Dari perspektif surat kabar, sebenarnya jenis media massa ini belum sempat, atau tidak pernah, mencapai era kejayaan.
Tatkala jumlah penduduk terus bertambah, mencapai sekitar 200 juta jiwa pada tahun 1990-an, tiras media cetak termasuk surat kabar Indonesia hanya sekitar 14 juta.
Koran sendiri hanya sekitar 5 juta eksemplar.
Kompas sebagai koran terbesar di Tanah Air saat itu bertiras lebih kurang 500.000 eksemplar. (Tiras tertinggi dicapai saat Perang Teluk tahun 1991, yaitu sekitar 650.000 eksemplar.)
Sempat disiapkan rencana untuk meningkatkan oplah ke angka 750.000, bahkan 1.000.000, tetapi – di luar upaya yang dilakukan – angka impian tersebut tak pernah dicapai.
Tentu saja rasio ideal antara tiras koran dan jumlah penduduk sebagaimana pernah dinyatakan oleh UNESCO, yakni 1 koran untuk 9 penduduk, tidak pernah dicapai, karena rasio terbaik yang ada saat itu adalah 1 koran untuk sekitar 40 penduduk.
Seiring perkembangan waktu, alih-alih menjadi lebih besar, tiras koran malah semakin tertekan oleh bangkit dan bertumbuhnya media digital.
Memang pada tahun 2015 tiras koran di Indonesia disebut mencapai 25 juta eksemplar, tetapi jika pun angka itu valid, perkembangan ada di daerah, di mana infrastruktur teknologi-informasi-komunikasi (TIK/ICT) belum semaju seperti di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa.
Alasan lain yang bisa disebut mengapa koran di daerah maju adalah karena banyaknya agenda pemilu kepala daerah (pilkada), hajatan ketika para kandidat membutuhkan media untuk kampanye via media konvensional.
Kini, nasib surat kabar masih terus dibayang-bayangi oleh makin majunya media digital, yang semakin fleksibel aksesnya dengan gawai (gadget) yang memfasilitasi aktivitas mobile, juga tesis yang muncul seperti pada buku The Vanishing Newspaper karya Philip Meyer yang meramalkan kepunahan surat kabar pada awal dekade 2040-an.
Namun, selain faktor media digital, ada faktor lain yang sempat disinggung Pak Jakob, yakni kultur yang ada di masyarakat.
Pada masa lalu, saat dunia televisi Tanah Air belum maju, dan kala yang ada hanya TVRI, sempat muncul harapan bahwa media cetak bisa berkembang seiring dengan upaya meningkatkan minat baca.
Dari awal disadari bahwa kultur yang dominan masyarakat Indonesia adalah menonton (viewing), bukan membaca (reading).
Masyarakat penonton sudah nyata dalam berkembangnya seni tradisi pada masa lalu, juga ketika televisi hadir.
Duduk melihat gambar hidup, mungkin sambil bersantai di sofa, lebih memberi suasana santai dibanding membaca.
Namun, Pak Jakob sendiri percaya bahwa membaca lebih mengembangkan pikiran karena jika pembaca tidak paham maksud satu baris, ia bisa berhenti atau mengulang dari atas, satu proses olah nalar yang memintarkan.
Tetapi, siapa pun kini menyaksikan bahwa sementara tiras koran, atau laju penerbitan buku masih biasa saja, jumlah stasiun TV semakin banyak.
Di lingkungan media digital pun, teks tidak dominan lagi karena konten video semakin kaya, dan infrastruktur telekomunikasi – misalnya dengan 4G LTE (Long Term Evolution) – sudah mampu mendukung lalu lintas data besar dan siaran video (video streaming).
Dengan tayangan video dalam jurnalisme konvergen atau jurnalisme multimedia, berita menjadi lebih hidup, dan audiens (istilah yang meniscayakan bahwa konsumen berita tidak hanya pembaca, tetapi juga penonton) lebih bisa menangkap konteks secara lebih cepat dan lebih kaya.
Bisa saja dikatakan itu lebih ke pemuasan rasa ingin tahu inderawi, yang ada dalam tataran permukaan, belum ke perenungan dan penghayatan makna. Tetapi, itulah yang hidup dalam industri media modern.
Secara kultural, semua itu memang akan mengukuhkan tradisi menonton masyarakat.