Pada 27 September 2016, pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama tepat berusia 85 tahun. Tulisan ini merupakan refleksi atas warisan nilai yang ditinggalkan Jakob yang menjadi tonggak tidak hanya bagi jurnalisme yang dihidupi oleh para wartawan Kompas dan grup Kompas Gramedia tetapi juga warisan yang mewarnai perjalanan jurnalisme Indonesia.
Jakob tidak meninggalkan sebuah warisan nilai dalam sebuah tuturan yang sistematis. Beragam pandangan dan gagasannya tentang jurnalisme dan menjadi wartawan disampaikannya secara lisan dalam sejumlah kesempatan saat berinteraksi dengan wartawan-wartawannya.
Tulisan ini mencoba merangkum ucapannya yang disampaikannya secara sporadis sepanjang perjalanannya membesarkan harian Kompas dan Grup Kompas Gramedia.
Hidup ini seolah-olah bagai sebuah
kebetulan-kebetulan, tapi bagi saya itulah providentia Dei, itulah
penyelenggaraan Allah.
-Jakob Oetama
Menjejakkan kaki di tangga kehidupan hingga usia 85 tahun sungguh merupakah sebuah rahmat, terlebih jika jejak langkah di belakang adalah cerita panjang tentang kebesaran dan kesuksesan dengan segala jatuh bangunnya.
Bagi Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, kebesaran nama dan cerita sukses perjalanan hidupnya bukanlah semata-mata karena kehebatan dirinya, melainkan providentia Dei, bahasa latin yang berarti penyelenggaraan Ilahi.
Providentia Dei adalah kata-kata yang selalu ia selipkan tiap kali ia berkisah tentang pengalaman hidupnya, terutama tentang perjalanan panjang membesarkan Kompas Gramedia.
Di balik makna providentia Dei tersirat kerendahan hati luar biasa. Dia mengimani, Tuhanlah yang menuntun langkah hidupnya melalui berbagai peristiwa kebetulan dalam hidup.
Nama aslinya adalah Jakobus Oetama. Ia lahir di Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931.
Jakob adalah putra pertama dari 13 bersaudara pasangan Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo dan Margaretha Kartonah. Panggilan kecilnya adalah Raden Bagus To.
Ia mengawali kariernya sebagai seorang guru, meneruskan profesi ayahnya. Brotosoesiswo adalah seorang guru Sekolah Rakyat yang selalu berpindah-pindah tugas. Terakhir, Brotosoesiswo menetap di Sleman hingga meninggal tahun 1975.
Lulus seminari menengah, sekolah calon pastor setingkat SLTA, Jakob melanjutkan ke seminari tinggi. Hanya tiga bulan di seminari tinggi, Jakob memutuskan keluar. Ia ingin menjadi seorang guru seperti ayahnya.
Ayahnya kemudian meminta Jakob pergi ke Jakarta menemui salah seorang kerabat mereka yang bernama Yohanes Yosep Supatmo. Belum pernah ia bertemu muka dengan kerabat ayahnya itu.
Petunjuknya sederhana: Jakob diminta datang ikut misa pagi di Gereja Vincentius Jakarta. Supatmo selalu ikut misa pagi di gereja itu. Tidak sulit mencari Supatmo di gereja itu.
Supatmo bukan seorang guru, tetapi baru saja mendirikan Yayasan Pendidikan Budaya yang mengelola sekolah-sekolah budaya. Jakob pun mendapat pekerjaan, tetapi bukan di sekolah yang didirikan Supatmo, melainkan di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat. Ia mengajar di sana tahun 1952 hingga 1953.
Dari Cipanas, Jakob pindah ke Sekolah Guru Bagian B (SGB) di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, tahun 1953-1954, lalu pindah lagi ke SMP Van Lith di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, tahun 1954-1956.
Sekolah-sekolah itu di bawah asuhan para pastor Kongregasi Ordo Fratrum Minorum (OFM) yang biasa disebut Fransiskan. Jakob tinggal di kompleks Sekolah Vincentius di Kramat Raya, Jakarta Pusat, yang sekarang menjadi kompleks Panti Asuhan Vincentius Putra.
Sambil mengajar SMP, Jakob mengikuti kuliah, atau tepatnya kursus B-1 Ilmu Sejarah, lulus. Ia kemudian melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga tahun 1961.
Dari guru menjadi wartawan
Persentuhannya dengan dunia jurnalistik terjadi ketika ia mendapat pekerjaan baru sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur dan berhenti mengajar pada tahun 1956. Tugas hariannya di mingguan itu adalah menjalankan peran sebagai pemimpin redaksi.
Berkat belajar Ilmu Sejarah, tumbuh minatnya untuk menulis. Di Penabur, Jakob menulis apa saja, selalu tanpa nama, dari mulai liputan lapangan sampai ulasan-ulasan sosial, politik, dan budaya.
Minat dan kepekaan Jakob pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang kemudian menjadi spiritualitas Kompas diakuinya sebagai warisan yang dipupuk selama pendidikan di seminari menengah.
“Saya sangat terbantu dan diperkaya oleh kepekaan humaniora yang terpupuk dan berkembang berkat pendidikan di seminari menengah,” kata Jakob sebagaimana dituturkan dalam buku Syukur Tiada Akhir.
Warisan hati dari pendidikan itu kemudian diperkaya oleh minatnya untuk mendalami ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti falsafah dan sastra klasik, lalu ditunjang oleh kegemarannya mendalami secara komprehensif masalah-masalah sosial budaya dan sosial ekonomi.
Meski cita-cita menjadi guru mulai pudar, hal itu tidak berarti goyah. Lulus B-1 Sejarah dengan nilai rata-rata 9, Jakob direkomendasikan memperoleh beasiswa di University of Columbia, Amerika Serikat, oleh salah satu guru sejarahnya, seorang pastor Belanda, Van den Berg, SJ. Arahannya, Jakob memperoleh gelar PhD dan kelak menjadi sejarawan atau dosen sejarah.
Ia mulai bimbang, menjadi wartawan profesional atau guru profesional?
Ia sempat diterima menjadi dosen di Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan disiapkan rumah dinas bagi keluarganya di kota kembang itu. Unpar juga sudah menyiapkan rekomendasi setelah Jakob beberapa tahun mengajar di sana, yakni ia akan dikirim untuk meraih gelar PhD di Universitas Leuven, Belgia.
Titik balik kebimbangan itu adalah perjumpaannya dengan Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur. Suatu ketika, Oudejans bertanya kepada Jakob tentang profesi yang kelak akan ditekuninya. Jakob menjawab ingin jadi dosen. Oudejans menasihati, “Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak.”
