Dua Abad Tambora

Ditelan Sunyi Perut Tambora

Gulung

Dasar Kaldera Tambora, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (23/8) sore itu seperti kuburan raksasa. Dinding batu setinggi seribu meter mengisolasi dari kehidupan luar. Sunyi mencekam. Hanya ada suara gemuruh batuan longsor yang rutin terdengar.

Malam menjemput lebih awal. Masih pukul 17.15 Wita, suasana di perut gunung yang letusannya dua abad lalu menggelapkan dunia itu temaram. Matahari menghilang cepat di balik dinding kaldera yang menjulang. Hamparan tanah pasir dan bebatuan yang seharian dipanggang matahari mulai mendingin. Namun, angin mati membuat udara terasa gerah.

Asap belerang yang samar tercium dari dalam tenda membuat jeri. Apalagi, beberapa kali detektor gas menjerit dan gambar tengkorak muncul dari layarnya, mengabarkan konsentrasi gas belerang telah di ambang batas.

Namun, orang-orang pemberani dari Desa Doropeti, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang membantu pendakian, meyakinkan bahwa kondisi dasar kaldera itu masih aman ditinggali. ”Saya pernah tinggal di sini hampir seminggu, menemani dua peneliti Jerman,” kata Rijon.

Kelelahan setelah sejak dini hari berjalan kaki mendaki dinding kaldera lalu menuruninya, memaksa tubuh agar rehat. Lagi pula, kami bisa pergi ke mana?

Perjalanan mendaki kembali ke bibir kaldera pada malam hari hampir mustahil dilakukan. Selain harus mendaki batuan lepas yang gampang longsor, dinding tegak menghadang. Pendakian mesti menggunakan tali-temali dan itu terlalu berisiko jika fisik terlalu lelah, apalagi jika dilakukan malam hari.

Udara gerah membuat tidur tak bisa lelap. Bayangan tentang ancaman gas beracun menghantui. Malam terasa tak berkesudahan. Hanya langit bertaburan bintang yang menenangkan.

2015 Google, Cnes/Spot Image
Foto: Kompas.com/Fikria Hidayat Rijon, porter pendakian asal Desa Doropeti, Pekat, Dompu, berada di tebing selatan kaldera Gunung Tambora, Minggu (25/8).
Foto: Kompas.com/Fikria Hidayat Tim pendakian 2 Abad Letusan Tambora bersama para porter berada di sisi selatan bibir kaldera Gunung Tambora jalur Doro Canga di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (24/8).
Foto: Kompas/Eddy Hasby Gugusan Bima Sakti atau Milky Way terlihat membujur di arah selatan, di lereng Gunung Tambora, di Pos 3 rute pendakian Dorocanga, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Jumat (23/8).
Foto: Kompas/Eddy Hasby Gususan Bima Sakti terlihat di atas lereng Tambora dari Pos 3 pendakian rute Dorocanga, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Jumat (23/8).
2015 Google, Cnes/Spot Image

Anak Tambora

Kehidupan itu datang bersama matahari pagi, yang menerobos dari rekahan dinding kaldera di ufuk timur. Tak lama kemudian, sinarnya menerpa Doro Api To’i—dari bahasa Bima yang berarti ’gunung api kecil’—sejarak sekitar 100 meter dari tempat kami berkemah. Asap putih tebal menutupi setiap jengkal gundukan batuan setinggi sekitar 30 meter dari dasar kaldera itu.

Seperti namanya, Doro Api To’i adalah anak Tambora yang muncul setelah letusan hebat dua abad lalu. ”Sekitar pukul 19.00 pada 10 April (1815), tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora. Setelah mencapai titik tertinggi, ketiga kolom itu bergabung, membentuk sesuatu yang mengerikan. Segera saja tubuh gunung di dekat Saugur (Sanggar) berubah jadi cairan api yang terlontar ke berbagai jurusan,” kisah Raja Sanggar, seperti dicatat Letnan Owen Philips, utusan Thomas Raffles, Letnan Gubernur Jawa, yang saat itu menguasai wilayah Hindia Belanda.

Api dan kolom asap itu terus menyembur dengan dahsyat sampai tercipta kegelapan sempurna oleh udara yang disesaki asap, debu, dan bebatuan. ”Waktu itu sekitar pukul 20.00. Bebatuan (kerikil) terasa sangat halus di Sanggar—kebanyakan tak lebih besar dari kacang tanah,” lanjut Sang Raja.

Dikisahkan, antara pukul 21.00 dan 22.00, abu terus jatuh, diikuti puting beliung yang menerbangkan hampir seluruh rumah di Sanggar. Di perbatasan Sanggar dengan Tambora, badai lebih hebat lagi. Pepohonan tercerabut hingga akar, lalu terbang bersama orang, rumah, ternak, dan apa pun yang ada di atas Bumi. Muka air laut pun naik tiba-tiba hingga 3,7 meter, lalu menyapu rumah di pesisir.

Kerajaan Sanggar porak poranda, sedangkan Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat tak bersisa sama sekali. Sekitar 91.000 jiwa dilaporkan tewas. Sebanyak 10.000 orang tewas akibat tersapu badai awan panas dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.

Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa, yang didera bencana kelaparan hebat akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas sepanjang tahun setelah letusan itu.

Inilah letusan gunung api terhebat di Bumi yang pernah tercatat manusia modern. Letusan itu memangkas ketinggian Tambora dari 4.200 meter dari permukaan laut (mdpl) menjadi hanya 2.700 mdpl. Tak hanya itu, letusannya juga memuntahkan isi gunung sehingga mencipta kawah sedalam 1.100 meter dengan diameter hingga 6,2 kilometer.

