Nasihat ini boleh jadi terdengar kontras dengan petuah Jawa yang dulu juga sering disampaikan oleh mendiang Presiden Soeharto, yaitu “ojo gumunan” (jangan mudah terpesona).
Gumun adalah kata dari bahasa Jawa yang berarti “terheran, tak habis mengerti, atau terpesona”. Orang bisa gumun karena menyaksikan aksi akrobat yang sangat sulit dilakukan.
Bisa juga orang gumun karena melihat kepandaian seseorang dalam matematika, atau bisa juga orang gumun karena ada orang yang sangat kaya raya. Bisa juga orang gumun karena melihat satu peristiwa yang ajaib, sulit dicerna oleh akal biasa.
Terhadap berbagai hal yang “sangat hebat, luar biasa, mencengangkan, atau membuat orang terheran-heran” itu, Pak Harto (Presiden Soeharto)—atau banyak orang Jawa—menasihati, “ojo gumunan”. Nasihat ini menyiratkan pesan agar orang bersikap biasa saja terhadap segala sesuatu yang tampaknya bersifat “wah” tadi.
Petuah Jawa dipahami sebagai kearifan untuk menerima kehebatan sesuatu pada orang lain dengan emosi biasa sehingga dengan itu orang tidak stres, iri, atau menyesali diri, mengapa dirinya tidak seperti orang yang punya kelebihan, atau untuk peristiwa agar orang menyikapinya dengan kepala dingin, rasional, tidak terbawa emosi atau perasaan.
Namun, Pak Jakob memilih sebaliknya untuk pekerjaan jurnalistik. Jika wartawan tidak gumunan, semua peristiwa akan dianggap biasa. Wartawan tidak punya antusiasme lagi karena menurut dia “itu hal biasa”.
Bisa dibayangkan jika segala sesuatu hanya dianggap sebagai hal biasa, maka keringlah isi surat kabar. Atau, kalaupun diliput, maka hasil liputannya akan hambar saja karena tidak disertai oleh keterheranan atau keterpesonaan pada topiknya.
Pak Jakob sendiri dalam banyak hal membuktikan dirinya sebagai pribadi yang gumunan. St Sularto mencatat, Pak Jakob gumun pada tokoh-tokoh pejuang Kemerdekaan RI, juga pada para tokoh yang —di tengah hidup serba materialisme—masih mau bertekun mendalami bidangnya.
Sosok-sosok ini memiliki etos kerja yang tidak kenal lelah, tidak cari-cari publikasi (dalam bekerja menekuni bidangnya). (Syukur Tiada Akhir – Jejak Langkah Jakob Oetama, PBK, Jakarta, 2015)
Pak Jakob, yang mendalami ilmu komunikasi, secara instingtif mengembangkan kepekaan di bidang politik. Dalam rapat-rapat pagi redaksi yang dulu ia hadiri dengan antusias, selain memberi arahan, Pak Jakob juga senang mendengarkan penjelasan para yuniornya di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, internasional, hingga sains dan teknologi.
Khususnya untuk yang terakhir ini, dengan segala keawamannya, Pak Jakob memperlihatkan kuatnya insting kewartawanan bahwa masalah perubahan iklim, kondisi Tanah Air yang berada di Lengkung Cincin Api, akan menjadi trend pemberitaan.
Ia pun sering mengamati, ada perubahan iklim, tetapi masyarakat belum sepenuhnya awas (aware) terhadap masalah ini, dan karena itu ia ingin topik ini secara teratur diangkat oleh Kompas.
Semua itu mustahil jika pada dirinya tidak tertanam sikap gumunan. Ya, Pak Jakob gumun terhadap cuaca yang berubah jadi ekstrem. Ia juga gumun, mengapa sudah banyak pejabat ditangkap karena korupsi, tetapi berita tentang hal itu masih saja terus muncul.
Selain gumunan terhadap fenomena, Pak Jakob juga gumunan pada ide yang ia anggap memiliki terobosan. Ke-gumunan-nya pada ide ia cerminkan pada semangatnya untuk memasyarakatkan buku-buku yang ia baca—seperti Culture Matters—kepada wartawan muda, dan pada audiens yang mendengar ceramah-ceramahnya.
Pak Jakob ingin menularkan sikap “wartawan harus gumunan”.