Dalam tulisan pengantar menyambut “40 Tahun Kompas” 28 Juni 2005, Pak Jakob menyinggung frasa di atas, obyektivitas yang subyektif. Ini adalah ucapan pakar komunikasi Belgia De Volder yang cukup sering disampaikan oleh Pak Jakob.
Sekilas, ungkapan ini kontras dengan ungkapan lain yang disitir dari CP Scott “comments are free, facts are sacred”. Sebab, lazimnya yang obyektif adalah fakta, dan yang subyektif adalah opini.
Apa penjelasannya?
Di lapangan, wartawan – dengan dilandasi oleh kompetensi dan kode etik – mengumpulkan fakta. Berikutnya ia menyusun berita berdasar fakta yang ia peroleh di lapangan tadi. Sampai di sini, ia memang bekerja berdasar fakta, dan dengan itu prosesnya tak diragukan lagi bersifat obyektif.
Pada sisi lain Pak Jakob menjelaskan bahwa setiap surat kabar memiliki kebijakan redaksi (editorial policy), juga kebijakan perusahaan. Ditambahkan pula bahwa pada surat kabar juga menempel sosok (un journal c’est un Monsieur), yang ikut pula mewarnai arah dan corak pemberitaan.
Semua faktor di atas berinteraksi dengan berita lapangan yang “apa adanya”. Di ruang redaksi, oleh editor, berita disunting dan dikemas hingga berita tersebut mungkin lebih menonjolkan fakta tertentu daripada fakta yang lain.
Interaksi itulah yang lalu menghasilkan subyektivitas. Subyektivitas di sini tak semata memasukkan hal subyektif, tetapi juga memperkayanya dengan investigasi mendalam.
Hasilnya bukan saja laporan komprehensif, yang merupakan urutan fakta kejadian, fakta linier, melainkan fakta yang mencakup, disertai latar belakang, proses, dicari tali-temalinya, diberi interpretasi atas dasar interaksi fakta, dan latar belakangnya.
Dengan cara itu, berita bukan sekadar informasi tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna peristiwa. (St Sularto, Syukur Tiada Akhir, hal 51-52)
Dengan penjelasan tersebut, jelaslah peranan wartawan yang sangat besar dalam mengonstruksi berita – mulai dari mencari hingga mengolah dan menyajikan, yang semuanya itu dipandu oleh kebijakan redaksi, tetapi juga memberi ruang luas kepada wartawan untuk memperlihatkan empati dan sudut pandangnya, bukan dengan mengubah fakta, melainkan dengan memilih fakta yang sesuai dengan interpretasinya.
Masuk akal jika De Volder memunculkan pernyataan obyektif yang subyektif. Tanpa harus mengubah fakta, para wartawan menghadirkan berita yang sama, tetapi dengan sudut pandang berlainan.
Realita obyektif yang subyektif ini, dari satu sisi, amat bermanfaat bagi pembaca. Bayangkan jika wartawan sekadar menghadirkan fakta dasar dan linier, niscaya semua koran akan hadir tanpa beda.
Misalnya saat kandidat Joko Widodo dinyatakan Komisi Pemilihan Umum sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2014, dan wartawan meliput tanpa keterlibatan subyektif, pastilah keesokan harinya semua koran akan hadir dengan susunan berita yang lebih kurang serupa.
Menurut faktanya, berita Jokowi menang memenuhi kriteria “sacred” yang dimaksud Scott, tetapi bagaimana menghadirkan reaksi ibu dan keluarga presiden terpilih setelah KPU mengumumkan hasil perhitungan suara, bagaimana respons pasar atas kemenangan tersebut, atau bagaimana reaksi Koalisi Merah Putih, tidak disangsikan lagi merupakan pemilihan subyektif masing-masing koran.
Dari sini pula konsumen media bisa menentukan akan memilih koran mana, atau kanal TV mana, karena subyektivitas di atas obyektivitas itulah yang menjadi pembeda setiap media.