“Itulah titik balik ke masa depan yang harus saya gulati. Menjadi wartawan profesional, bukan guru profesional,” kata Jakob.
Bertemu PK Ojong dan mendirikan Intisari
Perjumpaan pertama Jakob dengan Petrus Kanisius Ojong terjadi tahun 1958 dalam sebuah kegiatan jurnalistik. Saat itu, Ojong memimpin harian Keng Po dan mingguan Star Weekly, sedangkan Jakob di Penabur.
Mereka selanjutnya kerap bertemu dalam kegiatan sosial, politik, dan budaya, seperti di lingkungan Ikatan Sarjana Katolik (Iska), program asimilasi Badan Komunikasi Penghayat Kesatuan Bangsa (Bakom PKB), dan di sejumlah acara Partai Sosialis Indonesia.
Jakob mengingat, pertemuan-pertemuannya dengan Ojong kemudian terjadi rutin begitu saja. Awal tahun 1960-an situasi, politik kala itu terasa begitu mengekang. Partai Komunis berpengaruh besar dalam pemerintahan.
Harian Keng Po diberangus pemerintah tahun 1958, sementara Star Weekly mengalami nasib serupa pada tahun 1961. Keduanya tidak disukai pemerintah kala itu karena sikap kritisnya.
Suatu hari, sambil menonton sendratari Ramayana di Prambanan, Jawa Tengah, dilanjutkan dengan makan ayam goreng Mbok Berek, Ojong mengajak Jakob mendirikan sebuah majalah baru yang tujuannya untuk menerobos kekangan informasi yang saat itu didominasi oleh pemerintah di bawah kendali komunis.
Pembicaraan itu berlanjut dengan mendirikan majalah Intisari pada tahun 1963. Misi majalah itu adalah mendobrak kekangan politik isolasi yang dilakukan pemerintah. Mereka merasakan, situasi kala itu membutuhkan sebuah media yang memuat artikel-artikel human story yang membuka mata dan telinga masyarakat.
Intisari terbit pertama pada 17 Agustus 1963 dengan ukuran 14 x 17,5 sentimeter, hitam putih tanpa kulit muka, tebal 128 halaman. Edisi perdana dicetak 10.000 eksemplar dengan harga jual per eksemplar Rp 60 untuk Jakarta dan Rp 65 di luar Jakarta. Nama dan logo Intisari sama persis dengan rubrik halaman pertama yang diasuh Ojong di Star Weekly yang ditutup.
Ini majalah serius. Keduanya menggaet orang-orang hebat zaman itu untuk menulis di majalah baru mereka. Sejumlah penulis di edisi perdana antara lain Nugroho Notosusanto (kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru), Soe Hok Djin yang kemudian berganti nama menjadi Arief Budiman, Soe Hok Gie adik Soe Hok Djin yang dikenang sebagai aktivis mahasiswa 1966, dan Kapten Ben Mboi (kelak menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur).
Mendirikan Kompas
Saat tengah asyik-asyiknya menggulati Intisari, Menteri Perkebunan Frans Seda dari
Partai Katolik meminta keduanya untuk mendirikan sebuah surat kabar Partai Katolik. Seda
menginginkan adanya koran Partai Katolik karena permintaan Menteri/Panglima TNI AD Letjen Ahmad
Yani. Alasannya, hampir semua partai kala itu memiliki corong partai.
Perlu juga dipahami konstelasi politik saat itu. Ada tiga kekuatan politik besar. Pertama adalah Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Kepala Pemerintahan yang mengonsolidasikan kekuatan dan kekuasaan politiknya melalui pengembangan demokrasi terpimpin.
Kedua adalah ABRI, yang berusaha meredam kekuatan politik PKI melalui kerja sama dengan organisasi-organiasi masyarakat dan politik non atau anti-komunis. Sementara itu, yang ketiga adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat ke Bung Karno.
Ide Ahmad Yani, Partai Katolik perlu memiliki sebuah media untuk mengimbangi kekuatan PKI.
Ojong dan Jakob kemudian bersepakat mendirikan sebuah koran yang diharapkan menjadi sebuah jalan
tengah. Koran itu, meskipun lahir dari inisiatif tokoh Partai Katolik, bukanlah corong partai.
Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu harus bersifat umum, didasarkan
pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku,
agama, ras, dan latar belakang lainnya.
“Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia,” kata Jakob.
Mulanya, nama yang dipilih andalah “Bentara Rakyat”. Artinya, koran itu memang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia rakyat. Motonya pun dipilih “Amanat Penderitaan Rakyat”. Koran itu bukan koran partai, melainkan sarana untuk kemajuan Indonesia yang berpijak pada kemajemukannya.
Saat Frans Seda bertemu Bung Karno, Si Bung Besar tidak setuju dengan nama “Bentara Rakyat”. Bung Karno berkata, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus...”Kompas”! Tahu toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba!”.
Jadilah nama pemberian Bung Karno itu digunakan sebagai nama koran hingga sekarang.
Dipaksa menjadi pengusaha
Dalam perjalanan membesarkan Intisari dan Kompas, Jakob dan Ojong berbagi
tugas. Jakob mengurusi editorial, sementara Ojong bisnis.
Namun kemudian, situasinya menjadi tidak mudah bagi Jakob. Setelah 15 tahun kebersamaannya
dengan Ojong membangun Kompas, Ojong meninggal mendadak dalam tidurnya tahun 1980.
Kepergian Ojong meninggalkan beban berat. Beban itu tiba-tiba terpikul di pundak Jakob. Jika selama ini konsentrasinya adalah mengurusi bidang redaksional, ia kini juga “dipaksa” untuk mengurusi aspek bisnis.
Kenang Jakob dengan rendah hati, “Saya harus tahu bisnis. Dengan rendah hati, saya akui
pengetahuan saya soal manajemen bisnis, nol! Tapi saya merasa ada modal, bisa ngemong!
Kelebihan saya adalah saya tahu diri tidak tahu bisnis.”
Kerendahan hati bahwa ia tidak tahu bisnis itulah yang kemudian mengembangkan Grup Kompas Gramedia menjadi sebesar sekarang. Kerendahan hati ini pula yang membuatnya tidak merasa jemawa atas apa yang dicapainya. Ia tidak pernah merasa kaya di antara di antara orang miskin, juga tidak merasa miskin di antara orang kaya.
