Konteks pernyataan Pak Jakob di atas terkait dengan sikap yang harus diambil untuk kepentingan selanjutnya. Momennya adalah ketika Kompas ditutup seiring dengan maraknya aksi mahasiswa di berbagai kota menjelang Sidang Umum MPR tahun 1978.
Tuntutan yang disampaikan oleh mahasiswa langsung menusuk jantung kekuasaan saat itu, yakni “tidak setuju Soeharto dicalonkan kembali sebagai presiden.”
Merespons aksi mahasiswa tersebut, pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan sikap keras. Kampus, seperti ITB, diduduki selama beberapa bulan, serta 12 koran dan majalah, termasuk Kompas, dilarang terbit pada tanggal 21 Januari 1978.
Berikutnya, pemerintah menawarkan penerbitan kembali media yang ditutup asal pimpinannya bersedia meminta maaf dan menandatangani kesepakatan yang terdiri dari empat butir utama, yakni tidak mengkritik Keluarga Pertama (First Family, atau Keluarga Presiden); tidak mengungkit dwi-fungsi ABRI; tidak menulis tentang suku, agama, ras, antargolongan (SARA), dan tidak menulis hal yang memperuncing konflik.
Menerima atau tidak menerima persyaratan itulah yang melahirkan ungkapan di atas.
Senior Pak Jakob, yakni Pak PK Ojong, menyatakan sikap tidak setuju, menganggap persyaratan tersebut terlalu berat dalam arti terbuka tafsir sangat lebar, yang hasil akhirnya menempatkan pengelola surat kabar dalam posisi lemah dan penguasa lebih kuat lagi.
Namun, Pak Jakob berargumen bahwa perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya lewat media massa. Dikatakan pula bahwa “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak bisa diajak berjuang.” (Lihat St Sularto, Syukur Tiada Akhir, hal 9-10)
Di sinilah terlihat bagaimana perbedaan sikap dan pandangan kedua pendiri Kompas. Pak Ojong keras, dan dengan itu getas – mudah patah.
Namun, toh kemudian bisa diyakinkan Pak Jakob untuk menerima tawaran penguasa, dan selanjutnya menyerahkan urusan keredaksian kepada Pak Jakob, yang lalu mengambil alih tanggung jawab.
Hal yang ikut dipikirkan selain sarana perjuangan adalah nasib 2.500 karyawan yang ada di lingkungan Kompas waktu itu.
Keputusan Pak Jakob untuk menyetujui persyaratan terbit kembali Kompas pada 5 Februari 1978 di satu sisi mungkin meninggalkan rasa kalah atau tunduk, tetapi pada sisi lain itu berkah bagi kelanjutan Kompas, yang pada 28 Juni 2016 mencapai usia 51 tahun.
Riwayat Kompas akan terhenti sebagaimana penerbitan lain yang diberedel untuk selamanya pada era itu.
Pak Jakob – hingga lama sesudah itu – masih sering mengulang cerita tentang pengambilan keputusan yang diambilnya bersama PK Ojong awal Februari 1978. Dengan segala kompleksitasnya, Pak Jakob menyatakan bahwa keputusan itu benar.
Hal yang menarik, dalam kaitan penutupan – dan penerbitan kembali – Kompas ini, Pak Jakob sering mengulang cerita tentang pertemuannya dengan Pak Harto dalam peringatan Hari Pers Nasional ke-32 pada 9 Februari 1978 di Solo.
Saat bersalaman dengan Pak Harto, Pak Jakob mendengar presiden kedua RI tersebut – sambil tersenyum – mengatakan “Ojo meneh-meneh”.
Kalimat ringkas ini – yang diucapkan dalam senyuman khas – begitu berkesan mendalam di hati dan benak Pak Jakob.
Bisa saja Pak Harto mengucapkan kalimat tersebut tanpa maksud apa-apa. Namun, yang lebih masuk akal, kalimat tersebut sungguh penuh arti. Arti paling ekstremnya adalah “jika kau ulang, tak ada ampun lagi.”
Kembali pada judul topik ini, sebagai generasi penerus pasca-pemberedelan 1978, jelas penullis melihat keputusan Pak Jakob dan Pak Ojong sungguh berarti. Sebab, tanpa keputusan itu, mustahil pula ada wartawan yang diterima setelah koran ditutup, dan tentu juga tidak akan lahir buku ini.