Ini adalah ungkapan dalam bahasa Perancis yang arti harafiahnya “Saya sudah tahu”. Istilah ini juga diartikan sebagai “perasaan sudah pernah mengalami situasi yang ada sekarang ini.” (The Free Dictionary by Farlex)
Melihat uraian di berbagai sumber kita menemukan, betapa luas arti “deja vu”. Remez Sasson (successconsciousness.com) mengajukan tiga pertanyaan:
Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang disebut sebagai dé jà vu. Pengalaman semacam itu dianggap sangat umum bahwa 70 persen orang mengatakan mengalaminya setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Istilah déjà vu kali pertama digunakan oleh Emile Boirac (1851-1917), seorang peneliti kejiwaan Perancis.
Déjà vu bisa muncul, bisa jadi karena seseorang pernah melihat satu gambar atau foto yang mirip dengan situasi yang ia alami sekarang. Orang yang percaya pada reinkarnasi bisa percaya bahwa déjà vu terjadi karena hal itu pernah ia alami di kehidupan sebelumnya.
Déjà vu bisa menjadi bahan kajian panjang lebar dari aspek psikologi, tetapi dari arti harafiahnyalah dikhawatirkan muncul sikap yang tidak kondusif bagi kerja wartawan. Dalam arti, jika wartawan bersikap déjà vu, dikhawatirkan ia tidak tergugah untuk menggali lebih dalam karena semua hal dianggap bukan hal baru, atau satu hal yang menarik.
Ia bisa dengan mudah beranggapan “Oh itu saya sudah tahu”, atau “Oh itu sih orang-orang sudah pada tahu”.
Sikap déjà vu tersirat menggambarkan “sudah tidak ada lagi yang perlu dilaporkan” karena toh semua orang sudah tahu tentang hal yang dibicarakan, atau ditugaskan. Inilah sikap yang dikhawatirkan oleh Pak Jakob.
Jika mengacu pada tafsir ungkapan ini, bisa saja wartawan merasa pernah mengalami satu situasi atau peristiwa di masa lalu, entah kapan, yang membuatnya tidak terheran pada peristiwa yang terjadi saat ini.
Namun, hal seperti itu tentunya tidak selalu terjadi. Bahkan kalaupun hal seperti itu dialami, ia tetap harus meyakini peristiwa yang ia lihat saat ini karena dalam jurnalistik juga ada prinsip aktualitas bahwa yang dilaporkan, yang layak berita, adalah hal aktual, bukan hal yang sudah ketinggalan waktu.
Memang, seperti disinggung pada topik selanjutnya, di dunia tidak ada hal yang baru seperti dikemas dalam peribahasa “Nil novi sub sole” atau “There’s nothing New under the Sun”. Akan tetapi, karena wartawan juga harus “gumunan”, mudah kagum atau terpesona, maka naluri ini pula yang semestinya berkembang.
Jadi kita ingat kembali, bahwa déjà vu punya dua makna. Yang satu bernuansa psikologis, yang lainnya bernuansa “memandang tidak penting” jika bukan “meremehkan”.
Yang terakhir inilah yang sebaiknya jangan dianut oleh wartawan. Pak Jakob berharap wartawan terus memandang peristiwa sebagai satu bahan berita yang mengilhami, memesona, mengejutkan, dan mengundang rasa ingin tahu lebih jauh, dan mengolahnya—dengan antusias—untuk menjadi berita dengan perspektif baru.