"Jauh-jauh merantau,
Mancari hidup,
Mama, nasib tidak beruntung
Sapa suru datang Jakarta
Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe.. Sayang."
~ Vivi Sumanti, Sapa Suru Datang Jakarta
Memutar balik waktu, tak ada yang membayangkan Jakarta akan menjadi Ibu Kota Indonesia. Semula, wilayah ini “hanya” satu pelabuhan di tatar Pasundan, sepetak lahan di pengujung kelok panjang Ciliwung. Ketika kemudian koloni pedagang Belanda merambah masuk lewat Pelabuhan Sunda Kelapa, beragam catatan menyebutkan bahwa banjir dan nyamuk pembawa penyakit adalah dua sisi mata uang yang menyambangi kota ini bergantian.
Meski zaman berganti, banjir masih saja jadi warna Jakarta, hingga kini. Penyebabnya juga tak tunggal, bukan lagi semata faktor alam. Dalam setiap peristiwanya, nyawa pun kerap seolah tak berharga. Penduduk yang bertambah menambah kompleksitas tantangan Jakarta. Kondisi alam yang makin tergerus, diperparah perilaku sebagian warga yang tak membantu membuatnya menjadi lebih baik. Soal sampah, misalnya.
Ini cerita tentang Jakarta dan banjir maupun genangan yang terlalu rutin menyambanginya. Sampai-sampai, Jakarta dan Ciliwung—kali terbesar di antara 13 sungai yang melintasi Jakarta—menjadi dua puisi WS Rendra, di antara banyak karya sastra lain yang senada.
"(Soal banjir), 2016 tidak mengkhawatirkan bagi saya. Justru yang paling bahaya (adalah pada) 2017. Kenapa? Karena kemarau panjang ini, La Nina ini, lanjutan hujan paling besarnya itu justru pada 2017..." ~ Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
Bicaranya ceplas-ceplos. Bertemu siapa pun—mau pejabat atau rakyat biasa—cara dia bicara tak berubah. Pun saat bertandang ke Kompas.com pada Selasa (19/1/2016) dan ditanya soal banjir. Dia adalah Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Gubernur yang punya sapaan akrab Ahok ini memastikan sejumlah program untuk meminimalkan ancaman banjir di Jakarta akan terus berlanjut. Targetnya, program-program prioritas soal itu akan dikebut rampung pada 2016.
Ahok pun menambahkan, Jakarta masih akan baik-baik saja—terbebas dari ancaman besar banjir maupun genangan—kalau hanya ada faktor hujan. “Nah, kalau sudah hujan, lalu laut juga pasang, Jakarta jadi mangkok,” ungkap Ahok.
Bagi Ahok, banjir dan genangan setiap kali musim hujan datang adalah tantangan besar. Ini masalah yang bukan baru sekarang terjadi tetapi tetap harus ditangani dan mendapat solusi. Terlebih lagi, pada masa pemerintahannya di DKI, penggusuran bantaran sebagai bagian dari normalisasi sungai dan saluran air marak terjadi.
Selain janji program pemerintahan, berhasil dan tidaknya penanganan program antisipasi banjir juga akan menentukan kemulusan rencana Ahok maju kembali ke kursi DKI-1 pada 2017. Namun, lupakan dulu soal politik dan hiruk pikuknya. Soal banjir dan genangan dulu kita bicara.
Karena memang, tak bisa disangkal bahwa persoalan banjir dan genangan sudah menjadi serupa mitos keabadian. Dalam catatan Litbang Kompas, misalnya, ada sejumlah bencana besar terkait urusan air ini setidaknya sejak 1872.
“Ramalan” soal banjir Jakarta pun jauh-jauh hari sudah tersurat dalam Prasasti Tugu. Ditemukan di Cilincing, Jakarta Utara, prasasti itu berujung pada tafsir bahwa Jakarta bakal tenggelam seperti Kerajaan Tarumanagara di muara Sungai Citarum akibat banjir. (Kompas, 18/1/2014).
Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, menuturkan, Prasasti Tugu diperkirakan dibuat Raja Tarumanagara Purnawarman pada sekitar 450 Masehi. Di dalamnya ada lima baris kalimat berhuruf palawa yang menyingkap pembuatan kanal dari Sungai Candrabagha (Kali Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Cakung) sepanjang 11 kilometer.
Pembuatan kanal tersebut diperkirakan memiliki dua tujuan, yaitu meredam banjir dan untuk irigasi pertanian. ”Kanal yang dibuat dari Kali Gomati melintasi Istana Tarumanagara sebelum menuju laut,” kata Hasan, seperti dikutip Kompas. Konon saat itu seribu ekor sapi disembelih sebagai bagian dari kegiatan pembuatan kanal tersebut.