Ia pernah ditawari menjadi menteri di era Soeharto, tetapi ditolaknya. Ia merasa lebih bahagia menjalani misi hidupnya dengan mewartakan kemanusiaan dan ke-Indonesiaan yang majemuk melalui tulisan-tulisannya sebagai wartawan. Ia lebih senang dan bangga disebut wartawan, daripada pengusaha.
Belakangan, di usianya yang sudah kepala delapan, kalimat yang tidak pernah putus diucapkannya di setiap kesempatan ia bercerita tentang perjalanan hidupnya adalah, “Bersyukur dan berterima kasih. Semuanya adalah providentia Dei, penyelenggaraan Ilahi.”
Kompas tidak boleh letih menyuarakan apa yang
hidup dalam hati rakyat, di saat yang sama memberikan harapan dengan
menyampaikan sisi positif bangsa dan negara ini.
-Jakob Oetama
Kepada para wartawannya, Jakob kerap berpesan bahwa wartawan itu bukanlah sebuah pekerjaan, apalagi pekerjaan yang mengejar karier. Bukan, bukan itu. Menjadi wartawan itu adalah panggilan (vocatio).
Demi panggilan profesi ini, kebesaran jiwa seorang wartawan harus melebihi kebesaran lembaga atau perusahaan tempat ia mengabdikan diri.
Oleh karena itu, setiap wartawan harus mengembangkan jiwa panggilannya ini. Ia tidak boleh menjadi pribadi yang mati. Sebaliknya, ia harus terus berkembang, mengembangan dirinya, menghidupi panggilan jiwanya, dan jika diperlukan berani mengambil risiko untuk menyuarakan apa yang perlu disuarakan.
Apa yang harus disuarakan oleh wartawan?
Manusia dan kemanusiaan. Wartawan itu bukan sekadar tukang menulis berita. Lebih dalam dari itu, setiap berita yang ditulisnya merupakan pengejawantahan panggilan jiwa untuk memanusiakan manusia dengan segala keagungan dan kekerdilannya.
Manusia dan kemanusiaan seperti apa yang perlu disuarakan?
Awalnya, Jakob senang menggunakan istilah “humanisme transendental”. Belakangan, sejak tahun 2000-an, ia lebih sering memakai kata “kemanusiaan yang beriman”. Maknanya sama, manusia yang berpusat pada yang Ilahi.
Agama boleh berbeda, tetapi kemanusiaan itu satu. Setiap agama sejatinya adalah memperjuangkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, saling menghormati dalam kemajemukan perlu dijaga agar setiap tradisi religius bisa mengembangkan perjuangan kemanusiaannya yang akan memperkaya hidup manusia.
Cornelius Antonius Maria (Kess) de Jong mengelaborasi falsafah ini dalam disertasinya tentang “Kompas 1965-1985” guna memperoleh gelar doktor dari Universitas Nijmegen, Belanda, tahun 1990.
Menurut De Jong, humanisme dan humanitas merupakan titik berangkat agar bisa melayani semua
kelompok. Kemanusiaan menjadi sempurna kalau diterjemahkan dalam nilai-nilai Ilahi, yakni iman
kepada Tuhan. Iman (faith) lebih dari sekadar kepercayaan (belief), yang
berarti di sanalah terletak nilai-nilai transenden.
Sindhunata, rohaniwan Jesuit yang pernah “praktik kerja” sebagai wartawan harian Kompas
pada tahun 1977-1980, pernah menjelaskan, humanisme transendental sesungguhnya bukan hanya
berarti keterarahan manusia kepada Yang Transenden.
Keterbukaan akan Tuhan perlu dimengerti dengan keterbukaannya pada dunia. Bahkan, dalam memahami Tuhan, manusia ditentukan oleh keterikatannya pada dunia, yang membatasinya pada suatu saat dan sejarah tertentu. Oleh karena itu, visi kemanusiaan transendental sekaligus adalah visi kemanusiaan historis.
Kompasi
Secara praktis, mengutip Jong, makna humanisme transendental itu diwujudkan dalam compassion
(kompasi), yakni merasakan suka duka manusia lain yang diterjemahkan dalam empati dan kompasi
terhadap sosok manusia, termanifestasi dalam simpati, berbagi perasaan terhadap sesama, dan
keberpihakan kepada yang lemah. Compassion berarti berbelarasa terhadap mereka yang
lemah, tersingkir, dan menjadi korban.
Berdasarkan sikap belarasa itu, harian Kompas dalam penyajian berita dan
tulisan-tulisannya selalu diwarnai sikap tenggang rasa dan penuh pengertian. Manusia dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, di tengah keagungan dan kekerdilannya, merupakan sosok yang
tidak pernah bisa sempurna.
Keluhuran manusia dan hak asasi setiap manusia diberi tempat dan dihargai. Harian Kompas
berusaha menjauhi cara-cara kritik dengan menyakiti hati orang, sebaliknya membiarkan orang
memperbaiki sendiri.
Pandangan tentang kemanusiaan yang beriman ini menjadi semacam fondasi bagi profesi seorang
wartawan yang kerap dituturkan Jakob dalam berbagai kesempatan. Pandangan ini pula yang menjadi
dasar dalam setiap pemberitaan harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV.
Ia mengabadikan pandangannya ini dalam Tajuk Rencana, 28 Juni 1980, saat harian Kompas berulang tahun ke-15.
Kita ingin berkarya bersama-sama memajukan kesejahteraan masyarakat manusia Indonesia dalam makna yang sepenuh-penuhnya.
Artinya sesuai dengan aspirasi, potensi serta harkat martabat manusia dalam posturnya yang majemuk sebagai individu, sebagai warga masyarakat komunitas, sebagai warga masyarakat bangsa dan negara serta warga masyarakat dunia.
Kita menempatkan masyarakat manusia dalam posisinya yang vertikal dan horisontal. Vertikal berarti dalam kaitannya dengan ilahi dan horisontal dalam kebersamaannya dengan sesama manusia lain dalam kaitan keluarga, komunitas, masyarakat bangsa dan negara.
Iman ditempatkan tidak dalam misi penyebarannya, tetapi dalam misi bersama agama-agama yaitu mensublimir totalitas harkat dan martabat manusia beserta segala ekspresi kekaryaan dan eksistensinya. Yang memberikan makna dan kedalaman dalam hidup manusia dan karena itu juga yang mengembangkan dan meneguhkan persaudaraannya.
Kita hormat akan martabat manusia, karena itu menghormati hak-hak asasinya dan ikut dalam karya besar pembangunan nasional. Karena tujuan dan fungsi pembangunan itu adalah mengusahakan nasib rakyat Indonesia menjadi secara kualitatif lebih baik.
