Ini adalah ungkapan dalam bahasa Perancis yang secara harfiah berarti “Sebuah koran itu adalah seorang tuan”.
Pak Jakob eksplisit menyebut ungkapan ini dalam tulisan pengantar menyambut hari jadi ke-40 Kompas, 28 Juni 2005.
Dalam tulisan berjudul “Perjalanan Panjang Menuju Pengabdian Kedua”, Pak Jakob mencoba menguraikan frasa terkenal Perancis di atas.
Dalam konteks peringatan HUT ke-40, disinggung makna usia bagi sebuah surat kabar. Memang dari perspektif institusi, mungkin itu belum panjang. Akan tetapi, setidaknya Pak Jakob mempunyai keinginan agar dalam usia yang belum terlalu panjang tersebut, Kompas bisa menjadi koran yang bersosok.
Dari tulisan Pak Jakob dapat kita simpulkan, untuk menjadi koran yang bersosok, banyak sekali faktornya.
Disertai dengan kearifan lain yang akan dikupas dalam topik selanjutnya, Pak Jakob antara lain menyatakan bahwa karena surat kabar, selain organik juga organis, maka ia hidup, mempunyai peranan, tujuan, pandangan hidup, sikap, dan orientasi nilai.
Pandangan, sikap hidup, dan orientasi Kompas adalah paham kemanusiaan yang beriman, yang percaya pada nilai abadi dan nilai kemanusiaan.
Bukan saja pendidikan yang diperlukan anak manusia, melainkan juga pencerahan (melalui) pendidikan akal budi.
Di sini ilmu, kepandaian, kecerdasan, menjadi bagiannya. Namun, selain itu, juga watak atau karakter, kepribadian, rasa tanggung jawab, kejujuran, dan ketulusan.
Boleh jadi, hal-hal itulah yang bisa disebut sebagai payung falsafah Kompas.
Jika kita amati, selain falsafah, sebenarnya itu juga PR (pekerjaan rumah) dari Pak Jakob untuk generasi penerus.
Paling utama tentu pesan bahwa untuk menjadi “seorang tuan”, surat kabar haruslah bersosok, dalam pengertian “ia dihormati karena karya jurnalistiknya hebat, tetapi juga karena karya jurnalistik tersebut mengembangkan kemanusiaan dan bermanfaat bagi masyarakatnya.”
Wartawan meliput peristiwa tidak dengan hati kosong, juga tidak dengan kepala kosong. Ia meliput dengan payung dan panduan nilai dan falsafah serta kebijakan redaksi yang diturunkan dari nilai dan falsafah tadi.
Dengan berpijak pada kebijakan redaksi yang mengacu pada nilai yang dianut surat kabar, wartawan meliput peristiwa dengan kompetensi profesional, dengan mengindahkan kode etik yang berlaku.
Dengan berpegang pada itu semua, dilahirkan karya jurnalistik yang tidak saja unggul, bermutu, tetapi juga bisa dipercaya (kredibel).
Jika berita demi berita atas berbagai permasalahan bisa dipercaya, ia menjadi pilar bagi terbangunnya “Sang Tuan”, sosok yang dihormati.
“Dapat dipercaya adalah syarat dan kondisi lain yang membuat surat kabar dibaca orang dan akhirnya berkembang,” tulis Pak Jakob.
Dari sejak Pak Jakob menulis frasa “Un Journal C’est Un Monsieur” 11 tahun silam, Kompas telah berupaya untuk menjadi sosok “Sang Tuan”.
Kompas sendiri, dalam upaya itu, telah menyusuri semua era pemerintahan, dimulai dari pengujung pemerintahan Presiden Soekarno, hingga era Presiden Joko Widodo. Meski ada citra “ngeli” atau mengalir bersama arus, tetapi Kompas tidak “keli” atau hanyut.
Dalam pemilihan presiden tahun 2014, Kompas berupaya mempertahankan independensi dan, meski tidak mudah, banyak kalangan yang mengapresiasi.
Sejak 2005, berbagai perubahan dilakukan dalam tata wajah. Namun demikian, Pak Jakob menegaskan bahwa isi Kompas adalah tetap “rajanya”, meminjam ungkapan “content is king”.
Nyata bahwa “Un Journal C’est Un Monsieur” merupakan ungkapan sederhana tetapi menuntut upaya keras, panjang, dan disertai prinsip untuk mencapainya.