Hasan lalu menunjuk beberapa lokasi di Jakarta seperti di Pasar Ikan dan Museum Bahari. Dari hasil penggalian untuk risetnya, ditemukan tanah asli terpendam sampai setengah meter lebih. Salah kelola, Jakarta akan “mengulang” cerita berakhirnya Tarumanagara. Ingat, Jakarta dilewati 13 sungai.
Buku Jakarta 2017 - Rencana Pembangunan Jangka Menengah menambahkan pula fakta bahwa wilayah DKI adalah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata hanya tujuh meter di atas permukaan laut. Bahkan, ketinggian 40 persen wilayah Jakarta adalah satu meter hingga 1,5 meter di bawah muka laut pasang.
Merujuk buku yang sama, luasan banjir dan genangan di Jakarta dari 1980 sampai 2007 malah terus bertambah. Dari 7,7 kilometer persegi pada 1980, bertambah menjadi 22,59 kilometer persegi pada 1996, lalu 167,88 kilometer pada 2002, dan 238,32 kilometer persegi pada 2007.
Tak hanya Raja Tarumanagara yang berupaya mencari solusi untuk tak membiarkan Jakarta tenggelam begitu saja. Setiap Pemerintahan yang pernah menggenggam otoritas atas tanah ini juga silih berganti merancang solusi.
Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok diluruskan menjadi kanal untuk alur pelayaran dan pembuangan air.
Membuat pintu air pengendali banjir untuk mengendalikan aliran sungai di hilir.
Pembangunan Pintu Air Matraman dan Pintu Air Gusti.
Pembangunan Kanal Banjir Malang (bermula dari Karet diteruskan melalui Sungai Krukut dan bermuara di Kali Angke).
Pembuatan saluran Senen di sepanjang jalan sisi timur dan saluran sepanjang Jalan Menten
Van Breen membuat terusan Banjir Barat untuk memotong aliran Sungai Ciliwung, Cideng, Grogol ke arah barat, dan bermuara ke laut. Panjang terusan 17,3 km, dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke.
Normalisasi Sungai Cideng dan Krukut.
Pengerukan Kali Angke, Pesanggrahan, Grogol, dan pembuatan saluran Muara Karang.
Pembuatan Waduk Tebet, Melati, dan Surabaya.
Pembangunan Danau Sunter, Cengkareng Drain, pintu air di Kali Cideng.
Pembangunan Sistem Barat: Kanal Banjir Barat sampai Muara Angke melalui Kali Grogol, Sekretaris, dan Angke.
Pembangunan Sistem Timur: Kanal Banjir Timur memotong Kali Cipinang, Buaran, Jatikramat, dan Cakung.
Pembangunan sistem drainase, seperti drainase Karang, Kali Cideng, Kali Krukut, Ciliwung Hilir, Ciliwung-Gunung Sahari-Sunter Barat, Sunter, Polder Sunter Barat, Polder Sunter Timur, Polder Marunda, dan Cakung.
Sudetan Sungai Ciliwung ke Sungai Cisadane.
Pembangunan Waduk Ciawi di Sungai Ciliwung.
Pembangunan Waduk Genteng/Parungbadak di Sungai Cisadane.
Perbaikan Kali Sabi.
Pembangunan Kanal Banjir Timur.
Peningkatan kapasitas Cipinang-Sunter-Buaran-Cakung.
Optimalisasi Pintu Air Manggaraidan Karet.
Sudetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur (dalam proses pengerjaan).
Peningkatan kapasitas Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur.
Normalisasi Kali Pesanggarahan, Angke, Sunter.
Normalisasi Kali Ciliwung, Kali Krukut, Kali Cipinang (hulu), Kali Cisadane.
Lanjutan pembangunan sudetan Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur.
Pembangunan Waduk Ciawi (rencana).
Sudetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur (dalam proses pengerjaan).
Revitalisasi situ dan dam parit.
Pembangunan "check" dam dan sumur resapan.
Dalam buku Batavia Kota Banjir yang ditulis Alwi Shahab, banjir di Jakarta setidaknya juga memusingkan 66 gubernur jenderal di Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Setelah masa kemerdekaan, kepusingan berlanjut menjadi “warisan” bagi Wali Kota hingga Gubernur DKI.