Kita menunjang pembangunan kultur dan struktur demokrasi Pancasila, yang akan mampu di satu pihak menjamin keleluasaan ekspresi serta kreativitas rakyat, bersamaan dengan itu pula menjamin kebersamaan, tanggung jawab serta komitmen mengangkat derajat dan martabat orang banyak. Persepsi kita bukanlah statis, tetapi dinamis. Yaitu dinamika untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita bersama masyarakat Pancasila.
Dalam usaha ikut melaksanakan komitmen-komitmen itu, kita tidak “bermanipulasi” atau “bermain politik”. Kita berusaha harus lurus, apa adanya, menurut yang kita lihat benar dan bermanfaat disertai sikap hormat terhadap pandangan dan pendapat orang lain.
Surat kabar ini karena keyakinannya dan karena realitas masyarakat Indonesia berusaha ikut mengembangkan saling pengertian yang kreatif antara berbagai kelompok subkultur masyarakat dengan tujuan agar masyarakat kita mampu berfungsi dalam keberagamannya.
Dengan demikian ekspresinya terpenuhi dan sekaligus ekspresi diri ini haruslah bermakna dan berfungsi kemajuan serta kesejahteraan bersama. Itulah yang kita pandang sebagai kultur dan infrastruktur sistem masyarakat Pancasila.
Kompas adalah lingkungan komunitas, lingkungan kecil, masyarakat kekeluargaan. Kita di sini menjunjung tinggi dan mengamalkan martabat manusia, aspirasinya yang hakiki. Kita adalah penunjang persamaan manusia. Itulah sebabnya, di sini tidak ada perbedaan yang disebabkan oleh masalah suku bangsa, keturunan, agama, latar belakang sosial, dan sebagainya.
- Jakob Oetama
Tentang jurnalisme, apa yang diwariskan Jakob? Masih relevankah gagasan Jakob tentang jurnalisme di era digital yang banjir informasi?
Dalam sebuah kesempatan, Jakob pernah mengatakan, Kompas tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa hanya sekadar sebagai sebuah peristiwa, tetapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari peristiwa itu.
Seorang wartawan harus mampu mengambil jarak atas peristiwa yang ditulisnya dan menarik sebuah
refleksi atas peristiwa tersebut. Dengan begitu, pembaca mendapatkan enlightment atau
pencerahan.
Ia menyebut jurnalisme yang dipraktikkan di Kompas sebagai jurnalisme makna. Masihkah
jurnalisme makna relevan bagi masyarakat kita yang hidup di era banjir informasi?
Jakob mempertanggungjawabkan gagasan jurnalisme makna ini kepada publik dalam pidato pengukuhan
sebagai doktor kehormatan dari Fisipol Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003. Pidato itu
menjadi refleksi pribadi kewartawanan seorang Jakob Oetama.
Menurut St Sularto dalam tulisannya "Junalisme Makna, “Civil Society”, “Culture Matters”, Satu Sisi Jakob Oetama Selintasan" dalam buku Bersyukur dan Menggugat Diri, perubahan interaksi global dan lokalitas begitu banyak dan begitu intensif sehingga warga merasa kehilangan makna.
Pendapat St Sularto bukan mengada-ada. Akan lebih jelas lagi jika persoalan ini ditarik ke masa
kini, di era media sosial atau 13 tahun setelah pidato Jakob Oetama.
Ketika semua orang merasa memiliki media dan ketika semua orang merasa berhak mengunggah dan
mendistribusikan informasi, maka yang terjadi adalah banjir informasi. Penyebaran informasi tak
lagi one to many, tetapi bisa berlangsung secara many to many melalui
berbagai pelantar media sosial.
Di era komunikasi many to many ini, banyak peristiwa penting yang melintas begitu saja
tanpa makna, tanpa perspektif. Agar hubungan antara kejadian dan masalah itu bermakna, media
massa memiliki tools berupa jurnalisme komprehensif, jurnalisme in depth, dan
jurnalisme investigatif.
Pidato Jakob Oetama berjudul "Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna" pada 17 April 2003,
13 tahun yang lalu, seolah menjawab "kekacauan" arus informasi yang terjadi akhir-akhir
ini.
Pidato itu disampaikan dalam rangka Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam
Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada.
Sebagai catatan, pada tahun 2003, dunia internet belum seramai sekarang. Istilah media sosial
pun belum dipakai seperti saat ini. Walau demikian, di tahun itu, kehadiran media baru sudah
disambut gegap gempita.
Sebagai pengingat situasi kala itu, berikut ini peristiwa penting di tahun 2003: Google baru
mengakuisisi Blogger, Android baru didirikan, Wordpress baru dirilis, Myspace dan Linkedin juga
baru didirikan di tahun itu.
Friendster, yang menjadi generasi pelantar media sosial generasi awal, baru dirilis
setahun sebelumnya, disusul Facebook yang didirikan pada 2004 dan Twitter didirikan pada
2006.
Berikut ini rangkuman butir-butir pemikiran Jakob Oetama yang dibungkus dalam bingkai jurnalisme makna.
Persoalan banjir informasi ini sudah dibahas Jakob. Di paragraf keempat pidatonya, ia mengatakan:
Dewasa ini mulai terdengar pendapat yang bernada mengeluh. Bahwa akhirnya, masyarakat bukan saja kaya akan jaringan informasi, yang teknologi maupun yang tradisional, yang lokal maupun global, masyarakat bahkan kebanjiran informasi.
Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai.
Jakob juga membahas kekhawatiran lanjutan yang dirasakan warga di era melek informasi.
Kekhawatiran itu terkait kontradiksi yang ternyata tak mudah dipecahkan di era teknologi
tinggi.
Simak penuturan Jakob:
Pada satu pihak masyarakat diperkaya dengan jaringan informasi yang didukung teknologi tinggi yang dalam prosesnya meningkatkan akumulasi seperti belum pernah disaksikan sebelumnya.
Namun, di pihak lain, kekhawatiran juga mulai meningkat apakah dengan itu informasi tradisional dihancurkan. Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan.
Jakob melontarkan kritik, apakah fungsi informasi dan komunikasi yang diemban media massa itu sekadar menyajikan informasi dengan memaparkan kejadian dan persoalan?
Ataukah menyajikannya sedemikian rupa sehingga khalayak menangkap dan memahami arti dan makna kejadian dan masalah itu?
Jakob mengutip pandangan CP Scott dari "The Manchester Guardian", yang mengatakan bahwa "Comment is free but facts are sacred". Opini itu bebas, tetapi fakta adalah suci.
