Kompas TV

Tawan, “Iron Man” Sejati dari Bali

Kisah Lengan Mekanis Tawan

Kepala Tawan tampak tertunduk khusuk. Tangan kanannya tampak seperti mencubit dahinya. Ia berusaha berkonsentrasi penuh.

Pemilik nama asli I Wayan Sumardana (31) ini memakai mahkota yang dipenuhi kabel dan rangkaian elektronik. Kanan kirinya tampak lunglai tak bertenaga yang terlihat disangga berbagai rangkaian besi rongsokan yang ia pakai.

Beberapa detik kemudian, tampak lampu pada rangkaian elektronik di pita kepalanya berkedip. Seketika itu, tangan kirinya bergerak. Tangan yang lumpuh itu seolah kembali bertenaga. Tawan tampak memompa tangannya naik dan turun. Kini, ia siap bekerja sebagai tukang las dengan menggunakan tangan mekanis.

"Mi-nya manis...mi-nya manis....," itu kira-kira yang Tawan pikirkan saat berkonsentrasi, sebelum lengan mekanisnya mendapat pasokan tenaga. Sebelumnya, Tawan baru saja makan mi pedas, namun ia harus berbohong guna menggerakkan alat kerjanya.

"Prinsip kerjanya sepert alat uji kebohongan," kata Tawan saat berada di bengkelnya di Banjar Tauman, Desa Nyuhtebel, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, pekan lalu.

Ketika ia berbohong, maka alat yang dimiliki Tawan mendeteksi kondisi otak Tawan. Jika berbohong, sensor kembali mengirimkan sinyal yang memicu disalurkannya daya ke lengan mekanis Tawan.

Tawan tak bisa menjelaskan pasti, bagaimana teori cara kerja alatnya. Beberapa keterangan Tawan di media massa memang sempat berubah-ubah. Namun, itulah Tawan. Dengan segala keterbatasannya, tukang las itu menjadi fenomena yang menghebohkan dunia.

Dengan alat seberat 9 kilogram itu, Tawan yang pernah menderita stroke ini mampu kembali bekerja. Bahkan, ia mampu mengangkat barang hingga berat 15 kilogram.

Desa Nyuhtebel hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Denpasar dan bisa ditempuh dengan kendaraan selama 1,5 jam. Walau di pelosok desa, jalan sempit Nyuhtebel sudah beraspal dan dilewati Google Street View. Kita bisa melihat bagaimana kondisi bengkel Tawan yang berantakan dan tampak tak tertata.

Pada pertengahan 2015 lalu, Tawan terserang stroke. Tangan kirinya lumpuh. Dia pun bingung karena sebagai tukang las, dirinya tak mungkin bekerja dengan satu tangan saja.

"Awalnya karena tangan saya tidak bisa digerakkan karena stroke. Saya berpikir, bagaimana kerja kalau tangannya stroke? Makanya, saya membuat rancangan tangan ini. Banyak yang bilang 'tangan robot'," kata Tawan.

Begitu publik tahu berita soal tangan "robot" Tawan, masyarakat seolah terbelah dua. Pertama, mereka yang langsung mendukung kreativitas dan semangat Tawan. Kedua, mereka yang memiliki minat terhadap teknologi dan selalu skeptis dengan sesuatu yang dianggap temuan baru.

Sulit untuk menjelaskan cara kerja tangan mekanis Tawan, mengingat Tawan sendiri tak menguasai teori. Namun, Tawan mengakui bahwa alatnya tidak diperintahkan oleh sinyal otak.

Tawan juga menolak alat kerjanya disebut sebagai tangan robot, apalagi dibandingkan dengan Iron Man. "Ini hanya alat bantu kerja, tidak canggih, sangat sederhana. Saya kira yang lebih baik dari ini banyak, namun yang lebih buruk dari ini saya tidak pernah lihat," kata Tawan.

Tawan mengakui, alatnya tidak bisa dipakai oleh orang lain. Inilah problem serius jika alat bantu Tawan ini disebut sebagai "temuan".

Sebuah temuan haruslah bisa direplika dengan metode dan sistem kerja yang sama. "Cara menggerakkannya sesuai perintah pikiran sendiri kalau mau angkat, mau belok kanan atau kiri," ujar Tawan.

