Mungkin frase di atas untuk ukuran anak muda Milenial terdengar jadul (zaman dulu) banget. Emang perkara bisa duduk?
Itu mungkin reaksi yang timbul jika kita menyebutkan istilah ini, “duduk perkaranya” boleh jadi lebih tepat secara gramatika mengingat “duduk perkara” merupakan satu kesatuan. Namun, itulah ungkapan umum yang sering disampaikan oleh generasi Pak Jakob.
Di berbagai rapat redaksi, Pak Jakob sering berpesan agar reportase Kompas bisa menjelaskan duduk perkara—atau ihwal permasalahan—satu isu.
Jika ini yang menjadi tuntutan, maka jelas harapan yang disampaikan bahwa laporan harus bersifat lengkap, mendalam, dan lebih dari itu juga bisa menjelaskan ihwal, serba-serbi, seluk-beluk, dan pada akhirnya membuat pembaca tidak perlu bertanya-tanya lagi karena semua hal sudah tuntas dilaporkan.
Jurnalisme “duduk perkara” ini membutuhkan situasi dan kondisi tertentu agar bisa diakomodasi dan dipraktikkan.
Pertama, wartawan harus punya rencana liputan yang matang, dan sebelumnya juga melakukan pengkajian atas peristiwa yang harus ia liput.
Misalkan saja—meminjam contoh aktual—reklamasi di Teluk Jakarta yang banyak diperbincangkan masyarakat. Jadi, sebelum berangkat, ia sudah punya bayangan permasalahan yang akan dia liput, punya daftar narasumber, kesulitan apa saja yang mungkin ia temui di lapangan, dan kerangka liputannya.
Jurnalisme “duduk perkara”—untuk aspek komprehensifnya—mungkin perlu halaman yang lega untuk menampungnya. Di masa lalu, ketika Kompas belum terbit dengan ukuran lebih kecil, dan halaman masih leluasa, genre ini mudah diakomodasi.
Sekarang, ketika halaman makin sempit, praktik jurnalisme “duduk perkara” tetap baik dipegang sebagai pedoman, tetapi ekspresinya membutuhkan keterampilan baru. Di antaranya, wartawan harus bisa menghadirkan “duduk perkara” dalam format tulisan yang ringkas padat (concise). Jelas intro laporan harus lugas, langsung ke permasalahan tanpa kehilangan kejelasan.
Di era visual, wartawan dapat pula, dan memang disarankan, untuk memaksimalkan infografik dan foto untuk mendukung teks liputan. Pada era multiplatform, “duduk perkara” bisa dihadirkan secara lebih komplet tidak saja di media cetak, tetapi juga di online dan audio-visual.
Di satu sisi, jurnalisme “duduk perkara” semakin relevan justru ketika masyarakat sekarang ini dilanda informasi yang limpah ruah.
Bisa dikatakan, masyarakat dewasa ini dalam kondisi tertimbun (overwhelmed) oleh informasi. Bukan hanya banyak, tidak jarang informasi tersebut juga membingungkan. Situasi inilah yang oleh guru jurnalistik Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dikupas dalam bukunya Blur.
Dalam situasi seperti ini, jelas wartawan tidak saja harus mengumpulkan informasi lebih banyak, tetapi ia juga harus punya kejernihan pikiran (dan hati) untuk memilah-milah, mana informasi yang bermanfaat, dan mana yang mengaburkan (kalau bukan menyesatkan).
Dengan segala maksud baik untuk membuat pembaca tidak bertanya-tanya lagi, jurnalisme “duduknya perkara” mendapat tantangan dari “jurnalisme just-to-know”.
Genre ini muncul seiring dengan naik daunnya jurnalisme media online. Meski di media online tersedia space yang lega, sifat dasarnya adalah cepat dan cekak-aos (ringkas, secukupnya saja). Mungkin hal ini dipicu oleh sifat media online yang cepat, dan mempertimbangkan waktu baca orang yang makin pendek.
Pengajar jurnalistik perlu memberi arahan baru kepada mahasiswanya, mana arah yang layak untuk dipilih di era sekarang ini, jurnalisme “duduknya perkara” atau jurnalisme ”just-to-know“. Masing-masing punya argumennya sendiri.
Yang ideal tentu saja masih “duduk perkara yang bisa ditampilkan dalam format baru yang ringkas-padat” dengan persyaratan wartawan bisa menguasai tekniknya.