Reportase faktual yang memisahkan fakta dan opini berkembang sebagai reportase interpretasi, reportase yang mendalam, yang investigatif, dan reportase yang komprehensif.
Jakob memaparkan, yang disampaikan bukan sekadar fakta menurut urutan kejadiannya, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang disertai latar belakang, proses, dan riwayatnya, dicari interaksi tali temalinya, diberi interpretasi atas dasar interkasi fakta dan latar belakangnya.
“Dicari variabel-variabelnya, dengan cara itu berita bukan sekadar informasi tentang fakta.
Berita itu sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa,”
paparnya.
Jakob percaya, ke depannya, tantangan terberat jurnalisme bukan pada kecepatan, melainkan pada penyajian makna.
Ia menuturkan:
The search of meaning and the production of meaning. Bukankah hal itu berarti, tidak lagi berlaku suatu jurnalisme yang obyektif, melainkan yang berlaku adalah jurnalisme yang subyektif.
Jakob mengutip pernyataan Prof De Volder, ahli etika media dari Universitas Leuven, Belgia. De Volder menyebutnya sebagai obyektivitas yang subyektif.
Tentu, orang akan bertanya, seberapa jauh subyektivitas itu? Jakob memaparkan:
Tentu saja bukan suka atau tidak suka, bukan pula prasangka, tidak juga kepentingan pribadi dan partisan. Subyektif dalam arti, secara serius, secara jujur, secara benar, secara profesional mencoba mencari tahu secara selengkap-lengkapnya, mengapa peristiwa itu terjadi dan apa arti dan maknanya.
Mengutip John C Merrill, Jakob mengistilahkan seorang wartawan itu harus "yang berpikir dan merasa, yang rasional sekaligus sensitif, yang berdedikasi kepada dunia obyektif di luar ‘sana’ dan kepada dunia subyektif di dalam ‘sini’.”
Meminjam kalimat Paul Tillich, Jakob mengatakan, sikap dan cara kerja yang dipersyaratkan adalah orang hidup dalam makna, artinya hidup di atas validitas yang lengkap, yakni validitas akal sehat, estetis, etik, dan religius.
Untuk mewujudkan jurnalisme komprehensif atau jurnalisme obyektif yang subyektif yang profesional, diperlukan modal sosial dan modal intelektual.
Dalam kondisi normal, pekerjaan jurnalisme adalah pekerjaan seleksi. Banyak informasi yang
bertebaran, dan fungsi jurnalisme adalah memilih dan memilah yang sesuai untuk kepentingan
publik. Ini semua membutuhkan modal tersebut.
Kata Jakob, seleksi, memilih, itulah pekerjaan media. Dalam arena informasi dan komunikasi yang
marak, khalayak masih tetap harus memilih. Inilah yang juga menarik dari dinamika media.
Dalam jurnalisme makna, yang dicari bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak, melainkan latar belakang, riwayat, dan prosesnya, serta hubungan kausal ataupun hubungan interaktif.
Menurut Jakob, orang yang membaca media massa bukan sekadar ingin tahu, bukan ingin berwacana saja, melainkan juga ingin memahami arti dan makna peristiwa tersebut.
“Selanjutnya khalayak tidak hanya ingin tahu makna, tetapi juga ke mana arah dan semangat
penyelesaiannya,” papar Jakob.
Setelah mengetahui makna, dan tahu duduknya perkara, dalam persoalan-persoalan yang mendesak dan strategis, pencarian dan pendekatan solusi perlu dipaparkan.
Jakob menegaskan, dalam konteks ini, berlaku tuntutan politics of value bahwa pendekatan dan arah solusi haruslah bermuatan keadilan, persamaan, serta pembelaan kepada yang lemah dan kepada yang banyak.
Masih dari naskah pidato tentang jurnalisme makna, Jakob menekankan dalam konteks memaparkan wacana, tidak lagi memadai bagi sebuah media jika sekadar pendidikan yang mencerdaskan.
“Harus juga pendidikan yang mencerahkan. Bukan saja akal, tetapi akal budi, emosi dan
spiritualitas yang sekaligus ditumbuhkembangkan pada anak dan warga Indonesia,” papar Jakob.
Di samping membahas soal pentingnya media untuk menawarkan wacana yang mencerahkan, Jakob mengingatkan adanya jebakan todologi. Mengitup Carlos Alberto Montano, Jakob menjelaskan todologi ialah kemampuan untuk bicara tentang hal apa pun tanpa sikap tahu diri dan tanpa pengetahuan.
Todologi ini yang ikut membentuk cosmovision Amerika Latin, yakni pandangan hidup yang
mengandalkan ngomong melulu. Jika hanya seperti itu, maka itu bukanlah jurnalisme
makna.
Jakob memaparkan:
Wacana dalam arti yang serius harus disertai usaha sungguh-sungguh untuk memahami persoalan serta bertujuan memperkuat wacana demokrasi. Wacana membuka kesempatan bagi lembaga-lembaga publik untuk berpartisipasi dalam urusan hidup bersama.
Lewat wacana itu masyarakat madani dibentuk dan diperkuat. Selanjutnya masyarakat madani membangun jaringan yang sekaligus merupakan jaringan kultur, nilai dan makna demokrasi dalam masyarakat.
Wacana dalam istilah Anthony Giddens, “democratizing of democracy” merupakan tugas pokok media. Setiap hari orang bisa merasakannya. Termasuk menjelaskan proses demokrasi itu bagaimana serta apa pula tanggung jawab dan tujuannya.
Namun tidak ada salahnya orang belajar dari pengalaman negara Amerika Latin. Janganlah wacana merosot menjadi todologi, asal ngomong dan hanya ngomong!
Jakob masih punya satu istilah lagi yang bisa menggambarkan pekerjaan wartawan dalam konteks jurnalisme makna. Ia kembali mengutip Prof John C Merril, yang membedakan sosok wartawan dengan mengambil tamsil mitologi Romawi, yakni Dewa Apollo dan Dionisius.
Jakob memaparkan:
Tanpa ragu preferensi pilihan ialah kepada sosok wartawan “Apolonisian”. Dilukiskan sosok wartawan Apolonisian sebagai: “pribadi yang berpikir dan merasa yang rasional tetapi juga sensitf, yang peduli terhadap fakta maupun perasaan, yang berdedikasi terhadap dunia obyektif ‘di luar sana’ dan terhadap dunia subyektif ‘di dalam sini’.”