Kompas TV

Orang-orang, terutama di media sosial, hiruk pikuk membahas alat kerja Tawan yang kemudian dijuluki "Tangan Robot", "Manusia Robot", "Lengan Robot", bahkan ada yang menjulukinya sebagai "Iron Man". Sebagian hiruk pikuk itu tersedot untuk membahas apakah tangan robot Tawan benar-benar robot canggih yang bekerja dengan sinyal otak ataukah hanya sekadar tipuan mengada-ada dari Tawan.

Tawan tak bisa menjawab berbagai pertanyaan yang begitu tinggi. Di media sosial, pada akhirnya tuduhan hoax (menipu) lebih kencang dibandingkan penyemangat agar Tawan bisa terus menjalani hidup pascastroke. Ia yang hanya lulusan Jurusan Elektro Sekolah Teknik Menengah (STM) Rekayasa, Denpasar, memilih untuk mempersilakan pengritiknya untuk memberikan bantuan agar alat kerjanya bisa bekerja maksimal.

“Robot” Tangan Tawan dan Tudingan “Hoax”

TRIBUN BALI - RIZAL FANANY

Cara menggerakkannya sesuai perintah pikiran sendiri kalau mau angkat, mau belok kanan atau kiri".

Tawan menyebut tangan mekanisnya bekerja dengan sistem electroencephalography (EEG). Menurut Kamus Oxford, EEG adalah teknik merekam aktivitas listrik di bagian yang berbeda di otak dan mengubah informasi ini menjadi suatu pola atau gambaran, baik secara digital maupun dicatat di atas kertas yang dinamakan sebagai electroencephalogram

Sederhananya, dalam konteks Tawan, ia menggerakan tangan mekanisnya melalu perintah pikiran. Terlihat sebuah rangkaian elektrik melingkar di kepalanya untuk menangkap sinyal otak.

Persis di tengah bagian depan kepalanya, ada lampu yang berkedip menandakan alat itu bekerja. Sumber tenaganya adalah baterai lithium.

Menurut Tawan, alat di kepala itu berfungsi mendeteksi sinyal otaknya. Sinyal yang ditangkap kemudian diteruskan ke rangkaian elektronik untuk memicu gerakan aneka komponen mekanis yang membungkus tangan kirinya yang lumpuh.

Motor penggerak lengan mekanisnya menempel di punggung Tawan. Sebuah aki kering sebagai sumber tenaga gerak motor menyatu dengan berbagai rangkaian komponen di punggung itu.

“Robot” tangan seberat 9 kilogram tersebut dirakit dari berbagai barang bekas, seperti besi, baut, mur, kabel, dan peralatan pendukung lainnya.

Kompas TV

Diragukan

Keraguan atas karya Tawan kemudian bermunculan di jagad maya. Umumnya, netizen mengritisi rangkaian komponen di punggung Tawan. Sejumlah netizen menyebut “robot” itu hoax alias tipu-tipu. Seorang netizen asal Makassar, Asad Abdurrahman, menulis pada dinding Facebook-nya soal keraguan rangkaian komponen buatan tangan.

Misalnya, ia mengritisi, papan sirkuit (PCB) dalam rangkaian komponen di punggung Tawan. Menurut Asad, papan sirkuit yang tampak butek itu sulit dipahami jika memiliki peran dalam rangkaian elektronik "robot" tangan Tawan. Setiap papan sirkuit, kata dia, memiliki peruntukannya sendiri. Jadi, tidak bisa asal digunakan.

"Dari PCB itu kelihatan ada port PS/2 berwarna putih. Jadi, teridentifikasi PCB itu dari suatu device yang terkoneksi ke PC. Lalu, PCB merah di atas baterai PCB mouse," tulis dia.

Inilah foto mesin dari pencipta tangan robot yang dijuluki Iron Man itu.. Sangat jelas kelihatan kalau itu hanya...

Posted by M Asad Abdurrahman on Wednesday, January 20, 2016

Catatan Asad tercatat paling banyak menyebar. Tercatat, sampai dengan tulisan ini dibuat, share-nya mencapai 1.935 kali.

Catatan kritis lain yang juga menyebar di jejaring virtual adalah yang ditulis di kopiaap.com.

Menurut penulisnya, pergerakan tangan Tawan itu terlalu “biologis”, tidak seperti tangan yang lumpuh. Gerakan benda mekanis, kata dia, seharusnya kaku, banyak jeda pergerakan walaupun Cuma beberapa milidetik.

