Dengan lahirnya era Reformasi di Indonesia, pers termasuk yang mendapat suasana baru. Ini karena pada era Orde Baru, pers terbelenggu. Ada rezim SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang sangat dikontrol pemerintah.
Salah satu bukti SIUPP dikendalikan adalah bahwa selama tiga dekade pemerintahan Orba, hanya sekitar 600 SIUPP yang diterbitkan.
Setelah Reformasi, dan sebelum akhirnya dicabut pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, jumlah SIUPP yang ada disebut pernah mencapai sekitar 1.200.
Dari situ saja tampak adanya liberalisasi penerbitan pers. Hal yang ikut serta dalam datangnya era kebebasan politik adalah kebebasan pers.
Kritik terhadap pemerintah, termasuk terhadap Presiden, yang semula sangat terbatas dan hati-hati, bak meniti titian serambut dibelah tujuh, lalu lepas.
Beberapa tahun kemudian sebagian kalangan masyarakat bahkan sempat menilai pers justru telah kebablasan.
Kebebasan yang datang secara mendadak ini berekses pada setidaknya dua hal. Secara manajemen, tidak semua penerbitan baru tanpa SIUPP bisa mengelola usaha dengan baik karena inisiatif menerbitkan media hanya semata didorong euforia.
Akibatnya, tidak sedikit penerbitan baru yang hanya bisa terbit beberapa edisi, gagal berkelanjutan.
Ekses kedua adalah “meledaknya“ jumlah wartawan. Seiring dengan merebaknya penerbitan, bertambah pula jumlah wartawan.
Jika selama masa Orba jumlah wartawan di Indonesia sekitar 6.000 orang, pada era Reformasi jumlah tersebut naik dengan drastis. Hingga dekade kedua abad ke-21, jumlah wartawan di Indonesia ditaksir antara 70.000-100.000.
Inflasi profesi wartawan setelah Reformasi sempat mencengangkan birokrasi dan korporasi. Seorang mantan direktur jenderal di Departemen Penerangan (saat masih ada) terhenyak ketika mengadakan acara yang biasa saja didatangi tidak kurang dari 200 wartawan.
Apakah itu buah “kebebasan dari” (freedom from) Orba yang kita inginkan?
Dari sinilah Pak Jakob mengingatkan bahwa “freedom from” harus diikuti “freedom for”.
Jadi setelah “bebas dari”, pers harus diikuti, “bebas untuk apa”.
Hakikat pernyataan tersebut sangat dalam karena harus direnungkan sungguh-sungguh.
Tentu yang dimaksud Pak Jakob di sini adalah agar wartawan tetap setia menjalankan fungsi pers seperti yang dinyatakan oleh David Randall dalam bukunya, Universal Journalist, atau setia pada masyarakatnya sebagaimana disampaikan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism.
Lebih dari itu, Pak Jakob terus mengingatkan agar di atas fungsi universal, wartawan Indonesia juga berkontribusi pada upaya membangun keindonesiaan.
Jadi ringkasnya, kebebasan yang hanya digunakan untuk mengkritik pemerintah atau presiden, meski masih dalam lingkup pelaksanaan fungsi jurnalistik, belum cukup.
Dulu pada masa krisis tahun 1998, wartawan Kompas diminta agar menggali ide, apa yang sekiranya bisa membangkitkan semangat masyarakat untuk keluar dari krisis.
Kadang saking praktis dan pragmatisnya, media harus menjadikan beritanya bisa bermanfaat langsung. Istilah yang muncul pada waktu itu “the news that you can use”.
Tanpa harus terjun ke dalam berita atau fitur berkategori “how to”, media dan wartawannya harus bisa menghadirkan berita dan tulisan yang mengilhami (inspiring), membuka wawasan baru tentang peluang usaha atau investasi.
Dalam ranah pemikiran, isi koran harus bisa memberi pencerahan pada masyarakat dan bangsa. Dus, ada makna dan manfaat dari kebebasan.
Ditempatkan dalam konteks kondisi tahun 2016, ketika kondisi perekonomian masih belum kunjung membaik, juga masalah kebangsaan lain seperti intoleransi masih sering merepotkan, “freedom for” mendapat gaung lebih aktual dan bobot urgensi.