Kapstok atau gantungan baju menyiratkan bahwa ia hanya sekadar tempat untuk menggantungkan baju. Adakah yang bermakna jika Pak Jakob mengatakan agar wartawan menjadikan satu peristiwa sebagai kapstok?
Tentu ini saran Pak Jakob agar wartawan tidak puas diri dengan apa yang ia liput—ia dengar dan ia lihat—dari sebuah peristiwa.
Misalkan saja seorang wartawan ditugaskan meliput letusan sebuah gunung berapi. Bisa saja ia menulis laporan bahwa letusan terjadi pada pukul 12.00 WIB, dan letusan disertai fenomena piroklastik (atau wedhus gembel untuk Gunung Merapi).
Ia juga bisa menambahkan bahwa dari apa yang ia lihat dan dengar, ada ribuan penduduk di sekitar gunung berapi tersebut yang mengungsi akibat letusan gunung.
Namun, untuk mengikuti anjuran menjadikan peristiwa sebagai kapstok, itu saja belum cukup.
Jika kita renungkan, menjadikan peristiwa sebagai kapstok dimaksudkan untuk menjadikan laporan jurnalistik yang bermutu, setidaknya lengkap, komprehensif. Bukan hanya itu. Dalam keyakinan Pak Jakob, laporan jurnalistik yang baik juga memberi pembacanya pemahaman akan makna peristiwa tersebut.
Di sini, wartawan bisa menumpahkan pengetahuan yang dia miliki. Jadi dalam hal letusan gunung, sebelum berangkat meliput, ia sudah punya catatan data tentang riwayat gunung tersebut, kapan terakhir meletus, gunung tersebut tipe apa, apa karakteristik letusannya, kapan letusan yang hebat, juga bagaimana kaitannya dengan Cincin Api, dan sebagainya.
Untuk ini, wartawan harus mengerjakan pekerjaan rumahnya, yaitu membaca dan mengumpulkan informasi di bidang spesialisasinya. Hal ini diharapkan bisa membuat wartawan yang meliput tidak datang ke satu peristiwa dengan pikiran kosong, “tanpa bekal“.
Di masa lalu, mungkin buku masih tidak mudah diperoleh sehingga rajin berinteraksi dengan narasumber, berdiskusi tentang masalah aktual, atau masa lalu yang relevan (untuk memberi perspektif kesejarahan) menjadi jalan keluarnya.
Dalam era jurnalisme online, tuntutan peristiwa sebagai kapstok dibuat jadi lebih mudah, yaitu dengan memberi hypertext (dengan memberi warna berbeda dengan teks lain, dan memberi garis bawah) untuk istilah atau hal penting lain.
Adanya fasilitas hypertext membuat jurnalisme menjadi lebih kontekstual, tanpa menyebabkan pembaca harus kehilangan arah (disoriented, atau distracted) karena lalu terpikat pada hal-hal lain di luar topik utama.
Bisa dikatakan, visi Pak Jakob tentang “peristiwa sebagai kapstok” di era jurnalisme online telah difasilitasi oleh internet. Hanya saja pada sisi ini, wartawan harus tetap kritis melihat sumber yang diacu, apakah kredibel atau tidak.
Terkait dengan “mengerjakan PR”, pada era sekarang ini, hal tersebut juga bisa dilakukan dengan cara “crash program”, yakni dengan bertanya pada “Mbah Google”. Namun, di sini pula wartawan perlu mengembangkan sikap hati-hati, mengingat dengan segala penghargaan atas manfaatnya, internet juga merupakan sumber informasi yang untuk memanfaatkannya dibutuhkan ketelitian.
Walau demikian, nasihat untuk menjadikan peristiwa sebagai kapstok memberi kesempatan kepada reporter untuk mengembangkan diri menjadi sosok wartawan yang andal, yang mau bekerja lebih untuk melengkapi beritanya, sehingga yang muncul adalah jurnalisme yang berbobot.
Jika hal itu dilakukan, bukan saja media tempat wartawan bekerja dikenal sebagai media yang berbobot, tetapi dengan laku itu pula masyarakat pembaca juga mendapat informasi dan pengetahuan yang lebih banyak, dan bertambah pula wawasannya.