“Nah, dia saya lihat di bagian akhir video, gerakannya leluasa banget persis tangan asli,” tulis kopiaap.

Situs itu juga menyoroti gir yang digunakan tawan dalam rangkain lengan “robotnya”. Dalam tayangan video, terlihat Tawan melepas salah satu bagian girnya.

“Girnya banyak di luar, bisa dibongkar pasang. Ajaib. Gerakannya cepat+leluasa. Yang lebih ajaib, girnya enggak lepas,” tulisnya.

Ada 263 komentar atas tulisan itu.

Belakangan, Tawan mengoreksi soal sinyal otak ini. Ia mengatakan, cara kerjanya bukan dengan perintah otak melainkan mirip dengan cara kerja alat uji kebohongan (lie detector). Namun, tetap ada tanda tanya besar, rangkaian lie detector seperti apa yang ia gunakan.

Sinyal otak dan EEG

Keraguan atas Tawan umumnya didasari karena latar belakang pendidikan Tawan yang kerap disebut “hanya lulusan STM”. Sementara, teknologi electroencephalography (EEG) adalah inovasi yang bahkan tak setiap doktor bidang robotika mampu melakukannya.

Arjon Turnip, perekayasa kursi roda dengan teknologi EEG dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tercengang sekaligus ragu dengan “robot” tangan Tawan. "Saya sampai speechless. Saya meneliti bertahun-tahun dan belum bisa membuat seperti itu," katanya.

Arjon mengatakan bahwa dirinya tak mampu menilai kebenaran inovasi Tawan sebab tak melihat langsung. "Kalau ada di sana, saya bisa bertanya macam-macam. Tapi dengan teknologi yang ada sekarang, itu terlalu maju," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (23/1/2016).

Sebagai peneliti, Arjon sangat ingin menghargai inovasi. Namun melihat inovasi yang terlalu canggih dari Tawan, Arjon tak bisa memaksa diri untuk tidak meragukan. Dua hal yang dipertanyakan Arjon antara lain letak elektroda dan cara pengolahan sinyal dari otak.

"Kalau kita lihat elektrodanya ada sedikit di atas telinga. Itu letaknya terlalu ke bawah," kata doktor rekayasa mekanik lulusan Pusan University, Korea itu.

"Lalu dia bilang untuk menggerakkan tangan kiri, elektrodanya dipasang di sebelah kanan. Tidak sesederhana itu aplikasinya," ia menambahkan.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kursi roda yang menggunakan teknologi electroencephalography (EEG) didemonstrasikan penggunaannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/1). Kursi roda EEG yang dikembangkan peneliti bidang instrumentasi, Arjon Turnip, setahun terakhir merupakan robot penggerak dengan konsentrasi perintah otak.

Arjon menuturkan, untuk menggerakkan robot dengan pikiran, dibutuhkan konsentrasi. Bagian otak yang berperan untuk konsentrasi ada di bagian depan. Namun, gerakan robot EEG tak hanya melibatkan satu bagian otak. Untuk motorik ada di bagian kanan dan penglihatan di belakang. 

Tentang pengolahan sinyal, Arjon mempertanyakan alogaritma yang digunakan. "Sinyal dari otak itu ibarat jarum di tumpukan jerami. Sulit ditangkap dan banyak sampahnya. Itu harus diolah dulu. Butuh akurasi tinggi dalam pengolahan agar bisa buat gerakan halus seperti ditunjukkan Tawan," jelasnya.

Sinyal dari otak sangat kecil, kurang dari 60 mikro volt. Secara teoretis, agar bisa digunakan untuk menggerakkan alat, sinyal harus diperbesar. Teknologi untuk perbesaran sinyal memang tersedia. Tapi, konsekuensi dari perbesaran adalah noise yang besar. Itu harus dibereskan.

Setelah diperbesar, sinyal perlu dipotong. Ada penyesuaian frekuensi dan amplitudonya. Selesai dipotong, sinyal perlu diekstrak. Terakhir, sinyal harus diklasifikasikan sesuai dengan gerakan yang ingin dibuat. Alogaritma khusus diperlukan untuk tiap tahapan.

