Mengelola koran ibarat berlari maraton, aktivitas yang membutuhkan napas panjang dan stamina besar. Peristiwa yang harus diliput bisa saja “jatuh dari langit”, seperti aksi terorisme atau musibah transportasi, atau yang harus digali sendiri, sesuai dengan misi Kompas untuk mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat.
Misi ini seolah-olah merupakan “a never ending business”. Bisa jadi, manajemen atau wartawan yang menjalankannya kehabisan napas, hal yang tentunya tidak boleh. Justru sebaliknya, wartawan harus setiap waktu “alert” (siaga) dan kreatif.
Jika kreativitas merosot, kurang semaraklah koran. Dengan demikian, menjaga agar koran selalu segar dan pembaca tidak bosan dengan menu yang disajikan menjadi pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh redaksi.
Untuk menangani sebuah isu agar pembaca tidak bosan, Pak Jakob menyampaikan kiat agar wartawan harus bisa “akting bak koboi jagoan”.
Ia harus dengan gagah masuk ke satu kota yang rusuh karena gangguan penjahat. Sang jagoan harus tangkas dan sigap membasmi penjahat , dar der dor, sehingga aksi tak berlangsung lama, dengan suasana yang terbangun pun dinamis.
Setelah usai, mission accomplished, sang koboi harus bergegas meninggalkan kota dan menjalankan misi berbeda di kota lain.
Di sini yang diingatkan oleh Pak Jakob adalah, wartawan dan media haruslah sigap menangani persoalan dan tidak mudah puas diri.
Pesan itu hingga hari ini tentu saja relevan, lebih-lebih ketika peristiwa demi peristiwa terjadi begitu dinamis. Belum lagi satu peristiwa usai dikupas, sudah muncul kejadian lain.
Di satu sisi, masalah datang bertumpuk-tumpuk, seolah tak menyisakan ruang untuk bernapas, tetapi di sisi lain misi dan tanggung jawab terus ada di pundak. Jadi itulah sekilas gambaran tentang tugas dan tanggung jawab pers dan wartawan.
Lebih dari sekadar mengupayakan laporan segar ala “koboi masuk kota”, wartawan masih harus terus-menerus meningkatkan kemampuan diri, tidak cepat merasa puas diri.
Terkait dengan ungkapan “bak koboi masuk kota”, hal ini seolah mengingatkan bahwa pers sekadar menjadi “juru lapor”, bukan crusader yang giat memburu solusi, atau setidaknya mendapatkan kejelasan duduk perkara satu masalah.
Boleh jadi di sini tampak pula kebijakan redaksional Pak Jakob dalam mengelola Kompas, di mana penyampaian kritik tidaklah harus sampai membuat pihak yang dikritik terpojokkan, dipermalukan. Hal yang utama adalah apa yang memang secara esensial perlu disampaikan sudah disampaikan.
Sekali lagi, hal ini mungkin kontradiktif dengan pesan lain Pak Jakob yang juga mengharapkan wartawan tahu satu masalah hingga ke akarnya, atau sampai pada unsur kedalaman tertentu yang bisa membuat duduk perkara menjadi gamblang.
Frasa ini tampaknya lebih dimaksudkan untuk menggugah dinamisme dalam peliputan agar satu masalah ditangani dengan cepat, lugas, dan tidak bertele-tele. Semangat seperti ini terlihat cocok pada era jurnalisme digital yang memang mengutamakan dinamisme.