Toh, soal hasil upaya, sampai sekarang belum ada yang terbukti ampuh. Itulah kenapa, sederet pembangunan infrastruktur, penggusuran, pembersihan, hingga normalisasi sungai tetap menjadi “soal ujian” bagi Ahok di periode kepemimpinannya. Itu juga, tak serta-merta banjir akan hilang dari Jakarta, apa pun yang Ahok jalankan sekarang.
Wilayah selatan, misalnya, masih akan kebanjiran. Apa kata Ahok soal “ujian”-nya? Berikut ini cuplikan videonya:
"Kenyataan harus dikabarkan
Hidup bersama harus dijaga
Hidup yang layak harus dibela"
~ Kantata Takwa, Kesaksian
Banjir bukan hanya tentang limpahan air yang tak kunjung surut di jalanan atau sungai-sungai di sekitar kita. Bencana itu juga wajib diwaspadai karena rawan diikuti dengan berbagai penderitaan lainnya. Tak jarang warga Jakarta merasa tertekan akibat ritual berjam-jam terjebak macet setiap kali hujan deras datang,apalagi kalau masih harus juga membersihkan ruang keluarga yang ikut terendam banjir sesampainya di rumah.
Pun, ada baiknya berhati-hati, terhadap adanya kemungkinan korsleting pada sambungan listrik serta perangkat elektronik ketika air masuk rumah. Ingat, air merupakan penghantar listrik yang baik. Jangan sampai fakta tersebut terlewat sampai harus mengalami rasanya tersetrum di genangan air.
Belum lagi ketika jaringan air bersih tercemar limbah banjir sehingga tak layak pakai apalagi minum. Diare dan muntaber bakal jadi ancaman paling nyata bila air tercemar tetap diminum, sementara gatal-gatal hingga infeksi bisa terjadi untuk pemakaian mandi, cuci, dan keperluan lain terkait membersihkan badan.
Pencegahan selalu lebih baik daripada mengatasi persoalan yang telanjur datang, apalagi bila nyawa adalah taruhannya, seketika maupun tidak. Karena itu, memperbaiki kualitas jaringan listrik dan lingkungan tak pelak mutlak dilakukan.
Biasakan memeriksa kelengkapan perangkat listrik di rumah dan memastikan alat-alat tersebut masih layak guna. Tidak ada salahnya juga menambah pemutus listrik otomatis untuk pengaman ketika terjadi korsleting atau kebocoran arus listrik.
Kita bisa belajar dari musibah banjir besar di Thailand pada 2013. Sekitar 500 orang dalam satu kampung kehilangan nyawa tersetrum, gara-gara petugas setempat lupa memutus aliran listrik saat wilayah tersebut tergenang air.
Setiap saat, di mana saja, dan apa pun kondisinya, sayangi selalu sepotong nyawa yang melekat di badan ini.
Diare
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebutkan 53.689 orang berobat ke puskesmas karena diare, selama banjir pada musim hujan pada 2014.
Leptospirosis
Disebabkan oleh percampuran air banjir dengan kotoran—termasuk kencing tikus—yang rentan menyebarkan bakteri leptospira. Bakteri ini masuk melalui kulit dan menyebabkan penyakit kuning hingga kematian.
Demam Berdarah Dengue dan Chikungunya
DBD dan chikungunya disebarkan nyamuk Aedes aegypti ditandai dengan demam disusul munculnya bintik-bintik pendarahan di kulit, gusi, hidung, atau bahkan usus. Jika tidak segera ditangani, DBD dapat menyebabkan kematian. Sampai pekan pertama Februari 2016 sudah ada 1.337 penderita DBD di DKI. Adapun chikungunya juga punya gejala nyeri persendian dan biasanya menyebabkan penderita sulit berjalan, selain demam dan ruam kemerahan.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
ISPA bisa disebabkan oleh bakteri, virus, dan mikroba lain. Selama banjir, penurunan daya tahan di tengah lingkungan yang dingin dan lembab, rentan memicu penyakit ini.
Kerusakan rumah
Pada banjir 2007, tercatat 146.000 rumah penduduk di Jabodetabek rusak, dengan 80 orang korban jiwa. (Lihat Infografis: Banjir Jakarta dari Masa ke Masa)
Kematian karena tersengat listrik
Dalam sejumlah kejadian banjir di Jakarta, tercatat sejumlah kematian karena tersengat listrik. Pada 2013, misalnya, ada 8 orang meninggal karena hal ini, dan pada 2014 ada 4 orang. Di luar negeri, kematian satu kampung karena tersengat listrik terjadi di Thailand pada 2013.