Proses mengolah sinyal otak sendiri tak mudah. "Untuk kursi roda saya saja, itu mati-matian buatnya. Akurasinya belum tinggi. Padahal itu hanya untuk maju, belok kanan, belok kiri. Punya Tawan itu gerakannya bermacam-macam dan halus sekali. Itu yang membuat saya ragu," jelas Arjon.

TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
Kompas TV

Tak bisa dicoba orang lain

Menurut Tawan, tangan robotnya tidak bisa dipakai orang lain karena khusus dirancang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.

Dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana (Unud), Dr I Dewa Gede Ary Subagya, menyempatkan diri berkunjung ke bengkel Tawan. Ia mencoba “robot” tangan Tawan, tapi gagal menggerakkannya.

”Saya tadi sempat mencoba. Memang ada power pada alat itu, cuma saya belum bisa mengerakkan alat itu,” jelas Gede Ary saat ditemui di kediaman Sutawan, Jumat (22/1/2016).

Ary mengamati, ada alat perekam atau penyimpan data pada “robot” tangan Tawan. Juga ada beberapa jenis sensor elektronika.

I Wayan Widiada, ST, MSc, PhD yang juga dosen Jurusan Teknik Mesin Unud mengamati, meskipun desain lengan robot tersebut sangat sederhana karena menggunakan barang-barang bekas, secara struktur sudah memenuhi prinsip kerja robot.

"Berdasarkan pengamatan saya, lengan robot yang dibuat oleh Sutawan tersebut, jika dilihat dari prinsip kerja robot, hal tersebut masuk akal," ujar  Widiada.

Berdasarkan pengamatannya, ban kepala yang dipakai Tawan mungkin menggunakan komponen EEG yang fungsinya untuk mendeteksi sinyal elektris di otak. Lalu sinyal kemudian diubah menjadi bentuk gelombang yang akan dikirim ke micro controller.

"Ada kok micro controller-nya meski agak tertutup, tapi saya sempat lihat," katanya.

Dari micro controller ini akan dikirim sinyal menuju motor. Kemudian, output yang dihasilkan berupa respona yakni gerakan atau torsi. Ada dua motor penggerak di bagian persendian lengan robot itu.

"Yang perlu diketahui bagaimana sistem programnya, apa yang menjadi setting command-nya," ujarnya. 

Kompas TV

Gelombang Mu

Dr Fritz Sumantri Usman Sr, SpS, FINS, seorang ahli saraf dan juga ahli saraf intervensi, mengungkapkan, secara teori, Tawan mungkin saja mampu membangkitkan gelombang Mu di otaknya. Mu merupakan gelombang yang berkaitan dengan aktivitas motorik atau gerak.

Menurut Fritz berdasarkan sejumlah jurnal kedokteran, memang hanya gelombang Mu di otak yang bisa diubah menjadi kinetik atau gerak. Gelombang Alfa, Beta, Teta, dan Delta tidak bisa diubah menjadi gelombang kinetik.

"Jika gelombang Mu itu dikumpulkan, diperbesar, gelombang itu bisa digunakan sebagai pusat tenaga. Setelah diolah sirkuit elektronik tertentu, alat itu menstimulus otot-otot di lengan supaya bisa bergerak," terang Fritz kepada Kompas.com, Sabtu (23/1/2016).

Akan tetapi, menurut Fritz, seseorang perlu banyak berlatih untuk bisa mengaktifkan gelombang Mu. Gelombang Mu biasanya muncul saat seseorang rileks. Dengan menggunakan elektroda di kepala dan EEG, gelombang di otak tersebut bisa terlihat. EEG merupakan alat untuk merekam aktivitas listrik di otak.

Namun, secara logika, untuk menangkap lebih banyak gelombang Mu, Tawan sebaiknya juga meletakkan elektroda itu di puncak kepalanya. Sebab, menurut Fritz, gelombang Mu paling banyak terdapat di puncak kepala dan di sekitar telinga.

"Mungkin dia (Tawan) sudah terlatih bisa mengaktifkan gelombang Mu. Makanya dia bilang itu alat cuma bisa dipakai dia sendri. Secara logika memang gelombang Mu tidak bisa timbul seketika pada semua orang," lanjut Fritz.

Fritz mengungkapkan, di dunia juga sudah dilakukan penelitian serupa. Di luar negeri, sudah dikembangkan terapi robotik untuk membantu pemulihan pasien stroke.