Sosok wartawan dikatakan demikian oleh mahaguru Missouri School of Jurnalism itu sebagai pada esensinya seorang pesinthesa yang rasional, seorang wartawan yang mampu secara sadar mengembangkan falsafah jurnalistik yang menggabungkan ketegangan, kebebasan, akal sehat, dan kewajiban.
Untuk mengetahui kebebasan pers seperti apa yang dibayangkan Jakob Oetama, hal tersebut bisa dilihat dari pernyataan Jakob di bagian akhir pidato. Jakob membahas soal kebebasan pers dengan pengandaian.
Begini paparan Jakob:
Amatlah elokuen jawaban Albert Camus atas pertanyaan, apakah jika pers bebas, dengan sendirinya pers adalah baik. Jawab wartawan dan filsuf Prancis tersebut: “Jika pers bebas, bisa baik, bisa buruk.
Baik untuk pers maupun untuk manusia. Kebebasan ialah kesempatan untuk menjadi baik. Perbudakan adalah kepastian untuk menjadi lebih buruk”.
Tetapi siapa pun membicarakan kebebasan, baik ilmuwan, publik, pemerintah dan media sendiri cenderung tidak akan mengatakannya dengan gagah berani dan amat percaya diri.
Kebebasan ialah kebebasan memilih.
Tampaknya sederhana, tetapi memilih bukan pekerjaan sederhana. Bagaimana cara memilih?
“Pilihan perlu disertai pertimbangan akal sehat, kepekaan, dan komitmen. Bahkan ada yang mengingatkan isyarat Sorean Kierkegaard agar pilihan dilakukan “in fear and trembling in anguish” – dengan rasa takut dan cemas,” papar Jakob.
Kecemasan bukanlah pertanda kelemahan, kecemasan pertanda rasa tanggung jawab. Tugas media seperti “to afflict the powerful and comfort the afflicted” adalah tugas yang disertai kecemasan, yakni kecemasan yang menurut teologi Paul Tillich adalah pertanda serta proses interaksi munculnya keberanian.
Menjadi wartawan itu bukan pekerjaan, tapi panggilan (vocation).
Seperti disebut di atas, bagi Jakob, wartawan bukanlah sekadar pekerjaan, melainkan panggilan. Oleh karena itu, setiap wartawan harus memiliki nilai dalam dirinya yang memberi arti bagi panggilannya itu. Pada diri Jakob, nilai-nilai itu terinternalisasi menjadi dasar bagi perjalanan jurnalistiknya.
Ia tidak pernah bermaksud menyusun sebuah mazhab jurnalistik dengan merumuskan nilai-nilai itu menjadi sebuah catatan terstruktur bagai sebuah buku ajar. Ia mewariskan nilai-nilai itu dalam interaksi panjang di ruang redaksi harian Kompas.
Berikut adalah sejumlah pesan Jakob yang diucapkannnya dalam berbagai kesempatan tentang bagaimana menjadi seorang wartawan Kompas.
Ini adalah ungkapan dalam bahasa Perancis yang arti harafiahnya “Saya sudah tahu”. Istilah ini juga diartikan sebagai “perasaan sudah pernah mengalami situasi yang ada sekarang ini.” (The Free Dictionary by Farlex)
Kapstok atau gantungan baju menyiratkan bahwa ia hanya sekadar tempat untuk
menggantungkan baju. Adakah yang bermakna jika Pak Jakob mengatakan agar wartawan
menjadikan satu peristiwa sebagai ...
Nasihat ini boleh jadi terdengar kontras dengan petuah Jawa yang dulu juga sering disampaikan oleh mendiang Presiden Soeharto, yaitu “ojo gumunan” (jangan mudah terpesona).
Mungkin frase di atas untuk ukuran anak muda Milenial terdengar jadul (zaman dulu)
banget. Emang perkara bisa duduk? Itu mungkin reaksi yang timbul jika
kita menyebutkan istilah ini, “duduk perkaranya” ...
Dalam bahasa Latin, frase ini berbunyi “nil novi sub sole” (atau “nihil sub sole novum”). Ya, tidak ada yang baru di bawah matahari. Boleh jadi pandangan ini sejalan dengan falsafah “ojo gumunan” ...
Satu hal lain yang dipesankan oleh Pak Jakob kepada wartawan adalah agar tidak pasif
saat menangani berita, tetapi sebaliknya, wartawan harus proaktif sehingga tidak
dikendalikan, ...
Terkait tema “Kritik with Understanding”, semangat yang dibawa oleh prinsip ini adalah empati, mencoba memahami kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah, misalnya, dalam menjalankan ...
Arti harfiah frasa ini berarti “Opini itu bebas, tetapi fakta itu suci”. Silakan beropini sesuka hati, tetapi jangan mengubah-ubah fakta. Bicara tentang frasa di atas, kita teringat Charles Prestwich ...
Dalam tulisan pengantar menyambut “40 Tahun Kompas” 28 Juni 2005, Pak Jakob menyinggung frasa di atas, obyektivitas yang subyektif. Ini adalah ucapan pakar komunikasi Belgia De Volder yang cukup ...
Mengelola koran ibarat berlari maraton, aktivitas yang membutuhkan napas panjang dan stamina besar. Peristiwa yang harus diliput bisa saja “jatuh dari langit”, seperti aksi terorisme atau musibah ...
Konteks pernyataan Pak Jakob di atas terkait dengan sikap yang harus diambil untuk kepentingan selanjutnya. Momennya adalah ketika Kompas ditutup seiring dengan maraknya aksi mahasiswa ...
Dengan lahirnya era Reformasi di Indonesia, pers termasuk yang mendapat suasana baru.
Ini karena pada era Orde Baru, pers terbelenggu. Ada rezim SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers) yang sangat ...
Ini adalah ungkapan dalam bahasa Perancis yang secara harfiah berarti “Sebuah koran itu
adalah seorang tuan”.
Pak Jakob eksplisit menyebut ungkapan ini dalam tulisan pengantar menyambut hari
jadi ...
Keputusan menerima persyaratan terbit kembali 5 Februari 1978 dengan mudah bisa membawa orang pada kesimpulan bahwa Kompas lalu akan jadi koran yang lembek, tidak mempunyai nyali lagi ...
Dari perspektif surat kabar, sebenarnya jenis media massa ini belum sempat, atau tidak
pernah, mencapai era kejayaan.
Tatkala jumlah penduduk terus bertambah, mencapai sekitar 200 ...
Kehadiran Kompas secara multimedia adalah niscaya
dan mutlak. Bukan besok, tetapi hari ini.
