Hubungan Anak dan Orangtua

Halo Pak Presiden,

Saya Magdalena. Saya ingin menyampaikan kepada Bapak Presiden tentang kenyataan yang sering saya jumpai di tengah masyarakat terkait hubungan orangtua dan anak.

Orangtua kadang menasihati atau membimbing anak bukan dengan cara atau kalimat yang baik, melainkan dengan kekerasan, baik itu verbal maupun nonverbal.

Berdasarkan data yang saya temui di internet, kasus kekerasan di TTS dan NTT dari 2018-2023 sudah mencapai sebanyak 1.332 kasus kekerasan.

Sering saya jumpai juga di masyarakat, orangtua tidak memenuhi kebutuhan dasar anak. Contohnya kebutuhan bersekolah.

Alasan mereka biasanya menyangkut ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Seperti Contohnya, tidak mempunyai uang untuk membayar uang biaya sekolah dan membeli seragam sekolah. , dan lain-lain. Ini membuat anak-anak mempunyai masa depan yang suram.

Ada orangtua yang mampu menyekolahkan, tetapi ada pula orangtua yang pilih kasih.

Misalnya orangtua lebih menyayangi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Karena, menurut orangtua, anak laki-laki yang utama. Namun, kalau anak perempuan, orangtua selalu berpikir pendek, “Mengapa kita harus menyekolahkan anak perempuan? Ujung-ujungnya dia akan masuk dapur atau menjadi milik orang lain.”

Pak, ada beberapa anak yang tidak bisa bersekolah dan curhat ke saya. Saya selalu memberi mereka kekuatan untuk bersemangat menghadapi kondisi yang dialami. Biasanya saat mendengar cerita mereka, saya merasa iba atau kasihan.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena saya bisa bersekolah dan tidak pernah mengalami kekerasan. Sebab, begitu banyak anak yang mengeluh tidak bersekolah dan selalu dapat kekerasan dari orangtua.

Pak Presiden, bagaimana solusi yang terbaik agar anak-anak bisa bersekolah dan tidak dapat kekerasan dari orangtua? Saya mohon kepada Bapak Presiden untuk membantu anak-anak yang tidak bersekolah supaya mereka mempunyai masa depan yang cerah dan terhindar dari kekerasan.

Magdalena