Teknik inframerah dekat

Alat uji kebohongan (lie detector) saat ini didominasi oleh sistem tradisional yang metodenya menggunakan poligraf. Poligraf ini bekerja dengan mengenali perubahan fisiologis yang terjadi di tubuh, missalnya tekanan darah, denyut nadi, pola napas dan keringat.

Sensor-sensor poligraf biasanya dipasang pada sekitar dada/perut, lengan, dan ujung jari. Namun, dalam satu dekade ini, seorang profesor dari Drexel University's College of Medicine, Scott Bunce, mengembangkan teknik lie detector menggunakan gelombang “inframerah dekat” (disebut functional near-infrared sensor atau fNIR) yang sensor utamanya berada di jidat kepala.

TheFutureofThings.com

Seperti dikutip dari The Future of Things dengan artikelnya “Headband Infrared Lie Detector”, disebutkan Scott Bunce mengembangkan teknik metode cahaya inframerah dekat yang lebih murah, sederhana, dan akurat.

Sistem inframerah bekerja dengan mengirimkan cahaya “inframerah dekat” ke otak untuk mengukur seberapa banyak oksigen di dalam darah. Semakin banyak oksigen yang terdeteksi, maka seseorang tersebut berarti berbohong. Ketika oksigen terdeteksi banyak, maka akan mengembalikan sinyal ke sensor yang dipasang di kepala.

Saya enggak mau terkenal, Saya mau bekerja

TRIBUN BALI - RIZAL FANANY

Dua orang Kompasianer Bali, Agung Soni dan Darwin Arya, mengunjungi bengkel Tawan, Minggu (24/1/2016). Mereka berbincang selama dua jam dengan Tawan mengenai “robot” tangan rakitannya. Mereka juga bertanya tentang tudingan “hoax” yang menyebar di jagad maya. Berikut perbincangan Tawan dengan dua Kompasianer Bali.

Tanya (T):
Boleh tahu mengapa Bli membuat Lengan robotik ini?

Jawab (J):
Saya stroke pertengahan 2015 lalu. Supaya saya bisa kerja, tangan kiri kena stroke ini harus bisa digunakan. Saya berpikir bagaimana caranya. Mulailah saya cari informasi lewat teman, baca lewat internet. Bagaimana lengan ini bisa dibantu dengan alat. Keluarlah ide lengan buatan itu.

Web apa yang dilihat sebagai rujukan?
Web yang bahasa Indonesia. Apa aja yang menjelaskan gerak mekanikal. Saya bikin rangkaian tadinya pakai remote control bekas mainan. Tapi tidak bagus jalannya. Receivernya juga dari barang bekas. Kalau beli , paling delapan puluh ribuan. Paling mahal alat saya itu ya lie detector. Lie detector ini yang mengirimkan sinyal dari syaraf kepala saya ke penggerak lengan ini.

Jadi bukan EEG seperti ditulis di media online?
Itu tidak benar, yang benar sistem kerja sensor lie detector. Saya minta tolong kawan saya membelikan di web lewat googling bahasa Indonesia. Harganya sekitar Rp 4,5 juta.

Saya harus berpikir sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan agar sensor yang menangkap sinyal dalam pikiran saya, mesin lie detector berfungsi “on”. “Tek!” Lie detector nyala. Sinyal akan dikirimkan melalui kabel ke relay dari rangkaian elektronik (Tawan menunjuk sebuah kotak di kecil di punggungnya). Nyambung ke gear penggerak yang dipasang di bawah sini (menunjuk ke siku lengan).

Jadi intinya, pikiran harus dibuat-buat dulu. Seperti misalnya merasakan merokok. Saya harus bilang rokok ini pahit, asapnya sehat. Gula asam atau garam asin, harus dipikirkan garam ini manis, sinyal lie detector akan menyala. Penghubungnya kabel dan rangkaian elektronik yang akan menggerakkan gear ke siku dan lengan.

DWI ARYA
AGUNG SONI

Ada berapa sensor yang dipasang?
Ada empat sensor yang dipasang ke lengan kiri dan enam sensor sistem polyraph yang dipasang ke kepala saya. Ini terkadang membuat saya pusing. Karena seharian harus berpikir sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang dirasakan.

Kalau baterai terisi full, alat itu bisa bertahan berapa lama?
Kalau full bisa dari pagi sampai sore jam empat-an. Saya bisa angkat berat sampai 15 kilogram sampai 20 kilogram.

