Keputusan menerima persyaratan terbit kembali 5 Februari 1978 dengan mudah bisa membawa orang pada kesimpulan bahwa Kompas lalu akan jadi koran yang lembek, tidak mempunyai nyali lagi untuk mengkritik penguasa.
Namun, penulis yang bergabung dengan Kompas sejak akhir 1981 menjadi saksi bahwa ternyata kekhawatiran Kompas lalu menjadi koran yang tidak mempunyai daya kritis lagi terhadap penguasa dan praksis kekuasaan tidak benar.
Buktinya ada, antara lain berupa teguran, juga dipanggil oleh penguasa manakala ada berita yang dinilai eksesif atau tendensius.
Bukti juga ada pada papan putih di ruang redaksi yang berisi catatan tentang telepon dan peringatan yang diterima redaksi dari penguasa yang tidak berkenan atau marah terhadap berita Kompas.
Dalam hal ini, sekalipun Kompas tidak secara eksplisit mengkritik empat soal yang disepakati 5 Februari 1978, teguran bahkan ada untuk pemberitaan soal ekonomi, seperti kelangkaan pupuk atau jumlah orang miskin.
Ini juga bisa dimengerti karena mendiang Presiden Soeharto dekat dengan dunia pertanian sehingga pertanian pun sebenarnya termasuk isu yang sensitif.
Diakui bahwa mengelola pers pada era Orde Baru memang bisa diibaratkan “meniti titian serambut dibelah tujuh” karena banyaknya hal sensitif yang bisa muncul, meskipun sebenarnya bagi pimpinan Kompas hal ini sudah dipahami dan bisa dikelola.
Tetap adanya frasa di atas, yang berarti “menghanyutkan diri, tetapi tidak terhanyut”, dalam hal ini justru harus dilihat sebagai strategi cerdas dari Pak Jakob untuk bisa terus menyampaikan pemberitaan kritis, tetapi dengan cara yang lebih akseptabel (oleh penguasa).
Memang harus diakui, terhadap kiat ini, Kompas bukannya tanpa sindiran. Munculnya citra “jurnalisme kepiting” – yang dikemukakan oleh mendiang wartawan Rosihan Anwar, dan berkonotasi ”lebih baik cari jalan memutar daripada harus berkonfrontasi”, adalah satu di antara pandangan atau citra yang muncul.
Kontra argumen terhadap citra tersebut muncul, baik yang terkait dengan upaya untuk mengamankan bisnis dan lapangan kerja maupun menghormati kesepakatan 5 Februari 1978
Akan tetapi, di luar itu, memang tekad dan falsafah yang dianut Pak Jakob adalah mengutamakan terjaganya eksistensi Kompas sebagai wahana perjuangan demokrasi dan pencerahan masyarakat.
Kompas tidak keli karena wartawan yang sudah memahami “seni jurnalistik” era Orde Baru paham bagaimana menulis pemberitaan kritis yang akseptabel, tanpa kehilangan substansi.
Misalnya saja, pesan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) – fenomena yang mencolok sekali pada era itu – diangkat dengan menulis perbandingan dengan negara lain yang bisa mencapai kemajuan karena menerapkan praktik demokratis dan antikorupsi seperti Korea.
Atau, melalui laporan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga kredibel di luar negeri, seperti yang mengeluarkan indeks tentang korupsi, atau pembangunan manusia.
Dalam Tajuk Rencana pun, ungkapan kritis yang dikemas dengan halus (read between the lines) tetap terbaca.
Hingga saat-saat terakhir menjelang berakhirnya rezim Orde Baru, Kompas tetap mengangkat berita yang sebenarnya sensitif untuk masa itu, seperti tentang krisis keuangan 1997/98, atau niat Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri pada bulan Mei 1998 saat masih di Mesir untuk mengikuti KTT G-15.
Dari berbagai berita yang muncul sejak terbit kembali dari pemberedelan 1978, atau secara keseluruhan sejak terbitnya, Kompas bisa saja di sana-sini terkesan ngeli, tetapi pasti tidak keli.