Arti harfiah frasa ini berarti “Opini itu bebas, tetapi fakta itu suci”. Silakan beropini sesuka hati, tetapi jangan mengubah-ubah fakta.
Bicara tentang frasa di atas, kita teringat Charles Prestwich Scott (1846-1932), seorang wartawan Inggris yang juga penerbit (publisher) dan politikus. Scott juga editor harian Manchester Guardian, yang kini menjadi The Guardian, dari tahun 1872 hingga 1929, dan menjadi pemiliknya dari tahun 1907 hingga ia meninggal tahun 1932.
Frasa di atas muncul dalam esai yang ia tulis untuk menandai seabad harian Manchester Guardian pada tahun 1921. Di situlah Scott menyampaikan pandangannya tentang peran surat kabar. Ia mengatakan, antara lain, bahwa tugas utama (primary office) sebuah surat kabar adalah pemberitaan yang akurat, dan di sinilah ia menyebut bahwa “Comment is free, but facts are sacred.”
Menurut Scott, sebuah surat kabar harus bertanggung jawab dan harus menghadirkan fakta sejati saja, selain harus akurat. Kalimatnya yang terkenal di atas memberi kita gambaran tentang keyakinannya tentang wartawan dan editor yang bertanggung jawab. (thefamous people.com; theguardian.com, 29/11/2002)
Pak Jakob menyebut ini tampaknya untuk menegaskan kembali bahwa yang dimuat di Kompas, kecuali di halaman opini, adalah fakta semata, tidak ditambah atau dikurangi.
Tentu saja untuk meresapi hal ini, wartawan perlu dari awal membiasakan diri, mendisiplinkan diri, untuk tidak mencampuradukkan antara fakta dan komentar atau opininya.
Sejauh menyangkut fakta dasar, seperti nama, tempat, dan waktu, boleh jadi semua itu fakta yang masih mudah dibiarkan apa adanya. Namun, kejadian atau peristiwa sering kali ada konteks, ada latar belakang. Di sinilah bisa jadi terbuka ruang untuk godaan menambah kesan, atau dalam konteks jurnalisme mutakhir disebut “memberi framing”.
Dalam kasus lain, faktanya obyektif, tetapi porsinya tidak berimbang sehingga, misalnya dalam pilkada atau pilpres, satu media dicitrakan lebih condong pada kandidat A, sedangkan media satunya condong pada kandidat B. Wacana pun lalu beralih ke independensi.
Berjarak hampir seabad dari sejak Scott menyampaikan pandangannya, tentu saja sudah ada banyak perkembangan dalam pemikiran ataupun praksis jurnalistik.
Satu hal yang bisa ditambahkan adalah berita hadir tidak dalam ruang vakum. Berita hadir di tengah lingkungan masyarakat yang untuk hal tertentu sangat terfragmentasi atau terbelah, seperti halnya saat Pilpres 2014.
Berita juga hadir di tengah masyarakat yang mempunyai sudut pandang masing-masing. Berita tentang Bu Saeni, pemilik warung nasi di Kota Serang yang tetap buka pada bulan Ramadhan 1437 Hijriah (2016), lalu dirazia Satpol PP, diterbitkan dengan pakem jurnalisme biasa, dengan fakta yang sakral, apa adanya.
Memang, oleh perkembangan media sosial, berita tersebut dengan cepat menyebar secara viral, menggerakkan empati masyarakat. Toh, berita dengan fakta sakral di atas tidak sepenuhnya dianggap “benar, apa adanya” oleh sebagian kalangan masyarakat.
Di sini, dan di sejumlah kutipan lain yang disampaikan oleh Pak Jakob, pemerhati perkembangan pers bisa mengkajinya lebih jauh.
Sebagai pedoman, pernyataan Scott masih baik kita ikuti, sekali lagi untuk tidak mencampurkan fakta dan komentar atau opini. Akan tetapi, dari sekilas contoh tentang pemberitaan pilpres dan Bu Saeni, terasa betul betapa sederhananya pedoman itu.
Kebebasan berekspresi, makin kuatnya pengaruh pemilik media di ruang redaksi (newsroom), serta terbuka luasnya ruang tafsir, menguatkan kesan betapa menangani berita pada abad ke-21 sungguh berbeda dengan era awal abad ke-20.