Saya enggak mau terkenal, Saya mau bekerja. Kalau mesinnya kehujanan seperti ini, saya kembali susah lagi. Gigi dan kaki saya nanti harus ikut bekerja. Kepala harus digerakkan ke kiri kanan (digelengkan) agar tangan kiri saya mengikuti gerakan yang saya inginkan. Susah saya jadinya.

Makanya sekarang saya pakai sarung ini. (Tawan menunjuk sebuah sarung sepanjang lengan yang diikat dengan tali. Cara memakainya seperti orang yang lengannya sedang digips, talinya digigit dan menggerakkan kepala sesuai arah yang diinginkan).

Anda sendiri yang membuat ini semua?
Semua saya kerjakan sendiri. Tidak ada yang membantu. Hanya mesin lie detector ini saja yang saya minta teman untuk membelikannya. Lengan buatan ini sebenarnya alat bantu kerja saja. Bukan lengan robot. Kalau dipaksa disebut robot, mungkin baru 80 persen saja.

Jangan disamakan saya dengan Ironman...atau siapa itu? Tony Stark..ya jauh. Malah jangan-jangan Tony Stark yang malu dibilang mirip-mirip saya ? hahaha…..Ini sederhana sekali. Yang penting bisa bantu saya kerja.

  • TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
  • TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
  • TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
  • KOMPASCOM/SRI LESTARI

Kalau dirupiahkan, sampai berapa harga lengan robot ini ?
Beberapa waktu lalu ada yang nawar Rp 2 miliar sama saya. Orang bule. Katanya karena nilai sejarahnya yang bagus. Ada seorang tukang las yang bodoh seperti saya ini bisa bikin lengan seperti robot. Itu bagus sekali, kata orang itu. Saya enggak mau karena tujuan saya bukan itu. Saya bikin murni untuk bantu saya bekerja, bukan untuk dijual, sok, biar terkenal. Benar-benar hanya buat kerja saja.

Apa yang Anda harapkan dengan robot ciptaan ini?
Saya tidak mencari kekayaan. Juga terkenal. Enggak sama sekali. Kalau ini bisa membuat banyak orang menjadi terinspirasi, saya bersyukur. Orang dengan keadaan seperti saya ini harus bisa menghidupi sendiri. Siapa yang mau kasih makan istri anak saya, kalau bukan saya?

Sebelum ini, apa pekerjaan dan usaha Anda?
Saya jadi pengumpul dan pengepul rongsokan sudah 15 tahun. Jadi tukang las sudah empat tahun saya jalani. Yang penting bagaimana anak istri saya bisa makan hidup saja.

Selama ini di bengkel mengerjakan apa saja ?
Mengelas besi, pagar, knalpot motor, membuka ban mobil dan memasang sendiri. Pokoknya pekerjaan bengkel, menjual barang bekas, apa aja yang bisa jadi uang.

Kemarin buat mesin pengupas jagung yang dipesan pabrik jagung. Kalau saya orang tidak baik, mesin pengupas jagung bisa saja saya buat otomatis, tanpa manusia. Tapi saya berpikir, itu namanya saya mematikan rejeki orang lain. Maka saya buat, agar mesin itu berfungsi dan manusianya juga bisa tetap bekerja.

Sekarang Anda sudah terkenal. Enak mana, antara sebelum dan sesudah terkenal?
Sama sekali juga saya tidak berharap terkenal. Pemda Karangasem menjaga saya agar ilmu saya tidak disalah gunakan oleh pihak lain. Makanya saya dipesan agar orang yang bertamu mengisi buku tamu di depan meja itu.

AGUNG SONI

Menjadi “Iron Man” Sejati

“Robot” Tawan kini rusak. Alat sensornya tak berfungsi sama sekali. Aki kering yang menjadi sumber energi lengan mekanisnya tak bisa menggerakan shockbreaker (kaki-kaki motor) dan gir.

Alat ini baru diketahui rusak usai Tawan berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karangasem, Bali, Jumat (22/1/2016). Tawan meninggalkan “robot” rancangannya digantung di sekitar bengkel.

“Saat ditinggal, kemungkinan alatnya terkena hujan. Kalau saya ke luar rumah memang jarang memberi penutup. Paling cuma saklarnya saja yang saya matikan," kata Tawan.

