Terkait tema “Kritik with Understanding”, semangat yang dibawa oleh prinsip ini adalah empati, mencoba memahami kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah, misalnya, dalam menjalankan tugasnya.
Menganut paham ini, kritik tetap disampaikan, tetapi dengan cara yang halus, santun, dan secukupnya. Segala sesuatu, menurut Pak Jakob, haruslah terukur, tidak berlebihan.
Bagi redaktur yang menangani berita sehari-hari,pesan di atas perlu ditafsirkan dari dua sisi.
Pertama, seberapa lama dan intens satu berita yang bersifat kritis, seperti penanganan macet mudik Lebaran, atau kelaparan di satu tempat, mesti diterbitkan? Kedua, bagaimana isu tersebut harus diberitakan?
Untuk yang pertama, biasanya Pak Jakob akan menelepon redaktur terkait, atau menyampaikan pada rapat pagi bahwa berita tersebut sudah cukup menjadi headline.
Pak Jakob tidak secara lugas melarang wartawan menulis berita tentang isu yang dimaksud, tetapi sekadar menyampaikan, “Mestinya sudah cukup kan? (setelah tiga hari berturut-turut mengangkat isu tersebut sebagai berita utama)”
Menyusul pertanyaan seperti itu, wartawan lalu mengecilkan berita, dan mungkin juga tidak memuatnya di halaman depan lagi.
Untuk pertanyaan “Bagaimana isu tersebut harus diberitakan?”, jawabannya jelas: Tidak secara lugas atau dengan bahasa keras.
Pada era pra-Reformasi, kegagalan menerapkan prinsip tersebut bisa berujung pada peringatan keras atau pemberedelan.
Apa yang dialami oleh sejumlah penerbitan pers pada masa lalu menjadi contoh yang gamblang bahwa pemerintah (pada masa itu) tidak bisa menerima kritik yang dengan gamblang, secara keras menyalahkan, mengecam, atau memojokkan pihaknya.
Boleh jadi, dengan hadirnya era kebebasan pers, pandangan Pak Jakob terdengar sebagai warisan jurnalistik masa lalu. Pers tidak perlu lagi menerapkan kebijakan seperti itu.
Namun, meski zaman telah berubah, tradisi di atas secara umum masih dianut oleh Kompas. Dalam arti, pemberitaan sekritis apa pun, hendaknya dilakukan dengan santun dan secukupnya.
Pernah ditanyakan mengapa, bahkan ketika era kebebasan pers sudah hadir, Kompas tetap menempuh cara “alusan” dalam pemberitaan. Mengapa kritik tak disampaikan saja dengan gaya bak singa mengaum?
Ternyata Pak Jakob tetap yakin (firm) bahwa dalam menyampaikan kritik, yang “dari sononya” sudah menjadi ciri pers, caranya bisa berbeda-beda, dan Kompas tetap memilih “gaya lama”.
Hal yang penting, kata Pak Jakob, bahwa pesan yang ingin kita sampaikan sampai ke tujuan. The message gets across.
Pilihan tentang penyampaian kritik ini sejalan dengan kebijakan lain bahwa yang lebih penting adalah fungsi menyampaikan kritik dapat terus dijalankan.
Ini lebih penting daripada koran tidak dipercaya lagi karena sudah dipandang sebelah mata oleh pemerintah (the power that be), atau institusi dan korporasi, yang telanjur apriori terhadap Kompas.
Di sini Pak Jakob berusaha menjadikan Kompas sebagai institusi yang tulus, kredibel, tidak mempunyai maksud dan kepentingan lain kecuali kemaslahatan masyarakat dan bangsa. Dengan demikian, jika mengkritik pun, itu bukan karena semata tidak senang, melainkan karena ingin satu hal diperbaiki, lebih ke substansinya daripada ke orangnya.
Tentu saja ada pertimbangan lain, yaitu bahwa kelangsungan fungsional lebih penting daripada pilihan garis keras, tetapi esoknya koran ditutup, dan tak bisa lagi menjalankan fungsinya.
Pak Jakob bersikap realistis bahwa lebih esensial daripada cara menyampaikan adalah harapan agar pesan yang disampaikan didengar oleh pihak yang dituju.