan ini menjadi refleksi atas perjuangan hak-hak perempuan. Ini adalah bukti bahwa masih banyak perempuan menjadi korban kekerasan.

Praktik perkawinan anak di Indonesia disebabkan berbagai hal, mulai dari pengaruh adat, kebiasaan masyarakat, agama, faktor ekonomi, pendidikan rendah, hingga pergaulan remaja yang mengakibatkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.

Pernikahan anak, jika terus dibiarkan, akan menimbulkan dampak pendidikan, psikologi, kesehatan, dan sosial.

Perempuan yang melakukan pernikahan di bawah umur akan kehilangan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Anak perempuan yang sudah meluangkan perkawinan kerap tidak termotivasi untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka jadi terlalu sibuk mengurus rumah tangga.

Secara psikologis, anak di bawah umur belum memiliki emosi dan kematangan berpikir yang stabil. Emosi anak yang belum matang akan memicu pertengkaran di rumah tangga. Pertengkaran yang terus-menerus dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, terutama pada istri. Keadaan seperti itu mengakibatkan pasangan suami istri lebih memilih untuk bercerai dibandingkan melanjutkan perkawinan.

Perkawinan anak juga memicu lahirnya masalah yang akan mengganggu keharmonisan rumah tangga dan memicu stres pada anak. Di sisi kesehatan, kehamilan usia muda akan berdampak buruk bagi kandungan berupa infeksi pada kandungan, serta risiko kematian bayi dan ibunya karena harus melahirkan di usia pada bawah 19 tahun.

Indonesia telah menetapkan batas usia pernikahan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa batas usia melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Dasar perubahan tersebut akan membuat perbedaan usia perkawinan menimbulkan kesenjangan gender dan diskriminasi gender.

Dibutuhkan sinergi yang kuat antarlembaga, akademisi, tokoh masyarakat, hingga media dalam mencegah praktik pernikahan anak.

Perbedaan cara pandang terhadap agama, adat, dan budaya harus didialogkan untuk mengurangi dampak praktik tersebut. Tidak kalah penting adalah penguatan pesan orangtua dalam mencegah praktik tersebut. Anak juga harus lebih hati-hati dalam pergaulan, lebih memahami bahaya pernikahan anak, serta lebih memanfaatkan waktu luang untuk mengembangkan bakat dan kemampuan dalam berbagai bidang, seperti olahraga dan kesenian.

Mencegah pernikahan anak berarti memberi kesempatan perempuan menikmati pendidikan dan berprestasi. Kita perlu mendorong kesetaraan hak perempuan untuk mampu berkontribusi dan bermanfaat dalam mendukung kesetaraan gender.

Maria K