Tawan menekankan, alatnya memang belum sempurna. Jika ada yang menanggapi secara negatif dan meragukan hasil karyanya, dia pun tidak akan mempersoalkannya.

"Ya terserah, tidak masalah. Memang alat saya kan perlu disempurnakan. Ini alat bantu, bukan robot," kata Tawan.

Tawan menekankan, jika ada yang meragukan alatnya, lebih baik mereka membantu dirinya untuk menyempurnakan dan tidak hanya berkomentar di media sosial tanpa melihat langsung.

Walau alat kerja Tawan rusak, dunia masih menunggu “rahasia” robot Tawan yang hingga kini belum terjelaskan. Saat robot Tawan rusak, orang-orang semakin “menuntut” Tawan untuk bisa membuktikan bahwa “robot” Tawan bukanlah sebuah “hoax”.

Tuntutan publik ini bisa dikatakan berlebihan. Namun, di balik ghirah atau semangat menguak misteri “robot” Tawan ini, terbersit kerinduan akan temuan-temuan teknologi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca: Menjajal BNW, Kursi Roda Kendali Otak Bikinan Mahasiswa Indonesia

  • KOMPASCOM/YUNANTO WIJI UTOMO
  • JENNIFER SANTOSO
    Bagian pengontrol kursi roda BNW.
  • KOMPASCOM/YUNANTO WIJI UTOMO
    Layar muka aplikasi pengolah sinyal otak.
  • JENNIFER SANTOSO
    Bagian motor DC Bina Nusantara Wheelchair.

Fenomena Tawan menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi kita semua, termasuk bagi para peneliti, kampus, dan instansi terkait pengembangan teknologi, untuk terus bekerjasama dengan masyarakat guna merancang teknologi murah dan tepat guna.

Barang rongsokan Tawan yang mampu membantunya bekerja adalah cambuk baru bagi para peneliti untuk tetap terus berkarya dengan memanfaatkan semua potensi yang ada.

Sikap Tawan selama ini cukup melegakan karena ia selalu menekankan publikasi lengan mekanisnya diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi penderita stroke lainnya. Tak mudah memang bagi seseorang untuk melewati pascastroke, bangkit dan melanjutkan hidup normal melawan keterbatasan.

"Saya enggak banyak omong, tetapi saya buktikan. Jadi, yang ingin membantu saya untuk menyempurnakan alat saya ini ya silakan, biar saya juga bisa bantu orang lain. Saya bisa bekerja, cari makan," ujarnya.

Tawan bukanlah akademisi yang harus mempertahankan dan membuktikan temuan atau tesisnya. Tawan tak harus menjawab kegaduhan di ruang skeptisisme akademis.

Bagi seseorang yang hanya sekadar merakit alat bantu kerja, kegaduhan dan popularitas justru bisa mengganggu aktivitas sehari-hari.

Di luar debat yang sifatnya akademis, Tawan telah membuktikan kepada kita bahwa alat bantunya bisa bekerja untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya.

Di tengah perjalanan, alat kerjanya telah rusak. Namun ia tetap akan berusaha membuatnya yang baru, bukan demi menjawab tantangan teknologi, namun sekadar melanjutkan perjuangan keluarga.

Kita baru tersadar. Ternyata, keteguhan “Iron Man” itu ada pada diri setiap manusia, di dalam dada kita masing-masing. Ini bukan soal robot, melainkan soal kehidupan.

Tawan telah membuktikan, ia telah menemukan “Iron Man” sejati dalam dirinya sendiri. “Iron Man” dalam diri Tawan yang akan selalu melindungi keluarganya.

Sudahkah kita menemukan “Iron Man” dalam diri kita masing-masing? Mari temukan…

TRIBUN BALI - RIZAL FANANY
Kita baru tersadar. Ternyata, keteguhan “Iron Man” itu ada pada diri setiap manusia, di dalam dada kita masing-masing. Ini bukan soal robot, melainkan soal kehidupan.

Perkembangan berita soal Tawan dapat diikuti dalam topik Kompas.com
“Tawan Si Pembuat Robot Tangan”

Produser: J Heru Margianto, Amir Sodikin

Penulis: Sri Lestari, Caroline Damanik, Lusia Kus Anna, Yunanto Wiji Utomo

Kompasianer: Agung Soni, Darwin Arya,

Creative: Moh. Khoirul Huda