-Jakob Oetama
Dalam sebuah rapat kerja internal harian Kompas tahun 2009, Jakob pernah berucap, perubahan adalah jati diri media. Perubahan adalah hakikat eksistensi media.
Koran berkembang lewat interaksi setiap hari dengan masalah yang terjadi dan visi misi yang
dikembangkan. Perubahan terjadi tidak hanya dalam hal keserentakan dan kecepatan penyampaian
informasi, tetapi juga menyangkut peningkatan mutu dan pencarian kiat-kiat baru.
Artinya, Jakob ingin mengatakan, media harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Jika
ia tidak berubah maka ia mati.
“Panta rhei kai uden menei. Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap,” kata Herakleitos, filsuf Yunani. Dalam diri media juga terkandung hakikat perubahan itu.
Gagasan-gagasan Jakob tentang bagaimana Kompas harus berubah dapat ditemui di sejumlah
tulisannya.
Tentang jati diri media yang harus adaptif terhadap perubahan zaman, ia pernah menegaskannya dalam tulisannya di harian Kompas 28 Juni 2010 tepat pada ulang tahun ke-45 harian Kompas.
Jati diri lembaga media massa, termasuk surat kabar-sebagai bagian dari ekstensi masyarakat (de Volder)-adalah berubah. Tidak hanya berubah dalam cara, menyampaikan kritik with understanding, teguh dalam perkara lentur dalam cara (fortiter in re suaviter in modo), juga dalam sarana atau alat menyampaikan. (Oetama, Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia, 2010).
Oleh karena itu, tak heran, di rentang sejarahnya yang panjang sejak terbit pertama kali pada 28 Juni 1965, harian Kompas di bawah kepemimpinan Jakob berulang kali mengalami perubahan pada dirinya demi menyesuaikan diri dengan kebutuhan organisasi, peluang bisnis, dan perkembangan zaman.
Pada 1984 harian Kompas pernah mengundang pakar tata letak Roger Black dari Amerika Serikat untuk mendesain ulang wajah surat kabar ini. Hasilnya, harian Kompas kala itu tampil dengan wajah warna-warni.
Perubahan wajah itu ternyata umurnya hanya dua hari. Dalam sebuah rapat pimpinan, Jakob menghentikan kelanjutan wajah harian Kompas yang penuh warna itu. Harian Kompas kembali dicetak hitam putih agar tetap diasosiasikan sebagai koran yang serius.
Wajah harian Kompas yang hitam putih berakhir pada tahun 2005. Pada 28 Juni 2005, dalam usianya yang ke-40, harian Kompas kembali melakukan redesigning (menyangkut tata letak), resizing (menyangkut ukuran), dan restructuring (menyangkut arsitektur rubrikasi).
Kali ini harian Kompas mengundang pakar redesain Mario Garcia dari Amerika Serikat. Butuh waktu 9 bulan untuk merancang perubahan itu. Halaman depan dan sejumlah halamannya kembali berwarna.
Di tangan Mario Garcia, tampilan baru harian Kompas berubah dari sembilan kolom menjadi
tujuh kolom. Logo berubah dari warna hitam menjadi biru. Ada navigasi di sisi kiri. Halaman
iklan terpisah menjadi klasika.
Ukuran harian Kompas juga berubah dari 84 sentimeter menjadi 76 sentimeter. Struktur penamaan rubrik dan penataan halaman juga berubah.
Filosofi dasar perubahan harian Kompas pada tahun itu adalah membuat semua lapisan informasi menjadi tampak (visual), gampang dikenal (visibel), dan didukung metode jurnalistik post-modern, yaitu visual thinking, visuality, dan visibility.
Perubahan terbesar
Namun, perubahan pada wajah cetak secara visual bukanlah perubahan terbesar dalam sejarah harian Kompas. Perubahan terbesar justru terjadi belakangan ini ketika identitas Kompas tidak lagi hanya melekat pada bentuk surat kabar, tetapi berkembang dalam identitas Kompas.com dan Kompas TV.
Perubahan itu tidak terjadi serentak dan tiba-tiba. Perubahan itu adalah hasil dari sebuah
evolusi panjang dan pergulatan tak kunjung henti yang secara perlahan mentransformasikan
entitas Kompas dalam bentuk-bentuk media baru.
Ini mencerminkan apa yang dikatakan Jakob bahwa jati diri media adalah perubahan. Harian Kompas tidak bisa mengelak dari keniscayaan perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi.
Jakob dalam pidato pengukuhannya sebagai doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada 17 April 2003, menguraikan, ada dua faktor yang memengaruhi cara kerja media.
Pertama, revolusi teknologi informasi. Kedua, perubahan dan perkembangan masyarakat yang kini berlangsung dalam interaksi global.
Perkembangan teknologi informasi, kata Jakob, membuat manusia di muka bumi mampu berinteraksi secara global dalam bentuk-bentuk baru yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Lebih lanjut, perkembangan teknologi informasi melahirkan media-media baru yang mampu menaklukkan ruang dan waktu.
Cara manusia berinteraksi dengan dunianya melalui media-media baru itu pun berubah. Perubahan itu terjadi sejak ditemukannya televisi hingga perkembangan teknologi komunikasi masa kini dalam bentuk internet dan segala turunannya.
Ia mencatat, internet memengaruhi media cetak dalam empat hal. Pertama, isi media bergeser dari bentuk seragam ke personal. Kedua, siklus publikasi berkembang dari periodik menuju up to date atau aktual. Ketiga, volume informasi bergeser dari berlebihan (overload) ke selektif. Keempat, audiens, khalayak, atau konsumen tidak lagi pasif menunggu, tetapi mencari atau menjemput bola.
Terhadap perubahan itu, tegas Jakob, media cetak dituntut untuk juga berubah menyesuaikan dirinya. Kata kuncinya adalah adaptasi, inovasi, meninggalkan atau ditinggalkan.
Masa depan
Dalam beragam kesempatan dan dalam sejumlah tulisannya, ia berulang kali mengungkap visinya tentang Kompas di masa depan. Dengan terang benderang ia mengatakan, Kompas di masa depan bukan lagi sebuah surat kabar dalam bentuk kertas.
Kompas tidak bisa mengelak dari situasi kekinian zaman yang diwarnai oleh perkembangan teknologi, perubahan gaya hidup masyarakat, dan perubahan industri media. Kompas, tegasnya, harus ikut berubah.