"Anda tak boleh lagi buang sampah di sungai. Dan mohon maaf Anda akan kami pindahkan ke rusun kalau tinggal di bantaran sungai. (Ada yang buang sampah sembarangan, termasuk di jalan), saya bilang (ke jajaran saya), tangkap saja!" ~ Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
Pernahkah sesekali terpikir ke mana perginya puntung rokok sesudah diinjak lalu ditinggalkan itu? Atau, adakah sedikit saja penasaran dengan nasib gelas plastik yang suka terlihat berserakan di jalanan?
Kita sering kali membuang sampah—baik pada tempatnya maupun tidak—dan berlalu begitu saja. Tak jarang pula kita merasa lepas tanggung jawab atas limbah yang dihasilkan dan menunggu “pahlawan kebersihan” (baca: petugas kebersihan) bertindak.
Mungkin, banyak orang tidak tahu bahwa DKI Jakarta menghasilkan sekitar 6.000 ton sampah per hari dan jumlah itu terus bertambah. Angka tersebut dua kali lipat dari kemampuan angkut dan tampung PT Godang Tua Jaya, pengelola Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang. Pembuangan tersebut hanya bisa menampung 3.000 ton sampah per hari.
Lalu, berada di mana sisa sampah dari Jakarta?
Secara statistik, 7,54 persen sampah Ibu Kota ditimbun begitu saja. Sementara itu, 35,49 persen yang lain dibakar dan 15,27 persen selebihnya terombang-ambing di sungai atau bertebaran di jalanan, taman, dan tempat umum.
Hanya sekitar 1,61 persen sampah Jakarta yang tak terangkut ke Bantar Gebang terdaur ulang menjadi pupuk kompos. Padahal, justru proses inilah yang lebih bermanfaat mengurangi sampah dan imbas keberadaannya sebagai polutan maupun faktor pemburuk banjir di Jakarta.
Lalu, bagaimana seharusnya memperlakukan sampah?
Nasihat lama mengatakan, apa yang kita tanam maka itulah yang akan dituai. Menghargai sampah dan mengembalikannya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat sebenarnya sama saja dengan menghargai tempat tinggal sendiri.
Langkah pertama yang dapat kita lakukan ialah menghilangkan konotasi negatif dari kata tersebut. Hapuskan dari kepala bahwa sampah hanyalah barang tak terpakai yang harus dibuang!
Anggap sampah-sampah ini sebagai benda layak guna dan bagian dari tanggung jawab. Misalnya, daripada langsung buang, lebih baik jadikan kaleng bekas soda sebagai tempat meletakkan pensil di meja. Tinggal potong bagian atas kaleng kemudian dicuci bersih untuk bisa dipakai.
Tak ada salahnya juga mulai menjadi “pahlawan” penjaga kebersihan. Mulai saja dari mengingatkan diri sendiri untuk selalu memanfaatkan sampah layak guna. Bila sudah, lanjutkan dengan mengingatkan orang di sekitar tentang hal yang sama.
Hidupkan kembali kerja bakti secara berkala di lingkungan masing-masing. Usaha ini sekaligus untuk membebaskan selokan dan saluran air dari sampah, agar tidak tersumbat dan menimbulkan genangan air ketika hujan besar.
Selain itu, bisa juga dibentuk bank sampah. Di situlah sampah organik dan sampah anorganik dipilih-pilih. Sampah organik bisa diurai kembali, kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Adapun sampah anorganik dapat dipakai kembali, seperti contoh kaleng soda di atas.
Jadi, mari mengubah pandangan dan kebiasaan soal sampah. Melakukan sedikit hal kecil bisa mendatangkan manfaat besar, ketimbang diam dan meratapi banjir lantaran sampah! Daripada sekadar merutuki kinerja Pemerintah, memastikan diri sendiri tak menjadi bagian dari persoalan tentu merupakan kunci untuk Jakarta benar-benar berbenah. Bisa?
CREDIT
Produser
Muhammad Latief, Palupi Annisa Auliani
Naskah
Sri Noviyanti, Anne Anggraeni Fathana, Palupi Annisa Auliani
Riset
Reza Pahlevi, Sri Noviyanti, Anne Anggraeni Fathana, Roderick Adrian Mozes, Eris Eka Jaya
Infografis
Sri Noviyanti, Anne Anggraeni Fathana, Adhis Anggiany Putri
Kreatif
Lilyana Tjoeng, Anggara Kusumaatmaja, Moh. Khoirul Huda, Bangkit Wijanarko