Total volume material yang dikeluarkan Gunung Tambora saat meletus itu mencapai 150 kilometer kubik atau 150 miliar meter kubik. Bandingkan dengan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010 yang melontarkan 140 juta meter kubik material vulkanik. Bahkan, jika volume material letusan Merapi ini dikalikan 1.000 kali, tetap saja lebih kecil dibandingkan dengan volume letusan Tambora.

Video: Kompas.com/Fikria Hidayat
Foto: Kompas.com/Fikria Hidayat Awan berarak di bibir kaldera (atas) terlihat dari tebing kaldera Gunung Tambora, jalur Doro Canga, Dompu, Sabtu (24/8).
Foto: Kompas.com/Fikria Hidayat Batuan lava di jalur turun menuju dasar kaldera Gunung Tambora, jalur Doro Canga, Dompu, Sabtu (24/8).
Kompas/Ahmad Arif Doro Api To'i merupakan kubah lava baru di dasar kaldera Gunung Tambora di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (25/8).
Kompas/Ahmad Arif Danau dasar kaldera Gunung Tambora di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (25/8).
Kompas/Ahmad Arif Doro Api To'i merupakan kubah lava baru di dasar kaldera Gunung Tambora di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (25/8).
Video: Kompas.com/Fikria Hidayat

Menuruni kaldera

Kedahsyatan letusan itulah yang menuntun perjalanan ke perut Tambora. Pendakian dimulai sekitar pukul 04.30 dini hari dari Pos III Dorocangak di ketinggian 1.820 mdpl. Sebelumnya, untuk mencapai Pos III, kami menghemat tenaga dengan naik mobil gardan ganda dari Pos Pemantauan Gunung Tambora di Doropeti, di ketinggian 15 mdpl.

Perjalanan dengan mobil butuh sekitar lima jam, melewati padang sabana yang dipenuhi kuda, sapi, rusa, hingga monyet liar. Batuan yang dilontarkan letusan Tambora dua abad silam memberi kontras warna hitam pada kuning rerumputan. Terkadang, perjalanan juga melewati hutan cukup lebat.

Sedangkan pendakian dari Pos III hingga ke bibir kaldera membutuhkan jalan kaki selama tiga jam. Rute ini merupakan jalur yang sama, yang dipakai oleh almarhum Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo. Dia meninggal dalam perjalanan menuju bibir kaldera pada April 2012.

Setelah menikmati matahari terbit di tubir kaldera, perjalanan sesungguhnya menuju perut Tambora barulah dimulai. Awalnya adalah bebatuan lepas, yang turus turun tak berkesudahan. Terik matahari menghajar karena sepanjang jalan nyaris tak ada tanaman perindang. Hanya ada edelweis dan belukar yang tak cukup menaungi. Sumber air sama sekali tak ditemukan sehingga membawa bekal air yang cukup menjadi keharusan. Apalagi, cuaca panas gampang membuat dehidrasi.

Mendekati kedalaman sekitar 700 meter dari bibir kaldera atau ketinggian 1.763 mdpl, tebing tegak menghadang. Setelah menuruni tebing dengan tali karmantel sepanjang 50 meter, yang hanya menyisakan 1,5 meter, kami tiba di ceruk sempit. Beberapa kali bunyi gemuruh longsoran terdengar dari atas tebing, lalu debu-debu beterbangan bersamaan dengan kerikil dan bebatuan yang menggelinding. Menunggu momen yang pas menjadi kunci keselamatan, selain nasib baik tentunya.

Setelah delapan jam yang menguras tenaga, perjalanan berujung pada rekahan tebing yang menyerupai pintu gerbang menuju dasar kaldera. Dinding tebing itu memutih dan menguarkan bau belerang menusuk, tanda-tanda mengalami alterasi atau pelapukan oleh aktivitas magma.

Selain asap belerang yang menyembur dari Doro Api To’i, tebing-tebing yang melapuk itu menandai bahwa Tambora tidak benar-benar tidur. Diam-diam, gunung ini mengumpulkan kembali daya kekuatannya, yang mewajibkan kita tetap waspada. Masih butuh ratusan atau bahkan ribuan tahun hingga Anak Tambora itu bisa menyerupai daya leluhurnya. Namun, pengalaman berdiam di dasar Kaldera Tambora menyadarkan betapa kecilnya kita di hadapan kebesaran alam raya.

Foto: Kompas/Ahmad Arif Suasana pagi hari di perkemahan di dasar kaldera Tambora, Minggu (25/8).
Foto: Kompas.com/Fikria Hidayat Pendakian Gunung Tambora rute Dorocanga, di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, menggunakan kendaraan jip, melalui padang savana yang kering tandus, Senin (26/8).
Foto: Kompas/Ahmad Arif Kuda-kuda yang dilepas para peternak di padang savana kaki Gunung Tambora di jalur Doro Canga, Jumat (23/8).
Foto: Kompas/Ahmad Arif Bunga edelweiss yang menghiasi tubir kaldera Gunung Tambora rute Doro Canga, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (24/8).

Kerabat Kerja

Produser

  • Hariadi Saptono

Reporter

  • Ahmad Arif
  • Hariadi Saptono

Fotografer dan Videografer

  • Eddy Hasby
  • Fikria Hidayat

Editor Video

  • Danial AK

Desainer Web

  • Septa Inigopatria
  • Yosef Yudha Wijaya
  • Pandu Lazuardy
  • Reza Fikri Aulia
  • Gracia Veronica