Berubah seperti apa? Ia menegaskan,
Kehadiran Kompas secara multimedia adalah niscaya dan mutlak. Bukan besok, tetapi hari ini. Kompas masa depan hadir secara multimedia. Lewat beragam sarana dan saluran itu, niscaya semakin produktif, efektif, dan efisien upaya Kompas sebagai lembaga organik dan organis, ekstensi masyarakat yang punya visi memberikan pecerahan bagi masyarakat. (Oetama, Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia, 2010).
Ia mengatakan secara gamblang bagaimana perubahan itu diwujudkan. Menurut dia, Kompas harus bisa diakses melalui beragam saluran informasi dan beragam bentuk. Dalam tulisan yang sama ia menyatakan,
Perilaku yang begitu dinamis dalam cara orang memperoleh informasi mendorong Kompas melakukan "revolusi" internal. Karena itu, sejak awal tahun 2010-sesuai tema korporat "Membawa KG ke Dunia Digital", Kompas menerapkan kebijakan 3M (triple M) multichannel, multiplatform, dan multimedia.
Singkatnya, konten Kompas harus bisa dibaca melalui segala wahana (kertas, komputer, televisi, mobile phone, dan lain-lain). Bentuk konten yang akan di-deliver ke berbagai jenis media tidak hanya berupa teks dan foto, tetapi juga grafis, video, atau gabungan dari semuanya. (Oetama, Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia, 2010)
Dalam tulisan lain ia mengemukakan, demi tujuan 3M itu, Kompas mengembangkan media online dan TV. Ia ingin agar ketiga saluran itu bekerja sama tidak hanya sebagai saluran idealisme mencerahkan masyarakat, tetapi juga sebagai upaya mempertahankan bisnisnya. Jakob realistis ketika mengatakan bahwa setiap media secara inheren mengemban status klasik sebagai sebuah bisnis dan idealisme. Ia menulis,
Sadar akan perubahan, Kompas telah mengembangkan media digital melalui Kompas.com, media online, dan Kompas TV sebagai penyedia konten. Sasarannya adalah untuk menciptakan sinergi media sebagai bagian dari upaya Kompas untuk mempertahankan bisnis kita dan idealisme untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat kita. (Oetama, The Future of Newspaper: Symbiosis of Creativity and Technology, 2012).
Pada bagian lain artikel itu ia menulis,
Saya termasuk orang yang meyakini, bahwa 3M hanya cara penyampaian pesan, dan yang paling penting adalah konten. Konten! Konten! Konten! Apa itu konten? Demokratisasi dan humanisasi. Semua media inheren memiliki status klasik dan peran sebagai bisnis dan idealisme.
Menggunakan 3M untuk membuat orang lebih manusiawi seperti ditunjukkan oleh Steve Jobs yang saya rumuskan sebagai seni memberikan kontribusi untuk kebaikan yang lebih besar dari manusia dan kemanusiaan. (Oetama, The Future of Newspaper: Symbiosis of Creativity and Technology, 2012).
Konvergensi
Jakob memang tidak menyebut sepatah kata pun tentang konvergensi. Akan tetapi, menyimak seluruh
gagasannya, secara substansial apa yang menjadi visi Jakob adalah konvergensi media. Ia
menginginkan konvergensi media yang ia sebut sebagai 3M terjadi pada Kompas.
Secara ringkas, Garcie Lawson-Borders dalam bukunya "Media Organizations and Convergence"
(2006) mendefinisikan konvergensi sebagai “the realm of possibilities when cooperation
occurs between print and broad-cast for the delivery of multimedia content through the use
of computers and the internet.”
Tim Dwyer menegaskan dalam "Media and Convergence" (2010), internet tak pelak merupakan
jembatan yang memungkinkan konvergensi terjadi. “Convergence is a process of
Internetization and mediatization, where traditional media are Internetizing, and the
Internet is mediatizing itself.”
Konvergensi dipandang sebagai peluang bagi media tradisional untuk melekatkan dirinya dengan
teknologi abad ke-21. Teknologi digital memadatkan informasi dan memungkinkan teks, grafis,
foto, dan audio berjalan lintas platform.
Digitalisasi media dan teknologi komunikasi dipandang sebagai alasan yang bersifat imperatif di
balik aksi konvergensi. Atau, dengan kata lain, konvergensi adalah sebuah keniscayaan akibat
perkembangan teknologi.
Menurut Larry Pryor, Guru Besar Annenberg School for Communication University of Southern
California, konvergensi dalam perspektif jurnalisme mengambil tempat di ruang redaksi ketika
para awak redaksi bekerja sama memproduksi beragam konten untuk beragam platform medium demi
menjangkau audiensnya dengan penyajian konten yang interaktif dalam skala waktu 24 jam selama
tujuh hari.
Penjelasan itu memaktubkan, kunci konvergensi adalah working together awak redaksi di
ruang redaksi dalam memproduksi beragam konten untuk berbagai platform.
Pandangan Larry Pryor sejalan dengan pandangan Oetama di atas. Oetama menginginkan agar tiga
entitas itu bersinergi, working together.
“Kompas telah mengembangkan media digital melalui Kompas.com, media online,
dan Kompas TV sebagai penyedia konten. Sasarannya adalah untuk menciptakan sinergi
media sebagai bagian dari upaya Kompas untuk mempertahankan bisnis kita dan idealisme
untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat kita." (Oetama, The Future of Newspaper:
Symbiosis of Creativity and Technology, 2012).
Dengan begitu, Kompas tidak lagi dimengerti hanya sebagai koran, tetapi newsbrand. Kompas
dimaknai secara baru sebagai berita yang kredibel yang dijumpai masyarakat baik melalui harian
Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV yang dapat diakses melalui beragam
medium.
Kehadiran Kompas dalam wujud tiga entitas (cetak, online, dan TV) juga berarti
meluaskan audiensnya. Orang yang disebut audiens Kompas tidak lagi hanya pembaca
koran, tetapi juga mereka yang berkerumun di dunia maya yang notabene berusia lebih muda dan
mulai jarang membaca koran serta pemirsa televisi.
Dengan begitu, suara kalbu Jakob untuk memanusiakan manusia melalui karya-karya jurnalistik
semakin tersebar luas dan mewarnai Indonesia kita.
Kehadiran Kompas secara multimedia
adalah niscaya dan mutlak.
BUKAN BESOK, TAPI HARI INI.
Kompas masa depan hadir secara multimedia.
Lewat beragam sarana dan saluran itu,
niscaya semakin produktif, efektif,
dan efisien upaya Kompas sebagai
lembaga organik dan organis,
ekstensi masyarakat yang punya visi
memberikan pecerahan bagi masyarakat.
- Jakob Oetama