Dalam bahasa Latin, frase ini berbunyi “nil novi sub sole” (atau “nihil sub sole novum”). Ya, tidak ada yang baru di bawah matahari. Boleh jadi pandangan ini sejalan dengan falsafah “ojo gumunan” karena semua itu sebenarnya sudah ada di alam, hanya mungkin manusia baru menemukan atau mengetahuinya.
Dalam bekerja, wartawan bisa juga menganut pandangan ini. Namun, sebagaimana pandangan ”déjà vu” yang telah diulas di depan, Pak Jakob tak sepandangan jika itu yang dianut oleh wartawan. Sebaliknya, wartawan didorong untuk melihat peristiwa yang dialami atau diliputnya sebagai hal yang serba baru.
Selaku pemimpin Kompas, Pak Jakob menggariskan bahwa semangat “gumunan” untuk tidak hanyut dalam ungkapan “there’s nothing new under the sun” harus diupayakan. Hal ini antara lain dilakukan dengan merotasi tempat tugas wartawan.
Sebagai ilustrasi, sekali waktu, Pak Jakob mengatakan, betapa pun eksotiknya Pulau Bali, tetapi untuk wartawan yang seumur-umur bertugas di sana, besar kemungkinan eksotisme sudah susut nilainya.
Sebaliknya, wartawan yang sebelumnya tugas di Lampung, saat dipindah-tugaskan ke Bali, besar kemungkinan akan melihat segala sesuatu serba baru. Ada banyak keelokan, ada banyak tradisi, yang dapat ia simak dan membuatnya kagum.
Namun, bahwa peribahasa itu eksis, Pak Jakob tidak menafikannya. Dalam arti, pasti ada benarnya juga pandangan itu. Berbagai kejadian yang terus berulang, berbagai kasus yang terus terjadi, acap menjadi menu rapat. Ini juga kadang mengundang komentar, ya, memang tidak ada hal yang baru di bawah matahari.
Terkait dengan frase ini, Pak Jakob yang paham bahasa Perancis juga familiar dengan peribahasa “l’histoire se repete“ atau “sejarah itu berulang“.
Dalam kejadian dunia nyata, mendadak ada kejadian pejabat tersangkut korupsi, ada musibah kecelakaan transportasi akibat keteledoran, ada kebakaran hutan di musim kemarau, atau kurs rupiah menurun karena ada kebijakan baru Bank Sentral AS. Semua itu bisa dilihat dari kacamata “sejarah itu berulang“, tetapi juga bisa dari pandangan bahwa “memang tak ada yang baru di bawah matahari“.
Tafsir lain dari ungkapan ini juga bisa ‘jangan lah terlalu berbangga (Bahasa Jawa umuk) dengan satu hal, apakah kaya mendadak, atau kebijakan politik yang superfisial, pernyataan yang memukau, atau penemuan yang diklaim sebagai terobosan. Boleh gumun, tetapi sikap kritis tetap harus dipelihara, karena segala hal harus diverifikasi dengan baik.
Selintas, frase ini memang serupa dengan frase “Ojo gumunan” (Jangan mudah terpesona), yang berarti seperti kontradiktif dengan anjuran yang lain agar wartawan bersifat “gumunan”, tetapi di sini konteksnya adalah semangat “tidak percaya begitu saja”, mengingat di dunia banyak hal yang bersifat trivial (remeh-temeh), atau superfisial.
Ungkapan ini sendiri berasal dari zaman dulu, ketika orang banyak tertarik pada hal-hal yang berasal dari zaman Yunani atau Romawi seperti terungkap dari salah satu kanon biblikal Ecclesiastes I,10 (dari laman antiquitatem).
Banyak hal memang telah berubah menyangkut peralatan dan perkakas, tetapi tentang perasaan, hasrat, ide, dan harapan, pada dasarnya masih sama. Orang yang paham dan mengerti masa lalu, cenderung akan mengatakan, bahwa (ternyata) tidak ada hal baru di bawah matahari.
Jika diperluas pemahaman frase ini untuk melihat tantangan yang dihadapi manusia dewasa ini, khususnya yang terkait dengan sifat angkara murka, kerakusan, ketamakan, korup, tetapi juga keberanian untuk menghadapinya, tampak nyata, itu ada dari dulu hingga sekarang. Jadi pada dasarnya memang “Tidak ada yang baru di bawah matahari”.